perkawinan dan keluarga, konseling pastoral dan konseling professional di
Amridge ... Isi Buku. BAB I. PENDAHULUAN. Hal yang sama terjadi pada
perilaku ...
1.
Judul Buku
: TEKNIK KONSELING
2.
Penulis
: Wayne Perry
3.
Penerbit
: Pustaka Pelajar
4.
Tahun Terbit
: 2010
5.
Jumlah Halaman
: 530 Halaman
6.
Ukuran Buku
: 17 x 11 cm
7.
Sampul
: Hijau
8.
Riwayat Pengarang.
Wayne Perry adalah Direktur Program bidang terapi
perkawinan dan keluarga, konseling pastoral dan konseling professional di Amridge University.
Beliau adalah Clinical Member dan Approved Supervisor untuk American
Association of Marriage and Family Therapists (AAMFT) dan seorang Fellow di American Ascociation of Pastoral Counselors (AAPC). Beliau mendapat lisensi di Alabama sebagai Licensed Marriage and Family Therapist Approved Supervisor of Supervision. Dr. Perry saat ini sedang menyelesaikan program doctor keduanya dibidang terapy perkawinan dan keluarga. Dr. Perry memiliki pengalaman lebih dari 30 tahun sebagai terapis, saat ini aktif sebagai staf terapis di Samaritan Counseling Center.
Wayne menyatakan, “I love the
academic work, but the clinical work is crucial to who I am. It keeps me grounded”. Beliau mendemonstrasikan keyakinan itu dengan rata-rata lebih kurang 15 kasus per minggu sambil tetap memenuhi tugas mengajar dan praktik klinis, Dr. Perry dan Mrs. Perry mengajar memimpin workshops untuk gereja dan berbagai kelompok masyarakat. Beliau telah menulis beragam artikel dalam jurnal-jurnal professional maupun majalah-majalah popular, dan mengisi kolom mingguan di surat kabar local untuk memberikan aplikasiaplikasi praktis berdasarkan pengalaman beliau. 9.
Isi Buku.
BAB I PENDAHULUAN
Hal yang sama terjadi pada perilaku setiap manusia, sebagian kehidupan kita peragakan di panggung pertunjukan. Ini adalah bagian public dari diri kita, bagian public dari diri kita, bagian yang kita sadari dan bagian yang dapat disadari oleh orang lain jika mereka “membayar tiket masuknya”. Artinya mau meluangkan waktu untuk mengenal kita. Tetapi, ada bagian-bagian kehidupan kita yang jelas tersembunyi bahkan dari kesadaran
kita sendiri. Inilah bagian belakang panggungnya, yang termasuk bidang-bidang yang oleh psikologi dinamika tradisional disebut tidak sadar meskipun konsepnya jauh lebih luas daripada itu.
Perbedaan antara panggung pertunjukan dan belakang panggung lebih
substansif daripada sekadar deskripsi tentang kesadaran. Ia juga menentukan bagaimana perubahan terjadi.
