Prosiding Seminar Nasional Pendidikan MIPA

88 downloads 84053 Views 13MB Size Report
Selain itu, rasa terima kasih juga kami sampaikan kepada semua pihak yang .... Analisis Kemampuan Representasi Matematika Siswa Bentuk Visual pada Materi Bangun ... LKM-Bahasa Inggris Kimia Berbasis Pembelajaran Aktif . ... Pengembangan Multimedia Pembelajaran dan LKS untuk Materi Laju Reaksi di Kelas XI.
ISBN 978-602-19877-2-8

PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MIPA 2014

Padang, 1 November 2014 Tema : Implementasi Pendekatan Saintifik Dalam Pembelajaran MIPA Keynote Speaker : Prof. Dr. Lufri, M.S. Dr. Diana Chintaniawati, M.Ed.

Penyelenggara : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Padang

SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MIPA TAHUN 2014

IMPLEMENTASI PENDEKATAN SAINTIFIK DALAM PEMBELAJARAN MIPA

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Editor Prof. Dr. Lufri, MS Drs. Amali Putra, M.Pd Dr. Mawardi, M.Si Yohandri, M.Si, Ph.D Drs. Iswendi, M.Si Dra. Nonong Amalita, M.Si Suherman, S.Pd, M.Si Rahmadhani Fitri, M.Pd

Diterbitkan oleh Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UNIVERSITAS NEGERI PADANG Padang, 25 November 2014

Alamat : Gedung Dekanat FMIPA UNP Jl. Dr. Hamka Air Tawar Padang Sumatera Barat

Prosiding

Seminar Nasional Pendidikan MIPA Tahun 2014

IMPLEMENTASI PENDEKATAN SAINTIFIK DALAM PEMBELAJARAN MIPA

Diterbitkan oleh Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UNIVERSITAS NEGERI PADANG Padang, 25 November 2014

Alamat : Gedung Dekanat FMIPA UNP Jl. Dr. Hamka Air Tawar Padang Sumatera Barat ISBN : 978-602-19877-2-8

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan pada Allah atas hidayah dan kuasa-Nya penyusunan prosiding Seminar Nasional Pendidikan MIPA Tahun 2014 ini dapat diselesaikan. Selain itu, rasa terima kasih juga kami sampaikan kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyusunan prosiding ini. Dengan tema seminar ”Pendekatan Saintifik Dalam Pembelajaran MIPA” kami berharap kegiatan yang telah dilaksanakan ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh peserta seminar. Prosiding ini disusun untuk mendokumentasikan makalah dari keynote speaker, makalah pendamping dan makalah seluruh peserta yang telah berpartisipasi dalam kegiatan seminar ini. Secara umum prosiding ini terdiri atas beberapa bagian yang mencakup makalah dari keynote speaker yang disampaikan oleh Dr. Rochintaniawatiwati, M.Ed, dan Prof, Dr. Lufri M.S, makalah pendamping perwakilan tiap bidang dan makalah paralel dari seluruh peserta. Sesuai dengan judul seminar ini, maka secara garis besar isi makalah dalam prosiding ini dapat dikelompokan atas sembilan bidang yaitu: Kimia, Pendidikan Kimia, Matematika, Pendidikan Matematika, Fisika, Pendidikan Fisika, Biologi, Pendidikan Biologi, dan Pendidikan IPA. Makalah dalam prosiding ini ditulis oleh berbagai instansi dan kalangan seperti dosen, guru, peneliti, praktisi, dan pemerhati pendidikan MIPA yang berasal dari berbagai provinsi di Indonesia. Atas nama panitia kami menyadari bahwa penyusunan prosding ini tentu tidak terlepas dari beberapa kesalahan dan kekeliruan. Untuk itu, saran dan masukan dari semua pihak sangat diharapkan untuk melakukan perbaikan kedepan. Akhir kata, kami berharap semoga prosiding ini dapat memberikan sumbangan yang signifikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan penyebaran ilmu pengetahuan.

Padang, November 2014 Panitia Pelaksana

i

SAMBUTAN KETUA PANITIA

Assalamu'alaikum Wr. Wb. Alhamdulillahi rabbil'alamin, segala puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa, atas segala limpahan karunia-Nya kepada kita sehingga kita dapat bertemu, berbagi pengetahuan dan pengalaman serta berdiskusi dalam kegiatan Seminar Nasional Pendidikan MIPA Tahun 2014 di FMIPA Universitas Negeri Padang. Sebagaimana diketahui mulai Tahun Pelajaran Juli 2013/2014 Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah memberlakukan Kurikulum 2013. Proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta untuk semua mata pelajaran. FMIPA UNP sebagai penghasil lulusan tenaga pendidik tentu harus ikut aktif mensukseskan Kurikulum 2013. Sehubungan dengan hal tersebut dan dalam rangka memeriahkan Dies Natalis Universitas Negeri Padang ke-60, serta mensukseskan penerapan Kurikulum 2013, Fakultas MIPA UNP menyelenggarakan Seminar Nasional dan Temu Alumni 2014 dengan tema Implementasi Pendekatan Saintifik Dalam Pembelajaran MIPA. Seminar ini diikuti dengan rangkaian temu alumni dan mubes untuk menjalin silatur rahmi, restrukturisasi organisasi dan menerima masukan dari tenaga pendidik dan alumni lainnya yang telah terjun di lapangan. Panitia seminar mengundang tiga pembicara utama, yaitu Dr. Rochintaniawatiwati, M.Ed, Prof, Dr. Lufri M.S dan Drs. Syamsurizal, M.M. Atas nama panitia, kami menghaturkan terima kasih kepada beliau bertiga atas kesediannya menjadi pembicara utama. Seminar nasional kali ini diikuti oleh kalangan dosen, guru, peneliti, praktisi, dan pemerhati pendidikan MIPA yang berasal dari berbagai provinsi di Indonesia. Disamping makalah utama, terdapat juga makalah-makalah yang disajikan pada sesi paralel yang terbagi menjadi sembilan bidang keahlian, yakni: Kimia, Pendidikan Kimia, Matematika, Pendidikan Matematika, Fisika, Pendidikan Fisika, Biologi, Pendidikan Biologi, dan Pendidikan IPA. Pada kesempatan ini, panitia menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Rektor Universitas Negeri Padang Prof. Dr. Phil. Yanuar Kiram dan Dekan FMIPA UNP, Prof, Dr. Lufri M.S atas dukungan dan fasilitas yang disediakan. Selain itu, rasa terima kasih kami sampaikan kepada seluruh anggota panitia serta para mahasiswa yang telah bekerja keras secara ikhlas demi kelancaraan pelaksanaan seminar dan temu alumni ini. Atas nama panitia, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya bilamana dalam melayani masih terdapat halii

hal yang kurang berkenan, baik pada waktu pendaftaran, pelaksanaan, maupun pelayanan pasca seminar. Akhir kata, kami berharap semoga seminar ini memberikan sumbangan yang signifikan bagi kemajuan bangsa Indonesia, terutama dalam memajukan bidang pendidikan MIPA. Selamat berseminar! Wassalamu'alaikum Wr. Wb. Ketua,

Dr. Mawardi, M.Si.

iii

SAMBUTAN DEKAN FMIPA UNIVERSITAS NEGERI PADANG

Puji dan syukur kita tujukan kepada Allah SWT, yang telah memberi kesempatan pada kita untuk hadir pada kegiatan seminar nasional pendidikan MIPA kali ini dengan tema "Implementasi Pendekatan Saintifik Dalam Pembelajaran MIPA". Kita berdoa semoga kegiatan seminar ini bermanfaat buat kita semua dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Shalawat dan salam tak lupa kita titipkan buat junjungan kita Nabi Muhammad S.A.W, semoga kita termasuk pengikut beliau dan mendapat syafaat di akhirat kelak. Mulai tahun ajaran 2013/2014 pemerintah memberlakukan kurikulum baru di sekolah yang disebut Kurikulum 2013 yang dilandasi oleh pemikiran tantangan masa depan, yaitu tantangan abad ke 21 yang ditandai dongan abad ilmu pengetahuan, knowlwdge-based society, dan kompetensi masa depan. Untuk menghadapi tantangan tersebut Kurikulum 2013 mengamanahkan penggunaan pendekatan saintifik dan kontekstual serta melakukan penilaian otentik dalam proses pembelajaran. Kurikulum 2013 dapat diimplementasikan dengan baik, jika ditangani oleh guru yang profesional. Sehubungan dengan hal tersebut Fakultas MIPA Universitas Negeri Padang menyelenggarakan Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014 dengan tema: Implementasi pendekatan saintifik dalam pembelajaran MIPA. Kegiatan ini bertujuan : 1) Memfasilitasi pertukaran pengalaman yang diperoleh tenaga pendidik, mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi dalam mengimplementasikan pendekatan saintifik dalam pembelajaran MIPA; 2) Sebagai sarana interaksi akademik dan ilmiah antar unsur komunitas tenaga pendidik dan praktisi pendidikan di Indonesia dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan, dan 3) Meningkatkan komitmen berbagai pihak untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013 dengan pembinaan keprofesionalan guru melalui implementasi pendekatan saintifik dalam pemebalajaran. Peserta yang hadir dalam kegiatan seminar ini terdiri dari mahasiswa, guru, dosen praktisi, dan pemerhati pendidikan. Adapun bentuk program kegiatan

iv

seminar nasional ini terdiri dari sesi pleno oleh pembicara utama, dan sesi presentasi oral secara paralel sesuai topik oleh pemakalah pendamping. Demikianlah yang dapat saya sampaikan pada acara pembukaan ini, jika ada salah dan janggal mohon dimaafkan, dengan ucapan, selamat berseminar, semoga bermanfaat, dan selamat kembali sampai di tempat masing-masing, Wabillahi taufik walhidahyah Assalamualaikum W.W.

Dekan FMIPA UNP

Prof. Dr. Lufri, M.S.

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. i SAMBUTAN KETUA PANITIA SEMINAR ........................................................................... ii SAMBUTAN DEKAN FMIPA UNP ......................................................................................... iv DAFTAR ISI ............................................................................................................................... vi MAKALAH UNDANGAN DIANA ROCHINTANIAWATI Pembelajaran IPA dengan Menggunakan Pendekatan Saintifik Dalam Kurikulum 2013 ............. 1 LUFRI Sains dan Pembelajarannya ........................................................................................................... 8

KELOMPOK PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN MATEMATIKA ARNELLIS Implementasi Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran Matematika untuk Pembentukan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa SMA ..................................................... 23 DONA AFRIYANI, WIRI DESMITASARI Pengembangan Bahan Ajar Geometri Untuk Meningkatkan Kemampuan Persepsi Ruang Siswa SMP ..................................................................................................................................... 28 ELITA ZUSTI JAMAAN Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Sekolah Dasar dalam Pembelajaran Matematika .................................................................................................................................... 33 HANIFAH Kepraktisan Model Pembelajaran Kalkulus II Berdasarkan Teori APOS (MPK-APOS): Studi Kasus pada Uji Coba MPK-APOS di Jurusan Matematika FMIPA UNIB ......................... 39 ISRA NURMAI YENTI1, DINI ALINDRA Hasil Perancangan Lembar Kerja Siswa (LKS) Himpunan Berbasis Pendekatan Kontekstual Dengan Variasi Mind Mapping Untuk Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa Kelas VII ............................................................................................................................... 45 MUKHNI Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran Matematika ................................................................ 51 NOLA NARI, YOSSI ANDRIYANI Analisis Pembentukan Konsep Matematika Menurut Teori Bruner Pada Materi Bangun Datar Segi Empat Kelas VII di SMP N 1 Pariangan ................................................................................... 59

vi

RATHI SUNDARI, ISRA NURMAI YENTI Analisis Kemampuan Representasi Matematika Siswa Bentuk Visual pada Materi Bangun Datar .............................................................................................................................................. 65 YUSMET RIZAL Algoritma Bialas untuk Menentukan Polinomial Minimal Matriks Atas Fields ........................... 72 HERU MAULANA, KUNTJORO ADJI SIDARTO Penentuan Nilai Opsi Saham Karyawan (OSK) dengan Memperhitungkan Efek Dilusi .............. 79

KELOMPOK PENDIDIKAN KIMIA DAN KIMIA ANDROMEDA, BAYHARTI, RAUDHATUL JANNAH Modul Wujud Zat dan Perubahan Materi Berbasis Konstruktivisme untuk Pembelajaran Kimia dI SMP ................................................................................................................................ 89 ASMADI MUHAMMAD NOER Peningkatkan Reading Literacy (Kompetensi) Mahasiswa Prodi Kimia-FKIP-UR Melalui LKM-Bahasa Inggris Kimia Berbasis Pembelajaran Aktif ........................................................... 94 BAYHARTI, HARDELI, DILLA NOVITA Komik Berwarna sebagai Media Pembelajaran Alternatif pada Materi Kimia dalam Kehidupan Sehari-hari untuk SMA Kelas X ................................................................................. 101 EKA YUSMAITA, AHMAD MUDZAKIR, HERNANI Construction of High School Green Chemistry Teaching Materials with Green Batteries Based on Content Structure ........................................................................................................... 109 ELVINAWATI, RETNO ASTUTY WULANDARI DAN SUMPONO Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI (Team Assited Individualization) dengan Metode Demonstrasi untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Kimia Siswa Kelas XI IPA di SMA Negeri 9 Kota Bengkulu ........................................................................... 113 FAUZANA GAZALI, HARDELI, LATISMA DJ Pengembangan Multimedia Pembelajaran dan LKS untuk Materi Laju Reaksi di Kelas XI IPA SMA ....................................................................................................................................... 119 IRYANI, MAWARDI, ANDROMEDA Pengaruh Penggunaan LKS Berbasis Inkuiri Terbimbing terhadap Hasil Belajar Siswa untuk Materi Koloid Kelas XI SMAN 1 Batusangkar .................................................................. 125 ISWENDI, BAYHARTI, YELI GUSTAMI, YENI ARTATI Pembuatan Permainan Ular Tangga Kimia Sebagai Media Pembelajaran Pada Materi Kimia untuk SMP ..................................................................................................................................... 132 USMAN BAKAR Model Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan dan Implementasinya dalam Pembelajaran Kimia ............................................................................................................ 138

vii

INDANG DEWATA, EDI NASRA Studi Coprecipitation Logam-logam Berat dalam Sampel Perairan Menggunakan Al(OH)3 sebagai Coprecipitant .................................................................................................................... 148 MAYA SARI Analisa Kualitatif Boraks dalam Sampel Bakso di Kota Batusangkar .......................................... 153 RINDANG KEMBAR SARI Penentuan Konsentrasi Unsur Pembangun Sensor Piezoelektrik Menggunakan Metoda XRay Fluorescence (XRF) dan Energy Dispersive X-Ray Microanalysis (EDAX) ........................ 157 SRI BENTI ETIKA Isolasi dan Karakterisasi Suatu Senyawa Flavonoid dari Daun Petai Cina (Leuceana glauca Benth) ............................................................................................................................................ 163 ZUL AFKAR Pengaruh Waktu Pengambilan Sampel terhadap Penentuan Kadar COD dan TSS dalam Air Sungai Batang Gadang Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang ............................................... 167

KELOMPOK PENDIDIKAN FISIKA DAN FISIKA AMALI PUTRA Implementasi Pendekatan Saintifik dalam Pelajaran Fisika .......................................................... 173 DEDI HAMDANI, DIO ARU PRASETYA, CONNIE Penerapan Model Problem Based Learning (PBL) dengan Metode Eksperimen untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar FIsika Siswa Kelas VIII.A SMPN 12 Kota Bengkulu ....................................................................................................................................... 185 DJUSMAINI DJAMAS, SYAKBANIAH, WINDA ANGGRAINI Implementasi Model Pemecahan Masalah Fisika Bernuansa Saintifik untuk Meningkatkan Karakter Berpikir Kritis Siswa SMAN 3 Padang .......................................................................... 190 HAMDI AHMAD FAUZI DAN WIDYA Pengintegrasian Energi Terbarukan Ke Dalam Perangkat Pembelajaran Fisika Berkarakter Hemat Energi-Model CPS Dengan Pendekatan Open-Ended Menggunakan Analisis Dokumen ........ 199 IRWAN KOTO Eksplorasi Pemahaman Konseptual Mahasiswa dan Guru Fisika tentang Gaya dengan The Force Concept Inventory Versi Bahasa Indonesia ........................................................................ 205 NOVIA LIZELWATI Penerapan Model Pembelajaran Research Based Learning (RBL) untuk Mengembangkan Keterampilan Kerja Ilmiah Mahasiswa pada Mata Kuliah Laboratorium Fisika Sekolah ............ 212 RAHMI ZULVA, DADI RUSDIANA, IDA KANIAWATI Pembelajaran Kooperatif dengan Pemberian Constructive Feedback untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Rasional Siswa SMA ................................................................................ 218 SILVI YULIA SARI, HAMDI, FESTIYED Pengembangan LKS Fisika Berbahasa Inggris Berbasis Konstruktivis pada Materi Hukum Newton .......................................................................................................................................... 222

viii

SRI INDRAWATI PRIHATIN NINGSIH Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar Dalam Pembelajaran Fisika Melalui Model Problem Based Instruction (PBI) Disertai Penggunaan LKS Kontektual Pada Kelas XI IPA4 SMAN 7 Padang .......................................................................................................................... 229 SRI MAIYENA Pengembangan Media Film Dokumenter untuk Materi Perubahan Wujud Kelas V SD .............. 236 SURYATI Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berbasis Pendekatan Inkuiri Terbimbing yang Diiringi dengan Teka-Teki Silang pada Materi Alat-alat Optik di Kelas VIII SMP ..................... 241 SYAKBANIAH, DJUSMAINI DJAMAS, FIDDIYAHTUL AINI Integrasi Solution Path Outline (SPO) dalam Problem Based Learning (PBL) untuk Meningkatkan Keterampilan Berfikir Kritis Siswa Kelas X SMAN 12 Padang ........................... 249 YULKIFLI Optimalisasi Peran dan Fungsi Penasehat Akademik Mahasiswa Berbasis Nilai-nilai Karakter Menuju Pembimbingan Akademik Bermutu dan Berkarakter (PAB) ........................... 257 YOHANDRI, MAISA FITRI, YOHANNA DASRIYANI Pengembangan Set Eksperimen Fisika Berbasis Mikrokontroler dan Antar Muka Personal Komputer ....................................................................................................................................... 264

KELOMPOK PENDIDIKAN BIOLOGI DAN BIOLOGI BONY IRAWAN, SUROSO ADI YUDIANTO, TAUFIK RAHMAN Analysis of Character Building Content on Science Textbook of The 2013 Curriculum And Classroom Implementation Performances ..................................................................................... 270 DEWI ANGGEREKNI, ABDUL RAZAK, ULFA SYUKUR Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar Biologi Siswa Melalui Model Cooperative Learning Tipe STAD Disertai Bahan Ajar dari Internet di Kelas X AHP SMK Negeri 2 Lubuk Basung ................................................................................................................................ 274 HASFIANORA Pembelajaran Biologi di Kelas X SMK 1 Koto Baru Kabupaten Dharmasraya ........................... 283 HEFFI ALBERIDA Implementasi Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran IPA melalui Problem Solving ............. 289 HELENDRA Keunggulan dan Kelemahan Pembedahan Virtual (Virtual Dissection) Sebagai Alternatif Pengganti Pembedahan Hewan Asli (Physical Dissection) dalam Pembelajaran Biologi ............ 296 MIMIN MARDHIAH ZURAL, YUNI AHDA, ZULYUSRI Pengembangan Multimedia Pembelajaran Interaktif Berorientasi Metode Drill pada Materi Pola-pola Hereditas ....................................................................................................................... 305

ix

MUHAMMAD DARWIS Penerapan Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir (SPPKB) Dalam Meningkatkan Kreativitas Belajar Biologi Siswa di SMA Muhammadiyah 11 Padangsidimpuan ..... 314 SALVINA, LUFRI, ZULYUSRI Penggunaan Pendekatan Kontekstual Berbasis Lesson Study pada Pembelajaran Biologi untuk Meningkatkan Aktivitas Siswa di Kelas VIII.3 MTsN Lubuk Buaya Padang .................... 326 ZULYUSRI, SUDIRMAN, MUTIA RAHMI Pengembangan Booklet tentang Materi Pokok Sistem Ekskresi untuk Siswa Kelas XI Sekolah Menengah Atas ................................................................................................................ 332 ANIZAM ZEIN, AZWIR ANHAR, ELI MARNI Pengaruh Pupuk Bokhasi Jerami Lamtoro terhadap Pertumbuhan dan Mutu Wortel (Duacus carotta L.) ...................................................................................................................................... 339 BUDI UNTARI, SYAFRIYANI Ekstrak Daun Gelam Putih (Melaleuca leucadendron) sebagai Bioinsektisida terhadap Lalat Rumah (Musca domestica L.) .............................................................................................. 345 DES M., NURSYAHRA, DEVIFEBRIANI Komposisi Alga Epilitik di Batang Sumpur Kecamatan Sumpur Kudus Kabupaten Sijunjung ....................................................................................................................................... 350 DEZI HANDAYANI Respon Tanaman Jagung terhadap Inokulasi Cendawan Pelarut Fosfat ....................................... 356 RAHMADHANI FITRI Studi Morfologi Organ Vegetatif Ageratum conyzoides Linn. ..................................................... 362 RAMADHAN SUMARMIN, RINA WIDIANA Uji Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata Nees.) terhadap Kualitas Spermatozoa Mencit (Mus musculus L. Swiss Webster) .................................................................................... 367 VAUZIA Regenerasi Tumbuhan Pasca Kebakaran Hutan ................................................................................ 372 YUNI AHDA Potensi Mesenchymal Stem Cell Sebagai Terapi .............................................................................. 379

x

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

PEMBELAJARAN IPA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN SAINTIFIK DALAM KURIKULUM 2013

Diana Rochintaniawati International Program on Science Education FPMIPA – UPI [email protected]

ABSTRAK Perubahan kurikulum menuntut adalanya perupahan dalam proses pembelajaran. Kurikulum 2013 merupakan perubahan dari kurikulum sebelumnya yang menuntut adalanya pembaharuan dalam melangsungkan pembelajaran yaitu dengan menggunakan pendekatan saintifik. Pendekatan saintifik dalam kurikulum 2013 terdiri dari aktifitas mengobservasi, mengamati, melakukan percobaan, mengasosiasikan dan mengkomunikasikan. Makalah ini menyajikan lima tahapan langkah dalam pembelajaran saintifik dan bagaimana kelima tahapan tersebut memiliki arti yang berbeda dalam beberapa hal dengan keterampilan proses sains sebagai pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran sains. Kata Kunci: pembelajaran IPA, Pendekatan saintifik.

eksplisit atau implisit untuk memfasilitasi pembelajaran dan pengalaman siswa. Interaksi tersebut, terjadi antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa, siswa dengan materi pelajaran, siswa dengan alat bantu dan media pembelajaran yang digunakan.

A. Pendahuluan Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan Nasional. Beberapa ahli kuriklum, mempersepsikan kurikulum secara berbeda namun memiliki makna yang sama. Tyler (1934) dan Taba (1962) mempersepsikan kurikulum sebagai rencana program pengajaran atau rancangan pembelajaran di kelas. Kurikulum diartikan pula sebagai pengalaman atau kegiatan belajar siswa dibawah arahan program yang dikembangkan oleh sekolah (Parkay et al., 2006). Zais (1934) memaknai kurikulum sebagai daftar atau kumpulan mata pelajaran yang akan dipelajari oleh siswa. Sedangkan Miller & Seller (1985) mempersepsikan kurikulum sebagai seperangkat interaksi yang didesain baik secara

Oliva (1992) menyatakan “curriculum is a product of its time, curriculum respons to and its changed by social forces, philosophical positions, phychological principles, accumulating knowledge and educational leadership at its moment history”. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa perubahan kurikulum dilakukan atas dasar beberapa pertimbangan, diantaranya adalah: kemutakhiran konten dan strategi pembelajaran, perubahan gejolak social, perubahan landasan filosofis, perkembangan peserta didik serta perubahan kepemmpinan. Atas dasar beberapa faktor tersebut, kurikulum Indonesia telah mengalami beberapa kali 1

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

perubahan. Perubahan kurikulum yang terbaru dilakukan pada tahun 2013 dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi kurikulum 2013. Kurikulum 2013 disiapkan untuk mencetak generasi masa depan yang mampu bersaing dengan negara negara lain. Alasan perlunya peningkatan kompetensi berkomunikasi, berfikir kreatif dan kritis serta memiliki karakter yang baik yang diperlukan untuk menghadapai tantangan yang lebih berat di masa depan, merupakan alasan landasan perlunya pembenahan kurikulum di Indonesia. Kurikulum 2013 memiliki arah yang jelas untuk meningkatkan kompetensi yang seimbang antara sikap (attitude), keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge). Pengaturan tujuan, isi dan bahan pelajaran dalam kurikulum 2013 diatur oleh pemerintah dalam Permendikbud No. 54, 64, 65 dan 66 Tahun 2013. Sedangkan proses pembelajaran diatur dalam Permendikbud No. 81 A lampiran empat Tahun 2013. Dalam Permendikbud No. 81 A lapmpiran empat tentang pedoman umum pembelajaran, ditetapkan bahwa semua bidang studi wajib merepkan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan saintifik. Moh Nuh sebagai Menteri Pendidikan menyatakan bahwa pendekatan saintifik yang digunakan dalam Kurikulum 2013 akan menumbuhkan kreativitas dan merupakan titian emas dalam mengembangkan sikap, keterampilan dan pengetahuan peserta didik (Kemendikbud, 2012).

B. Pendekatan Saintifik Dalam Pembelajaran IPA Dimensi yang dikembangkan dalam Kurikulum 2013 mengacu pada Undang-undang No 20 Tahun 2003, yang mencakup rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta proses pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran diatur oleh Permendikbud No. 54, 64, 65 dan 66 Tahun 2013, sedangkan proses pembelajaran ditur dalam Permendikbud No. 81 A lampiran empat Tahun 2013. Isi dari Permendikbud No. 81 A lampiran empat Tahun 2013 menetapkan bahwa semua bidang studi diwajibkan untuk menerapkan pembelajaran melalui pendekatan saintifik yang mencakup lima kegiatan utama, yaitu mengamati, menanya, mencoba mengasosiasikan/mengolah informasi dan menkomunikasikan. Proses pembelajaran melalui pendekatan saintifik yang tercantum dalam lampiran 4 Permendikbud Tahun 2013 terdiri dari lima pengalaman belajar, yaitu: (1) Mengamati, (b) Menanya, (c) Mengumpulkan informasi atau bereksperimen/moncoba, (d) Mengasosiasi/mengolah informasi dan (e) Mengkomunikasikan. Setiap aspek dari pengalaman belajar di atas memiliki keterkaitan dengan kompetensi yang akan dikembangkan oleh siswa melalui kegiatan belajar yang dilangsungkan. Keterkaitan antara ketiga komponen tersebut digambarkan dalam tabel 1.

Tabel 1. Keterkaitan antara komponen pendekatan saintifik, kegiatan belajar dan Kompetensi Siswa Langkah Mengamati

Menanya

Kegiatan Beajar Membaca, mendengar, menyimak, melihat (tanpa atau dengan alat) a. Mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak difahami dan dari apa yang difahami 2

Kompetensi yang Dikembangkan Melatih kesungguhan, ketelitian, mencari informasi Mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan untukmembentuk pikiran kritis Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Mengumpulkan informasi/eksperimen/mencoba

Mengasosiasikan/mengolah informasi

Mengkomunikasikan

b. Mengajukan pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (mulai dari pertanyaan factual sampai ke pertanyaan hipotetik) a. Melakukan eksperimen b. Membaca sumber lain selain buku teks c. mengumpulkan informasi dari kegiatan mengamati objek/aktivitas/kejadian d. wawancara dengan nara sumber a. Mengolah informasi yang sudah dikumpulkan dari hasil kegiatan eksperimen, mengamati, mengumpulkan informasi b. Mengolah informasi yang dikumpulkan dari yang bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada pengolahan informasi yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan. Menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis atau media lainnya

yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat

Mengembangkan sikap teliti, jujur, sopan, menghargai pendapat orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuanbmengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan belajar dan belajar sepanjang hayat Mengembangkan sikap jujur teliti,disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan prosedur, kemampuan berfikir induktif serta deduktif dalam menyimpulkan.

Mengembangkan sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan berfikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan sigkat dan jelas dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar.

Sumber: Kemendikbud (2013d)

Pendekatan saintifik dalam bidang IPA sebenarnya bukan suatu hal yang baru IPA. Merujuk pada pengertian bahwa IPA merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan digunakan untuk memahami gejala-gejala alam melalui kegiatan pengamatan dan penyelidikan, maka pembelajaran IPA tidak terlepas dari

penggunaan metode ilmiah dan keterampilan proses sains untuk mengungkap fenomena yang ditemukan di alam. Dengan demikian pembelajaran IPA dengan menggunakan langkah 5 M sesuai dengan yang disarankan oleh kurikulum 2013 mendukung hakikat yang terkandung dalam IPA yang dipersepsikan oleh para ilmuwan sebagai: (1) produk yaitu berupa 3

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

fakta, konsep dan hukum; (2) proses, yaitu prosedur pemecahan masalah melalaui metode ilmiah (3) aplikasi, merupakan penerapan terhadapa kehidupan sehari hari serta (4) sikap yang tewujud dari rasa ingin tau tentang objek, fenomena alam, mahluk hidup serta hubungan sebab akibat.

hanya melibatkan indera mata, tetapi melibatkan semua panca indera. Menurut phylosofi konstruktivis, siswa dapat membangun pemahaman konseptual dari apa yang dilih dan dialaminya Pengamatan dan pengalaman secara langsung memungkinkan siswa untuk mengkonstruksikan pemahamannya secara bermakna (Towndrow & Ling, 2008). Dengan kata lain, pembelajaran yang melibatkan indera merupakan proses pembelajaran yang aktif yang melibatkan kefgiatan fisik maupun intelektual di dalam proses pembelajarannya (Piaget, 1968 dalam Towndrow & Ling, 2008). Obervasi dalam pembelajaran sains merupakan hal yang penting, hal ini dinyatakan oleh Ostlund (1998) sebagai berikut:

Keterampilan proses sains merupakan keterampilan yang di,miliki oleh ilmuawan untuk memperoleh danmengembangkan produk sains. Dalam pelaksanaannya, keterampilan proses sains diinterpretasikan oleh para ahli di Indoniseia sebagai keterampilan yang penggunaannya dapat dipisah antara satu keterampilan dengan keterampilan lainnya. Namun sebenarnya keteranpilan proses sains merupakan penggunaan ketrampilanketerampilan yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya seperti yang digambarkan dalam Diagram 1.

“Science begins with observations of objects and events; these observations lead to the asking of questions. Crucial to the method of science is the ability to ask the right question and to make selected observations relevant to that question. Observations are influenced by past experience, often involve instruments (microscopes, telescopes, oscilloscopes, etc.) and require careful recording and description. Surprising or unexpected observations occasionally contribute new an d important knowledge”. Dalam kurikulum 2013 observasi dimasudkan kegiatan yang dapat dilakukan melalui membaca, mendengar, menyimak dan melihat (tanpa atau dengan alat). Dari deskripsi di atas, dapat dikatakan bahwa kegiatan observasi menurut keterampilan proses memiliki perbedaan dengan kegiatan observasi berdasarkan kurikulum 2013. Dalam pembelajaran IPA, pengamatan terhadap objek langsung dengan menggunakan indera lebih ditekankan dibandingkan dengan kegiatan pengamatan yang dilakukan melalui kegiatan membaca, menyimak atau melihat tanpa alat seperti yang disarankan oleh kurikulum 2013.

Diagram 1. Keterampilan Proses Sains Dengan mengacu pada diagram di atas pembelajaran saintifik yang terkandung dalam kurikulum 2013 merupakan bagian dari penggunaan keterampilan proses sains. Selanjutnya, akan dipaparkan apa perbedaan setiap langkah pembelajaran yang terkandung dalam kurikulum 2013 dengan keterampilan proses sains.

2. Menanya (Mengajukan Pertanyaan) Kegiatan menanya di dalam pembelajaran memiliki berbagai fungsi, seperti yang dikatakan oleh Cotton (1998): (1) mengembangkan ketertarikan dan motivasi siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran, (2) untuk mengevaluasi persiapan siswa belajar,

1. Mengamati (Observasi) Kegiatan mengamati merupakan proses dari pengindraan. Mengamati (observasi) tidak 4

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

(3) untuk mengembangkan keterampilan berfikir kirits siswa dan (4) untuk menstmulasi siswa dalam meperoleh pengetahuannya sendiri. Dalam pembelajaran, kegiatan menanya dilakukan juga dilakukan untuk memfokuskan terhadap pengamatan yang sebelumnya telah dilakukan oleh siswa. Pertnyaan baik yang diajukan oleh siswa maupun guru dapat dibedakan berdasarkan jenisnya, yaitu pertanyaan terbuka, pertanyaan tertututp, pertanyaan produktif, pertanyaan non produktif. Sedangkan berdasarkan tingkatan dan dimensinya, pertanyaan dapat dibedakan berdasarkan tingkatan taksonomi berdasarkan Karthwool yang direvisi dari Bloom, yang terdiri dari dimensi factual, konseptuan, procedural danmetakognisi dengan tingkatan taksonomi C1 (mengingat), C2 (memahami), C3 (mengaplikasikan), C4 (menganalisis), C5 (menevaluasi), dan C6 (kreasi). Menanya dalam kurikulum 2013 merupakan kegiatan mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak difahamai dari apa yang tidak difahami serta mengajukan pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari pertanyaan yang bersifat faktual sampai pertanyaan yang bersifat hipotetik). Dari pertnyataan tersebut, maka menanya merupakan rangkaian selanjutnya dari hasil kegiatan observasi. Kegiatan menanya bukanlah suatu hal yang mudah, hasil penelitian terhadap guru pendidikan Dasar memperoleh hasil bahwa guru mengalami kesulitan dalam mengajukan pertanyaan tingkat tinggi. Pertanyaan yang diawalai dengan kalimat Tanya “Apa” merupakan pertnyaan yang banyak diajukan oleh guru (Rochintaniawati, 1999).

melibatkan pengumpulan informasi melalui aktivitas eksperimen, membaca sumber lain selain buku teks, mengamati objek atau kejadian atau aktivitas dan melakukan wawancara dengan nara sumber. Jadi kegiatan eksperimentasi pada kurikulum 2013 tidak selalu harus dilakukan melalui kegiatan percobaan di laboratorium, tetapi dapat dilakukan dengan berbagai aktivitas lain yang bertujuan untuk memperoleh informasi mendalam terhadap apa yang dipelajari oleh siswa. Kegiatan eksperimen tidak hanya melatihkan keterampilan berfikir pada peserta didik, tetapi juga melatihkan keterampilan menggunakan tangan. Dengan bereskperimen, siswa dituntut untuk memanipulasi alat sehingga menjadikan mereka terampil dalam menggunakan tangannya. Banyak sekali guru memiliki anggapan yang salah tentang kegiatan eksperimen dalam pembelajaran IPA. Mereka menganggap bahwa kegiatan eksperimen bertujuan untuk menguatkan konsep yang telah siswa ketahui bukan untuk mengkonstruksikan pengetahuan dan melatihkan keterampilan memanipulasi alat. 4. Mengasosiasikan/Mengolah informasi Mengasosiasikan dalam keterampilan proses sains melibatkan kegiatan interpretasi terhadap hasi pengamatan atau hasil eksplorasi terhadap suatu hal, menghubungkan hasil pengamatan dengan konsep yang relevan, menemukan pola dalam suatu seri pengamatan serta menyimpulkan hasil pengamatan/ eksperimen (Rustaman, 2003). Aktivitas ini tidak jauh berbeda dengan apa yng dituntut oleh Kurikulum 2013 yang menyatakan bahwa kegiatan mengasosiasikan merupakan kegiatan yeng melibatkan pengolahan informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan eksperimen, kegiatan mengamati dan kegiaan mengumpulkan informasi. Kegiatan mengasosiasikan juga dapat dilakukan dengan mengolah infromasi yang telah dikumpulkan dari yang bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada pengolahan informasi yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat berbeda samapi kepada yang bertentangan (Kemendikbud, 2013). Dalam tahap ini, guru perperan untuk meluruskan pengetahuan yang sebelumnya

3. Mencoba (eksperimentasi) Eksperimentasi merupakan serangkaian observasi yang dilakukan di bawah kondisi tertentu. Perbedaan anatara eksperimentasi dan observasi sangatlah sedikit. Eksperimentasi melibatkan observasi yang berinferensi dengan fenomena alam. Eksperimentasi merupakan tanda dari proses sains yang baik, apakah kegiatan eksperimen tersebut dilakukan di awal untuk menemukan fakta atau dilakukan di akhir untuk menguji hipotesis (Oslund, 1998). Kurikulum 2013 menginterpretasi eksperimentasi sebagai kegiatan yang 5

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

sudah dikonstruksi oleh siswa melalui kegiatan sebelumnya. Peran guru dalam tahap ini menjadi lebih penting agar tidak terjadi miskonsepsi terhadap apa yang siswa pelajari.

dekat dengan kehidupan mereka, menuju konsep konsep yang lebih general. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh mahasiswa magister jurusan IPA UPI terhadap pembelajaran di sekolah piloting pada awal implementasi kurikulum 2013, diperoleh bahwa guru belum sepenuhnya dapat mengimplementasikan pendekatan saintifik dalam pembelajarannya. Hasil yang sama diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifqiawati (2014) yang memperoleh hasil bahwa kesiapan guru dalam melangsungkan pembelajaran masih berada dalam kategori cukup. Hasil ini menunjukkan bahwa guru belum sepenuhnya siap melangsungkan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan saintifik. Dari hasil wawancara terungkap bahwa kendala yang dihadapi guru adalah kurangnya pelatihan yang diterima oleh guru tentang pembelajaran dengan menggunakan pendekatan saintifik. Namun sebenarnya, jauh sebelum kurikulum secara eksplisit menuntut digunakannya langkah saintifik dalam pembelajaran, pelatihan guru senantiasa ditujukan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam melangsungkan pembelajaran IPA sebagai proses, yang melibatkan penggunaan langkah ilmiah. Penelitian untuk mengungkapkan belum mampunya guru melangsungkan pembelajaran dengan menggunakan langkah ilmiah sering dilakukan, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Rochintaniawati (1999) dan Widodo (1996). Hasil penelitian menemukan beberapa hal yang menjadi penyebab dari ketidaksiapan guru melangsungkan pembelajaran berdasarkan kaidah IPA, terutara IPA sebagai proses. Diantaranya adalah: (1) Pandangan guru terhadap IPA, yang menganggap bahwa IPA merupakan sekumpulan konsep yang perlu dipelajari siswa, (2) kurangnya skill/kemampuan guru dalam melangsungkan pembelajaran pada ranah IPA sebagai proses serta (3) kemauan guru dalam melangsungkan pembelajaran IPA pada ranah proses, karena

5. Mengkomunikasikan Tahap terakhir dari pembelajaran berbasis pendekatan saintifik adalah menkomunikasikan. Komunikasi yang dimaksud oleh kurikulum 2013 merupakan kegiatan yang meliputi menyampaikan hasil pengamatan, mengambil kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis atau media lainnya. Langkah mengkomunikasikan dalam pembelajaran saintifik berdasarkan kurikulum 2013 dapat disesuaikan dengan tuntutan KI 4 yang merupakan ranah psikomotorik. Komunikasi dapat dilakukan dengan berbagai macam bentuk tertulis, seperti laporan, poster, dan bentuk respresentasi lainnya. Beberapa aktivitas yang berkaitan dengan Komunikasi dalam kepetrampilan proses sains memiliki arti yang berbeda dengan komunikasi yang dimaksud oleh pendekatan saintifik kurikulum 2013. Dalam keterampilan proses sains komunikasi diartikan sebagai mengolah informasi dari suatu bentuk ke dalam bentuk yang lain, seperti mengubah informasi yang tertera dalam tabel ke dalam bentuk narasi. Namun aktivitas lain dari mengkomunikasikan dalam keterampilan proses sains memiliki makna yang sama dengan komunikasi dalam pembelajaran saintifik, diantaranya adalah: menyusun laporan secara sistematis, mendiskjusikan hasil kegiatan mengenai suatu masalah/peristiwa dan menjelaskan hasil percobaan atau penelitian baik secara tertulis maupun lisan. Lampiran permendikbud No. 65 tentang Standar Proses (Kemendikbud, 2013c) menyatakan bahwa untuk memperkuat pembelajaran dengan menggunakan pendekatan saintifik dan pembelajaran tematik, dapat digunakan melalui pembelajaran berbasis inkuiri atau diskoveri, pembelajaran berbasis masalah serta pembelajaran berbasis proyek. Dalam pendekatan pendekatan ini digunakan cara berfikir induktif, dimana siswa belajar mulai dari apa yang mereka amati dan paling

6

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

dianggap terlalu merepotkan, membebani dan tidak sesuai dengan tuntutan UN.

Teaching Science. Proceeding Seminar Internasional ICODEC IPDN Bandung. Ika Rifkiawati. 2014. Analisis Kesiapan Guru SMA Mengimplementasikan Scientific Approach Dalam Pembelajaran Biologi. Thesis Magister Program Pendidikan Biologi UPI. Tidak diterbitkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan . 2013c. Salinan Permendikbud No. 65 tentang standar proses. Kemendikbud: Jakarta. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan . 2013d. Salinan Permendikbud No. 81 A Lampiran Empat Tentang Pedoman Umum Pembelajaran. Kemendikbud: Jakarta. Miller, J. dan Seller, W. (1985). Curriculum: Perspectives and Practice. New York: Longman Nuryani Rustaman. 2003. Strategi Belajar Mengajar Biologi, Commom Text Book Edisi Revisi. Bandung: FPMIPA UPI Oliva, Peter. 1992. Developing The Curriculum 3rd Edition. NewYork: Harper Ostlund Karen. 1998. What the Research Says About Science Process Skills. Electronic journal of science education, volume 2, no 4. Parkay, F.; Anctill, E. dan Hass, G. 2006. Curriculum Planning: A Contemporary Approach. USA: Pearson Education Inc. Taba, Hilda. 196). Curriculum Development: Theory and Practices. New York: Harcourt, Brace and World. Inc. Towndrow Philip Alexander and Ling Tan. 2008. Promoting Inquiry Through Science Reflective Journal Writing. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 4(3), 279-283. Zais, R. (1976). Curriculum: Principles and Foundations. London: Harper & Row Publishers.