Karena panggung pertunjukan terbuka bagi kesadaran, perubahan
dapat terjadi melalui pendidikan, psikoedukasi, relabeling atau reframing atau teknik-teknik serupa yang mengarah pada neokorteks otak. Tetapi, sebagian besar terapi membutuhkan perubahan di belakang panggung. Kalaupun perubahan di panggung pertunjukan telah terjadi, kemungkinan besar klien sudah pernah mencobanya dan menemukannya tidak cukup. Itulah sebabnya klien sekarang ada di kantor terapis. Untuk mengubah belakang panggung membutuhkan penerapan teknik-teknik yang dapat masuk ke dalam bagianbagian otak yang dilihat secara perkembangan lebih primitive (misalnya, amigdala atau bagian-bagian system limbic), dengan teknik-teknik seperti interprestasi mimpi. Analisis gaya hidup, atau merevisi skema atau fiksi-fiksi yang dirahasiakan. Bahkan mahasiswa konseling/terapi yang paling anyar sekalipun pasti pernah mendengar bahwa presenting problem (gejala awal yang momotivasi klien untuk berkonsultasi dengan seorang praktisi) belum tentu menunjukkan probel yang sebenarnya. Model metasistem membantu pemula untuk menentukan bagian ruang kehidupan yang maka didepan panggung atau di belakang panggung yang berisi problem riilnya. Setelah ini ditentukan, intervensi yang tepat dapat dipilih dengan mudah. Batang tubuh utama buku ini akan mengembangkan beragam situasi terapeutik dan mendemonstrasikan kapan sebuah intervensi akan tepat dan alat-alat mana yang bisa diterapkan terapis/konselor untuk menghasilkan perubahan yang diinginkan. Didalam system-sistem apa saja seorang menjadi bagiannya? Seperti dikatakan sebelumnya, keluarga asal adalah system yang pertama. Model metasistem dilandasi oleh psikologi adlerian yang memahami bahwa setiap orang adalah unit, tetapi setiap orang dipengaruhi oleh system social keluarganya. Didepan panggung, urutan keluarga menjadi salah satu pengaruh utama. Dengan sama jelasnya, gender juga merupakan salah satu pengaruh di depan panggung.
Anak belajar dengan sangat cepat, misalnya “aku
perempuan dan aku lebih tua dibanding adik laki-lakiku”. Anak-anak tidak hanya belajar tentang makna emosional dari fakta-fakta tersebut. Mungkin didalam keluarga ini anak perempuan lebih disukai daripada anak laki-laki, atau mungkin anak yang lebih muda, anak laki-laki itu
menerima
lebih banyak hak (perlakuan istimewa)
dibanding kakak
perempuannya karena ia laki-laki. Orang tua mengkomunikasikan nilai-nilai semacam ini, apa pun itu secara verbal maupun non verbal melalui interaksi mereka dengan anak-anak. Tergantung konstelasi keluarganya, keluarga luas misalnya kakek/nenek, bibi, paman dan
lain-lain mungkin mempunyai pengaruh yang sama signifikannya seperti orang tua kandung, bisa jadi bahkan lebih.
Jadi, identitas dasar anak dan perasaan kompetensi
pribadinya ditempa untuk pertama kalinya di dalam keluarga urutan pertama. Dengan sangat cepat, pengaruh siginifikan lain akan muncul di dalam adegan. Pengaruh ini muncul dari keluarga urutan kedua. Keluarga urutan kedua mencakup semua orang yang tidak mempunyai hubungan biologis dengan anak tetapi bagaimanapun mempunyai pengaruh penting yang unik pada anak. Beberapa contoh keluarga urutan kedua termasuk Pembina pramuka, guru di gereja atau sekolah bahkan tetangga. Geng jalanan, sayangnya juga salah satu bentuk keluarga urutan kedua, yang mengilustrasikan kenyataan bahwa keluarga urutan kedua, meskipun secara potensial bahkan lebih influensial dibanding keluarga urutan pertama, tidak benar-benar lebih fungsional daripada keluarga urutan pertama. Dalam arti baik atau buruk, nilai keluarga urutan kedua adalah memberikan kesempatan tambahan bagi anak untuk belajar perilaku social yang baik dengan mengobservasi orang lain. Pada gilirannya, ini membantu mengonfirmasi konsep diri yang telah dikembangkan anak di dalam interaksi-interaksi awalnya didalam keluarga urutan pertama.
Bagi 28 persen anak-anak AS yang hidup bersama keluarga dengan
orang tua tunggal, keluarga urutan kedua dapat mengisi sebagian keping-keping hubungan yang hilang di dalam keluarga urutan pertama. Bagi 61 persen anak-anak AS yang sejak lahir sampai kelas tiga dirawat oleh orang yang bukan keluarga biologisnya, mau tidak mau belajar dari keluarga urutan kedua. Tetapi, bahkan anak-anak didalam keluarga tradisional utuh pun bisa mendapatkan pengayaan dari hubungan keluarga urutan keduanya. Selain keluarga urutan pertama dan keluarga urutan kedua, di depan orang tua tahu, anak-anak sangat sadar tentang setiap perbedaan dengan “yang normal”.