C. Kesimpulan Penggunaan pendekatan saintifik dalam pembelajaran IPA terdiri dari lima langkah kegiatan yang meliputi mengamati/mengobservasi, menanya, melakukan eksperimen, mengasosiasikan dan mengkominikasikan. Kelima langkah dalam pembelajaran dalam pendekatan saintifik yang dikemukakan oleh Kemendikbud yang diatur dalam Lampiran 4 Permendikbud No 81. A memiliki perbedaan pada beberapa aspek dengan keterampilan proses sain. Pembelajaran bebasis inkuiri dan diskoveri, pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran berbasis proyek merupakan pembelajaran yang dapat mendukung keterlaksanaan pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik. D. Daftar Pustaka Ari Widodo. 1996. Students' and Teacher's Questioning in Primary Science. Thesis Master, Deakin University Australia. Tidak diterbitkan. Cotton Kathleen. 1998. Classroom Questioning. Tersedia di https://www.learner.org/workshops/socials tudies/pdf/session6/6.ClassroomQuestionin g.pdf . North West Regional Educational Laboratory. Diana Rochintaniawati. 2009. Analisis Kebutuhan Guru Dalam Melangsungkan Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Biologi Assimilasi No. 1, Vol.l. Diana Rochintaniawati. 2012. Needs Analysis of Indonesian Elementary Teachers in Developing Science Curriculum and

7

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

MODEL PEMBELAJARAN SAINS Prof. Dr. Lufri, M.S Jurusan Biologi FMIPA UNP [email protected]

ABSTRAK Kondisi dunia pendidikan sudah banyak berubah, sehingga tuntutan pembelajaran juga harus berubah. Oleh karena itu, paradigma pendidikan dan pembelajaran juga harus berubah sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi serta tuntutan zaman. Beberapa teori dan pemikiran yang menggiring lahirnya paradigma baru pendidikan dan pembelajaran telah muncul seperti: (1) pengetahuan ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan oleh peserta didik, (2) peserta didik membangun pengetahuannya secara aktif, (3) pendidik bertugas mengembangkan kompetensi peserta didik secara holistik, (4) pembelajaran terjadi melalui interaksi antara peserta didik dengan peserta didik dan antara peserta didik dengan guru, serta antara peserta didik dengan lingkungan. Berdasarkan paradigma baru pembelajaran maka muncullah berbagai model pembelajaran yang dikembangkan oleh para ahli dalam bidangnya, yang dikenal dengan pembelajaran aktif (active learning) atau pembelajaran. Pada kurikulum 2013 strategi yang dsarankan adalah pendektan saintifik dengan model pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran diskoveri dan pembelajaran berbasis proyek. Kata kunci: pendekatan saintifik, model pembelajaran, sains, kurikulum 2013.

teacher centered learning, yang cenderung berjalan seperti berikut: (1) memindahkan pengetahuan dari guru ke peserta didik (transfer of knowledge), (2) seperti mengisi botol kosong dengan pengetahuan (seperti mencerek dan mencawan), (3) mengkotak-kotakkan peserta didik, (4) memacu peserta didik dalam berkompetisi. Proses pembelajaran dengan pola teacher centered learning ini dapat diilustrasikan seperti Gambar 1.

A. Pendahuluan Dalam dunia pendidikan, paradigma lama mengenai proses belajar mengajar bersumber pada teori. Kita mengenal teori tabularasa John Locke. Dia mengatakan bahwa pikiran seorang peserta didik mirip seperti kertas kosong yang putih bersih dan siap menerima coretan-coretan gurunya. Berdasarkan teori ini banyak guru melaksanakan proses belajar mengajar menurut pola (paradigma) lama yang dikenal dengan

8

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Belajar = Meneri- ma Pengetahuan

Sering Dinamakan Mengajar

Siswa Pasif

Gambar 1. Ilustrasi Teacher Centered Learning

Kondisi dunia pendidikan sudah banyak berubah, sehingga tuntutan pembelajaran juga berubah. Oleh karena itu, paradigma pendidikan dan pembelajaran juga harus berubah sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi serta tuntutan zaman. Beberapa teori dan pemikiran yang menggiring lahirnya paradigma baru tentang pendidikan dan pembelajaran telah muncul seperti: (1) pengetahuan ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan oleh peserta didik, (2) peserta didik membangun pengetahuannya secara aktif, (3) pendidik bertugas

mengembangkan kompetensi peserta didik secara optimal, (4) pembelajaran terjadi melalui interaksi antara peserta didik dengan peserta didik dan antara peserta didik dengan guru, serta antara peserta didik dengan lingkungan. Berdasarkan paradigma baru pembelajaran maka muncullah berbagai model pembelajaran yang dikembangkan oleh para ahli dalam bidangnya, yang dikenal dengan pembelajaran aktif (active learning) atau pembelajaran berpusat pada siswa (student center), seperti diilustrasikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Ilustrasin pembelajaran berpusat pada siswa (student center ) atau active learning 9

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Sering muncul pertanyaan dari peserta didik yang sedang belajar Strategi Belajar Mengajar tentang perbedaan makna antara pendekatan, metode dan model pembelajaran. Memang tidak banyak literatur membahas perpedaan itu secara tajam, bahkan sering juga istilah itu disilihgantikan penggunaaanya, kadang kala dipakai istilah pendekatan, kadang kala dipakai istilah metode dan kadangkala dipakai pula istilah model pembelajaran. Namun, masih ada juga para ahli membedakannya dari istilah-istilah tersebut, terutama melihat kepada akar kata dari istilah tersebut. Perbedaan pendekatan dan metode sudah dibahas pada Bab Pendekatan dan Metode Pembelajaran. Di sini dicoba menjelaskan makna dari model pembelajaran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994), model berarti pola (contoh, acuan, ragam,dan sebagainya). Di pihak lain, Joyce dan Weil (1992) mengemukakan empat konsep

untuk menggambarkan sebuah model dalam pembelajaran, yaitu: (1) adanya sintaks (syntax) – yang menggambarkan urutan aktivitas atau disebut juga dengan fase-fase, (2) adanya sistem sosial (social system) – yang menggambarkan hubungan dan peran peserta didik dengan guru serta macam-macam norma yang ditetapkan, (3) adanya prinsip-prinsip reaksi (principles of reaction) – yang menggambarkan bagaimana guru memandang atau menghargai peserta didik dan bagaimana guru merespon pekerjaan peserta didik, dan (4) adanya sistem pendukung (support system)– yang merupakan kondisi pendukung yang penting dalam pembelajaran, misalnya dalam bentuk buku teks, film (media), dan sistem pembelajaran itu sendiri. Berikut ini (Gambar 3) merupakan sebuah model pembelajaran yang dikenal dengan Model Investigasi Kelompok (Group Investigation Model).

Group Investigation Model 1. Syntax Phase One: Encounter PuzzlingSituation (planned or unplanned) Phase Two: Explore Reaction to Situation Phase Three: Formulate Study Task and Organize foe Study (problem definition, role assignments, etc) Phase Four: Independent and Group Study Phase Five: Analyze Progress and Process Phese Six: Recyle Activity 2. Social System The system is based on the democratic processand group decisions, with lowexternal structure. Puzzlement must be genuine – it cannot be imposed. Authentic exchanges are essential. Atmosphereis one of reson and negotiation. 3. Principles of Reaction Teacher plays a facilitative role directed at group process (helps learners formulate plan, act, manage group) and requirements of inquiry (consciousness of method). He or she functions as an academic conselor. 4. Support System The environment must be able to respond to a variety of learner demands. Teacher and student must be able to assemble what they need when they need it. Gambar 3. Group Investigation Model (Joyce and Weil, 1992: 52) Sesungguhnya model yang dimaksudkan dalam pembelajaran juga sama atau hampir sama dengan yang dikemukakan dalam KBI dan Joyce dan Weil (1992) tersebut. Secara sederhana Model pembelajaran dapat diartikan

sebagai pola atau contoh pembelajaran yang sudah didesain dengan menggunakan pendekatan atau metode atau strategi pembelajaran yang lain, serta dilengkapi dengan langkah-langkah (sintaks) dan perangkat 10

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

pembelajarannya. Suatu model pembelajaran mungkin terdiri dari satu atau beberapa pendekatan, satu atau beberapa metode, atau perpaduan antara pendekatan dengan metode. Seorang guru atau peneliti bisa saja merancang suatu model pembelajaran baru, atau memodifikasi model yang sudah ada, atau mengulangi model yang sudah ada. Pembelajaran yang dirancang guru haruslah membuat kebermaknaan belajar yang tinggi dengan pengalaman belajar, siswa berbuat melakukan sesuatu yang nyata (doing the real thing), seperti diilustrasikan pada Gambar 4

Reading

20%

Hearing words

30%

Looking at picture

50%

Looking at an exhibition

PASSIVE

10%

Watching video

hard skills tersebut dapat terlihat pada Gambar 5, kompetensi yang holistik (Gambar. 6).

Gambar 5. Keseimbangan antara Sikap, Keterampilan, dan Pengetahuan untuk Membangun Soft Skills dan Hard Skills Verbal reciving Visual reciving

Watching a demonstration Seeing it done on location

Participating in a discussion Giving a talk Doing a Dramatic Presentation Simullating the Real Experience

90% TINGKAT MEMORISASI

Doing the Real Thing KEBERMAKNAAN BELAJAR (Menurut Teori Kerucut Dale)

ACTIVE

70%

Participating

Doing TINGKAT KETERLIBATAN

Gambar 4. Tingkatan Kebermaknaan Belajar dari belajar pasif ke belajar aktif

Gambar 6. Rumusan Proses dalam Kurikulum 2013

B. Karakteristi Kurikulum 2013 Salah satu karakteristik Kurikulum 2013 adanya keseimbangan antara sikap, keterampilan, dan pengetahuan untuk membangun soft skills dan hard skills peserta didik dari mulai jenjang SD, SMP, SMA/ SMK, dan PT seperti yang diungkapkan Marzano (1985) dan Bruner (1960). Pada jenjang SD ranah attitude harus lebih banyak atau lebih dominan dikenalkan, diajarkan dan atau dicontohkan pada anak, kemudian diikuti ranah skill, dan ranah knowledge lebih sedikit diajarkan pada anak. Hal ini berbanding terbalik dengan membangun soft skills dan hard skills pada jenjang PT. Di PT ranah knowledge lebih dominan diajarkan dibandingkan ranah skills dan attutude. Adanya keseimbangan soft skills dan

Berdasarkan Gambar, terdapat perluasan dan pendalaman taksonomi dalam proses pencapaian kompetensi. Dalam kurikulum 2013 untuk jenjang SD, SMP, SMA, dan PT memadukan lintasan taksonomi sikap (attitude) dari Krathwohl, keterampilan (skill) dari Dyers, dan Pengetahuan (knowledge) dari Bloom dengan revisi oleh Anderson. Taksonomi sikap (attitude) dari Krathwohl meliputi: accepting, responding, valuing, organizing/internalizing, dan characterizing/actualizing. Taksonomi keterampilan (skill) dari Dyers meliputi: observing, questioning, experimenting, associating, dan communicating. Taksonomi 11

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

pengetahuan (knowledge) dari Bloom dengan revisi oleh Anderson meliputi: knowing/remembering, understanding, appllying, analyzing, evaluating, dan creating. Langkah penguatan terjadi pada proses pembelajaran dan proses penilaian. Penguatan pada proses pembelajaran karakteristik penguatannya mencakup: a) menggunakan pendekatan saintifik melalui mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menalar, mencipta, dan mengkomunikasikan dengan tetap memperhatikan karakteristik siswa, b) menggunakan ilmu pengetahuan sebagai penggerak pembelajaran untuk semua mata pelajaran, c) menuntun siswa untuk mencari tahu, bukan diberitahu (discovery learning), dan d) menekankan kemampuan berbahasa sebagai alat komunikasi, pembawa pengetahuan dan berpikir logis, sistematis, dan kreatif. Penguatan pada penilaian pembelajaran karakteristik penguatannya, mencakup: a) mengukur tingkat berpikir mulai dari rendah sampai tinggi, b) menekankan pada pertanyaan yang membutuhkan pemikiran mendalam (bukan sekedar hafalan), c) mengukur proses kerja siswa, bukan hanya hasil kerja siswa, dan d) menggunakan portofolio pembelajaran siswa.

c. Supervisi pendampingan mencakup: pedoman pelaksanaan supervisi, pelaksanaan, eksekusi rekomendasi supervisi, dan sistem pelaporan perbaikan pasca supervisi. d. Budaya mutu sekolah mencakup: standar mutu, kepemimpinan, atmosfir sekolah, ketaatan terhadap standar, dan proses pembudayaan (penguatan dan penghargaan). C. Macam-macam Model Pembelajaran Sains 3.1 Model Pembelajaran Kooperatif Semua model pembelajaran ditandai dengan adanya (1) struktur tugas, (2) struktur tujuan, dan (3) struktur penghargaan. Struktur tugas mengacu kepada dua hal yaitu cara pembelajaran diorganisasikan dan jenis kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik di dalam kelas. Struktur tujuan merupakan kadar saling ketergantungan peserta didik pada saat mereka mengerjakan tugas. Ada tiga macam struktur tujuan: (1) individualistik, yaitu jika pencapaian tujuan itu tidak memerlukan interaksi dengan orang lain; (2) kompetitif, yaitu peserta didik hanya dapat mencapai suatu tujuan jika peserta didik lain tidak dapat mencapai tujuan tersebut (misal seperti pertandingan sepak bola, satu kelompok dikatakan sukses bila kelompok yang lain gagal); dan (3) kooperatif, peserta didik dapat mencapai tujuan hanya jika bekerjasama dengan peserta didik lain. Struktur penghargaan (reward) merupakan penghargaan yang diperoleh peserta didik atas prestasinya. Struktur penghargaan ini bervariasi tergantung jenis upaya yang dilakukan, seperti halnya struktur tujuan, yaitu penghargaan individualistik, kompetitif dan kooperatif. Pembelajaran kooperatif bercirikan struktur tugas, tujuan dan penghargaan kooperatif. Dalam penerapan pembelajaran kooperatif, dua atau lebih individu bekerjasama, saling berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk mencapai suatu tujuan. Ciri-ciri pembelajaran kooperatif yang lain adalah: (1) peserta didik bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan bahan pelajaran,

Critical point implementasi Kurikulum 2013 dapat dilihat dari: a) perancangan RPP, b) pelaksanaan pembelajaran sesuai RPP, c) supervisi pendampingan, dan d) budaya mutu sekolah. a. Perancangan RPP mencakup: Kompetensi Dasar, indikator, dan tujuan pembelajaran, mengalir secara logis ke materi ajar, rancangan proses dan aktivitas belajar, sumber dan media, output/produk siswa, dan penilaian. b. Pelaksanaan pembelajaran sesuai RPP mencakup: instrumen pengendalian, dan indeks kesesuaian RPP dengan pelaksanaan.

12

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

(2) kelompok dibentuk dari peserta didik yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah, (3) bila mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, jenis kelamin berbeda, (4) penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu. Roger dan David (1994) mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap cooperative learning. Ada lima unsur yang terdapat dalam pembelajaran kooperatif, yaitu: (1) saling ketergantungan positif, (2) tanggungjawab perorangan, (3) tatap muka, (4) komunikasi antar anggota, dan (5) evaluasi proses kelompok. Terdapat beberapa variasi dari model pembelajaran kooperatif, namun prinsip dasar dari pembelajaran kooperatif tersebut tidak berubah. Beberapa variasi model pembelajaran tersebut adalah: (1) Student Teams Achievement Division (STAD), (2) Jigsaw, (3) Kelompok Investigation (GI), dan (4) Think-Pair-Share dan (5 Numbered-Head-Together. Masing-masing model pembelajaran ini akan dijelaskan secara ringkas.

5) Point tiap anggota dijumlahkan untuk mendapatkan skor kelompok. 6) Kelompok yang mencapai kriteria tertentu dapat diberi penghargaan 3.3 Jigsaw Jigsaw dikembangkan dan diujicobakan oleh Aronson et al. (1978) di Universitas Texas dan kemudian diadaptasi oleh Slavin et al. Di Universitas John Hopkins. Langkah-langkahnya adalah: 1) Peserta didik dibagi atas beberapa kelompok, tiap kelompok berjumlah 4-6 anggota yang heterogen 2) Guru memberikan bahan pelajaran yang akan dibahas kepada setiap kelompok. Guru melakukan brainstorming untuk mengaktifkan skemata peserta didik sehingga lebih siap menghadapi pembelajaran 3) Setiap anggota bertanggung jawab mempelajari bagian tertentu atau yang ditugaskan. Misalnya materi yang akan dibahas adalah alat ekskresi (meliputi: (1) ginjal, (2) hati, (3) paru-paru, dan (4) kulit) 4) Anggota pertama mempelajari ginjal, anggota yang kedua mempelajari hati, anggota ketiga mempelajari paru-paru, dan anggota kempat mempelajari kulit dari setiap kelompok. 5) Setiap anggota kelompok yang mendapat tugas yang sama berkumpul dan berdiskusi tentang topik tersebut. Kelompok ini disebut kelompok ahli. Dengan demikian terdapat kelompok ahli: ginjal, hati, paru-paru, dan ahli kulit. 6) Setiap anggota kelompok ahli ini kembali bergabung dengan kelompok asal dan mengajarkan topik yang telah dipelajarinya di kelompok ahli kepada anggota kelompok asalnya secara bergantian. 7) Guru memberikan kuis secara individu tentang seluruh topik yang sudah dibahas. 8) Point tiap anggota dijumlahkan untuk mendapatkan skor kelompok. 9) Kelompok yang mencapai kriteria tertentu dapat diberi penghargaan Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli dapat dilihat pada Gambar 7.

3.2 Student Teams Achievement Division (STAD) STAD dikembangkan oleh Slavin et al. (1994) di Universitas John Hopkins. STAD merupakan model pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Langkah-langkahnya adalah: 1) Setelah dilakukan pretes, peserta didik dibagi beberapa kelompok belajar yang beranggotakan 4-5 orang yang merupakan campuran berdasarkan prestasi, jenis kelamin, dan sebagainya. 2) Guru menyajikan pelajaran atau presentasi verbal atau teks. 3) Peserta didik bekerja dalam kelompok menggunakan lembaran kegiatan atau perangkat pembelajaran yang lain untuk menuntaskan menguasai materi dengan saling membantu. 4) Dilakukan kuis untuk seluruh peserta didik, dalam kuis mereka bekerja masing-masing, diskor, dan setiap individu diberi skor perkembangan (dibandingkan dengan skor rata-rata pretes) 13

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

1, 2 ,3,4

1, 2 ,3,4

1, 2 ,3,4

3.5 Think-Pair-Share Model pembelajaran ini dikembangkan oleh Lyman et al. (1985) dari Universitas Maryland. Langkah-langkahnya adalah:

1, 2 ,3,4 Kelompok Asal Kelompok Ahli

1,1,1,1

2,2,2,2

3,3,3,3

1) Thinking. Guru mengajukan pertanyaan atau isu yang berhubungan dengan pelajaran, kemudian peserta didik diminta untuk memikirkan pertanyaan atau isu tersebut secara mandiri untuk beberapa saat 2) Pairing. Guru meminta peserta didik berpasangan dengan temannya untuk mendiskusikan sekitar 4-5 menit apa yang telah dipikirkannya pada tahap pertama. 3) Sharing. Guru meminta kepada pasangan untuk berbagi ide, informasi, pengetahuan atau pemahaman dengan seluruh kelas tentang apa yang telah mereka diskusikan. Ini dilakukan secara bergiliran pasangan demi pasangan sampai sekitar 25% pasangan mendapat kesempatan.

4,4,4,4

Gambar 7. Ilustrasi yang menunjukkan hubungan kelompok asal dengan kelompok ahli dalam Tim Jigsaw dengan anggota kelompok 4 orang. 3.4 Kelompok Investigation (GI) Model pembelajaran ini dirancang pertama kali oleh Thelan dan dikembangkan oleh Sharan et al. (1984) dari Universitas Tel Aviv. Dalam penerapan GI ini, guru membagi kelas menjadi beberapa kelompok dengan jumlah anggota 5 orang yang heterogen. Langkah-langkah yang dikembangkan Sharan adalah: 1)

2)

3)

4)

5)

6)

3.6 Numbered-Head-Together Model pembelajaran ini dikembangkan oleh Kagan (1992). Langkah-langkahnya adalah:

Pemilihan topik. Peserta didik disuruh memilih subtopik khusus dalamm bidang tertentu yang sudah ditetapkan guru. Perencanaan Kooperatif. Guru bersama peserta didik merencanakan prosedur pembelajaran, tugas, dan tujuan khusus untuk subtopik yang telah dipilih. Implemntasi. Peserta didik menerapkan rencana yang telah dibuat pada tahap kedua. Guru berperan sebagai pembimbing atau fasilitator. Analisis dan Sintesis Peserta didik menganalisis, mensintesis informasi yang diperoleh pada tahap ketiga, dipersiapkan untuk presentasikan secara menarik di kelas. Presentasi Hasil Final. Beberapa atau semua kelompok menyajikan hasil bahasannya dalam diskusi kelas. Evaluasi. Guru bersama peserta didik mengevaluasi kontribusi kelompok terhadap kerja kelas secara keseluruhan yang membahas aspek yang berbeda dari topik yang sama. Evaluasi dapat berupa penilaian individu atau kelompok.

1) Penomoran. Guru membagi peserta didik menjadi beberapa kelompok dengan jumlah anggota kelompok 3-5 orang, dan setiap anggota kelompok diberi nomor 1 sampai 5. 2) Mengajukan pertanyaan. Guru mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang akan dibahas. Misalnya “Apa yang dimaksud dengan cell cloning?, “Apa contohnya cell cloning?, “Bagaimana mekanisme cell cloning?” 3) Berpikir Bersama. Para peserta didik setiap kelompok menyatukan pendapatnya tentang pertanyaan yang diajukan guru. 4) Menjawab. Guru memanggil satu nomor tertentu, kemudian peserta didik yang nomornya sama mengacungkan tangannya dan mencoba untuk menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas. 3.7 Model Pembelajaran dengan Pendekatan Science Technology and Society Pendekatan STM merupakan gabungan antara pendekatan konsep, pendekatan keterampilan proses, pendekatan CBSA, 14

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

pendekatan inkuiri dan diskoveri, serta pendekatan lingkungan (Susilo,1999). Pendekatan STM berangkat dari isu-isu yang berkembang di masyarakat akibat dampak kemajuan sains dan teknologi. Filosofi yang mendasari pendekatan STM adalah filosofi konstruktivisme, yaitu peserta didik menyusun sendiri konsep-konsep di dalam struktur kognitifnya berdasarkan apa yang telah mereka ketahui sebelumnya. Ada enam (6) ranah yang

dikembangkan melalui STM, yaitu: (1) konsep (concepts), (2) proses (process), (3) hubungan atau keterkaitan (connections), (4) aplikasi (applications), (5) kreativitas (creativity), (6) sikap (attitude) (Yager, 1993). Berikut ini (Tabel 2) ditampilkan tahapan (sintaks) pembelajaran STS yang mengacu kepada model konstruktivistik yang dikembangkan Yager (1993).

Tabel 2 Sintaks pembelajaran STS Tahap Kegiatan Guru 1. Invitasi Memberikan pertanyaan mengenai fenomena, permasalahan biologi yang relevan untuk merangsang rasa ingin tahu dan minat peserta didik, untuk mengetahui hal-hal yang sudah diketahui peserta didik 2. Eksplorasi Memberikan tugas agar peserta didik mendapat informasi yang cukup melaui membaca, observasi, wawancara, diskusi, mengerjakan LKS dan sebagainya 3.Eksplanasi dan Memberikan tugas untuk membuat Pemecahan laporan dan mempresentasikan hasil penyelidikan atau ekperimen secara ringkas 4. Tindak lanjut Memberikan penjelasan mengenai tindakan yang akan diajukan berdasarkan hasil penyelidikan

Kegiatan Peserta didik Peserta didik memberi respon secara individual atau kelompok dan mengajukan suatu masalah atau gagasan yang akan dibahas

Mencari informasi dan data dengan membaca, observasi, wawancara, berdiskusi, merancang eksperimen, menganalisis data Membuat laporan hasil penyelidikan, membuat kesimpulan dan mempresentasikan hasil Memberikan solusi pemecahan masalah atau membuat keputusan dan memberikan ide

membaca istilah cloning. Cuma kita belum tahu sampai di mana kebenaran konsep yang mereka miliki. Dengan pembelajaran konstruktivistik, peserta didik secara aktif mencoba membangun sendiri konsep atau pengetahuan itu secara bertahap, mungkin dengan bertanya kepada guru, berdiskusi dengan teman, atau membaca buku sehingga anak menemukan konsep yang benar atau hampir benar berdasarkan konsep yang sudah dimilikinya. Pembelajaran konstruktivistik berbeda dengan pengajaran tradisional dalam hal fokus, keterlibatan peserta didik, ketrampilan yang dikembangkan, sajian materi, seperti terlihat pada Tabel 3.

3.8 Model Pembelajaran dengan Pendekatan konstruktivistiktik Pendekatan pembelajaran konstruktivistik pada dasarnya menekankan pentingnya peserta didik membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran. Sebagian besar waktu proses pembelajaran berlangsung dengan berbasis pada aktivitas peserta didik. Menurut Lufri (2007), pada dasarnya peserta didik tidak membawa kepala kosong ke sekolah, tapi mereka sudah memiliki pengetahuan atau konsep tentang sesuatu berdasarkan pengalaman mereka dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin mereka sudah melihat, mendengar, membaca, mengamati suatu hal, sehingga berdasarkan penglihatan, pendengaran, pembacaan, pengalaman itu mereka sudah punya konsep tentang hal itu. Misalnya mereka sudah mendengar atau 15

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

(http://www.stw.ed.gov/factsht/bull0996.ht m). Pembelajaran kontekstual berakar pada pendekatan konstruktivistik (Brown,1998;Dirkx, Amey, and Haston 1999 dalam Imel, 2000). Pada pembelajaran kontekstual, peserta didik benar-benar diawali dengan pengetahuan, pengalaman, dan konteks keseharian yang mereka miliki yang dikaitkan dengan konsep mata pelajaran yang dipelajari di kelas, dan selanjutnya dimungkinkan untuk mengimplementasikan dalam hidup keseharian mereka. Ungkapan yang tepat untuk ini adalah: Bawalah mereka dari dunia mereka ke dunia kita, kemudian hantarkan mereka dari dunia kita ke dunia mereka kembali. Pembelajaran kontekstual mempunyai ciriciri sebagai berikut: 1) Menekankan pada problem solving 2) Mengenal bahwa pengajaran dan pembelajaran perlu terjadi pada berbagai konteks 3) Membantu para peserta didik dalam belajar bagaimana memonitor belajar mereka sendiri sehingga mereka dapat menjadi para pelajar yang mandiri (self-regulated learners) 4) Mengaitkan mengajaran di dalam berbagai konteks kehidupan peserta didik 5) Mendorong para peserta didik belajar satu sama lainnya (belajar bersama) 6) Menggunakan penilaian autentik Strategi-strategi pembelajaran yang termasuk dalam CTL (Depdiknas, 2002) 1) Belajar berbasis masalah (ProblemBased Learning) 2) Pembelajaran autentik (Authentic Instruction) 3) Belajar berbasis inquiri (InquiryBased Learning) 4) Belajar berbasis proyek (Project-Based Learning) 5) Belajar berbasis kerja (Work-Based Learning) 6) Belajar jasa-layanan (Service Learning) 7) Belajar kooperatif (Cooperative Learning)

Tabel 3. Ciri-ciri pembelajaran konstruktivistik vs pembelajaran tradisional (Johnston, 1999) adalah seperti berikut. Pengajaran Tradisional 1) Berfokus pada efisiensi

1.

2. Pendekatan utama belajar hafalan

2.

3. Keterampilan diajarkan secara berurutan

3.

4. Materi pembelajaran diajarkan dengan urutan logis

4.

Pembelajaran Konstruktivistik Berfokus pada pembelajaran secara mendalam dengan pengalaman yang relevan Menuntut keterlibatan peserta didik secara penuh dan aktif belajar Keterampilan dikembangkan dalam kegiatan belajar yang relevan Materi pembelajaran terintegrasi, harus digunakan dan disusun sendiri oleh peserta didik

Berdasarkan konsep dan ciri-ciri konstruktivistik ini maka diharapkan Anda dapat merancang sebuah model pembelajaran konstruktivistik. 3.9 Model Pembelajaran dengan Pendekatan Contextual Teaching and Learning 3.9. 1 Konsepsi CTL CTL merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengkaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warganegara, dan tenaga kerja (U.S. Department of Education and the National School-to-Work Office yang dikutip oleh Blanchard, 2001) CTL menekankan pada berpikir tingkat tinggi, transfer pengetahuan lintas disiplin akademik, dan pengumpulan, penganalisisan, pensintesisan informasi dan data dari berbagai sumber titik pandang (viewpoints) (University of Washington College of Education. 2001). Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang terkait erat dengan pengalaman nyata 16

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

5) Pemodelan (Modeling) Model berupa cara atau mekanisme sesuatu, berupa karya atau benda, sehingga dapat ditiru pebelajar. Model dapat dari guru, dari pebelajar dan dari orang lain

3.9.2 CTL dan Pembelajaran Konstruktivis Pendekatan pembelajaran konstruktivis pada dasarnya menekankan pentingnya peserta didik membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran. Sebagian besar waktu proses pembelajaran berlangsung dengan berbasis pada aktivitas peserta didik. Inquiry-Based Learning dan Problem-Based Learning yang ditekankan pada pendekatan konstruktivistik juga disebut sebagai strategi CTL.

6) Refleksi (Reflection) Refleksi merupakan cara berpikir (merenung) tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang apaapa yang sudah dilakukan di masa lalu Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima 7) Penilaian autentik (Authentic Assessment) Karakteristik authentic assessmen adalah: Dilaksanakan selama dan sesudah pembelajaran berlangsung Bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif Yang dinilai keterampilan dan penampilan, bukan mengingat fakta Berkesinambungan Terintegrasi Dapat digunakan sebagai feed back

3.9.3 Tujuh (7) komponen Pendekatan CTL (Depdiknas, 2002) 1) Konstruktivisme (Constructivism) Pengetahuan dibangun sendiri oleh pebelajar sedikit demi sedikit melalui pengalaman nyata Dalam pandangan konstruktivis, strategi memperoleh lebih utama dibanding dengan seberapa banyak pebelajar memperoleh dan mengingat pengetahuan Pada dasarnya kita sudah menerapkan filosofi ini ketika kita: menerapkan pembelajaran dalam bentuk pebelajar bekerja, praktik mengerjakan sesuatu, berlatih secara fisik, menulis karangan, mendemonstrasikan, menciptakan ide, dan sebagainya 2) Menemukan (Inquiry) Kata kunnci dari pendekatan inquiri adalah pebelajar menemukan sendiri. Siklus inquiri adalah sebagai berikut: (1) Observasi (Observation) (2) Bertanya (Questioning) (3) Mengajukan Jawaban sementara (Hypothesis) (4) Mengumpulkan data (Data gathering) (5) Penyimpulan (Conclusion) 3) Bertanya (Questioning) Bertanya merupakan bagian penting dalam menerapkan pembelajaran berbasis inquiri. Bertanya dapat diterapkan antara pebelajar dengan pebelajar, antara guru dengan pebelajar, antara pebelajar dengan guru, antara pebelajar dengan orang lain yang didatangkan ke kelas.

Contoh kegiatan yang dapat dinilai adalah: proyek/kegiatan dan laporan, PR, kuis, karya peserta didik, presentasi, demonstrasi, jurnal, portofolio, hasil tertulis, karya tulis. 3.9.4 Kaitan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan CTL 1) Dari isi kompetensi dan penilaian yang digunakan dalam KBK ternyata sejalan dengan apa yang ada pada CTL. Oleh karena itu, pendekatan CTL ini kelihatannya sangat cocok, bahkan sangat menunjang pelaksanaan KBK. 2) Sebagai salah satu komponen KBK adalah penilaian berbasis sekolah (PBK) dengan prinsip: 1) Penilaian berkelanjutan (ongoing assessment) 2) Pengumpulan kerja pebelajar (portfolio) 3) Hasil karya (product) 4) Penugasan (project) 5) Kinerja (performance) 6) Tes tertulis (paper and pen)

4) Masyarakat Belajar (Learning Community) Masyarakat belajar bisa terbentuk bila komunikasi dalam pembelajaran terjadi dalam bentuk dua dan banyak arah 17

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

2) Mendefinisikan masalah 3) Meneliti kemungkinan solusi atau membuat rancangan gambar atau rancangan suatu penelitian 4) Mempertimbangkan sejumlah solusi atau memilih solusi yang menjanjikan 5) Mengujicoba atau membuat alat. 3.10.5 Ururtan Strategi berpikir (mis. Problem Solving) menurut Beyer (1988 dalam Zeidler et al., 1992) 1) Mengenal masalah 2) Menggambarkan (represent) masalah 3) Memilih (devise/choose) rencana solusi 4) Melaksanakan rencana (execute the plan) 5) Mengevaluasi solusi 3.19.6 Tahap-tahap Problem Solving menurut Philippine Education Quarterly (1994) 1) Mengenal masalah (recognize a problem) 2) Menggambarkan masalah (represent the problem) 3) Memilih/menemukan rencana solusi (devise/choose solution plan) 4) Melaksanakan rencana (execute the plan) 5) Mengevaluasi solusi (evaluate the solution) 3.10.7 Tahapan Problem Solving menurut Gagne (1985) 1) Penyajian masalah (presentation of the problem), dapat dinyatakan dalam pernyataan verbal atau beberapa sarana (means) yang lain 2) Mendefinisikan masalah, atau membedakan sifat-sifat esensial (essential features) dari situasi 3) Memformulasikan hipotesis, yang dapat diaplikasikan terhadap solusi 4) Pengujian hipotesis (verification of the hypotesis), atau dilakukan secara berturutturut (successive) sampai menemukan jawaban yang mencapai solusi.

3.10 Model Pembelajaran dengan Pendekatan Problem Solving Model pembelajaran problem solving ini termasuk model pembelajaran yang sudah tua, tapi sampai sekarang masih termasuk model pembelajaran yang sangat penting atau sangat dianjurkan digunakan dalam pembelajaran. Karena sudah hasil banyak penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran problem solving ini dapat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik. Sudah banyak variasi pola pembelajaran problem solving ini ditemukan dari berbagai literatur. Berikut ini akan disajikan berbagai pola proses atau tahapan problem solving yang dikemukakan oleh berbagai pakar. 3.10.1 Proses ideal Problem Solving menurut Bransford & Stein (1984 dalam Marzano et al.,1988) 1) Identifikasi masalah (Identifying the problem = I) 2) Mendefinisikan masalah (Defining the problem = D) 3) Mengeksplorasi strategi-strategi (Exploring strategies = E) 4) Mengemukakan ide-ide (Acting on ideas = A) 5) Mencari pengaruhnya (Looking for the effects = L) 3.10.2 Tahapan proses problem solving menurut Wisconsin dalam Mc Intosh, 1995): 1) Pengajuan masalah (problem posing) 2) Pendekatan masalah (problem approach) 3) Solusi masalah (problem solution) 4) Komunikasi (communication) 3.10.3 Skema problem Solving (menurut Karl R. Popper disadur oleh Taryadi, 1989) 1) Problem awal (P1) 2) Solusi tentatif (tentative solution = TS) 3) Error elimination (EE) atau evaluasi dengan tujuan menemukan dan membuang masalah 4) Situasi yang diakibatkan oleh adanya evaluasi kritis atau solusi tentatif terhadap problem awal, sehingga timbul problem baru (P2) 3.10.4 Proses pemecahan masalah secara ilmiah menurut Tek (1998) 1) Menemukan masalah yang butuh pemecahan

3.10.8 Proses Problem Solving menurut UNESCO (1986) 1) Indentification of problem (preparation phase) 2) Analysis of problem (limiting phase) 3) Selection of hypothesis (productive phase) 4) Planning investigation (operative phase) 5) Carrying out investigation (active phase) 6) Drawing conclusion (critical phase)

18

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

3.10.9.Tahapan Problem Solving menurut Dewey (1910; 1933 dalam Glover & Bruning, 1990) 1) Presentation of the problem 2) Problem definition 3) Development of hypothesis 4) Testing hypotesis 5) Selection of the best hypothesis

Melakukan penilaian sendiri. (Conduct selfassessment) b. Sintaks PBI yang dikemukakan oleh Ibrahim dan Nur (2000) Tabel 4. Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah Tahap 1. Orientasi peserta didik kepada masalah

Aktivitas Guru Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan peralatan yang diperlukan, memotivasi peserta didik terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya. 2. Mengorganisasi Guru membantu peserta peserta didik untuk didik mendefinisikan dan belajar mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut 3. Membimbing Guru mendorong peserta penyelidikan didik untuk individual maupun mengumpulkan informasi kelompok yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah 4. Mengembangkan Guru membantu peserta dan menyajikan didik dalam hasil karya merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model, dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya 5. Menganalisis dan Guru membantu peserta mengevaluasi didik untuk melakukan proses pemecahan refleksi atau evaluasi masalah terhadap penyelidikan mereka dan prosesproses yang mereka gunakan (Dikutip dari: Ibrahim dan Nur, 2000)

3.10.10 Tahapan Problem Solving secara heuristic menurut Krulik dan Rudnick (1996) 1) Membaca dan berpikir (read and think) 2) Menyelidiki dan merencanakan (explore and plan) 3) Memilih suatu strategi (select a strategy) 4) Menemukan suatu jawaban (find an answher) 5) Mengambarkan dan menyampaikan (reflect and extend) 3.11 Model Pembelajaran Berbasis Masalah Di sini dikemukakan dua model tahapan (sintaks) pembelajaran berbasis masalah: a. Menurut Greenwald (2000) ada sepuluh (10) tahapan Problem- Based Learning (PBL) atau Problem- Based Instruction (PBI): 1) Menemukan sebuah masalah yang didefinisikan sebagai suatu hal yang kabur (Encounter an ill-defined problem) 2) Meminta para peserta didik mengajukan pertanyaan tentang minat yang menimbulkan teka teki (Have students ask questions about what is interesting , puzzling, or important to find out (IPF question) 3) Mengejar atau mengikuti temuan masalah (Pursue problem finding) 4) Memetakan temuan dan memprioritaskan sebuah masalah (Map problem finding and prioritize a problem) 5) Meneliti masalah (Investigate the problem) 6) Menganalisis hasil-hasil (Analize results) 7) Mengulangi pernyataan pembelajaran atau menyajikan apa yang telah mereka lakukan (Reiterate learning) 8) Menghasilkan solusi dan rekomendasi (Generate solutions and recommendations) 9) Mengkomunikasikan hasil-hasil (Communicate the results)

3.12 Model Pembelajaran Langsung Pembelajaran langsung atau direct intruction (DI) mempunyai ciri sebagai berikut: 19

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

(1) adanya tujuan pembelajaran, (2) adanya pengaruh model terhadap peserta didik, (3) adanya prosedur penilaian hasil belajar, (4) adanya sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran, (5) adanya sistem pengelolaan dan lingkungan belajar. Istilah lain yang juga sering digunakan untuk model pembelajaran langsung ini ialah Pengajaran Aktif (Good & Grows, 1985), Mastery Teaching (Hunter, 1982), dan Explicit Instruction (Rosenshine & Stevens, 1986). Di samping itu, metode yang berhubungan erat dengan model ini adalah metode kuliah/ceramah dan resitasi (Kardi dan Nur, 2000). Pembelajaran langsung mempunyai 5 fase seperti Tabel 5 berikut.

karakteristik materi, karakteristik anak didik, tujuan pembelajaran, lingkungan dan sumber belajar. Salah satu ciri sains adalah dekat dengan alam, oleh karenanya sains tidak bisa dipisahkan dengan alam. Janganlah Sains diajarkan di papan tulis saja atau di dalam kelas saja, tetapi bawalah mereka ke alamnya lingkungannya. Diantara model pembelajaran yang disarankan dalam kurikulum 2013 adalah: problem based learning, discovery learning, dan project based learning, dengan pendekatan saintifik. Namun, bukanlah berarti model-model pembelajaran yang lain tidak baik digunakan. Pemilihan model pembelajaran juga terkait erat dengan kompetensi lulusan. Komptensi lulusan dalam kurikulum 2013 adalah kompetensi lulusan secara holistik, seperti terlihat pada Tabel 2 (Kemendikbud, 2014).

Tabel 5. Sintaks Model Pembelajaran Langsung (Kardi dan Nur, 2000) Fase 1. Menyampikan tujuan dan mempersiapkan peserta didik

2. Mendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilan

3. Membimbing pelatihan 4. Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik 5. Memberikan kesempatan untuk pelatiahn lanjutan dan penerapan

Tabel 2: Kompetensi Lulusan Secara Holistik

Peran Guru Guru menjelaskan TPK, informasi latar belakang pelajaran, pentingnya pelajaran, mempersiapkan peserta didik untuk belajar Guru mendemonstrasikan keterampilan dengan benar, atau menyajikan informasi tahap demi tahap Guru merencanakan dan memberi bimbingan pelatihan awal Mencek apakah peserta didik telah berhasil melakukan tugas dengan baik, memberi umpan balik Guru memperiapkan kesempatan melakukan pelatihan lanjutan, dengan perhatian khusus pada penerapan kepada situasi yang lebih kompleks dan kehidupan sehari-hari.

DOMAIN

SD

SMP

SMA-SMK

Menerima + Menjalankan + Menghargai + Menghayati + Mengamalkan SIKAP

KETERA MPILAN

pribadi yang beriman, berakhlak mulia, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial, alam sekitar, serta dunia dan peradabannya Mengamati + Menanya + Mencoba + Mengolah + Menyaji + Menalar + Mencipta pribadi yang berkemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret Mengetahui + Memahami + Menerapkan + Menganalisa + Mengevaluasi

PENGET AHUAN

3.13 Model yang Dianjurkan dalam Kurkulum 2013 Sesungguhnya banyak model pembelajaran yang dapat digunakan untuk pembelajaran Sains. Diketahui bahwa pemilihan model pembelajaran diantaranya ditentukan

pribadi yang menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya dan berwawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban

1. Problem Based Learning Problem Based Learning (PBL) adalah model pembelajaran yang dirancang agar peserta didik mendapat pengetahuan penting, yang membuat mereka mahir dalam memecahkan 20

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

masalah, dan memiliki model belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistemik untuk memecahkan masalah atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.

2. Problem statement (pernyataan/identifikasi masalah) Setelah dilakukan stimulation guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah)

Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)

3. Data collection (pengumpulan data). Pada saat peserta didik melakukan eksperimen atau eksplorasi, guru memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis. Data dapat diperoleh melalui membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. 4. Data processing (pengolahan data) Menurut Syah (2004:244) pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan.

2. Discovery Learning Pelaksanaan metode Discovery Learning Menurut Syah (2004) dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning di kelas, ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum sebagai berikut.

5. Verification (pembuktian) Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang telah ditetapkan, dihubungkan dengan hasil data processing. Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.

1. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan) Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya dan timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan. Dengan demikian seorang Guru harus menguasai teknik-teknik dalam memberi stimulus kepada siswa agar tujuan mengaktifkan siswa untuk mengeksplorasi dapat tercapai..

6. Generalization (menarik kesimpulan/ generalisasi) Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi. Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsipprinsip yang mendasari generalisasi.