Anak-anak
dengan ciri-ciri fisik seperti yang diharapkan oleh teman-teman sebayanya akan lebih popular, oleh sebab itu dengan lebih mudah bergerak ke arah tujuan pribadi yang sehat. Di lain pihak, anak-anak yang mempunyai inferioritas fisik tertentu (misalnya tunanetra, kegemukan, koordinasi buruk, dan lain-lain) harus mengompensasinya dengan cara tertentu. Apakah mekanisme kompensatorik ini sehat atau tidak (artinya mendukung kesejahteraan dan pertumbuhan optimal anak) akan tergantung pada faktor-faktor lain. Tugas konselor/terapis pemula adalah menentukan bagasi mana, keyakinankeyakinan mana yang benar-benar membantu orang itu untuk menuju ke “superioritas” dan mana yang terlalu berlebihan atau ketinggalan jaman untuk perjalanannya. Seringkali, cara termudah untuk melakukan itu adalah dengan menggunakan “fiksionalisme” adler, mendorong orang untuk bertindak seakan-akan apa yang diyakininya memang benar dan mencatat dengan teliti apa yang benar-benar terjadi itu.
Itu kalau semuanya
memungkinkan, karena seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, persepsi dapat
terdistorsi.
Yang penting bukan perasaan-perasaannya.
Hasil-hasil yang dapat
diobservasilah yang penting. Manusia membentuk dunianya, sebanyak dirinya dibentuk olehnya, dan idealnya proses ini berlanjut paling tidak sampai mati. psikopatologi tidak akan menjadi problem lagi.
Itulah saat
Menerapkan model ini dengan cara “
mur dan baut” praktis ke berbagai manifestasi psikopatologi akan emnajdi focus seluruh buku ini.
BAB II HAL-HAL FUNDAMENTAL
Bagian formal dari wawancara pertama dimulai ketika klien dan terapis duduk dengan nyaman di ruang konsultasi. Setiap perilaku klien verbal maupun nonverbal, menjadi informasi yagn dapat diakses untuk memandu proses penanganan. Pada saat yang sama, klien mengases terapis, mencari perilaku yang akan mendukung kesan pertama yang terbentuk di pertemuan pertama. Bahkan di mata klien duduk bisa menjadi bagian asesmen.
Sebagai contoh, di pusat konseling penulis, salah satu ruang
konsultasinya mempunyai tempat duduk berbentuk hati dan dua kursi yang sangat nyaman. Klien diizinkan untuk memilih salah satu kursi. Jika suatu pasangan memilih untuk duduk bersama di kursi berbentuk hati, ini mengkomunikasikan sesuatu tentang kedekatan emosional yang mereka rasakan. Di lain pihak, jika salah seorang memilih untuk duduk di kursi
berbentuk
hati
dan
yang
lain
memilih
duduk
di
salah
satu
kursi,
ini
mengkomunikasikan pesan yang berbeda, namun sama berharganya tentang tingkat kedekatan pasangan itu. Bagi pasangan, individu atau keluarga, bahasa tubuh adalah salah satu komponen penting asesmen. Tetapi, generalisasi tentang apa yang dianggap sebagai pesan tubuh terbuka atau tertutup bisa membuat terapis memiliki pemahaman yang keliru tentang apa yang sebenarnya tengah terjadi.
Idealnya, klien seharusnya diminta dating awal (15
sampai dengan 30 menit, bergantung berapa banyak urusan administrasi yang dibutuhkan oleh lembaga) untuk wawancara pertama guna mengisi formulir-formulir yang dibutuhkan. Jika terapis belum melakukannya, terapis seharusnya mengambil formulir-formulir yang sudah diisi ini dari tangan klien pada awal pertemuannya dan membacanya sekilas. Setelah itu terapis seharusnya segera menyingkirkan formulir-formulir itudan memfokuskan perhatiannya pada klien. Segera setelah terapis bisa dengan nyaman beralih dari percakapan basa-basi, terapis seharusnya mulai menstruktur proses konselingnya. Ingat ini kencan buta.