21

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Greenwald, N. 2000. Learning from Problem. The Science Teacher , 67 (4): 28-32. Ibrahim, M & Nur, M. 2000. Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya University Press. Imel, S. 2000. Contextual Learning in Adult Education. Practice Application, Brief No.12. ERIC Clearinghouse oh Adult, Career, and Vocational Education. Jonhson, E. B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press, Inc. Joyce, B. & Weil, M. 1992. Models of th Teaching. 4 .Ed. Boston: Allyn and Bacon. Kemendikbud (2014). Materi Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Biologi SMA/SMK. Krulik, S. dan Rudnick, J. A. 1996. The New Sourcebook for Teaching Reasoning and Problem Solving in Junior and Senior High School. Boston: Allyn and Bacon. Lufri. 2007. Strategi Pembelajaran Biologi: Teori, Praktik dan Penelitian. Padang: UNP Pres. Philippine Education Quarterly,1994. Developing Thinking Skills Across the Curriculum. A Journal of Fact and Opinion, 23 (3):29-65. Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning. 2nd.Ed. Boston: Allyn and Bacon. Unesco, 1986. Uneso Handbook for Biology Teacher in Asia. New Delhi: Pearl Offset Press Pvt. Ltd. Susilo, H. 1997. Metode pembelajaran Biologi. Malang: IKIP Malang. Tek, Ong Eng, 1998. Problem Solving in Science and Technology. Calssroom Teacher, 3 (1): 16-24. Yager, R.E (Ed.).1993. What Research Says to the Science Teacher: The Science, Technology, Society Movement.Volum Seven. Wshington: National Science Teachers Association. Zeidler, D. L., Lederman, N.G. dan Taylor, S.C. 1992. Fallacies and Student Discourse: Conceptualizing the Role of Critical Thinking in Science Education. Science Education, 76 (4): 437-450.

3. Project Based Learning

IV. Kesimpulan Sesungguhnya model yang dimaksudkan dalam pembelajaran adalah suatu pola atau contoh pembelajaran yang sudah didesain dengan menggunakan pendekatan atau metode atau strategi pembelajaran yang lain, serta dilengkapi dengan langkah-langkah (sintaks) dan perangkat pembelajarannya. Suatu model pembelajaran mungkin terdiri dari satu atau beberapa pendekatan, satu atau beberapa metode, atau perpaduan antara pendekatan dengan metode. Bila dibandingkan antara model dengan pendekatan dan metode pembelajaran, model pembelajaran lebih bersifat operasional, artinya model siap untuk diimplementasikan karena sudah jelas langkah-langkahnya (sintaks)nya serta perangkat pembelajaran yang digunakan. Pendekatan dan metode dapat berada (include) dalam model pembelajaran. DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas, Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. Depdiknas. 2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 5, Pembelajaran dan Pengajaran Kontekstual. Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikdasmen Direktorat SLTP. Gagne, R.M. 1985. The Conditions of Learning and Theory of Instruction. New York: Holt, Rinehart and Winston. Glover, J.A. dan Bruning, R.H. 1990. Educational Psychology. New York: Harper Collins Publishers.

22

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

PENDEKATAN SAINTIFIK DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK PEMBENTUKAN KEMAMPUAN BERPIKIR MATEMATIS TINGKAT TINGGI SISWA SMA Arnellis Jurusan Matematika FMIPA UNP [email protected] ABSTRACT High-level thinking skills has become one of the priorities in mathematics learning senior high school (SMA). The aim of mathematics learning is given to all students to equip them with the ability to think logically, analytical, systematic, critical, and creative, as well as the ability bekerjasama.Hal this leads to high-level thinking skills. To improve this ability, should the effort of learning approaches that allow students to begin making observations to communicate in order to build knowledge itself.In generally high-level thinking skills is an ability that is difficult to be taught by teachers in the classroom. Scientific approach to learning is one approach that can facilitate the ability of students in the class. Based on the analysis, showed an increase in high-level mathematical thinking skills can be formed with a scientific approach, can make students more active participants in constructing knowledge and skills, students are taught to be taught and discover scientific truth. They are trained to be able to think logically and systematically trace, using a high-level mathematical thinking capacity. Key words : High-level thinking skills, Scientific approach capaian hasil yang diperoleh dari pembela-jaran matematika di Indonesia ditunjukkan oleh hasil survey internasional The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) yang menyatakan bahwa kemam-puan siswa Indonesia dalam menyelesaikan soal-soal tidak rutin (masalah matematis) sangat lemah, namun relatif baik dalam menyelesai-kan soal-soal tentang fakta dan prosedur. Hasil TIMSS 2007 dan 2011 diperoleh Lebih dari 95% siswa Indonesia hanya mampu sampai level menengah, sementara hampir 50% siswa Taiwan mampu mencapai level tinggi dan advanced. Dengan keyakinan bahwa semua anak dilahirkan sama, kesimpulan dari hasil ini adalah yang diajarkan di Indonesia berbeda dengan yang diujikan (yang distandarkan) internasional Hasil ini menunjukkan bahwa siswasiswa Indonesia belum mampu memecah-kan masalah dengan baik, atau kemampuan pemecahan masalahnya realtif sangat rendah. Melihat keadaan seperti ini, upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran terutama dalam pengembangan kemam-puan berpikir tingkat tinggi siswa menjadi penting. Untuk menjawab permasalahan di atas, pemerintah, dalam hal ini Kemen-dikbud, telah melakukan berbagai upaya diantaranya memperbaharui kurikulum sekolah. Perubahan kurikulum Indonesia pada tahun 2013 ini juga

1. PENDAHULUAN Peningkatan kemampuan berfikir tingkat tinggi telah menjadi salah satu prioritas dalam pembelajaran matematika sekolah. Dalam Permen 64 Tahun 2013 tentang Standar Isi dicantumkan bahwa mata pelajaran Matematika diberikan kepada semua siswa untuk membekali mereka dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Pada dokumen ini ditegaskan pula bahwa pembelajaran matematika sekolah bertujuan agar siswa memiliki kemampuan memecahkan masa-lah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. Selain dari pada itu, siswa juga dituntut memiliki kemampuan memecahkan masalah baru secara inovatif, kolaboratif, berperilaku unik, berpikir divergen (Arend et al., 2001; Reigeluth, 1999). Namun kompetensi tersebut sulit tercapai secara optimal, karena sampai saat ini terdapat kecendrungan masih diterap-kannya paradigma pembelajaran yang bernuansa transmisi, pemecahan masalah secara linier, tuntutan pola prilaku yang seragam, dan pembelajaran yang bernuansa kompetitif dan persaingan. Jika kondisi ini terus terjadi, maka tujuan pembelajaran matematika atau kompetensi yang diharap-kan sulit dicapai. Salah satu fakta tentang rendahnya 23

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

didasarkan kepada hasil TIMSS dan PISA siswa Indonesia yang masih rendah. Perubahan yang dilakukan dalam kurikulum tidak saja dalam restrukturisasi substansi matematika yang dipelajari, namun yang sangat mendasar adalah pergeseran cara bagaimana siswa belajar. Dalam Kurikulum 2013 disebutkan bahwa kompetensi inti matematika yang harus dicapai siswa bukan saja penguasaan matematika sebagai ilmu, melainkan penguasaan akan kecakapan matematika yang diperlukan untuk dapat memahami dunia sekitar, mampu bersaing, dan berhasil dalam kehidupan. Kurikulum 2013 yang sudah disosialisasikan dan diterapkan di Indonesia cukup kondusif bagi pengembangan pengajaran keterampilan berpikir, karena mensyarat-kan siswa sebagai pusat belajar dengan menerapkan pendekatan Saintifik yang meliputi mengamati, menanya,menalar ,mencoba,dan mengkomunikasikan. Namun ada beberapa prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pembelajaran di sekolah antara lain keterampilan berpikir tidak otomatis dimiliki siswa. Pada kenyata-annya siswa jarang melakukan transfer sendiri keterampilan berpikir ini, sehingga perlu adanya latihan terbimbing. Pembela-jaran keterampilan berpikir memerlukan model pembelajaran yang berpusat kepada siswa (student-centered), yang nantinya akan menuju ke kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kemampuan berpikir siswa dapat dikembangkan secara berkelanjutan sehingga siswa dapat menyelesaikan permasalahan yang akan muncul dalam kehidupannya sehari-hari. Siswa yang dilatih kemampuan berpikirnya sejak awal, akan lebih mudah berkembang kemampuan berpikirnya pada jenjang sekolah selanjutnya. Kemampuan berpikir ini dapat dikembangkan dan dilatihkan pada siswa sejak awal (Marzano, dkk. 2008) Kemampuan berpikir tingkat tinggi ini akan lebih tepat jika pembelajaran didekati secara saintifik yang bermuara pada pola berpikir tingkat tinggi dengan kemampuan menyelesaikan masalah. Dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa dapat diajak untuk aktif berpikir sehingga mereka juga aktif belajar, khusus-nya dalam pemecahan masalah. Model pendekatan saintifk yang berorientasi pemecahan masalah dengan pola berpikir tinggi akan membawa siswa pada pengalaman siswa menggunakan pengetahuan

serta keterampilan secara maksimal untuk dapat diterapkan dalam hal pemecahan masalah yang tidak rutin, penemuan pola pemecahan, perampatan hasil serta kemampuan komunikasi yang baik, sehingga kebermaknaan belajar akan lebih terasa. Berdasarkan uraian di atas, maka masalah ini diformulasikan dalam bentuk pertanyaan berikut: “Bagaimana penerapan pendekatan Saintifik untuk membentuk kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa SMA?”

2. PEMBAHASAN 2.1. Pengertian Kemampuan Matematis Tingkat Tinggi

Berpikir

Berpikir merupakan keterampilan kognitif untuk memperoleh pengetahuan. Keterampilan berpikir selalu berkembang dan dapat dipelajari. Menurut Bloom keterampilan berpikir tingkat tinggi meru-pakan keterampilan yang paling abstrak dalam domain kognitif, yaitu meliputi analisis, sintesis, dan evaluasi. Dalam jurnal Mathematics Teachers’ Interpretation Of Higher-Order Thinking in Bloom’s Taxonomy (Tony Thompson: 2008) membicarakan tentang interpretasi guru matematika mengenai Higher-Order Thinking Skills dalam Taksonomi Bloom. Hasil penelitiaannya menunjukkan bahwa 75% guru mengenal Taksonomi Bloom. Senk, et al (1997) menemukan bahwa persentase guru rata-rata 68%. Membuat soal LOT pada tes matematika Harpster (1999) menemukan bahwa 60% guru matematika mengembangkan soal LOT. Hasil penelitian menunjukkan, guru tidak menggunakan Bloom sebagai panduan untuk menulis item tes HOT. Taksonomi Bloom dianggap meru-pakan dasar bagi berpikir tingkat tinggi. Pemikiran ini didasarkan bahwa beberapa jenis pembelajaran memerlukan proses kognisi yang lebih daripada yang lain, tetapi memiliki manfaat-manfaat lebih umum. Sebagai contoh, kemampuan melibatkan analisis, evaluasi dan mengkreasi dianggap berpikir tingkat tinggi (Pohl, 2000). Dalam A revision of Bloom's Taxonomy: an overview-Theory in to Practice menyatakan bahwa indikator untuk mengukur kemam-puan berpikir tingkat tinggi meliputi: meng-analisis, mengevaluasi, dan mengkreasi Menurut Paul Goethals (2013) dalam jurnalnya “The Pursuit of Higher thinking in the Mathematics Classroom: A Review” menjelaskan banyak variasi pengertian berpikir tingkat tinggi 24

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

(higher-order thinking). Beberapa penulis di atas telah menawarkan deskripsi mereka tentang apa kemampuan berpikir tingkat tinggi seperti yang dikemukakan oleh Ramirez dan Ganaden dalam “Creative Activity and Students’ Higher Order Thinking Skills”(Resnick sebagaimana dikutip oleh Lawrenz, 1990; Callison, 2002; Presseisen yang dikutip oleh Hernandez, 1991; Zoller, 1993; Zoller, Lubezky, Nakhleh, Tessier, & Dori, 1995). Anderson dan Krathwohl (2001) merevisi taksonomi ini dengan mengklasifikasikan enam proses kognitif yang dapat dipelajari siswa yaitu (1) meng-ingat,(2) memahami, (3) mengaplikasikan, (4) menganalisis, (5) mengevaluasi, dan (6)menciptakan. Menurut Krulik dan Rudnick (1995:3) dalam The New Sourcebook for Teaching Reasoning and Problem Solving in Elementary School. Menyatakan bahwa berpikir dikategorikan terdiri dari berpikir dasar (basic), berpikir kritis (critical) dan berpikir kreatif (creative). Kategorisasi ini tidak bersifat diskrit dan sulit untuk mendefinisikan dengan tepat. Newman and Wehlage (2011) menyatakan bahwa”HOT requires students to manipulate informations and ideas in ways that transform their meaning and implications, such as when students combine facts and ideas in order to synthesize, generalize, explain, hypothesize, or arrive at some conclusion or interpretation. Dengan HOT siswa akan belajar lebih mendalam, knowledge is thick, siswa akan memahami konsep lebih baik. Dengan HOT siswa dapat membedakan ide atau gagasan secara jelas, berargumen dengan baik, mampu memecahkan masalah, mampu mengkons-truksi penjelasan, mampu berhipotesis dan memahami hal-hal kompleks menjadi lebih jelas. Hasil penelitian Sarah Elizabeth Gegen (2006) yang berjudul “The Effects Of HigherLevel Questioning In A High School Mathematics Classroom” menunjukkan bahwa pengajuan pertanyaan tingkat tinggi berpengaruh terhadap peningkatan kemam puan siswa dalam menangani masalah matematika yang membutuhkan kemam-puan berpikir tingkat tinggi. 2.2. Pendekatan Saintifik dan Contoh dalam Pembelajaran Matematika Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan ilmiah (Kemendikbud:2013) Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembela-jaran semua mata pelajaran meliputi menggali

informasi melaui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah data atau informasi, menyajikan data atau informasi, dilanjutkan dengan menganali-sis, menalar, kemudian menyimpulkan, dan mencipta. Untuk mata pelajaran, materi, atau situasi tertentu, sangat mungkin pendekatan ilmiah ini tidak selalu tepat diaplikasikan secara prosedural. Pada kondisi seperti ini, tentu saja proses pembelajaran harus tetap menerapkan nilai-nilai atau sifat-sifat ilmiah dan menghindari nilainilai atau sifat-sifat nonilmiah. Banyak para ahli yang meyakini bahwa melalui pendekatan saintifik/ilmiah, selain dapat menjadikan siswa lebih aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya, juga dapat mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan guna menemukan fakta-fakta dari suatu fenome-na atau kejadian. Artinya, dalam proses pembelajaran, siswa dibelajarkan dan dibiasakan untuk menemukan kebenaran ilmiah. Mereka dilatih untuk mampu berfikir logis, runut dan sistematis, dengan menggunakan kapasitas berfikir tingkat tinggi. Combie White (1997) dalam bukunya yang berjudul “Curriculum Innovation; A Celebration of Classroom Practice” telah mengingatkan kita tentang pentingnya membelajarkan para siswa tentang fakta-fakta. “Tidak ada yang lebih penting, selain fakta“ Penguatan proses pembelajaran Matematika melalui pendekatan saintifik, mendorong siswa lebih mampu dalam mengamati, menanya, mengeksplorasi/ mencoba, mengasosiasi, dan mengomunikasikan atau mempresentasikan. Langkah-langkah pendekatan saintifik dalam pembelajaran matematika Langkah-langkah pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam proses pembelajaran meliputi menggali informasi melaui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudi-an mengolah data atau informasi, menyaji-kan data atau informasi, dilanjutkan dengan menganalisis, menalar, kemudian menyimpulkan, dan mencipta. Pendekatan saintifik dalam pembelajaran matematika, diambil pada kegiatan inti sebagai berikut: 1. Mengamati Dalam matematika, siswa diminta untuk mengamati suatu fenomenona. Sebagai contoh siswa mengamati gambar berikut:

25

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Sudut yang besarnya misalnya 600. Fakta matematika yang diperoleh adalah nilai cosinus suatu sudut adalah perbandingan panjang sisi di samping sudut dengan sisi miringnya 2. Menanya Dalam kegiatan menanya, siswa mengaju-kan pertanyaan tentang suatu fenomena. Guru memancing/ menuntun siswa dengan beberapa pertanyaan: a. Setelah membaca atau mencermati permasalahan, apa yang terpikir dalam benak anda? b. Coba buatlah pertanyaan yang berhubungan dengan permasalahan yang telah kalian baca dan cermati tersebut? Kemudian, guru memfasilitasi siswa untuk mengajukan pertanyaan - pertanyaan ten-tang hal-hal yang mengarah kepada pemecahan masalah tersebut. Contoh pertanyaan siswa yang sesuai dengan tujuan pembelajaran: “ Apa yang harus saya lakukan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut?Siswa diajak untuk berpikir divergen Sebagai contoh siswa mempertanyakan “Bagaimana jika seperti ini’

5. Mengomunikasikan: Secara tertulis atau berpasangan siswa menjelaskan proses dari menyelesaikan permasalahan sejak tahap mengamati, menanya, mengumpulkan informasi sampai mengolah informasi yang merupakan tahapan menafsirkan hasil dan memeriksa hasil, dan siswa menyimpulkan informasi yang diberikan oleh guru

Kesimpulan yang diperoleh adalah:

2.3. Pendekatan Saintifik yang Membentuk Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Pendekatan saintifik dilakukan melalui proses mengamati ,menanya, mencoba/ mengumpulkan data,mengasosiasi/mena-lar, dan mengomunikasikan. Dari kegiatan yang dilakukan dalam pembelajaran matematika mengisyaratkan bahwa pada setiap kegiatan tersebut membentuk dan meningkatkan kemampuan yang ada pada diri siswa,sebagai berikut: (1) Kegiatan mengamati. Proses mengamati fenomena atau fakta matematika mencakup mencari informasi, melihat, mendengar, membaca, dan atau menyimak tentang permasalahan matematika (2) Kegiatan menanya dilakukan sebagai salah satu proses membangun pengetahuan siswa dalam bentuk konsep, prisnsip, prosedur, hukum dan teorema, hingga berpikir metakognitif. Tujuannnya agar siswa memiliki kemapuan berpikir tingkat tinggi (high order thingking skill) secara kritis, logis, dan sistematis.

3. Menalar Siswa secara berpasangan didorong untuk mencari dan menuliskan informasi pada permasalahan, khususnya terkait dengan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dari permasalahan tersebut. Siswa meng-ajukan pendapat dengan pemikiran yang sudah dimilikinya yaitu berpikir deduktif seperti: ”Sudut yang berada di kuadran IV mempunyai nilai cosinus positif”, maka siswa menalar dengan sendirinya “Berarti cosinus sudut 240o nilainya positif “ 4. Mencoba: Siswa mengumpulkan data dengan mencoba 26

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

(3) Kegiatan mencoba dilakukan untuk meningkatkan keingintahuan siswa untuk memperkuat pemahaman konsep dan prinsip/prosedur dengan mengumpulkan data, mengembangkan kreatifitas, dan keterampilan kerja ilmiah. Jadi, kegiatan mengamati, menanya dan mencoba sangat baik untuk menuntun siswa membangun pengetahuan sendiri dan diharapkan mereka mampu menemukan sesuatu sampai dengan memahami nilai dari pengetahuan, sikap dan ketrampilan. Dengan begitu dapat terjalin sinergi proses belajar yang sangat komunikatif dan aplikatif dengan cara memberikan pancing-an-pancingan pada siswa untuk mengem-bangkan cara berpikir tingkat tinggi, ilmiah, aktif, kreatif. (4) Kegiatan menalar/mengasosiasi bertu-juan untuk membangun kemampuan berpi-kir dan bersikap ilmiah. Data yang diperoleh dibuat klasifikasi, diolah, dan ditemukan hubunganhubungan yang spesifik. Hasil kegiatan mencoba dan mengasosiasi memungkinkan siswa berpikir kritis tingkat tinggi (higher order thinking skills) hingga berpikir metakognitif. (5) Kegiatan mengomunikasikan adalah sa-rana untuk menyampaikan hasil pemikiran yang konseptualisasi dalam bentuk lisan, tulisan,gambar/sketsa, diagram, atau grafik,teorema,dll Kegiatan ini dilakukan agar siswa mampu mengomunikasikan pengetahuan, keterampilan, dan penerapannya, serta kreasi daya cipta siswa melalui presentasi, membuat laporan, dan/ atau unjuk karya. Penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran matematika ini adalah adanya tantangan baru dari dinamika kehidupan yang makin kompleks.Tantangan kehidupan yang makin kompleks ini men-dorong kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa hingga menuntut terus menerus serta membangkitkan kreativitas dan keingintahuan siswa bagaimana pembelajaran matematika dapat menjawab tantangan masa depan

pada kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi.Sehingga siswa secara aktif mengonkonstruksi peng-etahuannya sendirinya sehingga dapat ditumbuhkembangkan kemampuan ber-pikir matematis tingkat tinggi

4. DAFTAR PUSTAKA Arends, Richard I.2001.Learning To Teach (5th Edition). Singapore: MC Graw Hill. Combie White (1997)“Curriculum Innovation; A Celebration of Classroom Practice Goethals, Paul 2013.The Pursuit of Higher thinking in the Mathematics Classroom: A Review. Jurnal The Center For Faculty Excellent, United States Military Academy West Point NY Henningsen, M., & Stein, M.K. 1997. Mathematical Tasks and Student Cognition:Classroom-Based Factors That Support and Inhibit High-Level Mathematical Thinking and Reasoning. Journal for Research in Mathematics Education,28, 524-549 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Matematika : Buku Guru dan Siswa Untuk SMA Kelas X. Jakarta: Politeknik Negeri Media Kreatif Kemendikbud.2013.Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 64 Tahun 2013 Tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah Jakarta. Krathwohl, D.R.(Eds.)2002. A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A revision of Bloom’s Taxonomy an Overview. New York: Longman. Krulik, S dan Rudnick, J.A 1999. The New Sourcebook for Teaching Reasoning and Problem Solving in Elementary School. Massachusetts: Allyn & Bacon A Simon & Schuster Company. Lewis, A, & Smith, D.1993. Defining Higher Order hinking. Theory and Practice. Volume 32 Number 3 Marzano, R.J., Brandt, R S., Carolyn, S.H., Jones, F.B., Presseisen, B.Z., Rankin, S.C., & Suhor C. 2008. Dimension of Thinking: A framework for Curriculum and Instruction. Alexandria: ASCD. Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Gonzales, E.J., Gregory, K.D., Garden, R.A., O‟

3. PENUTUP Pembelajaran dengan pendekatan saintifik merupakan proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa dimana komponen yang memuat 5 M (Mengamati, Menanya,Mencoba,Menalar,danMengomunikas ikan) berkaitan erat dengan indikator yang ada

27

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR GEOMETRI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PERSEPSI RUANG SISWA SMP Dona Afriyani, Wiri Desmitasari Program Studi Tadris Matematika Jurusan Tarbiyah STAIN Batusangkar. Korespondensi: Jl. Sudirman No.137 Kuburajo Lima Kaum Batusangkar 27213 Email: [email protected] ABSTRAK Penelitian pengembangan ini bertujuan untuk menghasilkan bahan ajar geometri untuk meningkatkan kemampuan persepsi ruang peserta didik yang valid. Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan dengan tiga tahap penelitian yaitu: analisis muka-belakang (front-end analysis), tahap prototipe (prototype), dan tahap penilaian (assessment). Teknik pengolahan data dilakukan dengan statistika deskriptif. Dari hasil penelitian diperoleh bahan ajar geometri untuk meningkatkan kemampuan persepsi ruang peserta didik yang valid. Valid menurut pakar matematika setelah dilakukan validasi dengan sedikit revisi. Jadi, bahan ajar geometri untuk meningkatkan kemampuan persepsi ruang peserta didik yang dirancang oleh peneliti sudah valid dari isi, konstruk, dan permukaan. Keywords: Bahan Ajar Geometri, Kemampuan Persepsi Ruang, Valid tersebut disebabkan oleh hasil belajar peserta didik yang terus saja kurang memuaskan setiap tahunnya (Eliwarti, 2013). Berdasarkan hasil wawancara tentang aktivitas pendidik dan peserta didik dalam belajar geometri belum adanya kegiatan tentang mengembangkan kemampuan persepsi ruang peserta didik, seperti kegiatan menjelaskan adanya perubahan tertentu jika objek tiga dimensi digambar pada bidang dua dimensi, dan lain-lain (Eliwarti, 2013). Untuk menelusuri kemampuan persepsi ruang peserta didik di SMPN 3 Batusangkar, peneliti memberikan tes kepada peserta didik kelas VIII yang mewakili kelompok atas, menengah dan rendah. Hasil dari tes tersebut adalah tidak seorang pun dari peserta didik yang mencapai nilai 50 dengan nilai idealnya 100. Jadi, kemampuan persepsi ruang peserta didik masih jauh dari memuaskan. Dilihat dari sumber belajar yang digunakan oleh pendidik, pendidik hanya mewajibkan peserta didik untuk menggunakan satu buku teks yaitu buku sekolah elektronik (BSE) untuk kelas VIII yang dikarang oleh Dwi Nuharin dan Wahyuni. Peneliti melihat bahwa di dalam buku tersebut khususnya pada materi geometri juga masih belum adanya aktivitasaktivitas matematika yang dapat meningkatan kemampuan persepsi ruang peserta didik. Jadi, dari semua masalah tersebut dibutuhkan sebuah alat atau sarana pembelajaran pendamping untuk membantu peserta didik dalam memahami materi geometri, serta dapat meningkatkan kemampuan persepsi ruang

1. PENDAHULUAN Penelitian ini bertolak dari hasil survey programme for international student assessment (PISA) yang menunjukkan bahwa peserta didik lemah dalam geometri, khususnya dalam pemahaman ruang dan bentuk. Jika kemampuan keruangan seseorang lemah, maka akan berakibat kepada kemampuan persepsi ruang peserta didik, karena kemampuan persepsi ruang merupakan salah satu dimensi dari kemampuan keruangan. Persepsi ruang merupakan pengetahuan berupa kemampuan untuk mengenal dan membedakan stimulus yang berkaitan dengan ruang (Ahmad Fauzan, 1996: 2). Mengingat kemampuan persepsi ruang berkaitan erat dengan kemampuan geometri, maka jika masalah ini dibiarkan akan berdampak negatif terhadap penguasaan materi geometri di sekolah. Sehingga sangat diperlukanlah aktivitas geometri yang dapat meningkatkan kemampuan persepsi ruang peserta didik dalam belajar geometri. Aktivitas geometri tersebut dapat dirancang dalam sebuah bahan ajar, sehingga pembelajaran matematika yang dilakukan lebih efektif dan efisien dengan menggunakan bahan ajar tersebut. Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu pendidik dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar (Abdul Majid, 2006: 174). Dari hasil observasi di SMPN 3 Batusangkar, pembelajaran tentang geometri juga merupakan suatu hal yang menjadi perhatian serius bagi pendidik matematika. Hal 28

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

peserta didik. Salah satu alat pendamping tersebut adalah bahan ajar. Bahan ajar yang dimaksud adalah bahan ajar geometri. Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan produk berupa bahan ajar geometri untuk meningkatkan kemampuan persepsi ruang peserta didik yang valid.

1. Cover dari bahan ajar geometri ini diberi judul “Bangun Ruang Sisi Datar Kubus, Balok, Prisma, dan Limas”. Agar bahan ajar mudah dikenali, maka pada cover digunakan identitas seperti “Bahan Ajar Geometri, oleh Wiri Desmitasari, untuk SMP Kelas VIII Semeter 2, Bangun Ruang Sisi Datar Kubus, Balok, Prisma, dan Limas, Nama, Kelas, serta Disusun Berdasarkan Kurikulum 2013”. Berikut contoh dari cover bahan ajar geometri:

2. METODE Penelitian ini menggunakan metode penelitian pengembangan yaitu metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2007: 407). Menurut Van Den Akker (Ahmad Fauzan, 2002: 62), rancangan penelitian pengembangan ini terdiri tiga tahap yaitu: (1) Analisis MukaBelakang (Front-end Analysis), tahap analisis muka-belakang dilakukan untuk mendapatkan gambaran kondisi di lapangan, (2) Tahap Prototipe (Prototype), hasil dari analisis mukabelakang digunakan untuk merancang prototipe bahan ajar geometri untuk meningkatkan kemampuan persepsi ruang peserta didik, (3) Tahap Penilaian (Assessment), pada tahap penilaian, kegiatan dilakukan untuk mengevaluasi apakah prototipe dapat digunakan sesuai dengan harapan. Teknik analisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif. Data yang diperoleh dari hasil validasi dicari persentasenya dengan menggunakan rumus (1)

Gambar 1. Cover bahan ajar 2. Tinjauan mata pelajaran yang dirancang memuat KI, KD, dan indikator. Tujuan dari tinjauan mata pelajaran ini diberikan agar peserta didik mengetahui urutan materi geometri yang akan mereka pelajari dari awal sampai akhir. Berikut contoh dari disain tinjauan mata pelajaran bahan ajar geometri:

Berdasarkan hasil persentase, setiap tagihan dikategorikan pada: Tabel 1. 1.1. Kategori Validitas Bahan ajarGeometri 1.2. untuk Meningkatkan Kemampuan Persepsi Ruang Persentase (%) Kategori 0-20 Tidak Valid 21-40 Kurang Valid 41-60 Cukup Valid 61-80 Valid 81-100 Sangat Valid

Gambar 2. KI, KD dan Indikator bahan ajar 3. Petunjuk belajar bagi peserta didik untuk mempelajari bahan ajar geometri didisain agar mempermudah peserta didik dalam menggunakan bahan ajar geometri. Contohnya dapat dilihat di bawah ini:

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah dilakukan analisis muka belakang, maka langkah selanjutnya adalah merancang bahan ajar geometri. Berikut ini diuraikan karakteristik bahan ajar geometri yang telah diancang:

Gambar 3. Petunjuk Belajar pada Bahan Ajar 4. Daftar isi yang diberikan bertujuan untuk memudahkan peserta didik mencari halaman 29

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

dari materi geometri yang akan dipelajari. Contohnya disain daftar isinya dapat dilihat di bawah ini:

Contoh disain penyajian gambar dan materi dapat dilihat di bawah ini:

Gambar 4. Daftar Isi Bahan Ajar 5. Gambaran umum tentang cakupan bab memuat judul materi, KD, indikator, tujuan, dan deskripsi singkat mengenai materi yang akan dipelajari. Deskripsi singkat tentang materi berisi ilustrasi kontekstual. Contoh disainnya dapat dilihat di bawah ini:

Gambar 6. Penyajian Gambar untuk meningkatkan perception of spatial relationship,

Gambar 5. Deskripsi Materi pada Bahan Ajar

7. Selain penyajian gambar dan penjelasan materi, pada bagian ini juga diberikan aktivitas geometri untuk menunjang peningkatan kemampuan pesepsi ruang seperti “Ayo Mencoba!” yang dilakukan secara berkelompok. Kegiatan ini disajikan dalam bentuk tabel yang berisi ilustrasi dan petunjuk untuk kegiatan yang akan dilakukan oleh anggota kelompok. Bagian ini merupakan salah satu kegiatan untuk pengembangan indikator kemampuan persepsi ruang yang kedua yaitu position-inspace perception. Contoh disainnya seperti berikut ini:

6. Penyajian (berisi uraian materi secara rinci dan dibagian akhirnya diberikan rangkuman). Pada bagian uraian materi dikembangkan indikator kemampuan persepsi ruang. Untuk mengembangkan indikator ini, peneliti menyajikan gambargambar serta memberikan penjelasan secara komunikatif (disertai pertanyaanpertanyaan) yang sesuai dengan indikator kemampuan persepsi ruang. Indikator kemampuan persesi ruang pertama yaitu tentang perceptual constancy, pada bagian ini dikembangkan bentuk-bentuk geometri yang disajikan dalam posisi yang berbedabeda. Indikator yang kedua adalah positionin-space perception, pada bagian tersebut disajikan sebuah gambar yang kemudian dijelaskan kedudukan gambar jika berada di depan, di belakang, di atas, dan di bawah dari pengamat. Sedangkan indikator yang ketiga adalah perception of spatial relationship, pada bagian ini merupakan kemampuan untuk melihat dua atau lebih objek-objek dan kaitannya satu sama lain. Jadi, pada bagian ketiga ini diberikan beberapa gambar yang membentuk sebuah bangun dan peserta didik dituntut untuk membentuk bangun seperti pada gambar.

Gambar 7. Penyajian Gambar untuk meningkatkan position-in-space perception 8. Pada bagian akhir dari penyajian materi diberikan rangkuman dari materi yang telah dipelajari. Rangkuman ini bertujuan untuk membantu peserta didik dalam mencatat poin-poin penting dari materi yang telah 30

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

dipelajari, terutama poin tentang pemahaman konsep terhadap kemampuan persepsi ruang. Contoh disain rangkuman dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 9. Latihan pada Bahan Ajar 10. Bagian bahan ajar geometri selanjutnya adalah daftar pustaka. Sumber yang dipaparkan pada bagian ini adalah buku sumber yang menjadi rujukan dari pendidik dalam mengajar. Contoh disainnya dapat dilihat di bawah ini:

Gambar 8. Rangkuman Materi pada Bahan Ajar 9. Bagian bahan ajar geometri selanjutnya adalah penutup (berisi evaluasi berupa latihan bagi peserta didik secara individu yang juga memuat indikator kemampuan persepsi ruang dan disertakan dengan umpan balik agar peserta didik dapat menilai sendiri hasil kerjanya). Contoh disain latihan individu dapat dilihat di bawah ini:

Gambar 10. Daftar Pustaka pada Bahan Ajar 11. Pada bagian akhir dari bahan ajar geometri diberikan senarai yang berisi daftar kata-kata teknis yang dianggap penting dan perlu dijelaskan. Senarai ini sangat membantu peserta didik dalam belajar materi geometri secara mandiri. Contoh disain senarai dapat dilihat di bawah ini:

Gambar 9. Penutup pada bahan Ajar

Gambar 11. Senarai pada Bahan Ajar

Latihan individu disertai dengan kunci jawaban. Tujuannya agar peserta didik mampu menilai sejauh mana pemahamannya terhadap materi yang dipelajari. Penilaian akhir dapat dicari sendiri oleh peserta didik pada halaman umpan balik. Pada umpan balik disertakan rumus yang digunakan oleh peserta didik untuk mengevaluasi hasil kerjanya. Contoh disain kunci jawaban dan umpan balik dapat dilihat di bawah ini:

Setelah merancang bahan ajar geometri, langkah selanjutnya adalah tahap penilaian yaitu dengan memvalidasi bahan ajar geometri dengan pakar matematika. Hasil validasi dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Hasil Validasi Produk Aspek yang Validator No jl % % divalidasi 1 2 3 1.

Tujuan

11

9

10 30 83

Sangat Valid

2. Isi bahan ajar 12 11 13 36 75 Valid geometri 3. Rasional 12 12 13 37 77 Valid 31

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

4. Bentuk fisik Jumlah

6

5

6

17 71 Valid Dari tabel di atas, terlihat bahwa bahan ajar geometri yang telah dirancang dapat meningkatkan kemampuan persepsi ruang peserta didik. Sehingga untuk indikator persepsi ruang perceptual constancy, position-in-space perception, dan perception of spatial relationship, validator melihat bahwa dalam bahan ajar geometri sudah memuat ketiga indikator tersebut sehingga dinilai dapat meningkatkan kemampuan persepsi ruang peserta didik.

41 37 42 120 77 Valid

Tabel 2 memperlihatkan bahwa bahan ajar geometri telah memenuhi kriteria valid yaitu valid dari segi isi, konstruk, dan permukaan. Bahan ajar geometri dikatakan telah valid dari segi isi karena bahan ajar geometri telah memenuhi tujuan yang terdapat pada silabus pembelajaran dan isi dari bahan ajar geometri sudah sesuai dengan fomat baku penulisan bahan ajar. Bahan ajar geometri dikatakan telah valid dari segi konstruk karena bahan ajar dapat mengukur aspek rasional yaitu dapat mengukur aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, serta dapat meningkatkan kemampuan persepsi ruang peserta didik. Sedangkan valid dari segi permukaan yaitu bentuk fisik secara umum dari bahan ajar geometri sudah memliki penampilan yang menarik. Adapun saran yang diberikan validator diantaranya adalah memutar gambar persepsi ruang harus sesuai dengan aturan memutar bangun ruang, karena tanda pada sudut putar menentukan arah perputaran. Jika tandanya positif maka putaran berlawanan arah jarum jam, jika tandanya negatif maka putaran searah jarum jam (Antonius C. Prihandoko, 2013: 205). Saran lainnya adalah kalimat yang digunakan untuk menjelaskan materi dalam bahan ajar geometri harus efektif, karena bahan ajar yang disusun harus menggunakan bahasa yang mudah (Andi Prastowo, 2012: 73). Sehingga peserta didik tidak akan salah dalam memaknai kalimat dan tujuan dari pembelajaran akan tercapai dengan baik. Validator juga memberikan penilaian bahwa bahan ajar geometri yang telah dirancang juga dapat meningkatkan kemampuan persepsi ruang peserta didik. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:

PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penelitian ini telah menghasilkan bahan ajar geometri yang valid. Valid dilihat dari isi, konstruk, dan permukaan dengan persentase berada pada rentang 71% 83% yaitu 77%. Saran penelitian ini adalah (1) sebaiknya pendidik dapat mengujicobakan semua materi yang ada dalam bahan ajar geometri, (2) penelitian ini diujicobakan pada satu kelas, sebaiknya pendidik dapat mengujicobakan pada kelas yang lain, (3) bagi peneliti selanjutnya yang berminat melanjutkan penelitian ini dapat melanjutkan hingga tahap efektifitas sehingga dampak (efektifitas) dari penggunaan bahan ajar geometri yang dikembangkan dapat diketahui.

DAFTAR PUSTAKA 1. Eliwarti. 2013. Wawancara dan observasi awal penelitian di SMPN 3 Batusangkar 2. Fauzan, Ahmad. 2002. Applying Realistic Mathematics Education (RME) In Teaching Geometry In Indonesian Primary Schools. Padang 3. Fauzan, Ahmad. 1996. Penelusuran Kemampuan Persepsi Ruang Siswa Kelas I SMU di Propinsi Sumatera Barat. Tesis S2 Pada IKIP Surabaya: Tidak Diterbitkan 4. Majid, Abdul. 2006. Perencanaan Pembelajaran-Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya 5. Riduwan. 2007. Belajar Mudah Penelitian. Jakarta: Alfabeta 6. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta

Tabel 3. Hasil Validasi terhadap Kemampuan Persepsi Ruang J Skor No Indikator m % Kategori Maks l 1. Dapat meningkatkan kemampuan 9 12 75 Valid persepsi ruang peserta didik 9 12 75 Jumlah Valid

32

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS : APA DAN BAGAI MANA DIKEMBANGKAN PADA PESERTA DIDIK SEKOLAH DASAR Elita Zusti Jamaan Jurusan Matematika FMIPA UNP [email protected] ABSTRACT Learning in primary schools is relatively inadequate in providing sustenance for learners to create learning which is challenging, yet able to invite students to use the concepts learned in solving problems and using critical thinking. The ability to think is the skill that can be trained, that means, by creating an conducive atmosphere to learn will stimulate learners to improve thinking.The aim to critical thinking skills of learners, so that learners gradually feel compelled to think critically. The development of mathematics critical thinking skills in primary schools is possible, because the math and critical thinking skills are the two things that can not be separated. Mathematically the mathematical material is understood through critical thinking, and critical mathematical thinking. If we trained through learning associated with developing the ability to think of them received training critical thinking to solve problems well, apply knowledge, experience and thinking skills, improve cognitive and affective. Keywords: critical thinking skills, mathematics, elementary school Pada pembelajaran yang bersifat student centered, dalam kegiatan belajarnya peserta didik harus menjadi individu yang aktif membentuk pengetahuan, dapat menentukan sendiri proses belajarnya, memilih pengalaman belajar serta pengetahuan utama yang ingin dicapainya. Lebih jauh Harsono (2006) menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran yang bersifat student centered, nilai-nilai kearifan yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaannya adalah mengajak tanpa memaksa, mendorong tanpa mendesak, menjelaskan tanpa menggurui, memberi contoh tanpa maksud pamer, dan menilai tanpa maksud mencela. Namun, pada kenyataannya pembelajaran di sekolah masih didominasi oleh guru (bersifat teacher centered). Harapan bahwa peserta didik aktif dalam pembelajaran menjadi berbalik dengan keaktifan guru. Peserta didik menjadi pasif dan menerima semua yang diajarkan guru tanpa menunjukkan kesan tidak percaya atas apa yang disampaikan guru (peserta didik tidak skeptis). Dominannya peran guru dalam pembelajaran menyebabkan tugas dan fungsi guru sebagai fasilitator ataupun mediator menjadi terabaikan. Akibatnya optimalitas pengembangan kapabilitas peserta didik, baik yang mencakup cipta, rasa dan karsa sangat kurang. Selain itu, peserta didik memiliki kesempatan yang terbatas untuk berpikir kritis, logis, kreatif dan inovatif. Gejala ini

1. PENDAHULUAN Pendidikan di Indonesia telah banyak mengalami perbaikan, baik dari sisi kurikulum ataupun sarana prasarana pendukungnya. Namun, apakah benar pendidikan kita masih rendah? Hal ini merupakan beban yang cukup menjadi cambuk segenap praktisi pendidikan negeri ini. Proses pembelajaran yang bersifat teacher centered begitu diminati, baik oleh guru maupun peserta didik di Indonesia. Pembelajaran ini memang bukanlah pembelajaran yang buruk, tetapi menyebabkan peserta didik menjadi manja. Setiap bagian yang tidak diajarkan guru akan dilabelinya tidak mengerti. Padahal, seharusnya seorang peserta didik yang telah diberikan bekal materi dan kekayaan sumber belajar dewasa ini dapat memanfaatkan kemampuan berpikir kritisnya untuk mendapatkan jawaban dari apa yang dipertanyakannya. Salah satu langkah positif yang telah dituangkan dalam kurikulum pendidikan adalah penekanan agar pembelajaran bersifat student centered. Keunggulannya adalah kemampuan berpikir peserta didik dikembangkan sesuai dengan taraf perkembangannya. Seorang peserta didik akan memahami suatu konsep berdasarkan apa yang didapatkannya berkelompok atau sendiri, baik dari pengamatan, membaca, melakukan percobaan, dan sebagainya.