Banyak klien yang hanya mengetahui tentang terapis dari apa yang
dilihatnya di dalam film, dan sebagian besar tidak akurat. Mereka perlu tahu aturan-aturan
hubungannya agar merasa nyaman, dan terserah kepada si terapis untuk bagaimana ia menjelaskan tentang informasi tersebut. Orientasi tentang konseling seharusnya dilanjutnya dengan cara yang sama. Standard of care lembaga mengharuskan bidang-bidang yang harus dibahas. Beberapa bidang yang perlu dibahas tersebut antara lain :
a.
Kontak telepon.
b.
Kehadiran di persidangan.
c.
Kerahasiaan.
d.
Duty of warn (kewajiban untuk memperingatkan).
e.
Kebijakan financial (biaya).
f.
Hak-hak klien, beberapa diantaranya hak untuk meninjau rekaman yang
dibuat, persyaratan yang dibutuhkan untuk itu, hak meminta rujukan dan hak untuk menghentikan terapi dan prosesnya.
Begitu klien menyatakan secara verbal bahwa ia memahami standard of care lembaga, pertanyaan selanjutnya yang ditanyakan terapis biasanya adalah “Perubahan apa yang ingin dilihat dari hasil pertemuan dengan terapis hari ini?”.
BAB III KETERAMPILAN-KETERAMPILAN KONSELING INDIVIDUAL
Semua bentuk depth therapy tertarik dengan pengalaman awal klien, dan semua bentuk depth therapy percaya bahwa pengalaman emosional klien memberikan data yang sama berharganya dengan insights kognitif klien. Bentuk-bentuk depth therapy tradisional, seperti Freudian, Adlerian, dan Jungian, menggunakan analisis mimpi di antara teknikteknik lainnya untuk mengakses materi emosional ini.
Bentuk-bentuk yang lebih baru
seperti metasistem, variasi-variasi modern terapi Adlerian dan Depth-Oriented Brief Therapy, menyandarkan diri pada menciptakan berbagai pengalaman didalam sesi terapi. Bagaimanapun cara orang melakukannya, melakukan depth therapy adalah kerja keras bagi klien maupun terapis. Menurut definisinya, gaya terapi ini mengungkapkan materi ketidaksadaran “back stage” menurut bahasa metasistem yang sangat penting bagi klien sehingga harus disembunyikan dari penglihatan. Ini membawanya ke “front stage” bagi klien untuk melihat bahwa silau “klieg lights” (lampu studio) proses terapi yang tidak nyaman.
a.
Keterampilan Terfokus Solusi (Keterampilan Mengatasi Masalah). Terapi
ini dimulai dengan menyatukan diri dengan klien. Menit-menit pertama yang sangat penting bagi semua sesi terapi akan tampak dan terkesan sangat mirip satu sama lain, terlepas dari orientasi teoritik konselor. Klien datang dengan membawa daftar problem, dan konselor mendengarkan dengan sabar dan cermat “cerita penuh problem” klien.
Yang tidak begitu jelas adalah perubahan besar yang terjadi di
benak terapis.
Alih-alih mendengarkan untuk menemukan apa “penyebab”
problemnya, seperti yang dulu mungkin telah dilakukan oleh Freud, atau mendengarkan untuk menemukan apa yang membuat problemnya terus bertahan seperti yang dulu mungkin telah dilakukan oleh Minuchin, terapis terfokus-solusi mendengarkan untuk mencari solusi yang dapat dikonstruksikan bersama oleh klien dan terapis. Ada beberapa asumsi dasar yang melekat pada gaya mendengarkan ini yaitu :
1)
Asumsi pertama, jelas bahwa ada berbagai solusi dan bahwa mereka
dapat dikonstruksikan.
Hal ini mengikuti epistemology dasar pendekatan
terfokus-solusi. Solusi dikonstruksikan bukan ditemukan. 2)
Asumsi kedua, klien tidak menolak terapis. Melalui tindakannya, klien
menunjukkan seberapa percayakah mereka bahwa perubahan akan terjadi. Didalam pandangan dunia klien ini, bukan terapislah ahlinya.
Dengan
demikian, konselor menerima apa yang diberikan klien sebagai upaya tulus untuk bekerjasama dalam proses perubahan dan menggunakan itu untuk membantu klien mencapai tujuan-tujuannya. 3)
Terakhir, terapi terfokus-solusi berasumsi bahwa perubahan kecil
bersifat generative. Artinya gaya terapi ini percaya bahwa kesuksesan kecil klien sekarang kelak dapat menghasilkan kesuksesan lebih banyak dan lebih besar.
Untuk alasan-alasan ini, terapis terfokus-solusi sama sekali menolak pendapat bahwa gaya terapi mereka adalah sebuah “band-aid approach”. Perubahan nyata pertama didalam gaya terjadi ketika terapis secara eksplisit bertanya kepada kliennya. Walter
dan
Peller
(1992)
memberikan
criteria
untuk
tujuan
yang
dikonstruksikan dengan baik, yang dapat disepakati oleh kebanyakan terapis terfokus-solusi. Tidak ada yang ajaib didalam urutan kriterianya, semuanya perlu
bagi pernyataan tujuan yang efektif. Kriteria pertama adalah bahwa tujuan itu harus dibingkai secara positif. Kriteria kedua, untuk tujuan yang ditetapkan dengan baik adalah bahwa tujuan itu dalam bentuk proses. Sedangkan kriteria ketiga, adalah bahwa tujuan itu memiliki fokus langsung.
Terapis terfokus-solusi menyebutnya
“being on track”. b.
Keterampilan Terapi Kognitif.
Terapis kognitif percaya bahwa kognisi,
artinya makna yang secara sadar atau pra-sadar diasosiasikan dengan kejadian, harus berubah agar perilaku bisa berubah. Pada gilirannya, perilaku harus berubah untuk menguatkan system-sistem makna baru yang lebih produktif yang dicapai klien melalui terapi. Mungkin karena penekanan pada perubahan perilaku sebagai bukti perubahan kognisi inilah terapi kognitif menjadi salah satu gaya terapi yang paling banyak diteliti. Penekanannya pada data yang dapat diobservasi membuat kajian ilmiah relative mudah dilakukan terhadapnya. Oleh sebab itu, gaya terapi ini menjadi yang paling well-documented sebagai terapi yang efektif untuk berbagai problem psikologis.
Para penganjur terapi kognitif mengatakan bahwa gaya
penanganan ini efektif untuk beraneka ragam presenting problems, mulai dari gangguan suasana perasaan dan gangguan kecemasan hingga gangguan kepribadian berat seperti borderline personality disorder (gangguan kepribadian ambang). Menurut pengalaman penulis, kehidupan di ruang terapi tidak sederhana. Terapi kognitif adalah modalitas-modalitas penanganan yang sempurna, dan memiliki banyak persamaan dengan pendekatan metasistem.
Beberapa tahun
terakhir ini, terapi kognitif seperti system-sistem terapi lainnya, tetapi beralih ke posisi yang terintegrasi dan menemukan pijakan yang memiliki banyak persamaan dengan modalitas-modalitas psikoterapeutik yang lebih tradisional.
Pendekatan-
pendekatan kognitif dapat bekerja dengan baik pada orang-orang yang merasa nyaman dengan gaya logika matematis. Orang-orang semacam ini menganggap pekerjaan menganalisis pola-pola berpikir yang disfungsional itu menyenangkan dan natural. Banyak orang lain yang tidak begitu tertarik juga bisa belajar mengerjakan pekerjaan semacam ini. Tetapi, menurut pengalaman penulis, dibutuhkan sedikit kesabaran dan persistensi di pihak terapis untuk mengajarkan keterampilanketerampilan yang dibutuhkan. c.
Keterampilan Terapi Perilaku.