33

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

ditunjukkan terutama oleh peserta didik tingkat SD. Seiring dengan hal di atas, diketahui mutu pendidikan matematika Indonesia masih rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Rohmayasari (2010) menunjukkan bahwa sikap dan kemampuan berpikir matematika siswa masih rendah dan belum memuaskan. Hal ini ditunjukkan oleh malasnya peserta didik untuk mempelajari matematika karena terlalu banyak rumus, para peserta didik menganggap bahwa pelajaran matematika adalah pelajaran yang membosankan, masih sulit dipahami, soal matematika yang diberikan sulit untuk dikerjakan, bingung dalam mengaplikasikan konsep matematika dalam kehidupan seharihari, soal yang diberikan adalah soal-soal rutin yang kurang meningkatkan kemampuan berpikir matematika siswa, serta soal yang diberikan tidak berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pada penelitian yang dilakukan Depiska (2013) ditemukan bahwa kelemahan di atas juga disebabkan oleh faktor guru yang kurang memperhatikan kemampuan peserta didik. Guru cenderung asik dengan kapabilitas dirinya sendiri dan lupa bahwa kemampuan peserta didik tidak sama dengan kemampuannya. Selain itu, analisis hasil PISA (Programme for International Students Assessment) dan analisis hasil TIMSS (Trends in International Mathematics and Sceince Study) dan PIRLS (Progress in International Reading Iteracy Study) menunjukkan bahwa peserta didik tingkat SD Indonesia secara ratarata berada pada urutan lima besar dari bawah. Selama empat kali pelaksanaan TIMSS diketahui data sebagai berikut. No Tahun Peringkat Nilai Ratarata 1 1999 32 dari 38 negara 435 2 2003 37 dari 46 negara 420 3 2007 35 dari 49 negara 433 4 2011 40 dari 42 negara 406

hafalan dan terpuruk jatuh ketika menghadapi soal yang mengungkap aspek untuk tingkat tinggi hingga soal yang memerlukan aplikasi (applying) dan penalaran (reasoning). Artinya secara garis besar dapat dikatakan bahwa pembelajaran di Indonesia relatif belum memadai dalam memberikan bekal kepada peserta didik untuk menciptakan pembelajaran yang menantang sehingga mampu mengajak mereka untuk menggunakan konsep-konsep yang dipelajari dalam menyelesaikan soal dan menggunakan kemampuan berpikir kritis. Kondisi ini tidak dapat dibiarkan terus karena akan berimbas kepada masa depan peserta didik. Pembelajaran yang hanya menyuapi peserta dengan pengetahuan dan mengutamakan chalk and talk harus diganti dengan pembelajaran yang mendidik pesertanya bagaimana mengoptimalakan kemampuan diri, baik kemampuan penalaran dalam pemecahan masalah dan berpikir kritis serta sikap mental yang menjiwai pembelajaran peserta didik. Masalah ini juga bukan hanya masalah anak sebagai peserta didik, namun masalah kita bersama sebagai bagian dari bangsa Indonesia terutama guru yang bertanggungjawab langsung dalam memfasilitasi kegiatan belajar peserta didik disamping orangtua di rumah. Padahal pendidikan yang diharapkan adalah yang tanggap terhadap situasi persaingan dan kerjasama global, pendidikan yang membentuk pribadi yang mampu belajar seumur hidup, dan pendidikan yang menyadari sekaligus mengupayakan pentingnya pendidikan nilai dan sikap. Dalam perkembangan kemampuan matematika peserta didik, seorang guru harus memperhatikan bagaimana seharusnya perkembangan dari kemampuan fisik dan intelektual yang dijembatani oleh kompetensi sosial dan emosional peserta didik. Berbekal bagaimana ia menempatkan dirinya dalam lingkungan sosial dengan kemampuan intelektualnya dan dengan kemampuan intelektualnya, ia bisa menjaga emosi sehingga fisiknya terkendali. Hal ini akan dapat terlaksana jika peserta didik mampu berpikir kritis.

Hasil ini menunjukkan bahwa tidak hanya kualitas pendidikan Indonesia yang rendah, namun kualitas itupun semakin lama semakin menurun. Jika hal ini dibiarkan berlarut, bukan suatu hal yang tidak mungkin jika pada akhirnya kebanggaan bangsa Indonesia terhadap diri dan bangsanya akan menjadi kenangan semata. Dilihat dari konten yang diuji, diketahui bahwa peserta didik Indonesia sangat piawai ketika menghadapi soal yang bersifat teoritis/

2. PEMBAHASAN 2.1.

Berpikir Kritis Berpikir kritis merupakan serangkaian kegiatan dalam rangka pengambilan keputusan terhadap kondisi yang dihadapi. Selain itu, berpikir kritis juga didefinisikan sebagai pembentukan kemampuan aspek logika seperti 34

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

kemampuan memberikan argumentasi, silogisme dan pernyataan yang proposional. Beyer (dalam Wardhani, 2011), menyatakan bahwa berpikir kritis adalah kumpulan operasioperasi spesifik yang mungkin dapat digunakan satu persatu atau dalam banyak kombinasi atau urutan dan setiap operasi berpikir kritis tesebut memuat analisis dan evaluasi. Sedangkan menurut Ennis (1996) berpikir kritis adalah suatu proses berpikir yang bertujuan untuk membuat keputusan yang rasional yang diarahkan untuk memutuskan apakah meyakini atau melakukan sesuatu. Berpikir kritis difokuskan kedalam pengertian sesuatu yang penuh kesadaran dan mengarah pada sebuah tujuan. Tujuan dari berpikir kritis akhirnya memungkinkan kita untuk membuat keputusan. Demikian pula Schasferman, mendefinisikan berpikir kritis adalah berpikir yang masuk akal (reasonable), mendalam (reflective), dapat dipertanggung jawaban (responsible), dan berpikir cerdas (skillful thinking) yang difokuskan pada kesimpulan apakah yang dipikirkan itu dapat dipercaya atau dapat dikerjakan. Berpikir kritis digunakan dalam berbagai situasi dan kesempatan dalam upaya memecahkan persoalan kehidupan. Oleh karena itu menjadi penting pula seseorang untuk belajar bagaimana berpikir kritis, karena seseorang tidak serta merta mampu berpikir kritis tanpa melalui proses belajar. Pada jenjang pendidikan dasar, peserta didik (anak-anak) harus melakukan langkahlangkah kecil dulu sebelum akhirnya terampil berpikir dalam tingkatan yang lebih tinggi. Salah satu hal yang paling menakjubkan dari anak-anak adalah keterbukaan mereka pada informasi baru dan kemauan mereka untuk berubah. Apabila anak-anak diberi kesempatan untuk menggunakan pemikiran dalam tingkat yang lebih tinggi di setiap kelas, maka mereka akan terbisa membedakan antara kebenaran dan ketidak benaran, penampilan dan kenyataan, fakta dan opini, pengetahuan dan keyakinan. Secara alami, mereka akan membangun argumen dengan menggunakan bukti-bukti yang dapat dipercaya dan logika yang masuk akal. Dengan demikian, berarti kemampuan berpikir anak mulai berkembang karena anak mulai terbiasa membangun imajinasi antara halhal yang berbeda, melihat kemungkinankemungkinan tak terduga, dan berpikir dengan cara baru mengenai masalah-masalah yang sudah lazim Kemampuan berpikir kritis dapat diukur melalui tes yang mencakup lima buah indikator,

yaitu mengenal asumsi, melakukan inferensi, deduksi, interpretasi, dan mengevaluasi argumen. Kemampuan berpikir kritis sebagai bagian dari keterampilan berpikir perlu dimiliki oleh setiap anggota masyarakat, sebab banyak sekali persoalan-persoalan dalam kehidupan yang harus dikerjakan dan diselesaikan. Tujuan dari berpikir kritis adalah untuk mencapai pemahaman yang mendalam yang membuat seseorang mengerti maksud dibalik ide dan mengungkapkan makna dibalik suatu kejadian. Proses berpikir kritis mengharuskan keterbukaan pikiran, kerendahan hati, dan kesabaran. Kualitas-kualitas ini membantu seseorang mencapai pemahaman yang mendalam. Hal ini membuat pemikir kritis selalu berpikiran terbuka saat seseorang mencari keyakinan yang ditimbang baik-baik berdasarkan bukti logis dan logika yang benar. Pencarian pemikir kritis akan kebenaran mengharuskan seseorang berhati-hati dalam menarik kesimpulan, cepat mengakui kebodohan, rindu mendapatkan informasi baru, sabar dalam menyelidiki bukti, toleran terhadap sudut pandang baru dan mau mengakui kelebihan sudut pandang orang lain dibandingkan dengan sudut pandang dirinya sendiri. 2.2. Berpikir Kritis Matematis Ada beberapa istilah yang terkait dengan berpikir matematis (mathematical thinking),di antaranya adalah: kegiatan matematik (doing math), tugas matmematik (mathematical task), keterampilan matematik (mathematical ability). Keterampilan atau kemampuan matematis (mathematical abilities) dimaksudkan sebagai keterampilan melaksanakan doing math atau menyelesaikan tugas matematika. Proses menghitung merupakan doing math yang sederhana. Pengertian berpikir matematis menurut Beyer,B.K.(1985) dipandang lebih luas cakupannya dibandingkan dengan penalaran matematika atau dapat dikatakan berpikir matematis memuat komponen penalaran matematika. Sedangkan Baron, dan Sternberg,(1987) mendefinisikan berpikir kritis matematis sebagai berpikir reflektif yang beralasan dan difokuskan pada penetapan apa yang dipercayai atau yang dilakukan. Kemudian, Glaser (2000) menyatakan bahwa berpikir kritis matematis memuat kemampuan yang digabungkan dengan pengetahuan, kemampuan penalaran matematika,dan strategi kognitif yang 35

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

sebelumnya,dan mengakses situasi matematika secara reflektif, bertanya secara jelas dan beralasan, berusaha memahami dengan baik.Pada aspek afektif, dalam berpikir kritis matematis juga termuat sejumlah kemampuan yaitu: memfokuskan diri pada pertanyaan, menganalisis dan mengklarifikasi pertanyaan, jawaban,mengamati, menganalisis induksi, merumuskan eksplanatori, kesimpulan. (Ennis, dalam Baron dan Sternberg, 1987).

proses ini, masing-masingnya berusaha menahan diri untuk saling memberitahu dan menahan diri untuk tidak banyak bertanya, guru diharapkan mengajak spesertaiswa untuk bertanya. Bahasa Indonesia digunakan sebagai penghela pengetahuan, artinya pembelajaran diawali dan diakhiri dengan penguatan bahasa Indonesia. Selama pembelajaran, keterampilan berbahasa harus didahulukan dibandingkan keterampilan lainnya sedangkan matematika bukanlah berhitung pada pola, bentuk, dll serta penjaskes-senibudaya juga bukan pula keterampilan psikomotorik. Keterampilan dapat berbentuk penyajian dan tindakan. Tugas guru adalah memberi motivasi, membuat peserta didik menggemari pelajaran dan pembelajarannya. Dalam mengajarkan berpikir kritis, guru harus membangun kreativitas, keingintahuan, dan ketidakpercayaan peserta didik dalam menyelesaikan masalah sehingga ia menjadi benar-benar ingin mengetahui jawaban yang sebenarnya. Tanpa meningkatkan dan mengandalkan pembelajaran matematika yang berkualitas yang menuntun peserta didik agar mau berpikir, akan sangat sulit untuk dapat tercapainya kemampuan berpikir agar menghasilkan sebuah hasil prestasi belajar matematika yang baik. Peserta didik mengembangkan kemampuannya pada berpikir kritis dan selanjutnya kreatif sehingga mereka mempelajari dan mengevaluasi pengetahuan, mengklarifikasi konsep dan ide, melihat berbagai kemungkinan dan peluang, mencari alternatif dan penyelesaian masalah. Berpikir kritis dan kreatif adalah aktifitas yang terintegrasi sehingga peserta berpikir secara luas dan mendalam menggunakan keterampilan, kebiasaan, dan watak seperti penalaran, logika, kekurangan sumber, imajinasi dan inovasi pada semua area belajar di sekolah dan kehidupannya di luar sekolah. Kemampuan berpikir peserta didik tidak akan berkembang dengan baik secara alami, akan tetapi kemampuan berpikir merupakan proses pembelajaran yang membutuhkan pendampingan dari seorang guru, baik guru di sekolah ataupun orangtua di rumah. Sehingga mengaktifkan kemauan dan kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis diperlukan guru yang berkualitas. Guru adalah motivator dan fasilitator peserta didik dalam belajar. Untuk itu ia perlu memperkaya dirinya dengan pengetahuan dan akhlak sehingga ia benarbenar layak menjadi seorang guru. Dalam

2.3. Bagaimana Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar? Berpikir adalah bagian dari kehidupan kita. Menurut Rggiero (Johnson,2007), berpikir merupakan segala aktivitas mental yang membantu merumuskan atau memecahkan masalah, membuat keputusan, memenuhi keinginan untuk memahami, sebuah pencarian jawaban, dan sebuah pencapaian makna. Karena itu berpikir bukanlah suatu hal yang mudah untuk diajarkan. Dalam kegitan berpikir, diperlukan tiga kata tanya utama sehingga diperoleh hasil yang diharapkan. Setiap orang yang berpikir akan ditanya apa yang dipikirkannya, baik oleh diri sendiri maupun oranglain. Selanjutnya jika jawaban atas pertanyaan apa telah didapatkan, akan muncul pertanyaan baru, yaitu mengapa. Demikian seterusnya sehingga kita menjadi penasaran bagaimana berikutnya. Ketika pertanyaan bagaimana telah keluar dari mulut kita, maka ketidakpuasan atas segala sesuatu ini akan menggiring kita terhadap suatu solusi yang memang diharapkan. Hal ini sesuai dengan tuntutan kurikulum baru yang mengharapkan siswa belajar dengan diawali dengan pemanfaatan untuk kemudian dibentuk sikap yang mendasari keterampilan peserta didik untuk kemudian diungkapakan sebagai pengetahuan. Bagaimana membentuk pola pikir peserta didik harus diajarkan dan diterapkan sedini mungkin, serta kemampuan ini bukanlah kemampuan yang didapat begitu saja, melainkan dengan proses pengajaran dan pembiasaan. Semakin dini anak diajar berpikir, akan semakin baik. Untuk itu, dalam kurikulum baru sekolah dasar diterapkan pembelajaran tematik. Pembelajaran merujuk pada kompetensi inti yang bebas mata pelajaran dan bersifat sebagai pembelajaran terpadu. Pembelajaran diawali dengan mengajak peserta didik untuk mengamati dan menanya. Selama 36

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

pembelajaran matematika, dengan sifat matematika yang abstrak dan bersifat deduktif akan sulit bagi siswa untuk memahami sendiri matematika itu tanpa bantuan seorang guru. Maka, guru harus memahami matematika itu dengan sebenarnya. Ketika peserta didik tidak menguasai suatu masalah atau terbentur dengan suatu persoalan, guru dapat memberikan berbagai alternatif arah penyelesaian masalah tersebut. Bantuan yang diberikannya hanya berupa arahan sehingga kemampuan berpikir kritis peserta didik terbentuk. Guru diharapkan membantu peserta didik mengubah cara berpikirnya: (1) dari menerka ke menaksir; (2) dari memilih ke mengevaluasi; (3) dari mengelompokan ke mengklasifikasikan; (4) dari percaya ke mengasumsikan; (5) dari menyimpulkan ke menyimpulkan secara logis; (6) dari menghubungkan konsep-konsep menjadi memahami prinsip-prinsip; (7) dari memperhatikan hubungan-hubungan menjadi memperhatikan hubungan antar hubungan; (8) dari dugaan menjadi menghipotesis (9) dari memberikan pendapat tanpa alasan ke memberikan pendapat dengan alasan; (10) dari membuat keputusan tanpa kriteria ke membuat keputusan dengan kriteria. Sehingga pengajaran ketrampilan berpikir kritis mutlak diperlukan untuk membekali peserta didik dalam menempuh kehidupannya. Mrbigum mengatakan bahwa guru akan menanggung dosa jika kelak peserta didik mengalami kesengsaraan karena tidak pernah diajarkan padanya tentang ketrampilan berpikir kritis. Aktivitas yang mendahului berpikir kritis adalah tugas independen dan kolaboratif yang menuntut transisi cara berpikir. Peserta didik harus tertantang untuk berpikir kritis, melakukan penalaran, berpikiran terbuka, melihat alternatif penenyelesaian masalah, mentolerir keambiguan, menghampiri peluang, menjadi pengambil risiko yang inovatif dan menggunakan imajinasi.

Contoh 1.

3. PENUTUP Kesimpulan utama tentang penelitian

2.

Gambar di atas menunjukkan gambar seseorang yang gerakannya membentuk sudut tumpul. Bersama seorang teman, buatlah gambar gerakan orang membentuk sudut. Gambar harus memuat ketiga jenis sufut yang berbeda. Tuliskan masingmasing ukuran sudutnya.

2.4. Contoh Persoalan Matematika yang Mengukur Kemampuan Berpikir Kritis Berikut ini disajikan contoh persoalan yang mengukur kemampuan berpikir kritis matematis tertentu.

37

3

Beni menyatakan bahwa ia telah membagi persegipanjang berikut menjadi 4 daerah yang sama luasnya. Susi tidak setuju dengan pendapat Beni. Siapakah yang benar? Mengapa?

4

Pak Budi sedang menghitung biaya produksi membuat gantungan kunci. Tiap gantungan kunci memuat dua huruf yang berbeda tanpa mempertimbangkan urutan huruf. Beberapa contoh banyaknya huruf dan banyaknya gantungan kunci yang dapat dibuat tercantum pada tabel berikut : Banyaknya Banyaknya huruf gantungan kunci 4 12 5 20 6 30 7 42 8 56

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Berdasarkan data di atas, pak Budi mengestimasi bahwa dari 50 huruf yang berbeda ia akan mendapat 2450 buah gantungan kunci. Perkiraan pak Budi adalah (pilih salah satu jawaban dan berikan penjelasanmu) a. Pasti benar b. Mungkin benar c. Data tidak cukup d. Mungkin salah e. Pasti salah

Harsono. 2006. Kearifan dalam Transformasi Pembelajaran: Dari Teacher-Centered ke Student-Centered Learning. Jurnal Pendidikan Kedokteran dan Profesi Kesehatan Indonesia Vol. I, No. 1, Maret 2006 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Matematika : Buku Guru dan Siswa Untuk SMA Kelas X. Jakarta: Politeknik Negeri Media Kreatif Kemendikbud.2013.Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 64 Tahun 2013 Tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah Jakarta. Massa,S. 2014. The Development Of Critical Thinking In Primary School: The Role Of Teachers’ Beliefs. Procedia - Social and Behavioral Sciences 141 ( 2014 ) 387 – 392 Mrbigum. Ketrampilan Berpikir Kritis, Cara Mengajarkan dan Cara Mengukurnya. http://gurupembaharu.com OECD, 2006 dan 2012 PISA 2012 Results In Focus. What 14-Year-Old Know And What They Can Do With What They Know.Rohmayasari, N. 2010. Pengaruh Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual (CTL) terhadap peningkatan Kemampuan Berpikir Analitis dan Kreatif Siswa SMA di Jawa Barat. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FKIP UNPAS: tidak diterbitkan Schafersman S. D, An Introduction to Critical Thinking (http://www.Freeinquiry.Com/naturalism. html.,1991) diunduh tanggal 9 Januari 2009 Wardhani, P.P. (2011), Kemampuan Berpikir Kritis Dan Kreatif Matematika. http://furahasekai.wordpress.com/2011/1 0/06/kemampuan-berpikir-kritis-dankreatif-matematika/,(29 Nopember 2012)

Penjelasan........................................................... ............................................................................

4.

PENUTUP Kemampuan berpikir kritis matematis merupakan hal yang harus dimiliki oleh peserta didik. Oleh sebab itu,pembelajaran yang mengajarkan cara berpikir kritis perlu diajarkan di semua jenjang pendidikan formal, yang dimulai dari sekolah dasar . Kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan oleh peserta didik mengingat bahwa dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat dan memungkinkan siapa saja dapat memperolah informasi secara cepat dan mudah dengan melimpah dari berbagai sumber dan tempat manapun di dunia.

5. DAFTAR PUSTAKA Baron, J. B. dan Sternberg, R.J. (Editor), (1987) Teaching Thinking Skill. New York: W.H. Freeman and Company Beyer, B.K. 1985. Critical Thinking: What is It? Social Education, 45 (4) Depiska, I. 2013. Penerapan Contextual Teaching and Learning pada Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas VIII SMPN 1 Bukittinggi. Skripsi Jurusan Matematika FMIPA UNP: tidak diterbitkan Ennis, R.H. 1996. Critical Tinking. New York: Prentice Hall.

38

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

UJI KEPRAKTISAN MODEL PEMBELAJARAN KALKULUS II BERDASARKAN TEORI APOS (MPK-APOS) Hanifah Teknik Informatika FT UNIB (Mahasiswa S3 UNP) [email protected] ABSTRAK Pengembangan Model Pembelajaran Kalkulus II Berdasarkan Teori APOS dikembangkan dengan menggunakan rancangan Plomp (2013) yang terdiri atas tiga tahap, yaitu: 1) preliminary research, 2) prototyping phase, dan 3) assessment phase. Konstruksi model menggunakan komponen model oleh Joyce dan Weil (1992). Dari hasil pengembangan diperoleh MPK-APOS yang terdiri dari lima komponen yaitu: Sintak, Prinsip Reaksi, Sistem Sosial, Sistem Pendukung, Dampak Instruksional dan Dampak Pengiring. Sintak MPK-APOS terdiri dari fase: Orientasi, Praktikum, Diskusi Kelompok, Diskusi Kelas, dan Latihan. Salah satu sistem pendukung MPK-APOS adalah Lembar Kerja (LK) Berbasis MPK-APOS. Untuk mengetahui kepraktisan MPK-APOS, setelah MPK-APOS dinyatakan valid oleh para ahli, dilakukan uji coba lapangan di Kelas A dan Kelas B Jurusan Matematika FMIPA UNIB. Untuk mengetahui kepraktisan MPK-APOS, maka data dikumpulkan melalui angket berikut: kelayakan penerapan MPK-APOS oleh ahli, Observasi keterlaksanaan MPK-APOS oleh pengamat, kepraktisan Lembar Kerja (LK) oleh dosen, dan kepraktisan LK oleh mahasiswa. Angket diolah menggunakan skala Likert. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai kepraktisan sebagai berikut: nilai Kelayakan Penerapan MPK-APOS = 91,94 % kategori sangat praktis, nilai Keterlaksanaan MPKAPOS = 92,63 % kategori sangat praktis, nilai LK oleh dosen = 76,49 % kategori praktis, nilai LK oleh mahasiswa = 76,63 %. Rerata nilai kepraktisan MPK-APOS = 84.42 % kategori sangat praktis. Kata Kunci: Model Pembelajaran Kalkulus II Berdasarkan Teori APOS (MPK-APOS), Lembar Kerja Berbasis MPK-APOS. Banyak yang tidak mampu belajar sendiri dengan cara membaca buku wajib Kalkulus. Mahasiswa pasif dan lebih suka mendengarkan penjelasan dosen. Padatnya isi atau muatan Kalkulus II kadang membuat dosen terjebak pada pilihan, menjelaskan materi yang belum tuntas atau meneruskan materi baru. Pada akhirnya dengan pembelajaran konvensional, mahasiswa yang sukses pada Kalkulus II adalah mahasiswa yang menguasai Kalkulus I dengan baik. Mahasiswa juga tidak terlatih untuk bekerjasama dan berkomunikasi selama pembelajaran secara konvensional berlangsung. Berdasarkan hasil dari penelitian pendahuluan dan berdasarkan reviu literatur maka dipandang perlu untuk melakukan pengembangan model pembelajaran Kalkulus II berdasarkan teori APOS. Tujuan dari pengembangan model pembelajaran tersebut adalah untuk mendapatkan Model Pembelajaran Kalkulus II Berdasarkan Teori APOS (MPKAPOS) yang valid, praktis dan efektif. Untuk mendapatkan MPK-APOS yang valid, praktis dan efektif maka dilakukan serangkaian pengujian. Makalah ini

1. PENDAHULUAN Pada penelitian pendahuluan yang dilakukan pada tahun ajaran 2012/2013 diberbagai tempat yaitu: di Jurusan Matematika FMIPA UNIB, Di Jurusan Tadris Matematika Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol, dan di Jurusan Matematika FMIPA UNP tentang pembelajaran Kalkulus II, diperoleh kesimpulan bahwa umumnya pembelajaran Kalkulus II berlangsung secara konvensional yaitu pembelajaran yang terpusat pada dosen. Upayaupaya yang dilakukan untuk mengganti pembelajaran secara konvensional kearah yang lebih baik yaitu dengan melibatkan mahasiswa misalnya dengan menggunakan metode tanya jawab, atau metode diskusi, belum membuahkan hasil. Mahasiswa yang memperoleh nilai A atau nilai B rata-rata < 50 %. Mahasiswa banyak yang tidak menguasai dengan baik materi Kalkulus di SLTA dan materi Kalkulus I yang menjadi prasyarat untuk Kalkulus II. Banyak mahasiswa mengalami masalah dengan grafik suatu fungsi. Ada yang tidak pandai menentukan nilai fungsi di suatu titik, ada yang tidak pandai melukis grafik. 39

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Tabel 1. Kategori Praktikalitas MPK-APOS dan Perangkat Pembelajaran Sumber Riduan (2009: 89)

N Tingkat Pencapaian Kategori o (%) 1 0 – 20 Tidak Praktis 2 21 – 40 Kurang Praktis 3 41 – 60 Cukup Praktis 4 61 – 80 Praktis 5 81 - 100 Sangat Praktis menguraikan tentang uji coba praktikalitas /kepraktisan MPK-APOS 2. Metode Penelitian Model pengembangan dalam peneltian ini mengikuti model umum desain pengembangan menurut Plomp (2013:19) yang terdiri dari tiga tahap atau fase, yaitu: 1) penelitian pendahuluan (Preliminary Research) dengan kegiatan menganalisis kebutuhan dan mereviu literatur; 2) tahap prototipe (Development or Prototyping Phase) dengan kegiatan merancang prototipe, uji validitas, dan uji praktikalitas; dan 3) tahap penilaian (Assesment Phase) dengan kegiatan uji efektifitas. Kegiatan yang dilakukan dalam merancang MPK-APOS mengacu kepada komponen-komponen model yang dikemukakan oleh Joyce dkk meliputi: (1) merancang sintak pembelajaran, (2) merancang sistem sosial, (3) merancang prinsip reaksi, (4) merancang sistem pendukung, (5) merancang dampak dari pembelajaran. Setelah diperoleh MPK-APOS, dilakukan uji validitas oleh para ahli, kemudian dilakukan uji coba lapangan untuk menguji kepraktisan, dan untuk menguji keefektifan. Pada pengujian praktikalitas/kepraktisan, subjek penelitian adalag mahasiswa Jurusan Matematika Kelas A dan Kelas B. Kedua kelas menjadi kelas eksperimen. Perlakuan pada Kelas B merupakan perbaikan dari perlakuan pada Kelas A. Untuk mengetahui kepraktisan MPK-APOS, data dikumpulkan menggunakan angket, angket diolah menggunakan skala. Teknik analisa data yang diperoleh adalah sebagai berikut. Data yang terkumpul kemudian ditabulasi. Hasil tabulasi tiap tagihan dicari presentasenya dengan rumus.

3. Hasil Pengembangan Model MPK-APOS Berdasarkan teori konstruksi model bahwa ada lima komponen yang ada pada model, yaitu sintak, prinsip reaksi, sistem sosial, sistem pendukung, dampak intruksional serta dampak pengiring, maka setelah melalui proses yang panjang diperoleh MPK-APOS seperti Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Model Pembelajaran Kalkulus II Berdasarkan Teori APOS (MPKAPOS) 1.

Sintak Model Pembelajaran Kalkulus II Berdasarkan Teori APOS Sintak, yakni suatu urutan kegiatan yang biasa juga disebut fase. Sintak model MPKAPOS terdiri dari 5 fase yaitu fase Orientasi, fase Praktikum, fase Diskusi kelompok, fase Diskusi Kelas, dan fase Latihan (OPD2L). Fase Orientasi adalah fase dosen menyiapkan mahasiswa untuk mengikuti pembelajaran dengan MPK-APOS. Khusus pertemuan minggu pertama, dosen membentuk kelompok kecil yang heterogen, dan dosen memberikan pengarahan tentang MPK-APOS yang pelaksanaannya menggunakan Lembar Kerja (LK) berbasis MPK-APOS. Untuk minggu berikutnya, pada fase Orientasi dosen menyimpulkan tentang materi minggu lalu, dan kemudian menjelaskan tujuan dari pembelajaran selanjutnya Fase Praktikum adalah fase mahasiswa melaksanakan perintah Maple yang ada pada Lembar Kerja Praktikum (LKP) yang bertujuan untuk mengenalkan mahasiswa pada suatu situasi atau informasi yang baru (konsep – konsep yang baru). Perintah Maple dan jawaban Maple disusun dalam suatu tabel. Setelah tabel diisi mahasiswa, dosen menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang

Nilai praktikalitas (P) =

Tingkat pencapaian kategori kepraktisan MPKAPOS beserta perangkat pembelajaran diuraikan dalam Tabel 1 berikut.

40

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

berkaitan dengan isi tabel tersebut. Pertanyaan tersebut akan menggiring mahasiswa untuk menemukan konsep yang sedang mereka pelajari. Fase Diskusi Kelompok adalah fase mahasiswa dalam kelompok kecil membicarakan atau menjawab pertanyaanpertanyaan yang telah disediakan pada LKP dan LKM. Fase diskusi kelompok ini bertujuan untuk menggiring mahasiswa dalam mengkonstruksi materi, sehingga mampu menyelesaikan soal-soal secara manual. Selanjutnya mahasiswa akan bisa menyelesaikan soal-soal yang ada pada latihan dan soal-soal yang ada pada buku Kalkulus. Dosen bertindak sebagai pembimbing yang siap memberikan scaffolding. Fase Diskusi Kelas merupakan suatu kegiatan dimana kelompok mahasiswa yang terpilih mempresentasikan kesimpulan atau penyelesaian salah satu soal pada LKM di depan kelas. Adakalanya soal Kalkulus membutuhkan langkah yang panjang dan waktu yang lama untuk menyelesaikan suatu soal. Untuk itu dosen harus bijaksana dan mampu memutuskan kapan scaffolding diberikan. Keuntungan yang diharapkan dari diskusi kelas ini adalah terjadinya pertukaran informasi yang saling melengkapi sehingga mahasiswa mempunyai pemahaman yang benar terhadap suatu konsep. Kegiatan Diskusi kelas memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertukar pendapat dalam forum diskusi di kelas. Fase Latihan adalah kegiatan menyelesaikan soal-soal yang diberikan. Soalsoal yang diberikan dibuat bervariasi, mulai dari yang mudah sampai yang susah dan dengan jumlah soal yang banyak. Karena waktu pertemuan yang terbatas, maka soal latihan ada yang diselesaikan di kelas dan ada yang dibawa pulang. Kalau dosen menginginkan dilaksanakan quis untuk mengetahui pemahaman mahasiswa, dosen bisa menggunakan dan memilih soal latihan untuk quis. Fase latihan ini bertujuan untuk memantapkan dan menerapkan konsepkonsep yang telah dikonstruksi dalam bentuk penyelesaian soal-soal. Pemberian soal-soal yang sulit untuk PR adalah agar mahasiswa mau dan mampu mempelajari buku Kalkulus di rumah. Karena keterbatasan tempat, maka komponen hyang lain tidak dijelaskan disini.

3.1. Hasil Uji Praktikalitas Uji praktikalitas dilaksanakan di Jurusan Matematika FMIPA Universitas Bengkulu. Ada dua kelas yang dijadikan tempat ujicoba yaitu Kelas A yang terdiri dari mahasiswa yang memiliki Nomor Induk Mahasiswa (NIM) ganjil yang berjumlah 22 orang, dan Kelas B yang terdiri dari mahasiswa yang memiliki NIM genap. Karena ada beberapa mahasiswa dengan NIM genap mengambil ulang mata kuliah Kalkulus II menyebabkan jumlah mahasiswa kelas B lebih banyak dari jumlah mahasiswa Kelas A, dimana jumlah mahasiswa kelas B adalah 34 orang. Mahasiswa Jurusan Matematika FMIPA UNIB berasal dari berbagai SLTA di Kota Bengkulu dan di luar Kota Bengkulu, seperti yang terlihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut. Hanya saja belakangan ini Jurusan Matematika FMIPA UNIB tidak lagi menjadi pilihan tempat kuliah oleh siswa-siswa SLTA Negeri di kota Bengkulu. Tabel 1 sebagai bukti untuk memperkuat pernyataan tersebut. Tabel 2. Asal SLTA dan Jurusan di SLTA Peserta Kuliah Kalkulus II Kelas A Kelas A (%) Asal Jurusan di SLTA Lokasi SLTA SLTA Kota Luar Kota IPA Non IPA Bengkulu Bengkulu SMA 81,1 % 13,64 % 68,18 % Kejuruan 13,6 % 4,55 % 9,09 % 9,09 % Tabel 3. Asal SLTA dan Jurusan di SLTA Peserta Kuliah Kalkulus II Kelas B Kelas B (%) Jurusan di SLTA Lokasi SLTA Asal SLTA Kota Luar Kota IPA Non IPA Bengkulu Bengkulu SMA 62,86 % 8,57 % 20 % 40 % Kejuruan 17,1 % 11,43 % 14,29 % 25,71 % Dari Tabel 1 dan Tabel 2 di atas terlihat bahwa baik di kelas A maupun di kelas B mahasiswa yang berasal dari luar kota Bengkulu lebih banyak dari mahasiswa yang berasal dari kota Bengkulu. Bahkan di kelas B ada 40 % mahasiswa yang berasal dari sekolah kejuruan, dan ada 20 % mahasiswa dari jurusan non IPA. Mata kuliah Kalkulus I adalah mata kuliah prasyarat pada mata kuliah Kalkulus II. Mahasiswa harus menguasai dengan baik Kalkulus I agar bisa mengikuti Kalkulus II. Nilai Kalkulus I yang diperoleh mahasiswa 41

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

yang megikuti matakuliah Kalkulus II adalah seperti grafik yang disajikan pada Gambar 1 berikut. Rekapitulasi Nilai Kalkulus I (%)

Instrumen yang digunakan untuk uji praktikalitas adalah: Kelayakan Penerapan MPK-APOS, Keterlaksanaan MPK-APOS, Kepraktisan LK oleh dosen, dan Kepraktisan LK oleh mahasiswa. Setelah data terkumpul dan diolah menggunakan skala Likert, dan kemudian dianalisa diperoleh hasil sebagai yang ditayangkan pada Tabel 3. berikut.

60 40

Kalkulus I Kelas A

20

Kalkulus I Kelas B

Tabel 4. Hasil Ujicoba Kepraktisan MPKAPOS di Jurusan Matematika FMIPA UNIB RataKateNo Aspek % rata gori 1 Kelayakan Penerapan 4,60 91,94 Sangat MPK-APOS Praktis 2 Keterlaksanaan MPK- 4,64 92,63 Sangat APOS Praktis 3 Kepraktisan LK oleh 3,82 76,49 Praktis dosen 4 Kepraktisan LK oleh 3,84 76,63 Praktis mahasiswa 4,23 84,42 Sangat Rata-rata Akhir Praktis

0 A

B

C

D

E

Gambar 2. Rekapitulasi Nilai Kalkulus I Peserta Kuliah Kalkulus II Seluruh mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Kalkulus II, pernah belajar Maple pada Proyek Kalkulus I. Tujuan dari Proyek Kalkulus adalah untuk membantu mahasiswa menyelesaikan soal-soal yang sulit atau yang membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikannya, dan untuk memperkaya wawasan mahasiswa, bahwa komputer bisa menyelesaikan soal Kalkulus dalam waktu yang singkat dengan hasil yg lebih akurat. Mata kuliah Proyek Kalkulus adalah matakuliah praktikum yang berlangsung di laboratorium komputer. Pelaksanaan praktikum setelah materi Kalkulus II diberikan oleh dosen di kelas Dosen yang mengajar Kalkulus II di kelas A adalah Etis Sunandi, M.Si, Si. Pendidikan S1 ditempuh di Jurusan Matematika FMIPA. S2 ditempuh di Jurusan Statistika IPB. Dosen yang mengajar Kalkulus II di kelas B adalah Diah Setiowati, M.Si,Si. Pendidikan S1 di tempuh di Jurusan Matematika FMIPA UNIB, S2 ditempuh di Jurusan Matematika UGM. Kedua dosen tersebut pernah menjadi mahasiswa peneliti pada mata kuliah Struktur Data dan Algoritma, dengan proses pembelajaran yang terpusat mahasiswa. Dyah berpengalaman sebagai asisten pada mata kuliah Kalkulus II, dan Proyek Kalkulus II sebelum menempuh pendidikan S2. Etis berpengalaman menjadi asisten di IPB, dan menjadi dosen tamu di FT UI, ketika menjadi mahasiswa S2 di Jurusan Statistik IPB. Etis da Dyah saling bergantian menjadi pengamat. Sebagai pengamat masing-masing dibantu oleh asisten Kalkulus sekaligus merangkap sebagai asisten Proyek Kalkulus II, yaitu Reziana di kelas A, dan Adi di kelas B.

3.2 Pembahasan Berikut ini adalah hasil observasi keterlaksanaan MPK-APOS yang lebih rinci. Data diambil oleh para pengamat, yang mengamati proses pembelajaran meneraokan MPK-APOS. Rekapitulasi Keterlaksanaan MPK-APOS (%) 100 95 90 85 80

Kelas A Kelas B

Gambar 3. Rekapitulasi Hasil Pengamatan Keterlaksanaan MPK-APOS. Dari Gambar 2 tersebut, terlihat bahwa kelas A dengan jumlah mahasiswa 22 orang dan belajar pada pagi hari, nilainya lebih baik dari kelas B dengan jumlah mahasiswa 34 orang 42

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

yang belajar pada siang jelang sore hari. Dosen pengampu Kelas A lebih lincah, lebih disiplin, dan lebih ramah dari dosen kelas B. Jadi kepiawaian dosen dan jumlah mahasiswa ikut menentukan kepraktisan MPK-APOS. Lembar Kerja (LK) adalah salah satu pendukung utama MPK-APOS. Gambar 4 berikut ini adalah tentang kepraktisan LK oleh dosen. Nilai Rerata Kepraktisan LK oleh Dosen JurMat FMIPA UNIB

Dari Gambar 4 di atas terlihat bahwa mahasiswa memberikan nilai rendah untuk LKM (Lembar Kerja Manual) dibanding bagian-bagian yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa soal-soal yang ada pada LKM tidak mudah diselesaikan oleh mahasiswa secara manual. Mungkin mahasiswa belum mengerti, atau mungkin soal terlalu sulit, atau soal terllau panjang penyelesaiannya. Mahasiswa memberi nilai tinggi untuk dampak penerapan LK. Artinya mahasiswa menyambut positif penggunaan LK berbasis MPK-APOS. Dengan menggunakan LK berbasis MPK-APOS dampak instruksional dan dampak opengiring dapatg diperoleh oleh mahasiswa seperti mahasiswa bisa berlatih untuk bekerja sama, dan mahasiswa bisa berlatih untuk berkomunikasi di depan kelas. Hal ini tderlihat juga pada bagian Lembar Diskusi Kelas, mahasiswa memberi nilai yang tinggi. Secara umum dapat disimpulkan bahwa pada uji praktikalitas, rata-rata nilai akhir yang terkumpul adalah 84.42 % dan termasuk kategori sangat praktis.

85 80 Dosen Kelas A

75

Dosen Kelas B

70 65 LK 1 LK 2 LK 3 LK 4

Gambar 4. Kepraktisan LK oleh dosen Jurusan Matematika FMIPA UNIB Dari Gambar 3 terlihat bahwa Dosen kelas A lebih menguasai LK ketimbang dosen kelas B. Dari keempat LK, memang LK 4 relatif lebih ringan dan lebih mudah diikuti oleh mahasiswa dari LK lainnya. Waktu cukup. Sementara pada pelaksanaan uji coba menggunakan LK 2 dan LK 3 mahasiswa dan dosen terbirit-birit dan bahkan waktu terasa`c tidak cukup. Berikut ini adalah penilaian kepraktisan LK oleh mahasiswa. Ada sedikit perbedaan dimana LK 1 tidak dinilai oleh mahasiswa karena LK 1 dijadikan sebagai latihan atau pengenalan belajar dengan MPK-APOS. Gambar 4 berikut lebih infonya lebih rinci dari yang lain. Hasilnya sebagai berikut. Kepraktisan LK oleh Mahasiswa

Kelas A LK 2

80

Kelas A LK 3

75

Kelas A LK 4

65

4.1. Kesimpulan Uji efektifitas dilakukan di Jurusan Matematika FMIPA UNIB pada Kelas A dan Kelas B. Hasil dari uji coba praktikalitas MPK-APOS adalah MPKAPOS dinyatakan sangat praktis oleh para ahli, dan para pengamat. MPK-APOS dinyatakan praktis oleh dosen dan mahasiswa. Secara umum MPK-APOS dinyatakan sangat praktis. 4.2. Saran Lemahnya penguasan mahasiswa terhadap grafik fungsi, disarankan agar ada yang meneliti secara mendalam tentang grafik fungsi dan kendalan pembelajarannya baik di tingkat SLTA maupun di tingkat Perguruan Tinggi.

(%)

85

70

4. PENUTUP

5. DAFTAR PUSTAKA

Kelas B LK 2

Arnawa, I Made. 2009. Mengembangkan Kemampuan Mahasiswa dalam Memvalidasi Bukti pada Aljabar Abstrak melalui Pembelajaran Berdasarkan Teori APOS. Padang. FMIPA. UNAND Djohan, Warsoma, dan Budi, Wono Setia. 2007. Diktat Kalkulus I. Bandung. FMIPA ITB

Kelas B LK 3 Kelas B LK 4

Gambar 5. Rekapitulasi Hasil Kepraktisan LK dan Bagiannya oleh Mahasiswa 43

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Hanifah. 2014. Pengembangan Model Pembelajaran Kalkulus II Berdasarkan Teori APOS. Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Matematika ke 17 di FMIPA ITS Hanifah. 2014. Pengembangan Model Pembelajaran Kalkulus II Berdasarkan Teori APOS. Makalah disampaikan pada seminar nasional di Program Pasca Sarjana FKIP UNIB Hanifah. 2013. Pengembangan Model Pembelajaran Kalkulus II Berdasarkan Teori APOS. Makalah disampaikan pada seminar internasional di PLS FIP UNP Hanifah. 2013.Penilaian Proses Pada Model Pembelajaran Kalkulus II Berdasarkan Teori APOS. Makalah disampaikan pada seminar nasional di FT UNP Hanifah.2013.Pengembangan Lembar Kerja Untuk Mendukung Model Pembelajaran Kalkulus II Berdasarkan Teori APOS. Makalah disampaikan pada seminar internasional di Program Pasca Sarjana UNP Hanifah a. 2010. Analisis Kesalahan Mahasiswa Dalam Menyelesaikan Soal UTS Kalkulus I di Jurusan Teknik Informatika FT UNIB. Laporan Penelitian Mandiri. Hanifah b. 2010. Analisis Kesalahan Mahasiswa Dalam Menyelesaikan Soal UAS Kalkulus I di Jurusan Teknik Informatika FT UNIB. Laporan Penelitian Mandiri.