Teori perilaku berakar pada eksperimen
laboratorik tentang belajar yang dipublikasikan pertama kalinya oleh Ivan Pavlov pada 1903.
Kebanyakan orang tahu bahwa Pavlov, seorang fisiolog Rusia,
mengamati bahwa ketika seekor anjing diberi makan, sebuah bel bordering, maka anjing itu akan mengeluarkan air liur hanya dengan mendengar bunyi bel meskipun tidak ada makanan yang disodorkan kepadanya.
Tetapi fakta ini, tidak sekadar
menarik minat kaum akademik atau sejarawan. Penerapan observasi yang sangat sederhana itu masih terus mempengaruhi semua kejadian di dunia sekitar kita. Dari awal yang sederhana ini berkembanglah teori classical conditioning dan operant conditioning (yang menjadi dasar bagi banyak terapi perilaku), teori belajar social dan tentunya terapi kognitif behavioral. Teori-teori ini pada gilirannya membentuk pendekatan modern kita dibidang pendidikan, bisnis dan bahkan periklanan. Seperti terapi kognitif, terapi perilaku sangat direktif.
Orang-orang yang merasa tidak
nyaman untuk tunduk pada keahlian dan pengarahan terapis perilaku mungkin akan keluar dari terapi atau tidak berhasil menyelesaikan tugas-tugasnya. Artinya, terapi perilaku telah memperlihatkan efektifitasnya pada berbagai macam presenting problems dan berbagai tipe klien.
Biasanya terapis perilaku masih akan
menerapkan keterampilan-keterampilan yang sama seperti menciptakan aliansi terapeutik, menunjukkan empati dan menerapkan keterampilan komunikasi yang baik (termasuk keterampilan mengatasi problem). perilaku sangat terus terang dan sederhana.
Secara konseptual, terapi Bagian paling sulit didalam
penggunaan terapi perilaku bagi konselor pemula adalah mendengarkan dengan cukup cermat agar dapat mendifinisikan secara akurat stimuli yang tepat penguatan apa yang akan diterapkan untuk membantu menghilangkan respons lama dan mengkondisikan respons baru.
d.
Keterampilan Depth-Counseling.
Para pendiri psikoterapi menerapkan
teknik-teknik depth-oriented pada klien-klien dengan semua jenis gangguan. Harry Stack Sullivan (1964), misalnya memfokuskan banyak pekerjaannya pada orangorang dengan skozofrenia.
Freud mendokumentasikan pekerjaannya dengan
beragam klien, seperti halnya Adler dan Jung. Kohut, seorang terapis relasi-obyek terkemuka menangani klien-klien yang “narcisstically disturbed” (mengalami gangguan narsistik).
Menurut pengalaman penulis tidak sesederhana itu, Depth
Psychotherapy di pekerjaan riil bagi klien dan terapis, apapun permasalahan klien ia harus sungguh-sungguh termotivasi ke arah perubahan untuk melaksanakan pekerjaan yang sangat emosional.
Para klien depth therapy paling tidak juga
membutuhkan kecerdasan dan kemampuan berpikir, abstrak dengan tingkat ratarata. Orang-orang yang untuk alasan apapun tidak mampu atau tidak mau berpikir secara abstrak akan mengalami kesulitan dengan berbagai macam metode proyektif
dan/atau imajinatif didalam depth therapy. Alasan untuk peringatan ini nanti akan menjadi lebih jelas lagi dengan semakin
bertambahnya penjelasan
yang
dikemukakan. Terakhir, berbagai kode etik mengharuskan klien untuk memahami implikasi keputusan mereka tentang terapi, dan itu termasuk implikasi keputusan mereka tentang therapy, paling tidak seperti yang selama ini dipraktikkan secara tradisional, tidak murah.
Klien akan perlu merasa nyaman dengan kewajiban
financial yang mungkin timbul dengan memulai perjalanan terapi yang mungkin berlangsung setahun atau lebih. Bahkan jika depth therapy itu dipraktikkan dalam bentuk terapi pendek, klien masih perlu menyadari tentang ongkos emosionalnya. Depth therapy bukan untuk mereka yang lemah hati.