Nieveen, Nienke. (2010). Formative Evaluation in Educational Design Research Dalam Tjeer Plomand Nienke Nieeveen (Ed). An Introduction to Educational Design Research. Plomp, Tjeerd. (2013). Educational Design Research: An Introduction to Educational Design Research. Rahimah, Dewi. (2012). Identifikasi kesalahan mahasiswa dalam Menyelesaikan SoalSoal Pokok Bahasan Integral. Bengkulu. Jurnal Exacta Riduwan. (2005). Belajar Mudah Penelitian. Penerbit: Alpabeta Sailah, dkk. 2012. Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi (KPT). Jakarta. Ditjendikti. Silberman, Melvin L. (2011). Active Learning. 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Edisi Revisi. Bandung. Nusa Media. Sonsaka, Mastur. 2011. Mengenal Teori Konstrukttisme Vygotsy. http://sonsaka.blog.ugm.ac.id/2011/10/25 /mengenal-teori-konstruktisme-vygotsky/ Suryadi, Didi. (2010). Menciptakan Proses Belajar Aktif: Kajian Dari Sudut Pandang Teori Belajar Dan Teori Didaktik1. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika di UNP , 9 Oktober 2010 http://didisuryadi.staf.upi.edu/files/2011/06/MENC IPTAKAN-PROSES-BELAJARAKTIF.pdf Widada, Wahyu. 2002. Pendekatan Pembelajaran Matematika. Berbagai Kajian Tentang Pendekatan Pembelajaran Matematika. Bengkulu. Pendidikan Matematika FKIP UNIB Widada, Wahyu, 2003. Struktur Represesntasi Pengetahuan mahasiswa Tentang Permasalahan Grafik Fungsi dan Kekonvergenan Deret Takhingga pada Kalkulus. Disertasi. Surabaya. PPS UNS

Iskandar. 2009. Psikologi Pendidikan. Sebuah Orientasi Baru. Jakarta. Gunung Persada (GP) Press. Joyce, B., Weil, M., with Shower, B. 1992. Models of Teaching 4th ed. Boston: Allyn & Bacon Joyce, B., Weil, M., dan Calhoun, Emily (2009) Models of Teaching ( Model-Model Pengajaran –Edisi ke 8. Ahmad Fawaid dan Ateila Mirza: Terjemahan).. Boston: Allyn & Bacon Martono, Koko. (1999). Kalkulus. Bandung: Erlangga. Musdi, Edwin. (2012). Pengembangan Model Pembelajaran Geometri Berbasis Pendidikan Matematika Realistik SMPN Kota Padang. Disertasi. PPs. UNP

Wikipedia. 2013. Kalkulus Diferensial. http://id.wikipedia.org/wiki/Kalkulus_ diferensial Vygotsky, L. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. Harvard Press. _____________(http://pustaka.ut.ac.id)

44

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

HASIL PERANCANGAN LEMBAR KERJA SISWA (LKS) HIMPUNAN BERBASIS PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGAN VARIASI MIND MAPPING UNTUK KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIKA SISWA KELAS VII Isra Nurmai Yenti1, Dini Alindra2 1

Staf Pengajar Prodi Tadris Matematika STAIN Batusangkar 2 Alumni Prodi Tadris Matematika STAIN Batusangkar Email:[email protected] ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan LKS himpunan berbasis pendekatan kontekstual dengan variasi mind mapping untuk kemampuan komunikasi matematika siswa kelas VII. Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan, dengan tiga tahap penelitian yaitu: tahap pendefinisian (define), tahap perancangan (design) dan tahap pengembangan (develop). Pada tahap perancangan (design), prototype dirancang dan dikembangkan menggunakan komponen-komponen pendekatan kontekstual dan salah satu komponennya disajikan dengan strategi mind mapping. Prototype yang dirancang dan dikembangkan adalah materi himpunan untuk siswa kelas VII SMP/ MTs semester dua. Penelitian ini menghasilkan sebuah LKS himpunan berbasis pendekatan kontekstual dengan variasi mind mapping untuk kemampuan komunikasi matematika siswa kelas VII. Keywords: LKS, pendekatan kontekstual dengan variasi mind mapping, kemampuan komunikasi matematika matematika, dan mendorong siswa untuk mengidentifikasi sendiri materi pembelajaran tanpa harus mengandalkan penjelasan dari guru. Selain itu, guru harus mampu menciptakan lingkungan belajar yang berpusat pada siswa yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa secara tertulis dengan belajar dari lingkungan sehari-hari yang lebih nyata, sehingga pembelajaran lebih bermakna bagi siswa. Secara tidak langsung, guru dapat merancang pembelajaran yang menarik, mengajak siswa untuk berfikir sistematis dalam menyelesaikan masalah matematika serta mampu meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa secara tertulis. Solusi yang diperkirakan dapat digunakan adalah LKS yang menggunakan pendekatan kontekstual dengan variasi mind mapping. LKS berbasis pendekatan kontekstual dengan variasi mind mapping adalah lembar kerja siswa dengan materi yang dikembangkan dengan prinsip dan komponen-komponen kontekstual. Komponen-komponen tersebut meliputi: konstruktivisme, menemukan (inquiri), pemodelan, masyarakat belajar, bertanya, refleksi dan penilaian nyata (assessmen outentik) (Wina: 2011:118-123). Untuk komponen refleksi pada kontekstual divariasikan dengan mind mapping. Kemudian, komponen penilaian nyata lebih dikhususkan ke

1. PENDAHULUAN Permasalahan yang terindentifikasi dalam pembelajaran matematika di SMPN 1 Kec. Luak diperoleh informasi bahwa guru kelas VII telah menggunakan sumber belajar. Sumber belajar yang digunakan oleh guru tersebut belum memberikan langkah-langkah kerja yang membantu siswa menemukan dan mengkonstruksi sendiri konsep dari materi pembelajaran. Hal ini mengakibatkan siswa merasa malas untuk membaca dan memahami buku serta LKS pegangan yang dimiliki, sehingga siswa cenderung menerima informasi dari guru saja. Pada dasarnya, keberhasilan suatu pembelajaran dipengaruhi banyak faktor, antara lain model pembelajaran, strategi pembelajaran, media pembelajaran, dan juga bahan ajar atau materi pembelajaran. Bahan ajar yang disusun mempunyai prinsip relevansi, konsistensi dan kecukupan, sehingga masih memberi ruang siswa untuk mengembangkan penalarannya (Djoko, 2011). Dengan demikian, informasi yang diterima harus mendorong siswa untuk mengembangkan kemampuan berfikir dalam mengolah masalah yang ditemui berdasarkan kehidupan sehari-hari. Melihat permasalahan di atas maka diperlukan suatu terobosan baru yang menuntut kemampuan guru untuk dapat menciptakan suatu sumber belajar yang mampu memotivasi sikap positif siswa terhadap pembelajaran 45

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

penilaian kemampuan komunikasi matematika siswa yang dapat diukur berdasarkan indikator kemampuan komunikasi matematika siswa. Adapun indikator kemampuan komunikasi matematika yang diukur dalam LKS ini yaitu 1) menghubungkan benda nyata, gambar, diagram dan tabel dalam ide matematika; 2) menggunakan ide, situasi, dan menyatakan solusi dari masalah menggunakan gambar, bagan, tabel, dan secara aljabar; dan 3) menyatakan peristiwa yang dikemukakan dalam bahasa atau simbol matematika (Ahmad, tt:15). Secara umum, LKS berbasis pendekatan kontekstual dengan variasi mind mapping untuk materi himpunan ini memiliki spesifikasi yaitu 1) LKS memiliki cover, kata pengantar, daftar isi dan sumber bacaan yang jelas; 2) LKS dibagi menjadi beberapa kegiatan belajar sesuai dengan indikator pembelajaran; 3) LKS memiliki judul pokok pembahasan; 4) adanya standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator yang akan dicapai; 5) adanya tujuan pembelajaran dari pokok pembahasan; 6) materi pembelajaran disajikan dengan siswa menemukan sendiri dari permasalahan yang diberikan; 7) adanya kegiatan yang akan dilakukan siswa secara bersama (diskusi); 8) adanya kesimpulan materi tentang sub bahasan yang disajikan; 9) adanya pertanyaanpertanyaan tentang materi, serta soal-soal latihan yang berkaitan dengan materi; 10) adanya refleksi siswa terhadap materi; dan 11) adanya penilaian nyata berupa evaluasi diri sesuai dengan pencapaian indikator kemampuan komunikasi matematika. Dengan demikian, pengembangan LKS himpunan berbasis pendekatan kontekstual dengan variasi mind mapping untuk kemampuan komunikasi matematika siswa dapat dirancang sedemikian rupa sesuai dengan format LKS yang telah ditetapkan dan memuat sekumpulan kegiatan mendasar yang harus dilakukan oleh siswa untuk memaksimalkan kemampuan komunikasi

matematika sesuai dengan indikator pencapaian hasil belajar yang harus ditempuh. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk merancang lembar kerja siswa (LKS) himpunan berbasis pendekatan kontekstual dengan variasi mind mapping untuk kemampuan komunikasi matematika siswa kelas VII.

2. METODE Penelitian ini menggunakan penelitian pengembangan, dimana penelitian ini digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2007:407). Pengembangan secara konseptual menggunakan model pengembangan 4-D yang terdiri dari empat tahap, yaitu define (pendefinisian), design (perancangan), develop (pengembangan), dan desseminate (penyebaran) (Trianto, 2009:189). Namun, karena adanya keterbatasan penelitian maka penelitian ini meniadakan tahap desseminate (penyebaran). Rancangan penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu: 1) tahap pendefinisian (define), kegiatan yang dilaksanakan meliputi wawancara dengan guru matematika kelas VII SMPN 1 Kec. Luak, analisis silabus dan RPP, menganalisis sumber belajar, analisis literatur pendekatan kontekstual dan mind mapping dan menganalisis karakteristik siswa, 2) tahap perancangan (design), merancang prototype kemudian dilaksanakan tahap validasi, 3) tahap pengembangan (develop), dilaksanakan tahap praktikalitas.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil perancangan (design) LKS berbasis pendekatan kontekstual dengan variasi mind mapping untuk kemampuan komunikasi matematika siswa kelas VII dengan materi himpunan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Perancangan LKS Himpunan Berbasis Pendekatan Kontekstual dengan Variasi Mind Mapping untuk Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa No Contoh Hasil Perancangan 1 LKS dirancang dengan desain menarik serta menggunakan aplikasi microsoft word 2007 yang didesain dengan pola, warna, gambar-gambar dan menggunakan jenis huruf Berlin Sans FB. 2 Cover dirancang semenarik mungkin sebagai daya tarik awal, desain cover mencakup identitas LKS, tujuan LKS, materi yang akan disajikan beserta 46

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

No

3

Hasil Perancangan standar kompetensi dan kompetensi dasar, kolom identitas siswa dan desain cover dengan menggunakan gambar, warna dan basic shapes yang menarik. LKS mempunyai kata pengantar pada bagian awal LKS, bertujuan agar pembaca dapat mengetahui sasaran setelah LKS digunakan dalam pembelajaran.

4

LKS mempunyai daftar isi pada bagian awal LKS, bertujuan agar pembaca mudah menemukan materi yang akan dipelajari dan mengetahui pokok pembahasan dan sub materi yang akan dipelajari.

5

Berdasarkan standar isi, materi himpunan terdiri dari lima kompetensi dasar, namun dalam LKS ini hanya mengembangkan empat kompetensi dasar utama. Dalam LKS himpunan ini akan dijabarkan empat buah pokok bahasan yaitu konsep himpunan, konsep himpunan bagian, operasi himpunan dan penyajiaan himpunaan dengan diagram Venn. Setiap awal pokok bahasan yang akan dipelajari terdapat kepala judul pokok bahasan dengan jenis tulisan Comic Sans MS dengan ukuran dan warna bervariasi. Judul tersebut diletakkan dalam sebuah persegi panjang yang didesain sedemikian mungkin dengan warna yang berbeda pada setiap pokok bahasannya. Kemudian, disebelah kanannya terdapat angka yang menunjukkan urutan dari pokok bahasan yang dipelajari. Setiap halaman pertama pokok bahasan terdapat standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator dan tujuan yang ingin dicapai dalam LKS tersebut. Keempat hal tersebut disajikan dengan posisi letak yang dinamis sehingga menarik untuk dilihat, serta terdapatnya gambar masing-masing di sebelah atas indikator dan tujuan yang menambah daya tarik dalam penyajian.

6

7

8

Contoh

Setiap judul besar sub materi disajikan menggunakan huruf showcard gothic ukuran 20 dan berwana biru. Kemudian, judul materi per indikator disajikan dengan menggunakan word ard, jenis huruf Berlin Sans FB Demi, ukuran 36, warna merah dengan bergaris hitam dan divariasikan menggunakan follow path berupa arch up (curve). Setiap indikator menyajikan masalah-masalah kontekstual baik berupa masalah nyata yang bisa dipikirkan siswa maupun berupa media benda asli yang terkait dengan indikator tersebut. Hal ini bertujuan agar siswa mengkonstruksi dan menemukan sendiri solusi dari permasalahan yang diberikan. Kemudian, siswa mampu mengkomunikasi konsep 47

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

No

9

10

11

12

13

Hasil Perancangan apa yang diperolehnya dalam kolom hasil analisa yang telah disediakan. Penyelesaian masalah kontekstual yang disajikan mendorong siswa untuk mengkomunikasikan masalah tersebut ke dalam bahasa matematika. Terdapat kegiatan yang akan dilakukan siswa secara bersama (diskusi). Hal ini dilakukan karena masalah kontekstual memungkinkan jawaban atau penyelesaian yang beraneka ragam dari siswa. Kemudian, siswa mampu mengkomunikasi konsep apa yang diperolehnya dalam kolom hasil analisa yang telah disediakan. Kegiatan diskusi yang dilakukan mampu mendorong siswa untuk bertanya dan membangun masyarakat belajar dengan yang lainnya, sehingga kegiatan demikian dapat membangun komunikasi matematika. Adanya lembar kesimpulan materi pada setiap indikator yang disajikan. Hal ini dilakukan agar siswa mampu mengingat kembali permasalahan yang disajikan, kemudian mampu menemukan kata kunci untuk membuat kesimpulan tersebut. Dengan demikian, kolom kesimpulan ini disajikan dengan menampilkan gambar masalah sebelumnya, kata kunci, dan kesimpulan yang dapat mereka nyatakan dengan bahasa sendiri. Kolom kesimpulan ini ditampilkan dengan basic shape yang didesain semenarik mungkin. LKS dilengkapi dengan lembar penilaian berupa evaluasi diri pada setiap sub bahasan sesuai dengan indikator pencapaian kemampuan komunikasi matematika. Penilaiannya disesuaikan dengan indikator yang akan dicapai pada setiap sub bahasan tersebut. Penilaian diisi oleh siswa dan guru dengan skala penilaian tingkat kemampuan komikasi matematika yang telah disediakan. Kemudian penilaian siswa dan guru ditotalkan dan dikualifikasikan berdasarkan kemampuan komunikasi matematikanya. Hasilnya ditulis pada tempat yang disediakan yaitu kategori kemampuan komunikasi dan paraf guru. Lembar penilaian dirancang menggunakan table, basic shape, smart art dan dilengkapi dengan gambar-gambar yang menarik. LKS dilengkapi dengan lembar tugas yang membantu siswa memahami lebih lanjut mengenai pokok pembahasan yang diajarkan. Soal-soal disajikan secara kontekstual dan disesuaikan dengan indikatorindikator yang akan dicapai. Kemudian, disetiap akhir lembar tugas disediakan kolom nilai dan paraf guru dengan menggunakan smart art. Setiap akhir LKS per pokok bahasan terdapat lembar untuk membuat refleksi dari materi yang dipelajari. Refleksi dibuat sebagai refleksi dalam bentuk peta pikiran mereka masing-masing. Adapun bentuk pembuatan refleksi dengan peta pikiran (mind 48

Contoh

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

No

14

15

Hasil Perancangan mapping) di dalam LKS tersebut adalah sebagai berikut: a. Di dalam LKS disedikan sebuah halaman khusus untuk pembuatan mind mapping secara horizontal. b. Mind mapping dimulai dari bagian tengah halaman tersebut, kemudian disediakan sebuah gagasan sentral. c. Dari gagasan sentral tersebut dibuat cabang-cabang mind mapping berbentuk melengkung bukan garis lurus sesuai dengan penjabaran materi yang sedang dipelajari. d. Kemudian siswa mengembangkan kata kunci tersebut pada tiap-tiap cabang sehingga sedetaildetailnya. Kegiatan refleksi yang dilakukan dalam bentuk mind mapping akan membantu siswa dalam mengkomunikasikan apa yang dimiliki siswa ke dalam bahasa dan pemahaman siswa masing-masing. Hal ini bertujuan agar materi tersimpan dalam struktur kognitif siswa sehingga informasi akan bertahan lama. Lembar refleksi ini disajikan dengan menggunakan aplikasi mind map dengan dirancang sedemikian mungkin dengan warna, gambar dan tampilan menarik. Di akhir LKS dilengkapi dengan sumber bacaan yang jelas sehingga LKS dapat dijadikan sebagai bahan ajar dalam proses pembelajaran.

Contoh

Setiap halaman LKS terdapat nomor hamanan yang dirancang menggunakan page number (bottom of page) dengan dilengkapi identitas LKS di sebelah kanannya.

Berdasarkan analisis silabus dan RPP yang dilakukan, maka materi yang disajikan dalam LKS himpunan berbasis pendekatan kontekstual dengan variasi mind mapping mengacu kepada standar kompetensi dan kompetensi dasar yang digunakan. Dalam pengembangan LKS dimunculkan komponenkomponen pembelajaran kontekstual dan salah satu komponen kontekstual divariasikan dengan mind mapping. Komponen-komponen tersebut meliputi: konstruktivisme, menemukan (inquiri), pemodelan, masyarakat belajar, bertanya, refleksi dan penilaian nyata (assessmen outentik). Untuk komponen refleksi pada kontekstual divariasikan dengan mind mapping. Kemudian, komponen penilaian nyata lebih dikhususkan ke penilaian kemampuan

komunikasi matematika siswa yang dapat diukur berdasarkan indikator kemampuan komunikasi matematika siswa. Berdasarkan hal di atas, pendekatan kontekstual dan mind mapping dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa. Hal ini dapat dilihat dari komponen pendekatan kontekstual dan mind mapping yang dikembangkan. Adapun komponen-komponen tersebut adalah: a. Komponen konstruktivisme bertujuan agar siswa mampu membangun pengetahuan sendiri berdasarkan permasalahan riil mereka. Secara tidak langsung, siswa diminta untuk mampu mengorganisasi pemikiran matematika serta mampu

49

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

mengkomunikasikan pengetahuan yang diperoleh. b. Komponen menemukan bertujuan agar siswa mampu mencari dan menemukan melalui proses berfikir secara sistematis. Secara tidak langsung, siswa diminta untuk mengekspresikan ide-ide matematika secara koheren dan jelas. c. Komponen bertanya bertujuan agar siswa mampu mengemukakan pendapat secara lisan. Dengan demikian, siswa diminta untuk berkomunikasi secara lisan dalam proses pembelajaran. d. Komponen masyarakat belajar bertujuan agar siswa mampu melakukan kelompok diskusi dan dijadikan sebagai wadah bagi siswa dalam berkomunikasi dengan temannya untuk memperoleh informasi. e. Komponen pemodelan bertujuan agar siswa mampu menggunakan bahasa matematika secara tepat dalam berbagai ekspresi matematika berdasarkan benda nyata, gambar, diagram dan tabel yang disajikan. f. Komponen refleksi bertujuan agar siswa mampu menjadikan komunikasi sebagai alat bantu mengukur pemahaman, dan merefleksikan pemahaman matematika siswa. Kemudian, komponen ini disajikan dengan mind mapping sehingga informasi yang dikomunikasikan melalui peta pikiran akan lebih bertahan lama dalam struktur kognitif siswa. g. Komponen penilaian nyata bertujuan agar siswa mampu mengukur sejauh mana kemampuan komunikasi matematika yang dimiliki. Hal ini, dibuktikan dengan ketercapaian indikator kemampuan komunikasi matematika melalui evaluasi diri. Dengan adanya LKS himpunan berbasis pendekatan kontekstual dengan variasi mind mapping ini diharapkan siswa dapat menanamkan konsepnya sendiri untuk memahami materi yang dipelajari sehingga siswa dapat mengerti dengan materi tersebut. Secara tidak langsung, LKS dapat digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan atau pemahaman terhadap konsep atau materi pembelajaran (Edi dan Ali, 2003:6). Selain itu, LKS setidaknya memiliki empat fungsi yaitu: 1) sebagai bahan ajar yang bisa meminimalkan peran pendidik, namun lebih mengaktifkan peserta didik; 2) sebagai bahan ajar yang mempermudah peserta didik untuk memahami materi yang diberikan; 3) sebagai bahan ajar yang ringkas dan kaya tugas untuk berlatih,

serta; 4) mempermudah pelaksanaan pengajaran kepada peserta didik (Andi, 2012:205-206). LKS himpunan berbasis pendekatan kontekstual dengan variasi mind mapping ini tidak hanya untuk menanamkan konsep siswa, namun juga membantu siswa untuk berkomunikasi secara matematika. Dengan kata lain, setiap komponen pendekatan kontekstual dan mind mapping yang disajikan didalam LKS mendorong siswa untuk berkomunikasi matematika dalam mengungkapkan konsep yang mereka temukan dan pahami.

4. PENUTUP Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang menghasilkan LKS himpunan berbasis pendekatan kontekstual dengan variasi mind mapping untuk kemampuan komunikasi matematika siswa kelas VII dan dirancang oleh peneliti untuk membantu siswa untuk memahami materi tentang himpunan. Berdasarkan rancangan (design) maka LKS memunculkan komponenkomponen pembelajaran kontekstual dan salah satu komponen pendekatan kontekstual divariasikan dengan mind mapping ke dalam komponen LKS. Kemudian, komponen penilaian nyata lebih dikhususkan ke penilaian kemampuan komunikasi matematika siswa yang dapat diukur berdasarkan indikator kemampuan komunikasi matematika siswa.

5. DAFTAR PUSTAKA Ahmad Fauzan, Tt, Kemampuan Matematika: Kemampuan Penalaran dan Komunikasi, Padang: Program Pasca Sarjana UNP. Diakses di evaluasimatematika.net Andi Prastowo, (2012) Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif, Jogjakarta: Diva Press Djoko Purnomo, (2011). Pengembangan Bahan Ajar Matematika sebagai Sarana Pengembangan Kreativitas Berfikir, Vol 2 No. 1. Tersedia di www.ejurnal.ikippgrismg.ac.id. Diakses pada tanggal 10 Agustus 2014. Edi Prayitno dan Ali Mahmudi, (2003), Media Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: UNY. Sugiyono, (2007), Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Alfabeta. Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Persada Media Group. Wina Sanjaya. 2011. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kencana Prenada Media. 50

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

PENDEKATAN SAINTIFIK DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Mukhni Staf Pengajar Jujrusan Matematika FMIPA UNP Padang, E-mail: [email protected] ABSTRAK Mulai tahun pelajaran 2014-2015, semua sekolah di Indonesia secara merata mengimplementasikan kurikulum 2013. Semua guru (termasuk guru matematika) diharapakan melaksanakan pembelajaran di kelas menggunakan pendekatan saintifik, yaitu mulai dari mengamati fenomena, pola, kejadian, dari suatu peristiwa atau masalah sehari-hari, siswa menanya atau mempertanyakan bagaimana, mengapa bagaimana itu terjadi serta apa yang terjadi jika peritiwa tidak seperti yang teramati/didengar/dibaca, melakukan eksplorasi dan penalaran dalam bentuk mencoba, bereskperimen, penyelidikan, mengumpulkan data, menyimpulkan dari berbagai fakta/data dan konsep, serta mengkomonikasikan hasil belajarnya kepada teman. Sebagian besar guru matematika mengalami kesulitan dalam mengaitkan materi matematika yang obyek kajiannya bersifat absrak dalam bentuk pembelajaran yang bernuansa pendekatan saintifik. Di samping itu guru juga diharapkan mampu mengaitkan materi yang diajarkan itu dengan kebesaran Sang Maha Pencipta. Kata kunci: Pendekatan saintifik, pembelajaran matematika kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik yang harus dipenuhinya atau dicapainya dari suatu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. SKL setiap jenjang pendidikan dituangkan dalam Permendikbud Nomor 54 Tahun 2013 seperti berikut ini. SKL untuk SD/MI/SDLB/Paket A pada dimensi sikap: Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam di lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain; dimensi pengetahuan: Memiliki pengetahuan faktual dan konseptual berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dalam wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian di lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain; dan dimensi keterampilan: Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang produktif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sesuai dengan yang ditugaskan kepadanya. SKL untuk SMP/MTs/SMPLB/ Paket B pada dimensi sikap: Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya, dimensi pengetahuan: Memiliki pengetahuan

PENDAHULUAN Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Pasal 1 Ayat (19) Undangundang Nomor 20 Tahun 2003 dan pasal 1 ayat 16 PP Nomor 32 Tahun 2013). Kegiatan pembelajaran merupakan proses pendidikan yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi mereka menjadi kemampuan yang semakin lama semakin meningkat dalam sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan dirinya untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, serta berkontribusi pada kesejahteraan hidup umat manusia. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan harus diarahkan untuk memberdayakan semua potensi peserta didik menjadi kompetensi yang diharapkan. Kompetensi adalah seperangkat sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh Peserta Didik setelah mempelajari suatu muatan pembelajaran, menamatkan suatu program, atau menyelesaikan satuan pendidikan tertentu. Kompetensi yang diharapkan bagi peserta didik tersebut dirumuskan dalam bentuk Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa SKL merupakan kualifikasi 51

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

faktual, konseptual, dan prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian yang tampak mata dan dimensi keterampilan: Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sesuai dengan yang dipelajari disekolah dan sumber lain sejenis. SKL untuk jenjang pendidikan SMA/MA/SMAK/MAK/SMALB/Paket C pada dimensi sikap: Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia, dimensi pengetahuan: Memiliki pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab serta dampak fenomena dan kejadian dan dimensi keterampilan: Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sebagai pengembangan dari yang dipelajari di sekolah secara mandiri. Dari SKL tersebut dijabarkan menjadi empat Kompetensi Inti (KI) yaitu KI sikap spritual (KI -1), KI sikap sososial (KI-2), KI pengetahuan (KI-3), dan KI keterampilan (KI-4). Sikap spiritual (KI-1) untuk mencapai insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sikap sosial (KI-2) untuk mencapai insan yang berakhlak mulia, sehat, mandiri, demokratis, bertanggung jawab. Kompetensi pengetahuan (KI-3) untuk mencapai insan yang berilmu. Kompetensi keterampilan (KI-4) untuk mencapai insan cakap dan kreatif. Dalam PP Nomor 32 Tahun 2013 dijelaskan bahwa KI merupakan tingkat kemampuan untuk mencapai SKL yang harus dimiliki seorang Peserta Didik pada setiap tingkat kelas atau program dan menjadi landasan pengembangan Kompetensi Dasar (KD). KD merupakan tingkat kemampuan dalam konteks muatan pembelajaran, pengalaman belajar, atau mata pelajaran yang mengacu pada KI. KD mencakup sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan dalam muatan pembelajaran, mata pelajaran, atau mata kuliah.

PEMBELAJARAN MATEMATIKA Menurut PP Nomor 32 tahun 2013 bahwa pembelajaran adalah proses interaksi antar peserta didik, antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dalam PP Nomor 19 tahun 2015 kemudian ditegaskan lagi dalam PP Nomor 32 tahun 2013 dan dalam Permendikbud Nomor 65 tahun 2013 bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Bertitik tolak dari pengertian tersebut setiap guru (termasuk guru matematika) dalam melaksanakan proses pembelajaran, memperhatikan dan mamadukan keempat dimensi KI yaitu dimensi sikap spiritual (KI-1) untuk mencapai insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; dimensi sikap sosial (KI-2) untuk mencapai insan yang berakhlak mulia, sehat, mandiri, demokratis, bertanggung jawab; dimensi kompetensi pengetahuan (KI-3) untuk mencapai insan yang berilmu; dan dimensi kompetensi keterampilan (KI-4) untuk mencapai insan cakap, dan kreatif. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang harus diikuti peserta didik pada setiap jenjang pendidikan. Soedjadi (1999:23) mengungkapkan bahwa matematika memiliki karakteristik tertentu antara lain adalah: (1) memiliki objek kajian abstrak; (2) bertumpu pada kesepakatan; (3) berpola pikir deduktif; (4) memiliki simbol yang kosong arti; (5) memperhatikan semesta pembicaraan; dan (6) konsisten dalam sistemnya. Sejalan dengan ini, pada Lampiran III permendikbud Nomor 58 Tahun 2014 dan permendikbud Nomor 59 Tahun 2014 dijelaskan bahwa Matematika yang dijarkan di sekolah pada umumnya memimiliki karakteristik sebagai berikut: (1) Objek yang dipelajari bersifat abstrak, (2) Kebenaranya berdasarkan logika, (3) Pembelajarannya atau penyajian materi matematika secara bertingkat dan kontinu, (4) Ada keterkaitan antara materi yang satu dengan yang lainnya, (5) Menggunakan bahasa simbol, (6) Diaplikasikan di bidang ilmu lain. Tujuan mata pelajaran matematika diberikan kepada peserta didik (Lampiran III 52

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

mengamal-kan.” Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas “mengingat, memahami, mene-rapkan, menganalisis, mengevaluasi, men-cipta.” Sedangkan keterampilan diperoleh melalui aktivitas “mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta.” Setiap materi matematika yang diajarkan disamping menemukan konsep dan prosedur, hendaknya guru berusaha mengaitkan obyek matematika itu terhadap ciptaan Tuhan yang maha kuasa (sikap spritual), dan sikap sosial. Semakin baik pemahaman peserta didik terhadap matematika semakin baik pula sikap spritual dan sosialnya. Pelaksanaan pembelajaran matematika diharapkan menggunakan pendekatan dan strategi pembelajaran yang memicu peserta didik agar aktif berperan dalam proses pembelajaran dan membimbing peserta didik dalam proses pengajuan masalah (problem posing) dan pemecahan masalah (problem solving). Pada tahap akhir diharapkan pembelajaran matematika dapat membentuk sikap-sikap positif peserta didik seperti kedisiplinan, tanggung jawab, toleransi, kerja keras, kejujuran, menghargai perbedaan, dan lain lain. Selanjutnya di kemudian hari dapat terbentuk pola berpikir dan bertindak ilmiah yang merupakan suatu kebiasaan. Kegiatan inti dalam pembelajaran matematika merupakan proses pembelajaran untuk mencapai Kompetensi Dasar (KD) yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Agar pembelajaran tersebut terlaksana sesuai dengan yang diharapkan, maka upayaupaya yang dapat dilaksanakan guru adalah dengan cara mengenalkan dan menawarkan berbagai macam strategi dan pendekatan pembelajaran matematika. Interaksi antara siswa dengan siswa, dan antara siswa dengan guru dapat terjadi manakala guru memfasilitasi untuk terjadinya proses pembelajaran yang interaktif. Pengetahuan matematika siswa dapat dikonstruksi melalui proses negosiasi antar siswa dan kebenarannya dikonfirmasi oleh guru. Pembelajaran matematika yang inspiratif dan menyenangkan merupakan pembelajaran yang “grounded” dalam dunia siswa. Pembelajaran matematika yang diharapkan dalam praktek pembelajaran di

permendikbud Nomor 58 dan 59 Tahun 2014) agar peserta didik dapat: (1) Memahami konsep matematika, merupakan kompetensi dalam menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan menggunakan konsep maupun algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah, (2) Menggunakan pola sebagai dugaan dalam penyelesaian masalah, dan mampu membuat generalisasi berdasarkan fenomena atau data yang ada, (3) Menggunakan penalaran pada sifat, melakukan manipulasi matematika baik dalam penyederhanaan, maupun menganalisa komponen yang ada dalam pemecahan masalah dalam konteks matematika maupun di luar matematika (kehidupan nyata, ilmu, dan teknologi), (4) Mengomunikasikan gagasan, penalaran serta mampu menyusun bukti matematika dengan menggunakan kalimat lengkap, simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, (5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah, (6) Memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai dalam matematika dan pembelajarannya, seperti taat azas, konsisten, menjunjung tinggi kesepakatan, toleran, menghargai pendapat orang lain, santun, demokrasi, ulet, tangguh, kreatif, menghargai kesemestaan (konteks, lingkungan), kerjasama, adil, jujur, teliti, cermat, dan sebagainya, (7) Melakukan kegiatan–kegiatan motorik yang menggunakan pengetahuan matematika. (8) Menggunakan alat peraga sederhana maupun hasil teknologi untuk melakukan kegiatan-kegiatan matematik. Belajar matematika menurut Herman (2001:71) bukanlah suatu proses pengepakan secara hati-hati melainkan mengorganisir aktivitas dimana kegiatan ini diinterpretasikan secara luas termasuk aktivitas dan berpikir konseptual”. Pembelajaran dengan penekanan pada aktivitas, membuat siswa ingin mencari sesuatu, menginginkan jawaban dan mencari informasi untuk memecahkan suatu masalah. Sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013, sasaran pembelajaran hendaknya diarahkan guru untuk mengembangkan tiga ranah kompetensi, yaitu ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan dari peserta didik. Ketiga ranah kompetensi tersebut memiliki lintasan perolehan (proses psikologis) yang berbeda. Sikap diperoleh melalui aktivitas “menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan 53

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

kelas (lampiran III Permendibud Nomor 58 dan 59 Tahun 2014) adalah (1) pembelajaran berpusat pada aktivitas siswa, (2) siswa diberi kebebasan berpikir memahami masalah, membangun strategi penyelesaian masalah, mengajukan ide-ide secara bebas dan terbuka, (3) guru melatih dan membimbing siswa berpikir kritis dan kreatif dalam menyelesaikan masalah, (4) upaya guru mengorganisasikan bekerjasama dalam kelompok belajar, melatih siswa berkomu-nikasi menggunakan grafik, diagram, skema, dan variabel, (5) seluruh hasil kerja selalu dipresentasikan di depan kelas untuk menemukan berbagai konsep, hasil penyelesaian masalah, aturan matematika yang ditemukan melalui proses pembelajaran. Untuk dapat mengaitkan ke tiga ranah tersebut dalam pelaksanaan pembelajaran antara lain adalah dengan menggunakan pendekatan saintifik, tematik terpadu (tematik antarmata pelajaran), atau tematik (dalam suatu mata pelajaran). Proses pembelajaran dengan berbasis pendekatan saintifik harus dipandu dengan kaidah-kaidah pendekatan ilmiah. Pendekatan ini bercirikan penonjolan dimensi pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu kebenaran. Pendekatan saintifik inilah yang diinginkan dalam pelakasaan kurikulum 2013.

kata lain, belajar matematika yang baik adalah mengalami atau berkegiatan. Pada pembelajaran matematika, langkah–langkah pendekatan saintifik ini terdiri dari pengumpulan data dari percobaan, pengembangan dan peyelidikan suatu model matematika dalam bentuk representasi yang berbeda, dan refleksi (Beckmann et al, 2009: 9). Prinsip pembelajaran saintifik diterapkan mulai dari mengamati fenomena, pola, kejadian, dari suatu peristiwa atau masalah sehari-hari, siswa menanya atau mempertanyakan bagaimana, mengapa bagaimana itu terjadi serta apa yang terjadi jika peristiwa tidak seperti yang teramati/ didengar/dibaca, melakukan eksplorasi dan penalaran dalam bentuk mencoba, bereskperimen, melakukan penyelidikan, mengumpulkan data, menyimpulkan dari berbagai fakta/data dan konsep, serta menyajikan hasil belajarnya kepada teman. Langkah-langkah pendekatan saintifik dalam pembelajaran disajikan sebagai berikut. a. Mengamati (observasi) Metode mengamati dilakukan atau diarahkan dengan mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning). Metode mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik, sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi. Kegiatan mengamati dalam pembelajaran dijelaskan dalam lampiran III Permendikbud Nomor 58/2014, hendaklah guru membuka secara luas dan bervariasi kesempatan peserta didik untuk melakukan pengamatan dengan indra (membaca, mendengar, menyimak, melihat, menonton, dan sebagainya) dengan atau tanpa alat. Guru memfasilitasi peserta didik untuk melakukan pengamatan, melatih mereka untuk memperhatikan (melihat, membaca, mendengar) hal yang penting dari suatu benda atau objek. Adapun kompetensi yang diharapkan adalah melatih kesungguhan, ketelitian, dan men-cari informasi. Untuk bisa kegiatan mengamati dapat dilakukan sebaiknya guru menyiapkan media yang dapat diotak-atik oleh peserta didik. Usahakan media yang berisi ciptaan Tuhan yang tampak dan berkaitan dengan konsep yang akan diajarkan. Allah menekankan betul mempelajari sesuatu diawali dengan membaca. Allah berfirman dalam Surat Al-„Alaq ayat 1: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.

PENDEKTAN SAINTIFIK DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 untuk semua jenjang pendidikan dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan saintifik, yang dimulai dari menggali informasi melalui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah data atau informasi, menyajikan data atau informasi, dilanjutkan dengan menganalisis, menalar, kemudian menyimpulkan, dan mencipta. Guru matematika pada semua jenjang pendidikan diharapkan mampu menggunakan pendekatan saintifik dalam menanamkan atau menemukan konsep matematika kepada peserta didik yang dihadapinya. Ide dasar saintifik dalam matematika adalah untuk mendorong pembelajaran matematika dalam konteks ilmiah dan kegiatan siswa (Beckmann, 2009: 9). Kemudian disebutkan bahwa pendekatan ini mengaitkan antara matematika dengan ilmu pengetahuan, sehingga siswa akan mempelajari matematika dengan cara yang menarik. Belajar dengan berkegiatan akan berkontribusi terhadap pemahaman intuitif matematika siswa. Dengan 54

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

b. Menanya Dalam kegiatan mengamati, guru membuka kesempatan secara luas kepada peserta didik untuk bertanya mengenai apa yang sudah dilihat, disimak, dibaca atau dilihat. Guru perlu membimbing peserta didik untuk dapat mengajukan pertanyaan: pertanyaan tentang hasil pengamatan objek yang konkrit sampai kepada yang abstrak berkenaan dengan fakta, konsep, prosedur, atau pun hal lain yang lebih abstrak. Pertanyaan yang bersifat faktual sampai kepada pertanyaan yang bersifat hipotetik. Dari situasi di mana peserta didik dilatih menggunakan pertanyaan dari guru, masih memerlukan bantuan guru untuk mengajukan pertanyaan sampai ke tingkat di mana peserta didik mampu mengajukan pertanyaan secara mandiri. Dari kegiatan kedua dihasilkan sejumlah pertanyaan. Melalui kegiatan bertanya dikembangkan rasa ingin tahu peserta didik. Semakin terlatih dalam bertanya maka rasa ingin tahu semakin dapat dikembangkan. Pertanyaan terebut menjadi dasar untuk mencari informasi yang lebih lanjut dan beragam dari sumber yang ditentukan guru sampai yang ditentukan peserta didik, dari sumber yang tunggal sampai sumber yang beragam. Kegiatan “menanya” dalam kegiatan pembelajaran sebagaimana dituangkan dalam Permendikbud Nomor 58 Tahun 2014, adalah mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik). Adapun kompetensi yang diha-rapkan dalam kegiatan ini adalah mengem-bangkan kreativitas, rasa ingin tahu, kemam-puan merumuskan pertanyaan untuk membentuk pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat. Allah berfirman dalam Surat Ibrahim ayat 24: Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, ayat 25: pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. c. Mengumpulkan Informasi Kegiatan “mengumpulkan informasi” merupakan tindak lanjut dari bertanya. Kegiatan ini dilakukan dengan menggali dan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber

melalui berbagai cara. Untuk itu peserta didik dapat membaca buku yang lebih banyak, memperhatikan fenomena atau objek yang lebih teliti, atau bahkan melakukan eksperimen. Dari kegiatan tersebut terkumpul sejumlah informasi. Dalam Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013, aktivitas mengumpulkan informasi dilaku-kan melalui eksperimen, membaca sumber lain selain buku teks, mengamati objek/kejadian, aktivitas wawancara dengan nara sumber dan sebagainya. Adapun kompetensi yang diharapkan adalah mengembangkan sikap teliti, jujur, sopan, menghargai penda-pat orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan belajar dan belajar sepanjang hayat. d. Mengasosiasikan/Mengolah Informasi/ Menalar Setelah peserta didik memperoleh informasi terntang berbagai konsep yang sedang atau tengah dipelajari, kemudian dilanjutkan dengan Kegiatan “mengasosiasi/mengolah informasi/menalar”. Langkah-langkah yang dilkukan dalam kegiatan pembelajaran sebagaimana disampaikan dalam Permendikbud Nomor 81a Tahun 2013, adalah memproses informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/eksperimen maupun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi. Pengolahan informasi yang dikumpulkan dari yang bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada pengolahan informasi yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan. Kegiatan ini dilakukan untuk menemukan keterkaitan satu informasi dengan informasi lainya, menemukan pola dari keterkaitan informasi tersebut. Adapun kompetensi yang diharapkan adalah mengembangkan sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan prosedur dan kemampuan berpikir induktif serta deduktif dalam menyimpulkan. Aktivitas ini juga diistilahkan sebagai kegiatan menalar, yaitu proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-fakta empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran asosiatif. Istilah asosiasi dalam 55

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

pembelajaran merujuk pada kemampuan mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian memasukannya menjadi penggalan memori. Selama mentransfer peristiwaperistiwa khusus ke otak, pengalaman tersimpan dalam referensi dengan peristiwa lain. Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan di memori otak berelasi dan berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia. e. Menarik kesimpulan Kegiatan menyimpulkan dalam pembelajaran dengan pendekatan saintifik merupakan kelanjutan dari kegiatan mengolah data atau informasi. Setelah menemukan keterkaitan antar informasi dan menemukan berbagai pola dari keterkaitan tersebut, selanjutnya secara bersama-sama dalam satu kesatuan kelompok, atau secara individual membuat kesimpulan. f. Mengkomunikasikan Stelah peserta didik baik sescara individu atau kelompok memperoleh suatu kesimpulan, maka Guru diharapkan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengkomunikasikan apa yang telah mereka pelajari. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui menuliskan atau menceritakan apa yang telah ditemukan dalam kegiatan mencari informasi, mengasosiasikan dan menemukan pola. Hasil tersebut disampaikan di kelas dan dinilai oleh guru sebagai hasil belajar peserta didik atau kelompok peserta didik tersebut. Kegiatan mengkomunikasikan dalam kegiatan pembelajaran sebagaimana disampaikan dalam Permendikbud Nomor 81a Tahun 2013, adalah menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan yang telah diperoleh berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya. Semua peserta diharapkan memperoleh kesimpulan dari yang sudah dibahas tersebut. Berikut ini diberikan suatu contoh contoh penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran matematika SMP Kelas VII, pada materi segiempat (KD 3.6 dan KD 4.7): KD Pengetahuan: 3.6 Mengidentifikasi sifat-sifat bangun datar dan menggunakannya untuk menentukan keliling dan luas. KD Keterampilan: 4.7 Menyelesaikan permasalahan nyata yang terkait penerapan sifat-sifat persegi panjang, persegi, trapesium, jajargenjang, belah ketupat, dan layang-layang.

Kegiatan yang perlu dilakukan guru dalam mengajarkan materi bangun datar segi empat tersebut antara lain adalah sebagai berikut. 1. Sebelum Pembelajaran Guru mempersiapkan pembelajaran dengan cara mereview RPP, memilih media, membuat media pembelajaran, menelaah karakteristik siswa, menyusun instrumen penilain dengan mengacu pada buku guru dan siswa. 2. Melaksanakan Pembelajaran a. Kegiatan Pendahuluan diawali dengan salam dan berdoa, menjelaskan tujuan dan materi pembelajaran segiempat, kegiatan motivasi: dengan cara guru mengaitkan situasi pada kehidupan sehari-hari dengan materi yang akan dipelajari (segiempat), memperkenalkan bangun segiempat yang pada gedung sekolah, atau dalam ruang sekolah. apersepsi: siswa diberi kesempatan untuk dapat memberikan contoh berbagai bangun segiempat dan yang bukan segiempat ciptaan yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari, guru dan siswa mendiskusikan bangun segi empat dan yang bukan segiempat yang ada di alam sekitar mereka. b. Kegiatan Inti Mengamati: guru mengajak siswa mengamati gambar pada bahan ajar (buku siswa), dan dari berbagai sumber dan lingkungan sekitar, Siswa melakukan diskusi kelompok sebagai salah satu bentuk pendekatan saintifik (mengamati, menanya, mengumpulkan dan mengolah informasi, serta mengkomunikasikan), Mengamati bisa dilakukan pada bahan ajar yang telah disiapkan ataupun pada lingkungan sekitar. Kegiatan menanya bisa dilakukan dengan sesama teman, kepada guru, ataupun mencari ke sumber belajar yang sesuai dengan materi yang akan dibahas. Mengumpulkan dan memperoleh informasi: bisa dilakukan dalam diskusi kelompok yang aktif dan dinamis, bimbingan dari guru diperlukan siswa untuk membangun logika penyelesaian masalah dalam pelajaran matematika. Pada saat siswa melakukan kegiatan diskusi kelompok guru mengamati keterlaksanaan latihan masing-masing 56

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

kelompok dan memperhatikan aktivitas siswa untuk kemudian diberikan penilaian otentik pada sikap, keaktifan, dan kerjasama yang dilakukan siswa. Teknis penilaian otentik dapat dilakukan dengan cara: (1) menilai satu kelompok pada beberapa aspek penilaian, (2) menilai keseluruhan kelompok pada satu aspek penilaian tertentu. Disaat diskusi kelompok siswa diarahkan untuk mengolah informasi hingga menemukan simpulan bersama. Siswa mengkomunikasikan hasil diskusi secara tertulis dan lisan: Bentuk komunikasi bisa dilakukan melalui kegiatan siswa menceritkan apa yang sudah ditemukan dalam kegiatan mengumpulkan dan mengolah informasi. Mencipta pada pembelajaran materi segiempat bisa dilakukan. Kegiatan mencipta misalnya dilakukan dengan menciptakan suatu bangun yang dibentuk dari berbagai bangun segiempat (membentuk pola bangun datar tertentu sesuai dengan kreasi siswa, jika perlu diberi warna-warni untuk keindahan). c. Menutup Pembelajaran Aktivitas menutup pembelajaran terdiri dari: menarik kesimpulan, melakukan refleksi, dan memeberikan tindak lanjut (Pekerjaan Rumah). 3. Selesai Pembelajaran Setelah pembelajaran selesai, guru membuat rekap penilaian pada setiap siswa berdasarkan hasil belajar siswa (pada ranah sikap, pengetahuan, atau keterampilan), serta melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang telah dilakukan. Hasil refleksi tersebut dijadikan pendoman untuk pembelajaran beriktnya.

Proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 untuk semua jenjang pendidikan dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan saintifik, yang dimulai dari menggali informasi melalui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah data atau informasi, menyajikan data atau informasi, dilanjutkan dengan menganalisis, menalar, kemudian menyimpulkan, dan mencipta. Guru mata matematika pada semua jenjang pendidikan diharapkan mampu menggunakan pendekatan saintifik dalam menanamkan atau menemukan konsep matematika kepada peserta didik yang dihadapinya. Melalui penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran matematika, diharapkan dapat membentuk karakter peserta didik seperti disiplin, tanggung jawab, toleransi, kerja keras, jujur, percaya diri, tanggap terhadap perubahan dan menghargai perbedaan, serta mempertebalkan keyakinannya terhadap kebesaran Allah Subha-nahu Wata‟ala. Lulusan dengan kemampuan nalar yang baik dan memiliki karakter-karakter terpuji inilah yang menjadi harapan dalam melanjutkan pembangunan bangsa yang diridhai oleh Yang Mahakuasa. DAFTAR PUSTAKA Beckmann, A et al. 2009. The ScienceMath Project. Germany: The ScienceMathGroup. Buku panduan pelatihan Implementasi Kurikulum 2013, dalam pelajaran matematika, Erman, Suherman, dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer (Common Textbook). Bandung: JICA –Universitas Pendidikan Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional pendidikan (Lembar Negara RI Tahun 2013 Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 2013 tentang perubahan atas PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional pendidikan (Lembar Negara RI Tahun 2013 No.71, Tambahan Lembar Negara) Permendikbud No.54 Tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah; Permendikbud No.64 Tahun 2013 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah.

PENUTUP Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Mulai tahun pelajaran 2014-2015 semua sekolah di Indonesia menerapkan kurikulum 2013, yang sasaran pembelajarannya diarahkan untuk mengembangkan tiga ranah kompetensi peserta didik yaitu ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan. 57

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Permendikbud No.65 Tahun 2013 tentang Standar proses Pendidkan Dasar dan Menengah. Permendikbud No. 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum. Permendikbud No.58 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (lampiran III)

Permendikbud No.59 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (lampiran III) Soedjadi, R. (1999). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia, Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Dirjen Dikti.

58

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

ANALISIS PEMBENTUKAN KONSEP MATEMATIKA MENURUT TEORI BRUNER PADA MATERI BANGUN DATAR SEGI EMPAT KELAS VII DI SMP N 1 PARIANGAN Nola Nari, Yossi Andriyani 1

Program Studi Tadris Matematika Jurusan Tarbiyah STAIN Batusangkar Korespondensi: Jl. Sudirman No. 137 Kuburajo Lima Kaum Batusangkar. Email: [email protected] ABSTRACT The purpose of the study was to describe the formation of concept mathematic according to Bruner theory in learning Square in the classroom VII.3 SMPN 1 Pariangan. This research is descriptive qualitative research. Research procedures can be divided into three stages: preparation, execution, and completion. The research instrument used observation, formation of concept test and interview guides. The data analysis technique used is the data reduction, data display, and verification. The results showed formation of concept mathematic according to Bruner theory can be set up if to pass three stages Bruner theory. Kata kunci: Pembentukan Konsep, Teori Bruner. anak sebaiknya diberi kesempatan memanipulasi benda-benda atau alat peraga yang dirancang secara khusus dan dapat diotakatik oleh siswa dalam memahami suatu konsep matematika. Melalui alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak dihubungkan dengan intuitif yang telah melekat pada dirinya. Peran guru dalam penyelenggaraan pelajaran tersebut, (a) perlu memahami struktur mata pelajaran, (b) pentingnya belajar aktif supaya seorang dapat menemukan sendiri konsep-konsep sebagai dasar untuk memahami dengan benar, (c) pentingnya nilai berfikir induktif. Bruner mengatakan, agar pembelajaran dapat mengembangkan keterampilan berpikir anak dalam mempelajari suatu konsep matematika, maka materi pelajaran perlu disajikan dengan memperhatikan tahap perkembangan kognitif anak (Bruner dalam Hawa, 2013). Proses belajar terjadi secara optimal jika pengetahuan yang dipelajari melalui tiga tahapan yaitu tahap enaktif, ikonik, dan simbolik. Ketiga tahapan tersebut sangat berperan penting dalam proses pembentukan konsep anak. Adapun teori belajar lain yang terkenal dari Bruner adalah teori pembelajaran konsep (concept learning) atau pembelajaran kategori atau dikenal sebagai pemerolehan konsep. Bruner mendefinisikan perolehan konsep atau pembelajaran konsep adalah strategi yang

1. PENDAHULUAN Matematika adalah salah satu bidang studi yang diberikan di sekolah. Matematika diberikan mulai dari tingkat dasar sampai tingkat lanjut. Fungsi mata pelajaran matematika yakni sebagai alat, pola pikir, dan ilmu atau pengetahuan. Siswa diberi pengalaman menggunakan matematika sebagai alat untuk memahami atau menyampaikan suatu informasi misalnya melalui persamaanpersamaan, atau tabel-tabel dalam model-model matematika yang merupakan penyederhanaan dari soal-soal cerita atau soal-soal uraian matematika lainnya (Suherman, 2001). Pembicaraan mengenai matematika sekolah dan pembelajarannya tidak akan lepas dari teori psikologi yang mendasarinya. Jika terlepas dari psikologi pembelajaran yang mendasarinya, bukan lagi disebut dengan pembelajaran. Karena proses pembelajaran adalah pembentukan diri siswa untuk menuju pembangunan manusia seutuhnya (Suherman, 2001). Psikologi pembelajaran atau disebut juga Teori Belajar adalah teori yang mempelajari perkembangan intelektual (mental) siswa. Begitu pentingnya pengetahuan tentang teori pembelajaran dalam sistem penyampaian materi di depan kelas, hingga setiap metode pengajaran harus disesuaikan dengan teori-teori yang dikemukakan oleh ahli pendidikan. Salah satu teori belajar yang mampu melihat kemampuan dan proses berpikir yang dimiliki oleh siswa adalah Teori Bruner. Bruner, melalui teorinya itu, mengungkapkan bahwa dalam proses belajar 59

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

mempersyaratkan seorang pembelajar untuk membandingkan dan mengontraskan kelompokkelompok atau kategori-kategori yang mengandung ciri-ciri konsep yang relevan dengan kategori atau yang tidak mengandung ciri-ciri konsep yang relevan.1 Dari uraian di atas umumnya metode-metode dalam pembelajaran berlandaskan pada Teori Belajar Bruner, seperti metode penemuan (discovery learning), Metode yang hampir mirip dengan metode penemuan yakni metode inkuiri, concept leraning. Umumnya metode ini sering digunakan dalam pembelajaran matematika Dari hasil wawancara peneliti dengan salah seorang guru Matematika di SMP N 1 Pariangan, guru tersebut menggunakan metode penemuan terbimbing (discovery learning), ketika menyampaikan materi Bangun Datar Segi Empat, karena pada materi ini anak dituntut secara aktif dan mampu menemukan sendiri rumus-rumus dari bangun segi empat. Pada materi ini penggunaan alat peraga juga sangat dibutuhkan karena akan membantu terjadinya proses pembentukan konsep anak. Metode penemuan terbimbing ini merupakan salah satu metode yang dikembangkan berdasarkan teori belajar Bruner. Dari hasil evaluasi yang telah dilakukan oleh guru di tahun-tahun sebelumnya ternyata setelah diterapkannya metode penemuan terbimbing pada materi bangun datar segi empat, konsep anak lebih mudah terbentuk, karena beliau merancang pembelajaran dengan memperhatikan tahap-tahap yang dikemukakan oleh bruner, yakni tahap enaktif, ikonik dan simbolik. Siswa secara aktif melakukan manipulasi-manipulasi objek dari alat peraga yang telah diberikan dan tugas guru hanya membimbing siswa, sehingga mereka menemukan sendiri konsep dari materi yang disampaikan. Dari fenomena di atas, begitu pentingnya proses dalam pembelajaran, karena dalam pembelajaran proses dan hasil merupakan suatu hal yang tak terpisahkan, karena dalam belajar tidak hanya hasil yang dinilai namun prosesnya pun sangat penting dijadikan bahan evaluasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana proses pembentukan konsep matematika menurut teori Bruner pada materi persegi, persegi panjang, jajaran genjang, dan trapesium di Kelas VII SMPN 1 Pariangan.

1

2. METODE Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research). Metode penelitian yang peneliti gunakan adalah penelitian deskriptif. Menurut Best, penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang mencoba menggambarkan atau menuturkan dan menafsirkan suatu fenomena yang terjadi pada masa sekarang. Penelitian ini bertujuan untuk membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai faktafakta dan sifat-sifat populasi daerah tertentu. Adapun pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif deskriptif hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel, gejala atau keadaan, dan tidak dimaksudkan untuk mengkaji hipotesis tertentu. Penelitian ini menggambarkan secara akurat dan sistematis mengenai fakta-fakta dan fenomena-fenomena yang diselidiki, yaitu proses pembentukan konsep matematika menurut teori Bruner dalam proses pembelajaran matematika. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode penelitian deskriptif. Penelitian kualitatif deskriptif hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel, gejala atau keadaan, dan tidak dimaksudkan untuk mengkaji hipotesis tertentu (Suryana, 2010). Penelitian ini menggambarkan secara akurat dan sistematis mengenai faktafakta dan fenomena-fenomena yang diselidiki, yaitu proses pembentukan konsep matematika menurut teori Bruner dalam proses pembelajaran matematika. Subjek pada penelitian ini adalah siswa kelas VII.3 SMPN 1 Pariangan yang terdiri dari 22 orang. Data dikumpulkan menggunakan tiga jenis instrumen, yaitu observasi, dokumentasi kerja siswa dan dikuatkan dengan wawancara. Kegiatan observasi dilakukan pada seluruh siswa yang telah terbagi menjadi empat kelompok. Tiap-tiap kelompok terdiri dari 5 sampai 6 orang siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Pada saat proses pembelajaran berlangsung, semua aktivitas siswa diamati, dicatat dan didokumentasikan agar kegiatan yang dilakukan siswa dapat tergambar dengan baik. Aktivitas yang diamati yakni bagaimana terbentuknya suatu konsep jika ia telah mampu melewati tahapan teori Bruner. Dari kegiatan observasi ini akan diperoleh deskripsi data tentang bagaimana proses terbentuknya konsep siswa. Dokumentasi kerja siswa dalam proses

Suyono, Ibid, h. 90 60

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

pembelajaran berupa lembar kegiatan yang mampu menunjang proses terbentuknya konsep matematika anak ketika melalui tahapantahapan Bruner. Setelah itu data didalami dengan kegiatan wawancara yang dilakukan bersifat terbuka. Setiap subjek diwawancarai minimal satu kali, tergantung pada berapa banyak data yang dibutuhkan dari setiap subjek. Materi wawancara disusun berdasarkan hasil observasi dan jawaban siswa dari soal pembentukan konsep yang diberikan. Selama wawancara juga digunakan pedoman umum wawancara agar proses wawancara dapat berjalan lebih terarah.

Persentase 50 66.7 83.3 66.7 83.3 66.7 50 16 16 18 15 18 17 15 Frekuensi Persentase (%) 72.7 72.7 81.8 68.1 81.8 77.2 68.1 Total

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika melewati tahapan Bruner pada materi persegi, persegi panjang, jajar genjang dan trapesium ada beberapa indikator pembentukan konsep yang telah terbentuk, berikut jabaran dari hasil yang diperoleh (1) Pada materi persegi terbentuknya konsep persegi apabila telah melalui 3 tahapan dari teori Bruner, pada tahap enaktif indikator yang terbentuk yakni mengidentifikasi sifat-sifat yang dimiliki oleh persegi, pada tahap ikonik indikator yang terbentuk yakni mengidentifikasi dan merepresentasikan persegi dalam bentuk gambar, ini artinya pada tahap ikonik ini indikator yang telah terbentuk sebelumnya juga terpakai pada tahap ini. Dalam tahap ikonik pengetahuan direpresentasikan dalam bentuk bayangan visual, gambar atau diagram yang menggambarkan kegiatan nyata yang terdapat pada tahap enaktif (Hawa, 2013). Untuk menemukan luas persegi anak harus mampu mengelompokkan mana yang merupakan sifat-sifat dari persegi, tentunya anak mesti mengidentifikasi terlebih dahulu mana yang termasuk sifat-sifat persegi kemudian menghubungkan sifat-sifat tersebut dengan aturan tertentu. Untuk menghubungkan sifat-sifat tersebut anak mewujudkan ke dalam bentuk gambar agar memudahkan dalam proses menghubungkan sifat-sifat sehingga menemukan luas dari persegi. Ahmad Fauzan mengatakan representasi dapat dipandang bertransisi dan merupakan jembatan yang menghubungkan bagian yang konkrit dan abstrak. Ini artinya representasi merupakan suatu jembatan yang menghubungkan antara benda nyata menjadi ilmu yang pasti. Ilmu yang pasti ini dapat berupa simbol atau rumus-rumus. Ini juga didukung oleh data pengamatan yang menunjukan empat dari lima anak dalam kelompok persegi telah mampu menyimbolkan rumus dari persegi. Satu anak tidak mampu melewati tahap simbolik ini, karena anak memang pada tahap ikonik sebelumnya belum mampu melaluinya dengan baik. Pada tahap simbolik keempat indikator telah terbentuk, sehingga menemukan rumus luas persegi. Proses belajar terjadi secara optimal jika pengetahuan dipelajari telah melalui tiga tahapan yaitu tahap enaktif, ikonik, dan simbolik (Hawa, 2013). (2) Pada materi persegi panjang terbentuknya konsep persegi

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian diperoleh informasi pada tabel berikut: Tabel 1. Hasil Observasi Pembentukan Konsep Matematika Menurut Teori Bruner Pada Materi Bangun Datar Segi Empat di Kelas VII.3 SMPN 1 Pariangan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Aktivitas Tahapan Pembentukan Nama Bruner Kel Konsep Siswa a b c d 1) 2) 3) S1 S2 Perse S3 gi S4 S5 Persentase 100 80 80 80 100 80 80 S6 Perse S7 - gi S8 Pan S9 jang S10 Persentase 80 80 80 60 80 80 80 S11 S12 - Jajar S13 Gen S14 jang S15 S16 Persentase 66.7 66.7 83.3 66.7 66.7 83.3 66.7 S17 -

18 19 20 21 22

Tra pesi um

S18

-

S19 S20 S21 S22

-

-

-

-

-

-

61

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

panjang apabila telah melalui 3 tahapan dari teori Bruner yakni, pada tahap enaktif indikator yang terbentuk yakni mengidentifikasi sifatsifat dan mengelompokkan sifat-sifat persegi panjang. Pada tahap ikonik indikator yang terbentuk yakni mengidentifikasi, mengelompokkan dan merepresentasikan persegi panjang dalam bentuk gambar, ini artinya pada tahap ikonik ini indikator yang telah terbentuk sebelumnya juga terpakai pada tahap ini. Dalam tahap ikonik pengetahuan direpresentasikan dalam bentuk bayangan visual, gambar atau diagram yang menggambarkan kegiatan nyata yang terdapat pada tahap enaktif (Hawa, 2013). Pada tahap simbolik keempat indikator telah terbentuk, sehingga menemukan rumus luas persegi panjang. Proses belajar terjadi secara optimal jika pengetahuan dipelajari telah melalui tiga tahapan yaitu tahap enaktif, ikonik, dan simbolik (Hawa, 2013). (3) Pada materi jajar genjang terbentuknya konsep jajar genjang apabila telah melalui 3 tahapan dari teori Bruner yakni, pada tahap enaktif indikator yang terbentuk yakni mengidentifikasi sifat-sifat dan mengelompokkan sifat-sifat jajar genjang. Pada tahap ikonik, indikator yang terbentuk yakni mengidentifikasi, mengelompokkan dan merepresentasikan jajar genjang dalam bentuk gambar, ini artinya pada tahap ikonik ini indikator yang telah terbentuk sebelumnya juga terpakai pada tahap ini. Dalam tahap ikonik pengetahuan direpresentasikan dalam bentuk bayangan visual, gambar atau diagram yang menggambarkan kegiatan nyata yang terdapat pada tahap enaktif (Hawa, 2013). Pada tahap simbolik keempat indikator telah terbentuk, sehingga menemukan rumus luas jajar genjang. Proses belajar terjadi secara optimal jika pengetahuan dipelajari telah melalui tiga tahapan yaitu tahap enaktif, ikonik, dan simbolik (Hawa, 2013). (4) Pada materi trapesium terbentuknya konsep trapesium apabila telah melalui 3 tahapan dari teori Bruner. Pada tahap enaktif indikator yang terbentuk yakni mengidentifikasi sifat-sifat dan mengelompokkan sifat-sifat trapesium. Pada tahap ikonik, indikator yang terbentuk yakni mengidentifikasi, mengelompokkan dan merepresentasikan trapesium dalam bentuk gambar, ini artinya pada tahap ikonik ini indikator yang telah terbentuk sebelumnya juga terpakai pada tahap ini. Dalam tahap ikonik pengetahuan direpresentasikan dalam bentuk bayangan visual, gambar atau diagram yang

menggambarkan kegiatan nyata yang terdapat pada tahap enaktif (Hawa, 2013). Pada tahap simbolik keempat indikator telah terbentuk, sehingga menemukan rumus luas trapesium. Pada tahap ketiga ini, anak mampu menyimbolkan apa yang telah ia peroleh sebelumnya ke dalam bentuk simbol. Pada materi ini anak dituntut untuk mampu menemukan rumus luas dari trapesium. Untuk menemukan luas trapesium anak harus mampu mengelompokkan mana yang merupakan sifatsifat dari trapesium, tentunya anak mesti mengidentifikasi terlebih dahulu mana yang termasuk sifat-sifat trapesium kemudian menghubungkan sifat-sifat tersebut dengan aturan tertentu. Untuk menghubungkan sifatsifat tersebut anak mewujudkan ke dalam bentuk gambar agar memudahkan dalam proses menghubungkan sifat-sifat sehingga menemukan luas dari trapesium. Ahmad Fauzan mengatakan representasi dapat dipandang bertransisi dan merupakan jembatan yang menghubungkan bagian yang konkrit dan abstrak.2 Ini artinya representasi merupakan suatu jembatan yang menghubungkan antara benda nyata menjadi ilmu yang pasti. Ilmu yang pasti ini dapat berupa simbol atau rumus-rumus. Ini juga didukung oleh data pengamatan yang menunjukan tigat dari enam anak dalam kelompok jajar genjang telah mampu menyimbolkan rumus dari luas jajar genjang. tiga anak tidak mampu melewati tahap simbolik ini, karena dua anak memang pada tahap ikonik sebelumnya belum mampu melaluinya dengan baik dan satu anak lagi terjebak dalam menghubung-hubungkan sifat dengan aturan tertentu sehingga tidak mampu menemukan rumus luas trapesium. Dalam tahap simbolik, objek-objek pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol yang abstrak. Tahap simbolik ini merupakan lanjutan dari tahap ikonik yang penyajiannya dalam bentuk visual. Berdasarkan tori Bruner, seseorang menggunakan penyajian ikonik yang didasarkan pada pengindraan kepenyajian simbolik yang didasarkan pada berpikir abstrak. Ini artinya tahap simbolik ini merupakan lanjutan dari tahap ikonik sebelumnya, apa informasi yang diperoleh pada tahap ikonik disimbolkan dalam tahap simbolik ini. Untuk mampu menyimbolkannya dapat diperoleh dari indikator yang telah diperoleh sebelumnya yakni mengidentifikasi, mengelompokkan dan merepresentasikan suatu 2

62

Ahmad Fauzan, Opcit, h. 66 Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

persegi, ketiga indikator ini sangat mendukung untuk menyimbolkan luas jajar genjang. Dengan ketiga indikator tersebut akan ditemukan luas jajar genjang dan akan muncul indikator pembentukan konsep yang lain yakni menghubungkan dengan aturan tertentu dan menyimpulkan dalam bentuk simbol. Jadi pada tahap simbolik ada 4 indikator pembentukan konsep yang terbentuk Kendala yang dihadapi selama penelitian yakni: (1) Sulitnya mengamati siswa karena pada saat itu hanya peneliti sebagai observer, namun dapat ditanggulangi dengan hasil lembar-lembar kegiatan siswa yang telah peneliti buat, disana dapat terlihat bagaimana proses anak berpikir. (2) Kegiatan wawancara tidak bisa berlangsung secara maksimal karena keterbatasan baik dari segi peneliti maupun kebijakan sekolah mengenai jam belajar

menemukan rumus luas dari jajar genjang. Untuk menemukan luas jajar genjang anak harus mampu mengelompokkan mana yang merupakan sifat-sifat dari jajar genjang, tentunya anak mesti mengidentifikasi terlebih dahulu mana yang termasuk sifat-sifat jajar genjang kemudian menghubungkan sifat-sifat tersebut dengan aturan tertentu. Untuk menghubungkan sifat-sifat tersebut anak mewujudkan ke dalam bentuk gambar agar memudahkan dalam proses menghubungkan sifat-sifat sehingga menemukan luas dari jajar genjang. Ahmad Fauzan mengatakan representasi dapat dipandang bertransisi dan merupakan jembatan yang menghubungkan bagian yang konkrit dan abstrak. Ini artinya representasi merupakan suatu jembatan yang menghubungkan antara benda nyata menjadi ilmu yang pasti. Ilmu yang pasti ini dapat berupa simbol atau rumus-rumus. Ini juga didukung oleh data pengamatan yang menunjukan empat dari enam anak dalam kelompok jajar genjang telah mampu menyimbolkan rumus dari luas jajar genjang. Dua anak tidak mampu melewati tahap simbolik ini, karena anak memang pada tahap ikonik sebelumnya belum mampu melaluinya dengan baik. Dalam tahap simbolik, objek-objek pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol yang abstrak. Tahap simbolik ini merupakan lanjutan dari tahap ikonik yang penyajiannya dalam bentuk visual. Berdasarkan tori Bruner, seseorang menggunakan penyajian ikonik yang didasarkan pada pengindraan kepenyajian simbolik yang didasarkan pada berpikir abstrak. Ini artinya tahap simbolik ini merupakan lanjutan dari tahap ikonik sebelumnya, apa informasi yang diperoleh pada tahap ikonik disimbolkan dalam tahap simbolik ini. Untuk mampu menyimbolkannya dapat diperoleh dari indikator yang telah diperoleh sebelumnya yakni mengidentifikasi, mengelompokkan dan merepresentasikan suatu persegi, ketiga indikator ini sangat mendukung untuk menyimbolkan luas jajar genjang. Dengan ketiga indikator tersebut akan ditemukan luas jajar genjang dan akan muncul indikator pembentukan konsep yang lain yakni menghubungkan dengan aturan tertentu dan menyimpulkan dalam bentuk simbol. Jadi pada tahap simbolik ada 4 indikator pembentukan konsep yang terbentuk (4) Pembentukan konsep matematika menurut teori Bruner pada materi trapesium, pada tahap enaktif indikator yang terbentuk

4. PENUTUP Berdasarkan analisis data yang dikaitkan dengan pertanyaan penelitian pada Bab I, dapat ditarik beberapa kesimpulan yakni: (1) Pembentukan konsep matematika menurut teori Bruner pada materi persegi dapat terbentuk apabila telah melalui 3 tahapan dari teori Bruner, pada tahap enaktif indikator yang terbentuk yakni mengidentifikasi sifat-sifat yang dimiliki oleh persegi, pada tahap ikonik indikator yang terbentuk yakni mengidentifikasi dan merepresentasikan persegi dalam bentuk gambar, pada tahap simbolik keempat indikator telah terbentuk dengan baik. (2) Pembentukan konsep matematika menurut teori Bruner pada materi persegi panjang, pada tahap enaktif indikator yang terbentuk yakni mengidentifikasi sifat-sifat dan mengelompokkan sifat-sifat persegi panjang. Pada tahap ikonik indikator yang terbentuk yakni mengidentifikasi, mengelompokkan dan merepresentasikan persegi panjang dalam bentuk gambar. Pada Tahap simbolik, keempat indikator telah terbentuk dengan baik. (3) Pembentukan konsep matematika menurut teori Bruner pada materi jajar genjang, pada tahap enaktif indikator yang terbentuk yakni mengidentifikasi sifat-sifat dan mengelompokkan sifat-sifat jajar genjang. Pada tahap ikonik, indikator yang terbentuk yakni mengidentifikasi, mengelompokkan dan merepresentasikan jajar genjang dalam bentuk gambar. Pada tahap simbolik, keempat indikator telah terbentuk dengan baik. Pada tahap ketiga ini, anak mampu menyimbolkan apa yang telah ia peroleh sebelumnya ke dalam bentuk simbol. Pada materi ini anak dituntut untuk mampu 63

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

yakni mengidentifikasi sifat-sifat dan mengelompokkan sifat-sifat trapesium. Pada tahap ikonik, indikator yang terbentuk yakni mengidentifikasi, mengelompokkan dan merepresentasikan trapesium dalam bentuk gambar. Pada tahap simbolik, keempat indikator telah terbentuk, sehingga menemukan rumus luas trapesium.

5. DAFTAR PUSTAKA Erman Suherman. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer (JICA.Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2001)980 Siti Hawa, Teori Belajar Bruner, tersedia di http://PengembanganPembelajaranMatema tika_UNIT_1_0 h.1.5 diakses Tanggal 18 Oktober 2013

Saran Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memberikan beberapa saran, antara lain; (1) Bagi siswa VII.3 SMPN 1 Pariangan, agar dalam proses pembelajaran anak lebih terlibat aktif dalam melakasanakan apa yang diperintahkan oleh guru, dan mulai berani untuk mengeluarkan pendapat. (2) Bagi guru matematika Kelas VII.3 SMPN 1 Pariangan, agar memperhatikan indikator-indikator pemebntukan konsep anak agar konsep anak mudah terbentuk, meningkatkan strategi dan metode dalam belajara supaya pada saat proses pembelajaran berlangsung anak bersemangat menerima materi, dan sebaiknya metode tersebut berkaitan terhadap indikator pembentukan konsep, untuk evaluasi penilaian, guru sebaiknya juga menilai proses anak pada saat pembelajran. (3) Bagi peneliti selanjutnya, jika ingin menerapkan metode pembelajaran untuk membentuk konsep matematika agar mudah terbentuk hendaklah memakai metode yang dapat membentuk indikator-indikator pembentukan konsep matematika.

Suryana, Metodologi Penelitian Model Praktis Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, ( Bandung: UPI, 2010) Ahmad Fauzan, Kemampuan Matematis: Kemampuan Koneksi dan Komunikasi (evaluasimatematika.net) program pasca sarjana Universitas Negeri Padang, [15 Juli 2013]

64

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

ANALISIS KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIKA SISWA BENTUK VISUAL PADA MATERI BANGUN DATAR Rathi Sundari1, Isra Nurmai Yenti1 1

Program Studi Tadris Matematika Jurusan Tarbiyah STAIN Batusangkar, Korespondensi: Jl. Sudirman No. 137 Kuburajo Lima Kaum Batusangkar. Email: [email protected] ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam kemampuan representasi matematika bentuk visual dalam menyelesaikan soal cerita tentang bangun datar. Jenis penelitian ini deskriptif kuantitatif. Instrumen penelitian yaitu tes kemampuan representasi matematika dan wawancara. Instrumen tes dikembangkan dengan cara menyusun tes, uji validitas, tes uji coba, dan analisis butir. Teknik analisis data yang digunakan reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Hasil analisis data menunjukkan bahwa persentase rata-rata kemampuan representasi matematika dalam bentuk visual yang diperoleh oleh siswa yaitu 57.14 dengan predikat cukup memuaskan untuk soal 1, 73.21 dengan predikat memuaskan untuk soal 2 dan 84.8 dengan predikat memuaskan untuk sola no 3yang dibuktikan oleh indikator representasi yang mampu dikuasai yaitu menggambarkan bangun geometri untuk memperjelas masalah dan menfasilitasi penjelasan. Kata kunci : representasi matematika, visual, simbolik, verbal untuk: (1) menciptakan dan menggunakan representasi untuk mengorganisir, mencatat, dan mengkomunikasikan ide-ide matematis; (2) memilih, menerapkan, dan menerjemahkan representasi matematis untuk memecahkan masalah; dan (3) menggunakan representasi untuk memodelkan dan menginterpretasikan fenomena fisik, sosial, dan fenomena matematis (NCTM dalam Leo, 2012:2). Dengan demikian, kemampuan representasi matematis diperlukan siswa untuk menemukan dan membuat suatu alat atau cara berpikir dalam mengkomunikasikan gagasan matematis dari yang sifatnya abstrak menuju konkret, sehingga lebih mudah untuk dipahami. Dengan adanya representasi yang tinggi, maka akan memudahkan siswa untuk memecahkan suatu masalah dalam pembelajaran matematika. Jika seorang siswa mempunyai kemampuan representasi yang tinggi, maka siswa tersebut dapat dengan mudah memaknai dan memahami setiap materi yang diberikan oleh guru. Namun, fakta di lapangan belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Kenyataan di lapangan, kemampuan representasi matematika siswa Indonesia masih jauh dari memuaskan. Ini dapat dilihat dari hasil penelitian Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) yaitu sebuah studi yang diselenggarakan oleh International Association for the Evaluation of

PENDAHULUAN Tulisan ini disarikan dari penelitian skripsi yang berjudul “Analisis Kemampuan Representasi Matematika Siswa pada Materi Bangun Datar di SMKN 6 Padang”. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh lima standar yang mendeskripsikan keterkaitan pemahaman matematika dan kompetensi matematika yang hendaknya diketahui dan dapat dilakukan siswa. Salah satu dari lima standar tersebut adalah representasi. Representasi adalah ungkapanungkapan dari ide matematis yang ditampilkan siswa sebagai model atau bentuk pengganti dari suatu situasi masalah yang digunakan untuk menemukan solusi dari suatu masalah yang sedang dihadapinya sebagai hasil dari interpretasi pikirannya (Fadillah dalam Devi, 2012:2). Kemampuan representasi dapat mendukung siswa dalam memahami konsepkonsep matematika yang dipelajari dan keterkaitannya; untuk mengkomunikasikan ideide matematika siswa; untuk lebih mengenal keterkaitan (koneksi) diantara konsep-konsep matematika; ataupun menerapkan matematika pada permasalahan matematik realistik melalui pemodelan (Hudiono dalam Devi, 2012:2). Pentingnya kemampuan representasi matematika dapat dilihat dari standar representasi yang ditetapkan oleh NCTM. NCTM menetapkan bahwa program pembelajaran dari pra-taman kanak-kanak sampai kelas 12 harus memungkinkan siswa 65

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Educational Achievement (IEA) pada tahun 2007 yang mana siswa Indonesia berada pada peringkat 36 dari 49 negara yang turut berpartisipasi dengan perolehan rerata skor siswa yaitu 397, sedangkan rerata skor internasional adalah 500. Skor rata-rata tersebut termasuk kedalam kategori rendah. Kelemahan siswa Indonesia dalam TIMSS adalah kurangnya kemampuan dalam merepresentasikan ide/konsep matematis (Leo, 2012:3). Bukti lainnya berdasarkan hasil observasi di kelas X Busana 2 SMKN 6 Padang pada tanggal 17 Februari 2014, soal Ulangan Harian (UH) yang diberikan guru pada umumnya sudah mengarah pada soal representasi tetapi belum semua karakteristik soal representasi terpenuhi oleh siswa. Contohnya, soal UH pada materi program linear yang memuat indikator representasi. Salah satu soal ulangan yang diberikan kepada siswa seperti yang terlihat pada Gambar 1.

menyajikan kembali data/informasi dari suatu representasi ke representasi diagram, grafik, atau tabel dan membuat gambar pola geometri (Hudiono, 2013:21). Memvisualisasikan suatu situasi atau objek melibatkan “Memanipulasi mental berbagai altenatif untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan suatu situasi atau objek tanpa manfaat manipulative kongkrit (Edy, 2001:51). Visualisasi dapat menjadi alat kognitif yang kuat dalam pemecahan masalah matematis. Kemampuan untuk memecahkan masalah adalah jantung matematika, visualisasi merupakan inti pemecahan masalah matematika. Hal ini menandakan bahwa representasi matematika bentuk visual sebagai keterampilan yang penting dalam pembelajaran dan penerapan matematika. Dari uraian yang telah dikemukakan, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian guna mengetahui lebih dalam kemampuan representasi matematika bentuk visual di kelas X Busana SMKN 6 Padang. Indikator representasi matematika bentuk visual yang akan dilihat adalah membuat gambar bangun geometri untuk memperjelas masalah dan menfasilitasi penyelesaiannya. METODE Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Subjek penelitiannya adalah seluruh siswa kelas X Busana 2 SMKN 6 Padang yang berjumlah 28 orang siswa. Untuk pemilihan subjek wawancara berdasarkan pembagian kelompok yang terdapat pada tabel sebaran hasil tes representasi matematika siswa. Siswa yang terpilih sebagai subjek wawancara adalah sebanyak 5 orang. Prosedur penelitian dibedakan menjadi dua tahap yaitu bagian awal dan bagian inti. Pada bagian awal dilakukan beberapa kegiatan yaitu (1) pengembangan tes; (2) pelaksanaan tes; (3) penyusunan pedoman wawancara; dan (4) pemilihan subjek wawancara. Pada bagian inti terdiri dari pelaksanaan wawancara dan validasi data. Contoh soal tes yang dipakai adalah 1. Seorang pengusaha mempunyai sebidang tanah berbentuk persegi panjang dengan ukuran . Di ujung kiri tanah petani tersebut terdapat sebuah kolam ikan berbentuk segitiga sama kaki dengan panjang sisi miring 130 m dan sisi lainnya 100 m. Dibagian kanannya terdapat ladang sawit berbentuk persegi dengan luas Pengusaha tersebut ingin

Gambar 1. Lembar Jawaban Siswa Dari Gambar 1 terlihat bahwa kemampuan representasi siswa masih kurang. Kebanyakan dari siswa kurang mampu membuat model matematika dari persoalan yang diberikan, tidak paham dalam menyelesaikan soal tersebut karena tidak mendayagunakan kemampuan visualnya (gambar, grafik). Pada soal poin c, soal bisa diselesaikan dengan menggambarkan terlebih dahulu grafik dari model matematika, namun siswa tersebut tidak mampu membuatkan gambar atau grafik. Hal ini menandakan bahwa kemampuan representasi matematika bentuk visual siswa masih rendah. Kemampuan representasi matematika bentuk visual adalah kemampuan siswa dalam 66

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

memanfaatkan sisa tanahnya dengan cara menanami sisa tanah dengan pohon kelapa. a. Perlihatkanlah sisa lahan tanah yang akan ditanami kelapa tersebut melalui gambar! b. Tentukanlah luas lahan yang akan ditanami kelapa tersebut! 2. Sebuah taplak meja berbentuk persegi panjang dengan panjang 120 cm dan lebar 40 cm. 5 cm dari tepi bagian dalam taplak itu akan dihiasi pita mengelilingi taplak tersebut. a. Sketsalah taplak meja tersebut beserta yang diketahui dari pernyataan diatas! b. Tentukanlah panjang pita yang diperlukan untuk menghiasi taplak meja! 3. Putthie ingin menjahit rok sekolahnya kepada penjahit yang polanya seperti pada gambar. Si penjahit berujar kepada Putthie bahwa sisi horizontal dari rok tersebut membutuhkan 80 cm dasar kain, sisi vertikal membutuhkan 1 m dasar kain. a. Apakah yang diketahui dari soal? b. Berapakah total kain yang dibutuhkan untuk membuat rok tersebut? c. Jika ukuran kain tersebut diperbesar menjadi 2 kali dari ukuran semula, berapakah banyak kain yang dibutuhkan? Perlihatkan lewat gambar?

Skor

Jawaban

3

Menggambarkan kompetensi dasar

2

Sebagian benar

1

Hanya sekedar

Rentang penilaian skor perolehan tes dalam menyelesaikan soal matematika berdasarkan karakteristik representasi matematika dalam bentuk visual dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rentang Penilaian Skor Perolehan Tes Menyelesaikan Soal Matematika Berdasarkan Karakteristik Representasi Matematika dalam Bentuk Visual Skor Jawaban KATEGORI Menggambarkan bangun geometri untuk memperjelas masalah dan Lengkap menfasilitasi penjelasan 4 dengan lengkap dan benar Menggunakan representasi visual untuk 67

KATEGORI menyelesaikan masalah Hasil digambarkan selengkap-lengkapnya Kesalahan kecil misalnya pembulatan mungkin ada Menggambarkan bangun geometri untuk memperjelas masalah dan menfasilitasi penjelasan dengan hampir benar Menggunakan representasi visual untuk menyelesaikan masalah Hasil dijelaskan Beberapa kesalahan kecil masih ada Menggambarkan bangun geometri untuk memperjelas masalah dan menfasilitasi penjelasan namun beberapa jawaban sudah dihilangkan Menggunakan representasi visual untuk menyelesaikan masalah Kesimpulan dinyatakan namun tidak akurat Beberapa pembatasan mengenai pemakaian konsep matematika digambarkan Kesalahan kecil matematik mungkin muncul Menggambarkan bangun geometri untuk memperjelas masalah dan menfasilitasi penjelasan namun tidak meggambarkan ide-ide yang matematik Menggunakan representasi visual untuk menyelesaikan masalah namun tidak tepat Beberapa perhitungan dinyatakan salah Hanya sedikit terdapat penggambaran pemahaman matematik Siswa telah berupaya menjawab tapi salah Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Skor

0

Jawaban

Tidak ada

KATEGORI Menggambarkan bangun geometri untuk memperjelas masalah dan menfasilitasi penjelasan namun tidak tepat Tidak menjawab penyelesaian matematika sama sekali Tidak menjelaskan jawaban

Indikator

No Soal

Pertanyaan

diberikan? 3 a. Informasi apa yang diperoleh dari soal b. Pahamkah anda dengan gambar yang diberikan? c. Apakah gambar yang diberikan memudahkan anda dalam memahami soal? d. Mudah manakah menjawab soal menggunakan gambar atau tidak?

Pertanyaan wawancara yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kisi-kisi Pedoman Wawancara

No Pertanyaan Soal Membuat 1 a. Informasi apa gambar bangun 2 yang anda geometri untuk peroleh dari memperjelas soal? masalah dan b. Bagaimana menfasilitasi cara anda penyelesaiannya mengubah soal tersebut ke dalam bentuk gambar? c. Dapatkan anda menyatakan atau menyajikan soal tersebut dengan bentuk lainnya yang ekuivalen? d. Biasanya, Jika disoal tidak diperintahkan membuat gambar apakah anda tetap akan membuat gambar atau tidak? e. Apakah anda kesulitan dalam membuat gambar geometri dari soal yang Indikator

Teknik analisis data yang digunakan untuk data kuantitatif adalah (1) skoring, yaitu penentuan jumlah skor; (2) tabulasi data, yaitu menyusun data ke dalam tabel-tabel yang mudah dibaca yang nantinya digunakan untuk menganalisis data; dan (3) menentukan predikat kemampuan representasi matematika. Teknik analisis data untuk data kualitatif adalah (1) reduksi data, yaitu merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu; (2) penyajian data, yaitu kegiatan menyajikan data dalam bentuk uraian singkat (Sugiono: 2010,222); (3) verifikasi, kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang diharapkan adalah temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Hasil dari penelitian kuantitatif yang berbentuk soal tes mengenai materi bangun datar masih belum lengkap. Jadi, setelah dilakukan wawancara dengan melakukan penyaringan data terlebih dahulu, lalu diikuti dengan penyajian data, maka kesimpulan yang didapat akan benar-benar jelas dan lebih terperinci. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil yang diperoleh dari tes dapat diperoleh informasi bahwa persentase rata-rata kemampuan representasi matematika siswa bentuk visual dalam kategori memuaskan. 68

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Kemampuan representasi matematika bentuk visual untuk setiap soalnya dapat terlihat pada

Gambar 2.