BAB IV KETERAMPILAN-KETERAMPILAN KONSELING INTERPERSONAL
Beberapa hal yang menjadi bahasan dalam bab keterampilan-keterampilan konseling interpersonal adalah sebagai berikut :
a.
Pendekatan Psikoedukasional. Pendekatan psikoedukasional yang memiliki
banyak daya tarik, sebagian besar telah diverifikasi secara empiric. Semuanya mudah dipelajari dan diterapkan (meskipun banyak yang membutuhkan latihan khusus dan/atau sertifikasi).
Yang bahkan lebih baik lagi, sementara terapi
tradisional biasanya hanya bisa menangani klien satu persatu (meskipun klien bisa berarti individu tunggal atau sebuah pasangan atau keluarga), banyak pendekatan psikoedukasional yang bekerja dengan baik untuk kelompok yang terdiri atas enam atau delapan klien, atau lebih.
Ini benar-benar sebuah skala yang efisien.
Disamping semua keunggulannya, pendekatan ini juga memiliki keterbatasan. Sebagian klien benar-benar tidak mau berpartisipasi didalam kelompok. Munculnya self-self chat rooms di internet membuat pertemuan kelompok semakin kurang menarik.
Sebagian klien tidak mau atau tidak mampu mengerjakan pekerjaan
intelektual yang diharuskan oleh semua pendekatan psikoedukasional. Dan tentu saja, tidak semua klien cocok untuk program tertentu akan membutuhkan fleksibilitas dan adaptasi. Bagaimanapun, bagi banyak konselor, manfaatnya tetap lebih banyak dibanding keterbatasannya.
b.
Get Them on Their Feet.
Pendekatan lainnya adalah paradigma
metasistem, dimana sebagai sebuah pendekatan holistik, paradigm metasistem memanfaatkan secara ekstensif semua teknik kinestetik ini. Semuanya melibatkan beberapa indera, dan semuanya memungkinkan klien untuk mengases secara langsung data emosional dari pengalaman sekarang. Pengalaman multi-sensorik itu sangat memfasilitasi insight, dan membuat pengonsolidasian perilaku baru menjadi tidak begitu menantang.
Bagian pengalaman mana yang paling penting bagi
masing-masing individu tidak relevan di sini. Konselor memberikan smogrgasbord (sajian beragam) input sensorik yang kaya dengan menerapkan teknik-teknik kinestetik. Ini membebaskan klien untk mengorganisasikan pengalaman degan cara yang paling membantu. c.
Mendiagramkan Interaksi.
Diagram yang disebut blueprint (cetakbiru)
membantu arsitek untuk memahami ide-ide seseorang klien tentang sebuah bangunan. Diagram-diagram yang disebut genogram, struktur gram, atau ecomaps membantu konselor dan terapis untuk memahami ide-ide klien tentang realitas. Keunggulan terbesar diagram adalah bahwa ia menyatukan banyak data dan kesan menjadi sebuah keseluruhan yang koheren dan dapat dipahami. Genogram disukai para terapis yang menekankan pada pengaruh multigenerasional didalam pekerjaan mereka bersama klien. Genogram unggul untuk melacak perkembangan sebuah keyakinan atau pola perilaku lintas generasi. Mereka mengungkapkan tema atau moto keluarga dengan mengungkapkan pola-pola berulang.
Struktur gram dan
ecomap lebih difokuskan pada here and now. Mereka bersifat snap shot dalam hal waktu, dan seperti foto tidak menunjukkan apapun yang terjadi sebelumnya dan hanya petunjuk tentang apa yang mungkin akan terjadi di masa mendatang. Diagram ini idealnya cocok untuk terapis dan konselor yang orientasinya juga terbatas pada here and now. Tetapi mereka juga dapat digunakan secara efektif oleh terapis dan konselor, seperti konselor Schmooze, yang bekerja dengan pendekatan terapi yang lebih holistic atau developmental.