Gambar 2. Persentase Rata-rata Masing-masing Soal Kemampuan Representasi Matematika Bentuk Visual Berdasarkan Gambar 2, terlihat bahwa siswa sudah mampu menggambarkan bangun geometri untuk memperjelas masalah dan menfasilitasi penjelasan. Untuk soal 1, dari 28 orang siswa terdapat 1 orang yang menggambarkan bangun geometri untuk memperjelas masalah dan menfasilitasi penjelasan namun tidak tepat, 5 orang menggambarkan bangun geometri untuk memperjelas masalah namun tidak menggambarkan ide-ide matematik, 13 orang menggambarkan bangun geometri untuk memperjelas masalah namun beberapa jawaban sudah dihilangkan, 4 orang menggambarkan bangun geometri untuk memperjelas masalah dan menfasilitasi penjelasan dengan hampir benar dan 5 orang lainnya menjawab dengan sempurna. Berikut cuplikan lembar jawaban siswa yang menggambarkan bangun geometri untuk memperjelas masalah dan menfasilitasi penjelasan namun tidak tepat.

persegi dengan ukuran yang telah ditentukan. Namun jawaban yang disajikan siswa jauh berbeda. Jawaban yang tersaji adalah gabungan dari beberapa bangun datar yang mana disebelah kirinya terdapat sebuah bangun segitiga, di tengahnya terdapat bangun persegi panjang dan di ujung kanan terdapat bangun persegi. Hal ini sangat jauh berbeda jika dikaitkan dengan kondisi pada soal. Dari gambar yang telah dibuat siswa, tidak tergambar jelas mana daerah yang ditanyakan soal, sehingga gambar bangun geometri tidak berfungsi dalam memperjelas masalah dan menfasilitasi penyelesaiannya. Berikut merupakan kutipan wawancara peneliti dengan siswa tersebut: P: Informasi apa yang anda peroleh dari soal? (sambil menunjuk pada kertas soal) S: Mmmm… sebuah bangun persegi panjang, segitiga dengan ukuran sisi miring 130m dan sisi lainnya 100m. Sebuah bangun persegi. P: Bagaimana cara anda mengubah soal kedalam bentuk gambar? S: Buat bangun persegi panjang, dilanjutkan dikirinya dibuat segitiga dan disebelah kanannya dibuat persegi P: Dapatkah anda menyatakan atau menyajikan soal tersebut dengan bentuk lain yang ekuivalen? S: Mmmmm.... tidak. P: Apa anda yakin dengan jawaban anda? S: Entahlah buk P: Biasanya, jika di soal tidak diperintahkan membuat gambar apakah anda tetap akan membuat gambar? S: Kadang dibuat. P: Apakah anda kesulitan dalam membuat gambar geometri dari soal yang diberikan?

Gambar 3. Hasil Kerja Siswa dalam Menggambarkan Bangun Geometri untuk Memperjelas Masalah Namun Tidak Tepat Melihat cuplikan hasil tes siswa di atas, terlihat bahwa siswa menyajikan soal dalam bentuk bangun geometri namun tidak tepat dan tidak sesuai dengan apa yang dipaparkan pada soal. Pada soal dijelaskan bahwa kondisi tanahnya berbentuk persegi panjang dan di bagian kiri dalam tanah tersebut terdapat kolam berbentuk segitiga sama kaki. Di bagian kanan dalamnya terdapat ladang sawit berbentuk 69

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

S: iya. (ket: P: Peneliti, S: Siswa MM )

Hasil Kerja Siswa dalam Menggambarkan Bangun Geometri untuk Memperjelas Masalah dengan lengkap dan benar

representasi visualnya dalam memecahkan masalah. Dari 28 orang siswa, 2 orang menggambarkan bangun geometri untuk memperjelas masalah namun beberapa jawaban sudah dihilangkan, 10 orang menggambarkan bangun geometri untuk memperjelas masalah dan menfasilitasi penjelasan dengan hampir benar dan sisanya dapat menjawab dengan sempurna. Secara umum, siswa sudah memiliki kemampuan representasi matematika bentuk visual namun belum mendayagunakan sepenuhnya dalam proses pembelajaran. Terjadinya kesalahan-kesalahan kecil siswa dalam menggambarkan cerita ke bentuk gambar dikarenakan tidak terlatihnya siswa dalam menyelesaikan soal dengan membuatkan gambar. Hal ini juga sesuai dengan hasil wawancara peneliti dengan siswa. Berikut beberapa kutipan hasil wawancara peneliti dengan siswa: ”P: Biasanya, jika di soal tidak diperintahkan membuat gambar apakah anda tetap akan membuat gambar? S: Kadang dibuat. P: Apakah anda kesulitan dalam membuat gambar geometri dari soal yang diberikan? S: iya.” “P: Biasanya, jika di soal tidak diperintahkan membuat gambar apakah anda tetap akan membuat gambar? S: Kadang dibuat. P: Apakah anda kesulitan dalam membuat gambar geometri dari soal yang diberikan? S: Sedikit buk”

Dari cuplikan lembar jawaban di atas dapat terlihat bahwasanya siswa sudah mampu menggambarkan bangun geometri untuk memperjelas masalah dan menfasilitasi penjelasan, jawaban yang dikemukakan lengkap dan benar, hasil digambarkan selengkaplengkapnya. Hal tersebut diperkuat dengan hasil wawancara. Dari hasil wawancara terlihat bahwa siswa paham dengan apa yang diperintahkan soal, siswa mampu menggambarkan bangun geometri untuk memperjelas masalah dan menfasilitasi penjelasan dengan lengkap dan benar. Hal ini menandakan siswa sudah memiliki kemampuan representasi dalam bentuk visual. Untuk soal no 3, pada umumnnya siswa sudah bisa mendayagunakan kemampuan

Dari kutipan hasil wawancara di atas, dapat diketahui bahwa siswa masih belum terbiasa membuatkan gambar dari suatu persoalan. Hal ini mengindikasikan bahwa siswa kurang mendayagunakan kemampuan representasi dalam bentuk visual untuk memecahkan masalah. Dalam mengatasi kesulitan atau permasalahan tersebut dibutuhkan waktu (pembelajaran), pengalaman (latihan) dan bantuan dalam pembelajaran oleh guru. Siswa perlu bimbingan dan bantuan khusus pada berbagai bentuk representasi pemikiran visual (visual thinking) dari apa yang mereka maksud atau mereka pikirkan sehingga dapat divisualisasikan dalam bentuk struktur ide. Ide tersebut bisa sebagai gambar, diagram,

Dari kutipan wawancara di atas, terlihat bahwa siswa sebenarnya paham apa yang diperintahkan soal. Tetapi, siswa kurang mampu menggambarkan atau menyajikan soal dalam bentuk gambar. Kesalahan siswa dalam menempatkan bangun, ketidakmampuan siswa dalam menyajikan soal ke bentuk lain yang ekuivalen, sulitnya siswa dalam membuat gambar geometri dari soal yang diberikan menandakan siswa lemah atau kurang terbiasa dan kurang terlatih dalam kemampuan representasi bentuk visual. Untuk soal no 2, dari 28 orang siswa, 6 orang menggambarkan bangun geometri untuk memperjelas masalah namun beberapa jawaban sudah dihilangkan, 18 orang menggambarkan bangun geometri untuk memperjelas masalah dan menfasilitasi penjelasan dengan hampir benar dan sisanya dapat menjawab dengan sempurna. Berikut cuplikan lembar jawaban salah satu siswa.

Gambar

4.

70

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

penjelasan model, lukisan yang dapat membantu siswa dalam proses belajar dan menyelesaikan permasalahan matematika mereka (Edi, 2012:4). Kemampuan representasi dalam bentuk visual mempunyai fungsi yang berbeda atau peran ketika siswa menggunakannya untuk memecahkan masalah. Siew Yin dalam Edi Sura (2012:4) mengidentifikasikan tujuh peran dari visualisasi yaitu: (1) untuk memahami masalah, dengan mewakili masalah visual, siswa dapat memahami bagaimana unsur-unsur dalam masalah berhubungan satu sama lain; (2) untuk menyederhanakan masalah, visualisasi memungkinkan siswa untuk mengidentifikasi versi sederhana dari masalah, memecahkan masalah dan kemudian memformalkan pemahaman soal yang diberikan dan mengidentifikasi metode yang bekerja untuk semua masalah tersebut; (3) untuk melihat koneksi ke masalah terkait, ini melibatkan masalah yang berkaitan diberikan kepada pengalaman memecahkan masalah sebelumnya; (4) untuk memenuhi gaya belajar individu, setiap siswa memiliki preferensi sendiri ketika datang ke penggunaan representasi visual saat memecahkan masalah; (5) sebagai pengganti untuk perhitungan, jawaban terhadap masalah dapat diperoleh langsung dari representasi visual itu sendiri, tanpa perlu untuk perhitungan; (6) sebagai alat untuk memeriksa solusi, representasi visual dapat digunakan untuk memeriksa kewajaran dari jawaban yang diperoleh dan (7) untuk mengubah masalah ke dalam bentuk-bentuk matematis, bentuk matematis dapat diperoleh dari representasi visual untuk memecahkan masalah.

DAFTAR KEPUSTAKAAN Devi Aryanti, dkk. 2012. Kemampuan Representasi Matematis Menurut Tingkat Kemampuan Siswa pada Materi Segiempat di SMP (online). (http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpdpb/ article/download/812/pdf. diakses tanggal 1 Oktober 2014) Edi Sura. 2012. Peningkatan Representasi Visual Thinking Matematika Siswa SMP N 11 Medan dengan Melatih Keterampilan Menggambar dan Pendekatan Kontekstual. (online). (http://jurnal.upi.edu/file/Edi_S.pdf. diakses tanggal 25 Juli 2014) Leo

Adhar Effendi. 2012. Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing Untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Jurnal Penelitian Pendidikan Vol. 13 No. 2. Oktober 2012

Sugiyono. 2010. Metode Peneitian Kuantitatif, kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Syafari, Pengaruh Strategi Pembelajaran dan Kemampuan Verbal terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa MTsN 2 Medan, (online).(http://digilib.unimed.ac.id/.diaks es tanggal 25 Juli 2014) Taufiq Pasiak. 2013. Revolusi IQ/EQ/SQ. Antara Neurosains dan Al-Qur’an (Bandung:Mizan Pustaka)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan penelitian ini adalah pada bentuk visual, kemampuan siswa menggambarkan bangun geometri untuk memperjelas masalah dan menfasilitasi penjelasan dengan predikat cukup memuaskan. Siswa masih kurang teliti dalam penyajian ke bentuk gambar. Saran penelitian ini adalah (1) Guru harus membiasakan siswa mengerjakan soal representasi dalam pembelajaran matematika; (2) Guru sebaiknya memilih strategi yang cocok untuk meningkatkan kemampuan representasi matematika.

71

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

SUATU MODIFIKASI ALGORITMA BIALAS DALAM MENENTUKAN POLINOMIAL MINIMAL MATRIKS ATAS FIELDS Yusmet Rizal* * Dosen FMIPA Universitas Negeri Padang ABSTRACT It is well known from the Cayley Hamilton theorem that any square matrix over fields satisfies its characteristic equation, i.e., for any square matrix A over fields, if c(x) is characteristic polynomial, then c(A) = 0. There is another polynomial known as the minimal polynomial, say m(x), such that m(A) = 0. This is the least degree monic polynomial which satisfies the equation f(A) = 0. In this paper, we present an eficient algorithm for computing minimal polynomial of matrices over real fields. This algorithm employs only elementary row operations to compute the coeficients and the degree of the minimal polynomial of a matrix. Keywords : Cayley Hamilton theorem, minimal polynomial, matrices over real fields, elementary row operations. langkah-langkah atau algoritma untuk mendapatkan polinomial minimal. Sehingga terlahirlah sebuah karya tulis berupa penyajian algoritma Bialas dalam menentukan polinomial minimal dari suatu matriks persegi.

PENDAHULUAN Dalam pembahasan aljabar linier dibahas suatu konsep polinomial karakteristik dari suatu matriks persegi atas field F. Misalkan matriks A Mn, maka polinomial karakteristik dari A adalah polinomial c(x) = det(A xI). Teorema Ceyley – Hamilton menyebutkan bahwa setiap matriks persegi atas lapangan memenuhi persamaan karakteristiknya, yakni , c(A) = 0. Terdapat polinomial lain, yang disebut polinomial minimal m(x), sehingga m(A) = 0. Ini adalah polinomial f dengan derajat terkecil sehingga f(A) = 0. Makalah ini, menyajikan suatu algoritma efisien untuk menentukan polinomial minimal dari matriks atas lapangan bilangan riil. Algoritma ini menggunakan operasi baris elementer untuk menghitung koefisien dan derajat dari suatu polinomial minimal suatu matriks.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini disajikan sebuah algoritma dalam menentukan polinomial minimal. Algoritma ini didasarkan dari dua teorema yang akan disajikan di awal pembahasan. Berikut beberapa notasi dan pengertian dasar yang berhubungan langsung dengan teorema dasar Kita menggunakan notasi Mm,n untuk menyatakan matriks berukuran m n dan Mn untuk menyatakan matriks persegi berukuran n n. Suatu polinomial taknol f ( ) dikatakan suatu annihilator untuk matriks A Mn jika f (A) = 0, dimana =

METODE PENELITIAN Penelitian ini dimulai dari hasil studi pustaka dengan mempelajari konsep polinomial minimal dari beberapa karya ilmiah yang disajikan dalam bentuk jurnal, bulletin ataupun buku. Dari data-data atau konsep yang telah dikumpulkan, diperoleh sifat-sifat dari polinomial minimal. Berdasarkan sifat-sifat tersebut disusun

, dengan an 0. Jika an = 1, polinomial f dikatakan polinomial monik. Polinomial monik ( ) dikatakan polinomial minimal dari suatu matriks A Mn, jika adalah polinomial dengan derajat terkecil yang 72

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

memenuhi (A) = 0 Mn. Polinomial c( ) = det ( I A) dikatakan polinomial karakteristik dari matriks A Mn. Selain itu juga digunakan notasi-notasi berikut

terhadap matriks A Mn yang disertai maksudnya. Misalkan A = (aij) dengan i, j = 1, 2, ... n.

vec(A) = [a11 a12 ... a1n a21 a22 ... a2n . . . an1 an2 ... ann ]T, A0 = I Mn , Ak = Ak 1 A (k = 1, 2, . . . , n ) , (1) k A = (k = 0, 1, 2, . . . , n ) , k = vec (A ) (k = 0, 1, 2, . . . , n ) , Bk = ( ... ) (k = 0, 1, 2, . . . , n ) , dimana adalah kolom ke- k + 1 dari matriks Bk , dan beberapa notasi yang biasa dikenal. Contoh 1. Misalkan matriks A =

, maka diperoleh

T

vec(A) = (1 2 3 4) , A0 = I=

, A1 = IA = A = 0

, A2 = AA =

=

,

T

= vec (A ) = (1 0 0 1) , = vec (A1) = (1 2 3 4)T, = vec (A2) = (7 10 15 22)T, Bo = (

)=

, B1 = (

)=

, B3 = (

)=

,

Algoritma Bialas Untuk Polinomial Minimal Berikut ini disajikan suatu algoritma sederhana untuk menentukan polinomial minimal suatu matriks melalui proses menghitung derajat dan koefisien dari polinomial. Algoritma disusun berdasarkan pada beberapa sifat berikut. Teorema 1. Jika matriks A = (aij) Mn, maka himpunan K = {k ℕ | rank Bk = rank Bk 1} dan n K. Bukti. Perhatikan bahwa, jika c ( ) = det ( I A) = , maka menurut teorema Cayley – Hamilton berlaku c (A) = = 0 Mn , = ( ), rank Bn = rank ( ... ) = rank ( ... 0) = rank Bn 1 , dimana 0 = (0 0 . . . 0)T . Karena itu n K dan K . Definisi 1. Bilangan ko = min K dikatakan rank terasosiasi (associated rank) dari matriks A = (aij) Mn. Teorema 2. Jika ko adalah rank terasosiasi (associated rank) dari matriks A = (aij) Mn dan ( ) adalah polinomial minimal dari matriks maka: (1) rank Bk = k + 1 ( k = 0, 1, … , k0 1), (2) rank Bk = k0 , (k k0) , (3) deg ( ) = k0, Bukti. Misalkan Bk = ( ... ... ). Pertama akan dibuktikan bahwa rank Bk = k + 1 (k = 0, 1, 2, . . . , k0 1 ). Berdasarkan definisi dari k0 itu jelas

73

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

bahwa rank = . Untuk k0 = 1, rank B1 = rank B0 = 1. Tetapi, untuk k0 > 1 berlaku: rank B1 > rank B0 = 1 rank B1 = 2, rank B2 > rank B1 = 2 rank B2 = 3, ...................................... .................., rank > = k0 1 rank = k0. Karena itu rank Bk = k + 1 untuk k { 0, 1, … , k0 1}dan rank = = k0. Karenanya kolom-kolom . . . adalah bebas linier dan kolom dapat ditulis sebagai kombinasi linier dari . . . , maka terdapat sehingga + +...+ = . Itu menyatakan bahwa + +...+ + = 0 Mn dan polinomial f( ) = adalah polinomial annihilator dari matriks A. Untuk k > k0, misalkan m = k k0 dan sebarang 0, 1, . . . , m 1 C polinomial g( ) = f( )( 0 + 1 + . . . + m 1 m 1 + m ) = 0 + 1 + . . . + m 1 m 1 + m adalah juga polinomial annihilator dari matriks A. Karena itu g(A) = 0 I+ 1A + . . . + k 1A k 1 + A k = 0 Mn , + 1 +...+ k 1 + =0 . (2) 0 Dalam matriks Bk = ( ... ... ) kolom dapat dikalikan oleh 1 ) dan ditambahkan ke kolom . Sehingga diperoleh j (j = = 0, 1, 2, . . . , k rank Bk = rank ( ... 0) = rank Bk 1 . Jika cara yang serupa diteruskan, maka diperoleh rank Bk = rank ( ... 0 . . . 0) = rank = k0. untuk k k0. Ini membuktikan bagian (2) dari teorema 2. Selanjutnya akan dibuktikan ( ) adalah polinomial minimal dari matriks A dengan deg ( ) = k0. Karena rank = rank = k0, maka sistem persamaan linier X= , dalam X = ( ... )T , hanya memiliki satu solusi dan + +...+ = 0 Mn, sementara itu + +...+ , (3) adalah polinomial annihilator dari matriks A. Karenanya rank Bk = k + 1 (k = 0, 1, ..., k0 1), itu jelas bahwa sistem persamaan linier X= , denga X = ( ... )T , tidak memiliki solusi. Ini menyatakan bahwa polinomial pada (3) adalah polinomial minimal dari matriks A dengan derajat k0. Berdasarkan teorema 1 dan teorema 2 kita bangun algoritma berikut dalam menentukan polinomial minimal suatu matriks persegi A = (aij) Mn atas field. Pandang matriks Bn = ( ... ) ,

74

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

sebagaimana pada definisi (1). Misalkan Bn = (bij) b12 = , . . . , b1 n+1 = ,..., melalui eliminasi Gauss, yaitu

Berdasarkan teorema 1, berlaku n sehingga r n dan

=

K = {k

, dimana b11 =

=1,

. Untuk menghitung rank Bn diperoleh

N | rank Bk = rank Bk 1}. Tedapat r

N

dimana 0 (i = 1, 2, . . . , r). Dari sini jelas bahwa rank Bj = j (j = 1, 2, . . . , n), rank Br 1 = r, rank Br = r. Karena itu k0 = min K = r dan deg ( ) = r = k0. Jadi, dengan menggunakan eliminasi Gauss dapat dihitung derajat dari polinomial minimal dari matriks A. Karena det Br 1 = det 0 dan rank = rank = k0, itu jelas bahwa sistem persamaan X= , (4) T denga X = ( ... ) , hanya memiliki satu penyelesaian dan + +...+ = 0 Mn. Karena itu , ,..., , 1 adalah koefisien dari polinomial minimal dari matriks A. Persamaan (4) ekivalen dengan sistem persamaan , (5) dimana

75

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

dengan X = ( ,

)T dan r = k0.

,...,

Tulisan ini melakukan sedikit modifikasi terhadap algoritma di atas, dimana antara derajat polinomial minimal dengan koefisiennya dilakukan secara terpisah. Pencarian koefisien polinomial dilakukan dengan menyelesaikan sistem persamaan pada (5), dimana ini dapat dilakukan dengan melakukan eliminasi Gauss-Jordan terhadap matriks diperbesar ( ). Modifikasi dilakukan dengan menerapkan secara langsung eliminasi Gauss-Jordan terhadap matriks Bn, yaitu dengan mereduksinya menjadi bentuk eselon baris tereduksi. Dari proses ini, kita langsung dapat membaca sekaligus derajat dan koefisien tak utama dari polinomial minimal dari matriks A. Karena itu dapat diturunkan algoritma berikut yang disajikan dengan langkah-langkah berikut: Langkah 1. Misalkan matriks A = (aij) Mn. Langkah 2. Bentuk matriks Ak = Ak 1 A (k = 1, 2, . . .,n), dengan A0 = I.. Langkah 3. Bentuk matriks a(k) = vec (Ak) (k = 0, 1, 2, . . . , n ), k k dimana vec (A ) = (brs1(A ) brs2(Ak) . . . brsn(Ak) )T. Langkah 4. Bentuk matriks Bn = (a(0) a(1). . . , a(n) ). Langkah 5. Mereduksi Bn menjadi bentuk eselon baris tereduksi, yaitu

=

dimana

r = rank Bn menyatakan derajat polinomial dan (c1, c2, ..., cr ) = - kol1(Q) adalah koefisien tak utama dari polinomial. Langkah 6. Membentuk polinomial (x) = xr + c1 xr-1 + c2 xr-2 + ...+ cr, yang merupakan polinomial minimal dari A. Berikut beberapa contoh matriks sebagai penerapan dari algoritma yang telah disusun di atas. Contoh 1. 1.

Misalkan matriks A = (aij) =

2.

Bentuk matriks Ak = Ak

1

A1 = A

,

3.

.

A (k = 1, 2, 3), dengan A0 = I, yaitu ,

Bentuk matriks a(k) = vec (Ak) (k = 0, 1, 2, . . . , n ), dimana vec (Ak) = (brs1(Ak) brs2(Ak) . . . brsn(Ak) )T, yaitu a(0) a(1) a(2) a(3)

=( =( =( =(

1 1 5 11

0 2 2 10

0 0 1 1 3 0 5 3 6 7 15 6

76

0 0 0 1 0 0 1 0 0 11 0 0

1)T, 2)T, 4)T, 8)T.

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

4.

Bentuk matriks B3 = (a(0) a(1) a(2) a(3) )

5.

Dengan operasi baris elementer diperoleh bentuk eselon baris tereduksi dari B3 , yaitu

M9,4 , yaitu

B3 =

6.

.

Ini menunjukkan bahwa polinomial memiliki derajat = 3 dan koefisien tak utamanya adalah 12, 8, dan 3. Membentuk polinomial , yakni polinomial minimal dari A. Berikut beberapa contoh lain dari polinomial minimal matriks.

Contoh 1. Misalkan A =

. Matriks B2 =

polinomial minimal dari A adalah Contoh 2. Misalkan A =

dan

. Sehingga

. . Matriks B2 =

Sehingga polinomial minimal dari A adalah

Contoh 3. Misalkan A =

=

dan

=

.

dan

=

.

.

. Matriks B2 =

Sehingga polinomial minimal dari A adalah

. polinomial monik dengan derajat terkecil yang memenuhi kondisi tersebut. Suatu algoritama telah ditemukan oleh S. Bialas dan M. Bialas untuk menemukan polinomial menimal dari suatu matriks persegi atas field. Dengan melakukan sedikit modifikasi terhadap algoritma Bialas tersebut, disajikan algoritma yang sedikit lebih efisien. Modifkasi dilakukan

SIMPULAN DAN SARAN Misalkan matriks A Mn atas suatu field. Teorema Ceyley Hamilton membuktikan bahwa matriks A memenuhi polinomial karakteristiknya, yaitu jika c(x) adalah polinomial karakteristik dari A, maka berlaku c(A) = 0. Ternyata terdapat polinomial lain yang memenuhi kondisi demikian. Polinomial minimal adalah 77

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

terhadap proses reduksi dari matriks Bn = (a(0) a(1). . . , a(n) ) menjadi bentuk eselon baris tereduksi, yaitu

=

DAFTAR PUSTAKA Bialas, S and Bialas, M, (2008), An Algorithm for the Calculation of the Minimal Polynomial, Bulletin Of The Polish Academy Of Sciences Technical Sciences Vol. 56, No. 4, 2008 Cullen, Charles G., (1966), Matrices an Linear Transformations, Addison – Wesley Publising Company : London. Gohberg, I. , (1982), Matrix Polynomials, Academic Press, New York. Fuhrmann, Paul A, (1996), A Polynomial Approach to Linear Algebra, Edition, Springer-Verlag, New York. Hashemi, Amir, (2013), Computing Minimal Polynomial of Matrices over Algebraic Extension Fields, Bull. Math. Soc. Sci. Math. Roumanie Tome 56(104) No. 2, 2013, 217-228

dimana

r = rank Bn menyatakan derajat polinomial dan (c1, c2, ..., cr ) = - kol1(Q) adalah koefisien tak utama dari polinomial. Suatu kelemahan dari algoritma Bialas ini adalah matrik Bn yang berukuran cukup besar. Misalkan matriks A M6, maka matriks Bn berukuran 36 7. Ini akan membosankan melakukan reduksi baris. Karena itu perlu pengembangan lebih jauh untuk mendapatkan algoritma yang lebih efisien dibandingkan dengan tulisan ini.

78

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

PENENTUAN NILAI OPSI SAHAM KARYAWAN (OSK) DENGAN MEMPERHITUNGKAN EFEK DILUSI Heru Maulanaa, Kuntjoro Adji Sidartob a

Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Padang, Jalan Hamka, Padang, Indonesia b Matematika Industri dan Keuangan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha 10, Bandung 40132, Indonesia [email protected] [email protected] ABSTRAK Opsi Saham Karyawan (OSK) merupakan jenis opsi call yang diberikan kepada karyawan suatu perusahaan secara gratis sebagai bentuk kompensasi kepada karyawannya. OSK memberikan hak kepada karyawan untuk membeli saham perusahaan dalam jangka waktu dan masa tunggu tertentu. OSK memiliki perbedaan dengan opsi yang biasa diperdagangkan, sehingga hal inilah yang membedakan cara menghitungnya dari jenis opsi lainnya. Dalam tulisan ini digunakan metode binomial CRR (Cox-Ross-Rubinstein) dalam menghitung nilai wajar OSK yang diaplikasikan dalam beberapa model, baik model yang sudah populer maupun model yang masih baru. Model yang dimaksud adalah model SFAS 123(R), dan model Hull-White, serta model baru yaitu model dilusi dimana pada model tersebut telah diperhitungkan efek dilusi. Efek dilusi ini memberikan pengaruh penuruan harga saham yang beredar akibat adanya OSK yang diexercise. Kemudian hasil dari model Dilusi ini akan dibandingkan dengan model SFAS 123 (R), dan model Hull-White. Pada bagian akhir tulisan juga akan diperlihatkan pengaruh dari beberapa parameter-parameter tertentu terhadap nilai OSK. Parameter yang diamati tersebut adalah parameter volatilitas, interest rate, besarnya dividen, dan laju karyawan yang keluar dari perusahaan. Kata kunci

: Opsi Saham Karyawan, Model SFAS 123 (R), Model Hull-White, Model Dilusi, Payoff dari opsi pada saat jatuh tempo adalah: Call = C = Maks {S(T) – K, 0} dan Put = P = Maks {K - S(T), 0} dimana T merupakan waktu jatuh tempo, S(T) merupakan harga saham pada saat jatuh tempo, K merupakan strike price, C merupakan opsi call, dan P merupakan opsi put [4] Salah satu bentuk opsi yang biasa digunakan adalah Opsi Saham Karyawan (OSK). Opsi saham karyawan merupakan suatu jenis opsi call yang berbeda dengan opsi yang bisa diperdagangkan di pasar opsi, dimana opsi ini diberikan secara gratis oleh suatu perusahaan (writer) kepada sekelompok karyawan (holder) tertentu pada perusahaan tersebut sebagai bentuk insentif. OSK merupakan salah satu bentuk insentif yang diberikan perusahaan selain gaji, bonus, tunjangan, asuransi dan lainnya. Sumber saham dari OSK yang ditawarkan dapat berupa penerbitan saham baru dan dapat juga dari saham hasil buy back (saham yang dibeli kembali oleh perusahaan) dari pemegang saham lama. Jadi OSK

PENDAHULUAN Opsi merupakan suatu bentuk derivatif keuangan yang berupa perjanjian antara dua belah pihak yaitu pihak yang menerbitkan opsi (writer) dengan pihak pembeli opsi (holder), dimana seorang holder diberi hak (bukan kewajiban) untuk membeli atau menjual suatu aset kepada writer dengan harga tertentu (strike price) dan dalam tempo (maturity time) yang ditetapkan. Berdasarkan hak yang dimiliki oleh pemilik opsi, maka opsi dibedakan atas dua macam opsi, kedua opsi tersebut adalah: Opsi call (call option) yaitu opsi yang memberikan hak (bukan kewajiban) kepada holder untuk membeli suatu aset dari writer dengan harga tertentu (strike price, exercise price) dan pada waktu yang telah ditentukan (expiry date, maturity time). Opsi put (put option) yaitu opsi yang memberikan hak (bukan kewajiban) kepada holder untuk menjual suatu aset kepada writer dengan harga tertentu (strike price/ exercise price) dan pada waktu yang telah ditentukan (expiry date/ maturity time). 79

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

merupakan salah satu strategi perusahaan dalam memberikan insentif kepada karyawannya dengan bentuk kompensasi berbasis saham. Besarnya beban kompensasi, berkaitan dengan penentuan nilai wajar OSK, dimana menurut PSAK No. 53 ditentukan dengan model penentuan harga opsi antara lain rumusan Black-Scholes atau metode Binomial. Tujuan dari opsi saham karyawan itu sendiri adalah untuk menyelaraskan keinginan perusahan, karyawan, dan pemegang saham. Bagi perusahaan tujuan pemberian OSK diantaranya adalah: Dengan pemberian OSK diharapkan bisa memacu dan memotifasi semangat kerja karyawan agar lebih optimal, sehingga dapat meningkatkan performa perusahaan yang pada akhirnya membuat harga saham perusahaan naik/ membaik. Sebagai upaya bagi perusahaan untuk mempertahankan karyawan-karyawan unggulan dan berprestasi, karena OSK merupakan insentif bagi karyawan yang berprestasi pada sebuah perusahaan. Untuk menumbuhkan rasa memiliki dan rasa tanggung jawab dari seorang karyawan terhadap perusahaan.

dapat dilaksanakan (diexercise). Jika karyawan keluar dari perusahaan baik secara sukarela ataupun tidak selama masa tunggu, maka opsi tersebut menjadi batal. Tapi jika karyawan keluar dari perusahaan setelah masa tunggu, maka opsi dapat dilaksanakan segera (early exercise) jika harga pasar saham dalam keadaan in-the-money, tetapi opsi tidak dapat dilaksanakan jika harga pasar saham dalam keadaan out-of-themoney. c. Karyawan tidak diperbolehkan menjual OSK yang dimilikinya (berpindah tangan). Sehingga jika karyawan ingin segera mewujudkan OSK yang dimilikinya dalam bentuk tunai, maka karyawan tersebut haruslah menjual saham yang akan diperolehnya. Situasi ini mendorong OSK untuk dilaksanakan lebih cepat sebelum masa jatuh tempo (early exercise). Hal ini dimungkinkan karena OSK dapat dilaksanakan setiap saat, dimulai setelah masa tunggu berakhir hingga jatuh temponya. d. Umumnya OSK memiliki masa jatuh tempo yang lama (beberapa tahun) dan biasanya 10 tahun.

Sementara bagi karyawan sendiri, dengan kenaikan harga saham perusahaan maka akan diperoleh untung dari payoff yang besar pada saat meng exercise OSK. Sedangkan bagi pemegang saham, pemberian OSK ini akan berdampak pada peningkatan dividen yang besar jika harga saham naik. Yang dimaksud dengan karyawan disini bukan hanya pekerja biasa, tetapi juga termasuk anggota direksi dan komisaris. Sementara untuk penerima OSK sendiri, dapat dilakukan secara menyeluruh kepada semua karyawan tanpa proses seleksi, atau jikapun melalui seleksi, dilakukan berdasarkan jabatan atau kriteria lain yang lebih kualitatif, tergantung pada tujuan diberikannya OSK [10]. Secara umum opsi saham karyawan (OSK) memiliki beberapa perbedaan dengan opsi yang diperdagangkan di pasar opsi biasanya. Perbedaan inilah yang membedakan OSK dengan opsi lainnya didalam perhitungannya [8]. Diantara fitur-fitur khusus yang menjadi perbedaan tersebut adalah: a. Merupakan opsi call yang diterbitkan oleh suatu perusahaan atas saham perusahaan itu sendiri. b. Memiliki masa tunggu (vesting period), dimana pada masa tunggu ini opsi tidak

Pada tulisan ini akan digunakan asumsi bahwa OSK dapat berpindah tangan/ mengabaikan fitur khusus pada c di atas. Nilai dari OSK dihitung dengan tujuan agar perusahaan yang menggunakan OSK sebagai bentuk insentif terhadap karyawannya dapat mempersiapkan/ mencadangkan dana untuk keperluan OSK tersebut, yang dihargai dengan nilai wajar. Hal ini dilakukan supaya pada saat OSK diexercise, perusahaan sudah siap dengan dana yang dicadangkan tersebut. Pada tulisan ini nilai OSK akan ditentukan dengan menggunakan 3 yang mana dua diantaranya merupakan model yang sering digunakan, yaitu model SFAS 123 (R), dan model Hull-White. Kemudian hasil yang diperoleh pada model ini akan dibandingkan dengan model Dilusi dimana pada model ini faktor dilusi (penurunan harga saham) telah diperhitungkan. Selanjutnya akan dilihat pengaruh beberapa parameter tertentu terhadap harga OSK. Pada tulisan ini banyaknya karyawan yang meninggalkan perusahaan dimodelkan sebagai suatu proses Poisson dengan laju sebesar . Sehingga peluang seorang karyawan meninggalkan perusahaan diberikan oleh .

80

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

menggabungkan kharakteristik dan fitur khusus dari OSK. Dalam perhitungan dengan menggunakan model SFAS 123 (R) ini, untuk waktu jatuh tempo OSK digunakan ekspektasi masa hidup opsi. Dimana besar ekspektasi masa hidup opsi pada setiap node pada pohon binomial belum tentu sama. Hal ini dikarenakan adanya kemungkinan untuk tidak dilakukan exercise pada node tertentu karena tergantung pada posisi opsi pada saat itu. Berikut dijelaskan perhitungan ekspektasi waktu hidup dari opsi: Misalkan terdapat N subselang selama masa hidup OSK, dengan T merupakan maturity time sehingga untuk setiap selang memiliki panjang sebesar . Misalkan menyatakan ekspektasi waktu hidup pada saat pada simpul ke- , dengan dan merupakan akhir dari masa tunggu dan D adalah dividen. Untuk nilai ekspektasi waktu hidup disaat jatuh tempo,

MODEL PERHITUNGAN NILAI OSK Pada tulisan ini akan digunakan metode Binomial CRR (Cox, Ross, Rubienstein) dalam menentukan nilai wajar opsi. Menurut Cox, Ross, dan Rubinstein untuk nilai u dan d dan p dapat digunakan: , ,

Misalkan pada saat harga saham adalah , maka menurut model binomial, harga saham pada saat diberikan oleh atau Selanjutnya pada saat harga saham bernilai salah satu dari atau . Dengan cara rekursif, maka pada saat akan terdapat harga saham yang mungkin terjadi, yang diberikan oleh: dengan menyatakan harga saham pada saat dan telah terjadi kali kenaikan harga saham serta penurunan harga saham sebanyak kali, yang dihitung dari saat . Pada saat waktu jatuh tempo terdapat M +1 harga saham yang mungkin yaitu Untuk menentukan nilai harga saham pada pohon binomial, maka dilakukan perhitungan dengan gerak mundur (backward), sementara untuk menentukan nilai opsi maka dilakukan perhitungan dengan gerak maju (forward).

diberikan oleh , dan Sementara untuk titik simpul yang lain ≤ −1, harus memenuhi kriteria sebagai berikut: Selama priode masa tunggu yaitu : Ekspektasi masa hidup untuk setiap kenaikan , diberikan oleh: Ekspektasi masa hidup untuk penurunan , diberikan oleh:

setiap

Sehingga besar ekspektasi masa hidup selama masa tunggu adalah:

Model SFAS 123 (R) Berdasarkan Statement of Financial Accounting Standard No. 123 (revised 2004) yang diterbitkan oleh Financial Accounting Standards Boards (FASB) tentang Share-Based Payments (SFAS 123R), atau yang lebih dikenal dengan pembayaran berbasis saham, dinyatakan bahwa semua entitas harus mengakui bahwa pembayaran opsi saham karyawan didasarkan kepada besarnya nilai wajar. Dibawah aturan SFAS 123 (R) untuk perhitungan nilai wajar dari OSK digunakan formula Black-Scholes atau dengan menggunakan metode Binomial. Hal ini dikarenakan metode binomial lebih fleksibel dibandingkan dengan formulasi B-S. Selain itu metode binomial juga bersifat konvergen terhadap formulasi B-S dan juga mampu

Selama periode setelah masa tunggu yaitu Jika opsi diexercise, maka besarnya ekspektasi masa hidup adalah Jika opsi ditahan, maka besarnya ekspektasi masa hidup  Jika karyawan meninggalkan perusahaan dengan peluang maka besarnya ekspektasi masa hidup opsi menjadi  Jika karyawan tetap bertahan di perusahaan dengan peluang , maka besarnya ekspektasi masa hidup opsi diperoleh :

81

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Sehingga untuk kriteria waktu setelah masa tunggu berakhir, besar ekspektasi masa hidup diberikan oleh:

jika harga saham berada dalam keadaan out-ofthe-money maka opsi tersebut tidak akan diexercise. Misalkan terdapat N subselang selama masa hidup OSK, dengan T merupakan maturity time sehingga untuk setiap selang memiliki panjang sebesar . Misalkan dan berturut-turut menyatakan harga saham, dan harga opsi pada saat pada simpul ke- , dengan dan merupakan akhir dari masa tunggu, merupakan suku bunga bebas resiko, D adalah dividen dan merupakan strike price. Untuk harga saham pada setiap simpul diperoleh dengan melakukan gerak maju (forward) dengan menggunakan metode binomial CRR yaitu dan

Untuk keseluruhan besar ekspektasi masa hidup opsi adalah . Selanjutnya untuk memperoleh nilai OSK dengan menggunakan model SFAS 123 (R), maka terlebih dahulu dihitung nilai opsi call Eropa dengan menggunakan metode binomial CRR, dimana untuk waktu jatuh temponya digunakan yang diperoleh dengan cara di atas , dengan suku bunga r, dan untuk strike price K. Selanjutnya setelah diperoleh nilai opsi call Eropa, maka barulah ditentukan nilai OSK dengan model SFAS 123 (R) sebagai berikut:

,

sedangkan untuk harga opsi sendiri dihitung dengan gerak mundur (backward) yang dimulai dengan menghitung harga opsi pada saat jatuh tempo yaitu ( . Untuk nilai opsi disaat jatuh tempo, diberikan oleh nilai intrinsik yaitu sebesar Sementara untuk titik simpul yang lain , harus memenuhi kriteria sebagai berikut: Selama priode masa tunggu yaitu : Jika karyawan meninggalkan perusahaan dengan peluang sebesar maka opsi menjadi batal sehingga bernilai 0. Jika karyawan tidak meninggalkan perusahaan dengan peluang maka harga opsi diperoleh dari

Dimana menyatakan besarnya OSK dengan menggunakan model SFAS 123 (R), menyatakan besarnya nilai opsi call Eropa dengan time to maturity adalah yang diperoleh seperti cara di atas, dan dikalikan dengan , dimana merupakan peluang karyawan yang tetap bertahan di perusahaan selama masa tunggu [7]. Pada model ini, yang menjadi kelemahan adalah tidak diperhitungkannya laju karyawan yang keluar dari perusahaan setelah masa tunggu. Model Hull-White Pada model ini telah diperhitungkan peluang karyawan meninggalkan perusahaan setelah masa tunggu. Secara eksplisit model ini menggabungkan strategi early exercise dengan mengasumsikan bahwa dalam periode setelah masa tunggu berakhir hingga waktu jatuh tempo, opsi akan dilaksanakan jika harga saham paling sedikit sebesar kelipatan M dari strike price [6]. Pada setiap selang waktu pendek sebesar ∆t selama periode masa tunggu, peluang karyawan meninggalkan perusahaan dinyatakan dengan , dengan merupakan laju karyawan meninggalkan perusahaan pertahun. Sementara setelah masa tunggu , dalam selang waktu pendek ∆t, terdapat peluang karyawan meninggalkan perusahaan yaitu . Dalam keadaan ini seorang karyawan akan segera mengexercise opsinya jika harga saham berada dalam keadaan in-the-money . Namun

Sehingga harga opsi selama periode masa tunggu diperoleh dari penjumlahan kedua poin di atas yaitu:

Selama periode setelah masa tunggu yaitu Jika harga saham lebih besar atau sama dengan kriteria strategi exercise maka opsi akan diexercise. Jika karyawan meninggalkan perusahaan dengan peluang maka harga opsi: . Namun jika karyawan tetap bertahan di perusahaan dengan peluang , maka harga opsi yang 82

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

saham yang ada sebelumnya. Penurunan nilai saham dibandingkan nilai saham pada awalnya inilah yang disebut dengan dilusi. Dilusi merupakan penurunan return harga saham akibat adanya opsi yang diexercise [2].

diberikan adalah Dengan demikian harga opsi untuk kriteria ini dipenuhi oleh:

Pada model-model sebelumnya, efek dilusi tidak diperhitungkan dalam menentukan nilai OSK, namun seharusnya efek dilusi ini tidak boleh diabaikan jika dalam jumlah besar . Jika jumlah OSK yang diberikan kecil, maka efek dilusi tidak akan terlihat jelas pada nilai OSK. Namun untuk jumlah OSK yang diberikan dalam kuantitas besar, maka akan terdapat perbedaan yang signifikan/ besar yang diakibatkan oleh pengaruh dilusi. Sehingga untuk jumlah OSK yang besar efek dilusi ini tidak dapat diabaikan seperti pada tabel 1 di bawah. Dimisalkan banyak saham yang beredar sebelum OSK diexercise adalah ω, dan banyak OSK yang diberikan oleh perusahaan adalah θ. Diasumsikan bahwa satu OSK menyatakan hak untuk membeli satu saham dengan strike price K dan tidak ada opsi yang diexercise pada waktu yang bersamaan. Maka harga saham yang mengalami dilusi setelah mengexercise θ OSK adalah:

Saat harga saham lebih kecil dari kriteria exercise jika karyawan meninggalkan perusahaan dengan peluang maka harga opsi diberikan oleh Namun jika karyawan tetap bertahan di perusahaan dengan peluang maka harga opsi . Sehingga harga opsi untuk kriteria ini adalah:

Untuk harga OSK sendiri akan diberikan oleh Model Dilusi Opsi saham karyawan (OSK) dapat dilaksanakan melalui 2 cara yaitu dengan menerbitkan saham baru dan melalui penawaran atau membeli kembali saham lama yang beredar. Namun pada pelaksanaannya pemberian OSK melalui penerbitan saham baru lebih rumit dan harus melalui prosedur dan waktu yang panjang. Sehingga pemberian OSK biasanya dilakukan dengan cara yang kedua yaitu perusahaan menyediakan saham untuk OSK dengan membeli saham lama yang beredar. Sementara untuk banyaknya OSK yang diberikan oleh perusahaan tergantung pada kondisi, kesanggupan perusahaan dan peraturan yang berlaku. Pemberian opsi saham karyawan (OSK) pada dasarnya merupakan pemberian kompensasi bagi karyawan dalam membeli saham perusahaan. Dalam hal ini dimana seharusnya karyawan membeli saham perusahaan seharga S (harga yang berlaku dipasaran) namun dengan adanya program OSK, karyawan diberi kompensasi untuk membeli saham perusahaan tersebut seharga K. Sehingga karyawan menerima kompensasi dari perusahaan sebesar (S-K). Pada saat OSK tersebut diexercise, harga exercise pasti lebih rendah dari pada harga saham di pasaran. Harga exercise yang nilainya lebih rendah dari harga saham ini akan menyebabkan penurunan nilai

Pada persamaan di atas, harga saham yang beredar ( ) sebelum opsi diexercise adalah dan harga saham dari OSK (θ) yang diexercise adalah . Selanjutnya setelah OSK diexercise jumlah saham yang yang beredar adalah banyak saham sebelum exercise ditambah dengan banyak saham dari mengexercise OSK, yaitu . Sehingga harga saham setelah mengalami dilusi diperoleh dari penjumlahan harga semua saham yang beredar (saham sebelum exercise ditambah dengan saham dari mengexercise OSK) dibagi dengan banyak saham yang beredar setelah OSK diexercise [5]. Berikut ditampilkan pengaruh efek dilusi dengan beberapa variasi persentase OSK yang diberikan kepada karyawan. Diberikan :

83

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

α 0.08% v 1 19.4710 19.8528 20.0493 20.1691 20.2296 20.2336 20.2397 20.2438 2 19.2389 19.6161 19.8103 19.9287 19.9885 19.9925 19.9984 20.0024 3 18.9401 19.3115 19.5027 19.6192 19.6780 19.6819 19.6878 19.6918 4 18.5922 18.9567 19.1444 19.2588 19.3166 19.3204 19.3262 19.3301 5 18.2062 18.5632 18.7469 18.8590 18.9155 18.9193 18.9250 18.9287 6 17.7895 18.1383 18.3179 18.4274 18.4826 18.4863 18.4918 18.4955 7 17.3475 17.6877 17.8628 17.9695 18.0234 18.0270 18.0324 18.0360 8 16.8845 17.2156 17.3860 17.4899 17.5423 17.5458 17.5511 17.5546 Tabel 1:Harga OSK Berdasarkan Banyak OSK yang Diberikan pada Model Dilusi

Tanpa Dilusi 20.2498 20.0084 19.6977 19.3359 18.9344 18.5011 18.0414 17.5599

Pengaruh Efek Dilusi Terhadap Harga OSK 20.5 0% 0.03% 0.05% 0.08% 0.1% 0.4% 1% 2% 4%

20

19.5

Harga OSK

19

18.5

18

17.5

17

16.5

1

2

3

4

5

6

7

8

Vesting time (years)

Gambar 2: Grafik Harga OSK Berdasarkan Banyak OSK yang Diberikan pada Model Dilusi kepada karyawan dan V menyatakan masa tunggu (tahun). Berikut diberikan konversi nilai ke dalam :

dimana menyatakan persentase jumlah OSK yang diberikan kepada karyawan, menyatakan banyak OSK yang diberikan 0% 0

0.03% 7500

0.05% 12500

0.08% 20000

Misalkan terdapat N subselang selama masa hidup OSK, dengan T merupakan maturity time sehingga untuk setiap selang memiliki panjang sebesar . Misalkan dan berturut-turut menyatakan harga saham, dan harga opsi pada saat pada simpul ke- , dengan dan merupakan akhir dari masa tunggu, merupakan suku bunga bebas resiko, D adalah dividen, merupakan strike price, merupakan banyak saham yang beredar sebelum OSK diexercise dan merupakan jumlah OSK yang diberikan. Untuk harga saham pada setiap simpul diperoleh dengan melakukan gerak maju (forward) dengan menggunakan metode binomial CRR yaitu dan

0.1% 0.4% 1% 2% 4% 25000 100000 250000 500000 1000000 dihitung dengan gerak mundur (backward) yang dimulai dengan menghitung harga opsi pada saat jatuh tempo yaitu ( . Untuk nilai opsi disaat jatuh tempo, diberikan oleh nilai intrinsik yaitu sebesar . Sementara untuk titik simpul yang lain , harus memenuhi kriteria sebagai berikut: Selama priode masa tunggu yaitu : Jika karyawan meninggalkan perusahaan dengan peluang sebesar maka opsi bernilai 0. Jika karyawan tidak meninggalkan perusahaan dengan peluang maka harga opsi adalah

1−

, +1.

, sedangkan untuk harga opsi sendiri 84

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Sehingga harga opsi selama periode masa tunggu diperoleh dari penjumlahan kedua poin di atas yaitu:

Masa Expected Tunggu Life 1 2.3760 2 3.6468 3 4.7185 4 5.6772 Tabel 2: Pengaruh Masa Tunggu pada Expected Life

Selama periode setelah masa tunggu yaitu Jika

dipenuhi

kriteria

Tempo Expected Life 9 4.5670 10 4.7185 11 4.8958 12 5.2106 Tabel 3: Pengaruh Perubahan T pada Expected Life

maka opsi akan diexercise dengan harga opsi untuk kriteria ini dipenuhi oleh:

Jika

dipenuhi

Volatilitas Expected Life ( 10% 3.5324 20% 4.3770 30% 4.7185 40% 5.2867 Tabel 4: Pengaruh Volatilitas pada Expected Life

kriteria

maka berlaku ketentuan jika karyawan meninggalkan perusahaan maka harga opsi diberikan oleh Namun jika karyawan tetap bertahan di perusahaan maka harga opsi diberikan oleh

Exit Expected Rate Life ( 0.01 4.8239 0.02 4.7701 0.03 4.7185 0.04 4.6692 Tabel 5: Pengaruh Exit Rate pada Expected Life

Expected Life Interest Rate ( 4% 4.8701 5% 4.7185 6% 4.5733 7% 4.4350 Tabel 6: Pengaruh Perubahan Interest Rate Terhadap Expected Life

sehingga harga opsi untuk kriteria ini adalah:

Dari hasil yang diperoleh pada tabel-tabel di atas, dapat dilihat bahwa masa tunggu, waktu jatuh tempo, dan volatilitas memiliki korelasi positif dengan waktu ekspektasi masa hidup opsi. Semakin besar nilai parameter-parameter tersebut maka akan mengakibatkan semakin besar pula waktu ekspektasi masa hidup opsi. Namun sebaliknya untuk parameter suku bunga dan laju karyawan yang meninggalkan perusahaan. Parameter-parameter ini berkorelasi negatif dengan ekspektasi masa hidup opsi. Sehingga jika nilai parameter ini membesar maka waktu ekspektasi masa hidup opsi akan mengecil. Hal ini dikarenakan saat nilai suku bunga dan laju karyawan membesar, maka akan menandakan OSK akan sesegera mungkin diexercise.

Untuk harga OSK sendiri akan diberikan oleh

HASIL Sebelum dilihat bagaimana nilai OSK di bawah model SFAS 123 (R), Hull-White, dan model Dilusi terlebih dahulu ditinjau bagaimana perubahan ekspektasi masa hidup opsi pada model SFAS 123 (R) di bawah parameter-parameter tertentu.

85

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Selanjutnya untuk nilai OSK dibawah model SFAS 123 (R), Hull-White, dan model Dilusi dilihat dari kasus berikut : Misal diberikan sebuah masalah penentuan nilai opsi saham karyawan (OSK) dengan diketahui:

terjadi kenaikan harga OSK untuk setiap kenaikan masa tunggu secara tajam, namun sebaliknya pada model Dilusi terjadi penurunan nilai OSK, hal ini disebabkan karena pada model Dilusi faktor/efek dilusi telah diperhitungkan sehingga akan terjadi penurunan harga opsi sedangkan pada model SFAS 123 (R) dan model Hull-White efek dilusi ini tidak diperhitungkan. Penurunan yang terjadi pada model Dilusi tidaklah terlalu besar, atau dengan kata lain model Dilusi ini memiliki sensitivitas yang rendah terhadap perubahan masa tunggu. Sementara pada model SFAS 123 (R) dan model Hull-White efek dilusi ini tidak diperhitungkan. Untuk jumlah yang kecil, pengaruh dilusi tidak akan terlalu terlihat, namun sebaliknya saat untuk jumlah OSK yang besar, maka efek dilusi akan membesar. Oleh karena itulah efek dilusi tidak boleh diabaikan saat menghitung nilai OSK.

Masa Tunggu

Model Model Model SFAS HullDilusi 123 (R) White 1 10.6106 6.5788 16.8408 2 12.8838 9.3414 16.6428 3 14.3053 11.2914 16.3862 4 15.2335 12.7612 16.0867 5 15.8537 13.8927 15.7539 6 16.2397 14.7665 15.3944 7 16.4803 15.4354 15.0129 8 16.5700 15.9367 14.6131 Tabel 7: Nilai OSK dengan model , SFAS 123 (R), Hull-White dan Dilusi

Pengaruh Parameter Tertentu Terhadap Model Nilai OSK dengan Model Dilusi Misal diberikan sebuah masalah penentuan nilai opsi saham karyawan (OSK) dengan diketahui:

Perbandingan Model SFAS 123(R), model H-W, dan model dilusi 18

16

Pengaruh Interest Rate Terhadap Harga OSK Dengan Model Dilusi 22 21 20 12

19 Model H-W Model SFAS 123(R) Model Dilusi

10

Harga OSK

Harga OSK

14

8

6

18 17 16 15

1

2

3

4 5 Vesting Time (years)

6

7

8

14

Gambar 2: Grafik harga OSK dengan model SFAS 123 (R), Hull-White, dan Dilusi

13 12

1

2

3

4

5 6 Interest Rate (%)

7

8

9

10

Gambar 3: Pengaruh parameter r pada model Dilusi

Dari hasil pada tabel 9 di atas terlihat bahwa nilai opsi saham karyawan (OSK) dengan perhitungan menggunakan model SFAS 123 (R) dan model Hull-White mengalami kenaikan untuk setiap kenaikan masa tunggu (vesting time). Kenaikan nilai opsi yang terjadi pada model ini cukup besar. Sedangkan untuk nilai opsi saham karyawan (OSK) dengan perhitungan menggunakan model Dilusi mengalami penurunan walaupun tidak terlalu signifikan untuk setiap kenaikan masa tunggu (vesting time). Pada gambar 2, jika kita bandingkan grafik nilai OSK dengan menggunakan model Dilusi dengan model SFAS 123 (R), dan model Hull-White, untuk model Hull-White dan model SFAS 123 (R),

Pengaruh Volatilitas Terhadap Harga OSK Dengan Model Dilusi 35

Harga OSK

30

25

20

15

10

0

10

20

30

40 50 60 Volatilitas (%)

Gambar 4: Pengaruh parameter 86

70

80

90

100

pada model Dilusi

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

dikeluarkan maka peningkatan harga saham juga akan semakain mengecil begitu juga jika laju karyawan yang meninggalkan perusahaan membesar maka akan banyak OSK yang tidak dilaksanakan karyawan. Hal inilah yang mengakibatkan nilai OSK semakin mengecil.

Pengaruh Exit Rate Terhadap Harga OSK Dengan Model Dilusi 18

17

Harga OSK

16

KESIMPULAN Dari hasil yang telah diperoleh pada bagian sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1. Nilai opsi saham karyawan (OSK) dengan perhitungan menggunakan model dilusi mengalami penurunan walaupun tidak terlalu signifikan untuk setiap kenaikan masa tunggu (vesting time), dimana hal ini disebabkan karena adanya pengaruh faktor dilusi, namun untuk model SFAS 123 (R) dan model Hull-White, harga OSK mengalami kenaikan untuk setiap kenaikan masa tunggu. 2. Parameter r (interest rate) dan (volatilitas), berkorelasi positif dengan nilai OSK, sehingga harga OSK semakin meningkat saat nilai r semakin naik, hal ini dikarenakan harga saham yang ikut naik saat r naik, begitu juga dengan kenaikan volatilitas yang mengakibatkan harga saham lebih fluktuatif. 3. Parameter D (Dividen) dan (laju karyawan yang meninggalkan perusahaan), berkorelasi negatif dengan nilai OSK. Sehingga saat nilai dividen naik maka kenaikan harga saham akan mengecil karena besarnya dividen yang diberikan, begitu juga dengan kenaikan laju karyawan yang keluar dari perusahaan, akan mengakibatkan semakin banyak opsi yang tidak diexercise karena karyawan meninggalkan perusahaan.

15

14

13

12

1

2

3

4

5 6 Exit Rate (%)

7

Gambar 5: Pengaruh parameter model Dilusi

8

9

10

pada

Pengaruh Dividen Terhadap Harga OSK Dengan Model Dilusi 18

16

Harga OSK

14

12

10

8

6

4 1

2

3

4

5 6 Dividen (%)

7

8

9

10

Gambar 6: Pengaruh parameter D pada model Dilusi

Dari hasil yang diperoleh pada masalah, seperti pada gambar di atas dapat dilihat bahwa nilai OSK mengalami peningkatan untuk setiap peningkatan nilai suku bunga (interest rate) dan volatilitas. Hal ini dikarenakan saat nilai suku bunga naik maka harga saham juga akan ikut naik, sehungga nilai pay-off dari opsipun juga akan semakin besar. Begitu juga pada nilai volatilitas, saat nilainya naik maka akan mengakibatkan fluktuasi harga saham, dimana dalam hal ini harga saham bergerak naik atau turun sehingga harga saham sulit diprediksi. Karena hal inilah kemungkinan harga saham naik akan semakin besar. Sehingga OSK juga cenderung akan diexercise pada nilai yang besar. Namun untuk parameter dividen dan laju karyawan meninggalkan perusahaan berlaku sebaliknya. Saat nilai parameter-parameter ini membesar maka harga OSK akan mengecil. Hal ini dikarenakan semakin besar dividen yang

REFERENSI [1] Dewan Standar Akuntansi Keuangan. 2010. Pembayaran Berbasis Saham no. 53 (R). Ikatan Akuntan Indonesia. [2] Dewan Standar Akuntansi Keuangan. 2010. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) no. 56 (R). Ikatan Akuntan Indonesia. [3] FAS 123 (R). 2006. Share-Based Payment : A Multidisciplinary Approach. Price Water House Coopers. [4] Higham, J. Desmond.2004. An Introduction to Financial Valuation Mathematics, Stochastics and Computation. Cambridge University Press, New York. 87

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

[5] Hull, J., & White, A. 2004. Accounting of Employee Stock Options: A Practical Approach to Handling The Valuation Issues. Journal of Derivatives Accounting, 1, 1, 3-9. [6] Hull, J., &White. A. 2004. How to Value Employee Stock Options. Financial Analysts Journal, 60, 114-119. [7] Liao, Feng-Yu, Lyuu, Yuh-Dauh. 2008. An Expanded Model For The Valuation of Employee Stock Options. The Journal of Futures Markets, vol.29, no 8, 713-735. [8] Rubinstein, M. 1995. On The Accounting Valuation of Employee Stock Options. Journal of Derivatives, 3 8-24. [9] Sidarto, Kuntjoro Adji. 2009. Penentuan Harga Opsi Saham Karyawan dengan Metode Binomial. Indonesian Journal of Banking and Finance, Vol. 1, no.1. [10] Telaumbanua, Faoso, F. 2000. Opsi Saham Karyawan. Bisnis Indonesia. Edisi 29. PT. Jurnalindo Aksara Grafika.

88

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

MODUL WUJUD ZAT DAN PERUBAHAN MATERI BERBASIS KONSTRUKTIVISME UNTUK PEMBELAJARAN KIMIA DI SMP Andromeda, Bayharti1), Raudhatul Jannah2) 1)

Staf Pengajar Jurusan Kimia FMIPA UNP Alumni Prodi Pendidikan Kimia FMIPA UNP Email : [email protected]

2)

ABSTRACT This research aims to produce a set of chemical learning modules (student activity sheets, student worksheets, sheet tests, and answer keys) to the state of matter and material change. The type of this research is the research and development (R & D) which is a process or steps to develop a new product or improve an existing product and test the effectiveness of the product. The module is created by using the microsoft powerpoint program. Feasibility test results data used in the form of Likert scale. The feasibility test has been done by grade VIII students of SMPN 4 X Koto Singkarak, and showed that the resulting module obtained an average score of feasibility of 4.57. Furthermore the results of the analysis of the use of the module in helping students to understand the concepts learned, earned value percentage of student answer sheet student activities, student worksheets and sheet test, a row of 96.8%, 96.8%, were 96.4%. It can be conluded that this module is feasible to use in learning process. Key word : Module, feasibility, the state of matter and material change. Pada kurikulum 2013 ilmu kimia di tingkat SMP ada dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) terpadu. Salah satu materi dalam silabus mata pelajaran IPA terpadu adalah wujud zat dan perubahan materi yang dipelajari pada semester I kelas VII SMP. Materi kimia ini berisi fakta, konsep, prinsip dan prosedural, untuk itu dalam pembelajaran guru harus mampu mengembangkan proses pembelajaran yang berorientasi siswa aktif belajar (mengamati, menanya, mengasosiasi, dan berkomunikasi) (Kemendikbud 2012). Penggunaan media pembelajaran yang baik juga dapat meningkatkan kepuasan dan minat belajar siswa. Media pembelajaran merupakan alat, metode, dan teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam proses pendidikan dan pengajaran (Hamalik, 1989). Berdasarkan hal tersebut, maka dibutuhkan suatu alternatif media agar pembelajaran menjadi lebih efektif dan efisien. Salah satu alternatif yang diharapkan dapat mengatasi hal tersebut adalah dengan menyajikan materi pembelajaran dalam bentuk modul berbasis konstruktivisme. Modul merupakan media yang terdiri dari suatu unit lengkap yang berdiri sendiri dan terdiri atas

1. PENDAHULUAN Ilmu kimia, cabang dari IPA merupakan ilmu yang sangat berguna bagi kehidupan manusia, didalamnya tersaji konsep, fakta, prinsip, dan prosedural yang terjadi dalam fenomena ilmiah. Pada tingkat sekolah menengah materi pelajaran tersusun secara hirarki dan berkelanjutan mulai dari pengenalan beberapa konsep dasar kimia pada tingkat SMP dan dilanjutkan pada materi-materi yang lebih sulit di tingkat SMA. Karena itu, siswa harus memahami secara benar dasar-dasar kimia yang dipelajari di SMP untuk dapat lebih mudah mempelajari materi yang lebih sulit di tingkat SMA. Sejak 2013 telah diberlakukan kurikulum 2013. Ada beberapa perubahan penting pada kurikulum 2013 diantaranya adalah :1) pola pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran berpusat pada peserta didik, 2) pola pembelajaran satu arah (interaksi gurupeserta didik) menjadi pembelajaran interaktif (interaktif guru-peserta didik-masyarakatlingkungan alam, sumber/media lainnya), 3) pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran aktif-mencari, untuk itu diperlukan perubahan dalam proses pembelajaran (Kemendikbud 2012). 89

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

suatu rangkaian kegiatan belajar yang disusun untuk membantu siswa mencapai sejumlah tujuan yang dirumuskan secara khusus dan jelas (Suryosubroto. B. 1983) . Adapun keuntungan yang dapat diperoleh dari pembelajaran dengan menggunakan modul antara lain adalah memberikan feed back kepada siswa untuk mengetahui seberapa banyak materi pembelajaran yang telah dikuasainya, dan bagi guru untuk mengetahui keefektifan modul (Nasution, M.A. 1982). Aliran kontruktivisme lebih menekankan pada proses belajar daripada hasil belajar. Hasil belajar dinilai penting, tetapi proses belajar yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar dinilai lebih penting. Proses belajar dengan melibatkan anak berpikir untuk menemukan konsep dianggap lebih efektif. Menurut teori belajar konstruktivisme, siswa yang belajar akan membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur dalam membangun pengetahuan. Belajar adalah proses aktif siswa dalam membentuk makna berdasarkan apa yang telah dimiliki. Jadi pengetahuan yang telah dimiliki merupakan hasil konstruksi dari seseorang (Pannen, P, dkk, 2001). Selanjutnya menurut Uric C. Geer konstruktivisme dapat diartikan sebagai teori pembelajaran yang mana siswa membangun pengetahuan sendiri dalam proses pembelajaran melalui interaksi dengan berbagai fenomena. Konstruktivisme adalah suatu paham yang menekankan siswa untuk membangun sendiri pengetahuan atau konsep secara aktif berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya sendiri. Implikasi dari pengertian di atas adalah: (1) pengajaran dan pembelajaran akan berpusat pada murid; (2) pengetahuan yang diperoleh murid merupakan hasil dari aktivitas belajarnya; (3) guru mengenal pengetahuan awal siswa dan merancang pengajaran dengan sifat sesuai dengan pengetahuan awal siswa; (4) guru berperan sebagai perancang media pembelajaran yang memberikan peluang seluas-luasnya pada siswa untuk dapat membangun sendiri pengetahuannya; (5) guru berperan sebagai fasilitator yang membantu siswa membangun pengetahuannya dan membimbing siswa jika mengalami masalah. (Pusat Pengembangan Kurikulum, 2001). Untuk itu, guru dituntut untuk bisa memberikan suasana belajar dan menyiapkan

pembelajaran yang membuat peserta didik mampu membangun pemahaman dengan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Modul pembelajaran konstruktivisme yang menekankan pada keaktifan siswa dalam membangun pengetahuan dalam dirinya merupakan salah satu media pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan aktifitas belajar siswa. Menurut Arsyad modul dikatakan layak sebagai media pembelajaran jika memenuhi empat fungsi yaitu fungsi afektif, kognitif, atensi, dan kompensatoris (Arsyad, 2003). Dari beberapa penelitian disimpulkan bahwa penggunaan modul melalui pendekatan konstruktivisme dapat meningkatkan pemahaman dan penguasaan konsep (Ellizar, Andromeda, Bayharti, 2007 ; Ellizar, Andromeda, Latisma, 2009 ; Meilinda, dkk, 2009) Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan seperangkat modul pembelajaran (Lembar Kegiatan Siswa, Lembar Kerja, Kunci Lembar Kerja, Lembar Tes, dan Kunci Lembar Tes) wujud zat dan perubahan materi melalui pendekatan konstruktivisme yang layak digunakan dalam pembelajaran. Modul berbasis konstruktivisme yang dihasilkan ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu media alernatif dalam pembelajaran IPA di SMP.

2. METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (Research and Development R&D) yang merupakan metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2009). Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap, yaitu tahap perancangan modul, pembuatan modul, validasi desain modul, dan uji kelayakan modul. Hal yang dilakukan pada tahap perancangan modul adalah menentukan kompetensi inti, kompetensi dasar, indikator, tujuan pelajaran, serta merancang gambar dan bagan sesuai dengan konsep yang ada pada materi wujud zat dan perubahan materi. Untuk tahap pembuatan modul berupa lembar kegiatan, lembar kerja, lembar tes, serta kunci lembar kerja dan lembar tes. Validasi desain modul dilakukan dalam forum diskusi dengan para ahli, dan revisi dilakukan oleh peneliti. Pada tahap uji kelayakan, modul 90

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

pembelajaran dan angket dibagikan kepada siswa, mahasiswa kimia, dan guru untuk meminta saran serta pendapat demi penyempurnaan modul. Instrumen penelitian ini adalah angket, dimana pernyataan pada angket meliputi empat fungsi media yaitu fungsi kognitif/isi, afektif/ motivasi, atensi/bentuk, dan kompensatoris/ kepraktisan (Arsyad, A., 2003). Analisis data angket menggunakan skala Likert dengan kriteria kelayakan dibagi atas empat yaitu kategori sangat layak (r≥4), layak (3≤r≤3.9), cukup (2≤r≤2.9), dan tidak layak (1≤r≤1.9) Untuk melihat keterbacaan modul oleh siswa dilakukan dengan menganalisis jawaban siswa terhadap pernyataan tidak lengkap yang terdapat dalam lembaran kegiatan siswa, latihan yang terdapat dalam lembaran kerja siswa, serta soal-soal yang terdapat dalam lembaran tes. Teknik analisis data yang terdapat dalam modul menggunakan perhitungan persentase. Nilai= skor nilai responden yang benar x 100

Jurusan Kimia Universitas Negeri Padang. Mahasiswa yang diminta sebagai responden adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia tingkat akhir. Angket yang diberikan berisi 19 item. Data tersebut kemudian dianalisis sehingga diperoleh skor rata-rata kelayakan modul dari segi isi 4.59, segi bentuk 4.65, segi motivasi 4.67, dan segi kepraktisan 4.53. Dari analisis tersebut diketahui bahwa modul pembelajaran wujud zat dan perubahan materi sangat layak digunakan. Analisis data angket siswa diperoleh dari jawaban angket siswa kelas VIII SMP Negeri 4 X Koto Singkarak. Data yang diperoleh kemudian dianalisis sehingga diperoleh skor rata-rata kelayakan modul pembelajaran wujud zat dan perubahan materi segi bentuk 4.59, segi motivasi 4.51, dan segi kepraktisan 4.60. Skor ini mengindikasikan bahwa modul pembelajaran wujud zat dan perubahan materi sangat layak digunakan. Untuk melihat apakah modul pembelajaran wujud zat dan perubahan materi yang berisikan peta konsep, gambar, dan pernyataan tidak lengkap pada lembaran kegiatan siswa, latihan pada lembaran kerja, dan uji kompetensi pada lembaran tes dapat menuntun siswa dalam menemukan konsep dan memahami materi pelajaran, dilakukan dengan menganalisis jawaban siswa pada lembaranlembaran tersebut. Hasil analisis menunjukkan nilai persentase jawaban siswa pada lembaran kegiatan siswa sebesar 96,8%, lembar kerja siswa 96,8%, dan lembar tes 96,4%. Dari nilai persentase tersebut, menunjukkan siswa telah menguasai konsep wujud zat dan perubahan materi. Seorang siswa dapat dikatakan menguasai materi di dalam modul dengan tingkat penguasaan paling sedikit 75% dari materi yang ada pada modul (Suryosubroto, 1983)

bobot nilai seluruhnya

Selanjutnya dicari persentase berdasarkan nilai dengan rumus : P=

n x 100 % N

P : angka persentase yang ingin dicapai N : banyak nilai seluruhnya n : banyak nilai pada setiap kategori sumber: (Zafri, 1999)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Deskripsi Data dan Analisis Data Data yang dideskripsikan adalah data yang diperoleh dari jawaban guru IPA SMP, berdasarkan jawaban angket yang berisi 19 item. Data tersebut kemudian dianalisis sehingga diperoleh skor rata-rata kelayakan modul masing-masing item. Kelayakan modul dapat dilihat dari segi bentuk, isi, motivasi, dan kepraktisan. Dari analisis menggunakan skala Likert, angket guru yang berisikan 19 item diperoleh skor rata-rata kelayakan modul dari segi isi 4.16, segi bentuk 4.40, segi motivasi 4.67, dan segi kepraktisan 4.29. Dari analisis tersebut diketahui bahwa modul pembelajaran wujud zat dan perubahan materi sangat layak digunakan. Analisis data angket mahasiswa diperoleh dari jawaban angket mahasiswa

b. Pembahasan Kelayakan suatu media dapat dilihat dari segi bentuk, isi, motivasi dan kepraktisan. Selain itu kelayakan suatu media juga dapat ditinjau dari segi fungsi yang dimiliki oleh media tersebut, yaitu fungsi afektif, fungsi kognitif, fungsi atensi, dan fungsi kompensatoris (Arsyad, 2003) Ditinjau dari segi bentuk yang merupakan bagian fungsi afektif dari suatu media yakni meliputi penampilan modul, peta 91

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

konsep, background, penggunaan huruf dalam tulisan dan ukuran gambar, modul sangat layak digunakan untuk pembelajaran wujud zat dan perubahan materi. Ini dilihat dari nilai kelayakan yang diperoleh dari masing-masing angket, dimana dari angket guru diperoleh skor rata-rata kelayakan modul dari segi bentuk adalah sebesar 4.31, untuk angket mahasiswa diperoleh skor rata-rata sebesar 4.65, dan untuk angket siswa diperoleh skor rata-rata sebesar 4.59. Jika diinterpretasikan, dari segi gambar modul telah menampilkan bentuk dan ukuran yang sangat sesuai. Dari segi penulisan telah memakai tulisan yang jelas dan tepat, begitu juga dengan warna yang menarik bagi guru, mahasiswa, dan siswa. Fungsi kognitif ditinjau dari segi isi dan diperoleh skor rata-rata kelayakan modul pada angket guru sebesar 4.05 sedangkan untuk angket mahasiswa diperoleh skor rata-rata kelayakan sebesar 4.59. Data ini menunjukkan bahwa materi wujud zat dan perubahan materi telah sesuai dengan indikator pembelajaran. Materi yang disampaikan pada modul dapat dipahami dengan adanya gambar, peta konsep, dan pernyataan tidak lengkap yang dapat menuntun siswa dalam menemukan konsep. Ditinjau dari segi motivasi, diperoleh skor rata-rata kelayakan modul menurut data angket guru 4,58 dan mahasiswa 4.67, sedangkan untuk data angket siswa sebesar 4.51. Ini menunjukkan bahwa telah terpenuhinya fungsi atensi pada modul yaitu memiliki kemampuan memotivasi siswa untuk belajar. Modul juga dapat meningkatkan aktivitas siswa, karena dengan adanya modul siswa terlibat secara langsung dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran adalah dengan menggunakan modul, karena modul dapat memupuk keaktifan, sebab siswa dituntut untuk lebih aktif dalam memecahkan masalah-masalahnya. Dari segi kepraktisan, terlihat dari hasil analisis data untuk angket guru diperoleh skor rata-rata kelayakan sebesar 4.21, untuk angket mahasiswa sebesar 4.53, dan untuk angket siswa diperoleh skor rata-rata kelayakan sebesar 4.60. Hal ini menunjukkan bahwa modul sangat praktis digunakan dalam proses pembelajaran atau telah terlihatnya fungsi kompensatoris pada modul. Selain itu dengan menggunakan

modul siswa dapat menyelesaikan pembelajaran sesuai dengan kecepatan masing-masing dan lebih banyak belajar mandiri. Penggunaan modul juga dapat memudahkan guru mengarahkan siswa menemukan konsep, sehingga pembelajaran terfokus pada siswa dan peran guru sebagai fasilitator dapat ditingkatkan.

4. PENUTUP Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa modul pembelajaran wujud zat dan perubahan materi dengan pendekatan konstruktivisme dapat dibuat dan telah teruji kelayakannya sehingga dapat digunakan sebagai media pembelajaran IPA di SMP. Berdasarkan kesimpulan diatas, maka disarankan agar modul pembelajaran wujud zat dan perubahan materi ini dapat dimanfaatkan sebagai alternatif dalam pembelajaran dan dapat digunakan oleh siswa secara individu maupun berkelompok dalam proses belajar mengajar di bawah bimbingan guru.

5. DAFTAR PUSTAKA Arsyad, Azhar., (2003), Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Ellizar. Bayharti, Andromeda, (2007), Rancangan Media Transparansi Berwarna dan Modul untuk Meningkatkan Aktivitas Siswa Mengkonstruksi Pengetahuan dalam Belajar Kimia. Hibah Bersaing. 2006. Ellizar, Andromeda, Latisma, (2009), Models of Teaching by Constructivism Approach with Module. [Jurnal] : Jurnal Kependidikan Triadik, April 2009, Volume 12, No 1. Geer, Uric C, and David W. Rudge. A Review of Research on Constructivist-Based Strategies for Large Lecture Science Classes. (http://wolfweb.unr.edu/homepage/crowt her/ejse/geer.pdf). Hamalik, Oemar, (1989). Media Pendidikan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Kemendikbud., (2012), Dokumen Kurikulum2013. http.kurikulum2013.kemendikbud.go.id. Meilinda, dkk., (2009), Interactive E-Module of Constructivism Based On Genetic 92

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Material to Increase the Concept Mastery of Biology Teacher inSecondary School. [disampaikan pada Proceeding the Third International Seminar on Science Education]. ISBN: 978-602-8171-14-1 “Challenging Science Education in Digital Era”. Nasution, M.A., (1982), Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Pannen, Paulina dkk., (2001), Konstruktivisme dalam pembelajaran. Buku 2.04. Mengajar Di Perguruan tinggi. PAU PAI. Jakarta: Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Pusat Pengembangan Kurikulum. 2001. Pembelajaran Secara Konstruktivisme. Malaysia: Kementrian Pendidikan Malaysia. Sudjana, Nana dan Ahmad Rivai. 1997. Media Pembelajaran (Penggunaan dan Pembuatannya). Bandung: Sinar Baru. Sugiyono, (2009), Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfa Beta. Suryosubroto. B., (1983), Sistem Pengajaran dengan Modul. Yogyakarta: BinaAksara. Zafri. 1999. Metode Penelitian Pendidikan. Padang: UNP.

93

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

PENINGKATKAN READING LITERACY (KOMPETENSI) MAHASISWA PRODI KIMIAFKIP-UR MELALUI LKM-BAHASA INGGRIS KIMIA BERBASIS PEMBELAJARAN AKTIF Asmadi Muhamamad Noer (Dosen Prodi Kimia-FKIP,Universitas Riau) (Mhs. S3- Ilmu Pendidikan, Kosentrasi P.MIPA- UNP) Email: [email protected]/ [email protected] ABSTRAK Matakuliah bahasa Inggris Kimia merupakan matakuliah pendukung berkarya yang menunjang profesional mahasiswa prodi kimia atau calon guru Kimia dalam rangka peningkatan penguasaan konten/isi (ilmu kimia). Metode Pengembangan bahan ajar/matakuliah (atau disebut juga LKM) ini mengikuti desain Plomp dimana terdiri dari tiga tahap yaitu penelitian awal (analisis kebutuhan dan karakteristik peserta didik), Produk (prototype) dan Evaluasi (validasi produk). Sesetelah terbentuk prototype bahan ajar yang memperhatikan analisis kebutuhan dan karakteristik mahasiswa, maka dilakukan validasi produk baik secara self-evaluation maupun validasi oleh para pakar (Conten specialist (pendidikan kimia) dan pakar bahasa Inggris. Semua masukan dan perbaikan diakomodasi agar dihasilkan produk yang cocok/tepat digunakan oleh peserta didik. Hasil uji coba produk/LKM pada mahasiswa baru-2014 menunjukkan mahasiswa termotivasi belajar dengan cara pembelajaran aktif. Keyword: Bahasa Inggris Kimia (English for Chemistry), Pembelajaran aktif

Lembar Kerja Mahasiswa (LKM),

perdagangan. Pebisnis yang ingin menjual produk, mekanik yang ingin baca petunjuk manual, dokter/doktor yang membutuhkan pengembangan karir dibidang masing-masing dan seluruh pelajar/mahasiswa yang membutuhkan bacaan (bahan kuliah) dan jurnal yang tersedia didominasi dalam bahasa Inggris. Sejalan dengan pernyataan Hutchinson dan Waters di atas, Jalal (2008) menyatakan bahwa kualitas pendidikan Indonesia tidak dapat ditingkatkan apabila para lulusan Perguruan Tinggi Indonesia tidak mampu bersaing dalam dunia kerja. Kemudian Partnership for 21St Centrury (2008) mengemukan bahwa proses pembelajaran tidak hanya untuk meningkatkan pengetahuan (melalui core subjects) saja tapi harus dilengkapi dengan berkemampuan kreatif (kritis), Berkarakter kuat ( bertanggung jawab, sosial, toleran, produktif, adaptif,....), disamping itu didukung dengan kemampuan memanfaatkan informasi dan berkomunikasi. Menurut hemat penulis, kemampuan memanfaatkan informasi dan berkomunikasi, haruslah dibina, dibiasakan ( “accustomed to”), dan salah satu cara agar

I. PENDAHULUAN Bahasa Inggris telah menjadi bahasa global dunia dengan jumlah negara pengguna sebagai bahasa resmi menduduki urutan pertama sebagai bahasa internasional, 140 negara sekitar 341 juta orang penutur asli (Basri, 2011). Basri menyatakan lebih jauh bahwa bahasa Inggris untuk bidang studi nonEnglish dititikberatkan sebagai English for Specific Purposes (ESP) yang diarahkan pada pengembangan kompetensi disiplin ilmu mayor mahasiswa- seperti matakuliah Bahasa Inggris Kimia pada program studi kimia-FKIP, Universitas Riau. Hal senada disampaikan oleh Seung-Lee (2010) dimana lima Universitas besar di Korea-Selatan melakukan bilingual pada pembelajaran untuk persiapan menghadapi era globalisasi. Hutchinson dan Waters (1987) memberi alasan detail kenapa bahasa Inggris menjadi begitu penting: Begitu banyak orang mempelajari bahasa Inggris tidak hanya untuk kemudahan, prestise (menaikan gengsi) tetapi sekaligus bahasa Inggris merupakan kebutuhan, dimana bahasa Inggris adalah kunci perkembangan ilmu -teknologi dan 94

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

kompetensi ini dapat diraih khususnya oleh mahasiswa prodi kimia-FKIP, UR adalah melalui mata kuliah Bahasa Inggis Kimia berbasis „active learning”, sehingga di akhirat semester, diharapkan mahasiswa yang telah mengambil mata kuliah ini memiliki dan dibekali dengan kompetensi/kemampuan memahami bacaan/teks kimia berbahasa Inggris. Bahasa Inggris kimia merupakan matakuliah wajib prodi Kimia-FKIP Universitas Riau. Berdasarkan Kurikulum lama, mata kuliah Bahasa Inggris Kimia bertujuan membekali mahasiswa agar dapat membacamemahami buku teks. Sejak tahun 1999/2000 proses pembelajaran yang digunakan masih pendekatan konvesional yaitu teachercentered, serta men-“translate” kata per kata dan menterjemahkan kalimat per-kalimat. Hasil refleksi mengharapkan agar mahasiswa terlibat dalam/selama proses pembelajaran berlangsung. Untuk menjembatani agar mahasiwa berpartispasi aktif, disediakanlah bahan ajar /LKM yangn ditribusikan agar mahasiswa terbantu. Namun usaha ini belum begitu memperlihatkan hasil signifika, karena bahan ajar/Lembar Kerja Mahasiswa belum dirancang sesuai dengan prosedur saintifik dan analisis kebutuhan. Disadari bahwa kebutuhan Bahasa Inggris Kimia begitu penting untuk mahasiswa kimia/calon guru Kimia, karena ESPKimia tak dapat dipisahkan dan merupakan satu kesatuan. Satu sisi, Bahasa Inggris Kimia merupakan isi (contents) dan sisi lain adalah bahasa Inggris. Konsep, istilah, simbol dan terminalogi dst. merupakan satu kesatuan yang khas pada mata pelajaran Kimia, sehingga ESP-kimia merupakan suatu hal yang penting dikuasai dan dimiliki. Di samping itu pesatnya

perkembangan informasi dan IPTEK yang berpuluh kali kecepatan atau kecepatan manusia membaca (access) satu buku, maka untuk life-long learning pengguasan kompetensi (skill) BIKoleh peserta didik adalah sesuatu pilihan yang tepat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ansyar (1998) bahwa peserta didik hendaklah dibekali ketrampilan dasar (basic skills-5Rs):Reading, Writing, Arithmetic (3Rs), Computer (4R) & foreign language (5R). Namun karena banyaknya masalah yang ditemukan, penguasaan ESPmasih menemukan banyak kendala di lapangan. Hasil identifikasi masalah yang terkait dengan pembelajaran Bahasa Inggris Kimia (BIK). adalah sebagai berikut: (1) bahan BIKsangat padat dan topik belum tersaji secara berurutan (sequence); (2). mahasiswa masih cenderung mengambil/merujuk buku-buku yang bukan berbahasa Inggris untuk pembuatan tugas, makalah, bahan seminar padahal mereka sudah dibekali dengan Pengetahuan dan ketrampilan Bahasa Inggris Kimia. (3) proses pembelajaran masih didominasi oleh dosen/pengampu, (4) belum semua mahasiswa aktif dalam perkuliahan, mereka lebih dominan mendengar, mencatat, dan (5) Kesulitan mengelola kelas besar, rata-rata berisi 50 mahasiswa. Setelah dilakukan analisis hasil belajar dan proses belajar yang belum terlaksana, maka tim pengajar perlu merancang Lembaran Kerja Mahasiswa (LKM) yang mampu mengaktifkan peserta didik (mahasiswa). Salah satu strategi untuk mengaktifkan mahasiswa yaitu dengan menggunakan strategi pendekatan belajar aktif, active learning (Dee Fink, 1999; Silberman, 2006). Pola Metode Aktif yang dilaksanakan dapat dilihat pada tabel 1 berikut:

Tabel 1. Prototype Model Pembelajaran Aktif pada Mata Kuliah Bahasa Inggris Kimia (adopsi Muhtadi, 2011) KEGIATAN FASE/SINTAK WAKTU (2X 50’) 1.PENDAHULUAN PreReading, ORIENTASI: menyampaikan Tujuan Pembelajaran+ Appersepsi + Motivasi+ bagikan LKM Petunjuk Kerja Individu diikuti Pembentukan kelompok (mhs) Kata Penting (Vocab + terminalogy)- Tenses yg tdp pada bacaan oleh Dosen 2.KEGIATAN INTI Reading EKSPLORASI- individu 95

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

KEGIATAN

3. PENUTUP

FASE/SINTAK ELABORASI- berkelompok-diskusi dan resume kelompok Presentasi Materi Diskusi- masukan kelompok lain terhadap sajian materi dengan melibatkan mahasiswakonfirmasi oleh Dosen dan melibatkan mahasiwa.(Pengecekan Pemahaman dan pendalaman materi Post-ReadingRefleksi dan Umpan Balik- koreksi bersama dan Intervensi Dosen (+ Obesrver-Dosen Kimia)

WAKTU (2X 50’)

EVALUASI: Kuis atau Soal Lisan III.

METODE PENELITIAN

Metode pengembangan LKM merujuk kepada Desain Penelitian Plomp yang dapat dilihat pada tabel 2 berikut: Tabel 2. Design Research Model Plomp (2010) No Tahap Pengembangan Kegiatan

Needs and context analysis 1

Penelitian Pendahuluan (Preliminary Research)

Review of literature Development of conceptual or theoretical framework for the study Desain prototype

Bentuk Kegiatan yang dilakukan pada Penelitian Menganalisis karakteristik instistusi Menganalisis karakteristik mahasiswa Menganalisis instruksional mata kuliah Bahasa Inggris Kimia Mengkaji literatur/pustaka terkait dengan penelitian Merancang kerangka konseptual untuk studi pengembangan

Mendesain model pembelajaran aktif Melakukan uji validitas prototype Formative evaluation 2 (expert validity) Merevisi prototipe berdasarkan hasil Revision formative evaluation Tahap Penilaian Melakukan uji praktikalitas dan 3 Summative evaluation (Assesment Stage) efektifitas terhadap prototype Mendokumentasikan dan Documentation Dokumentasi dan menyempurnakaan protipe Refleksi Sistematis 4 Melakukan Refleksi terhadap (Systematic Reflection Reflection produk/protype akhir berdasarkan and Documentation) hasil penelitian 2. Prosedur Pengembangan Prosedur pengembangan Lembar Kerja 1. Model LKM berbasis aktif Metode Penelitian dengan mengadopsi Mahasiswa mengikuti beberapa tahap, design researh Plomp (lihat Bagan) dimana dimana tahap awal/disebut LKM prototipe perekaan model LKM memperhatikan dan awal (pertama) dirancang oleh peneliti mempertimbangkan karakter mahasiswa dan dengan bimbingan pembimbing/promotor kebutuhan analisis peserta didik. dilakukan self-evaluation mengenai Tahap Prototipe (Prototyping Stage)Lembar Kerja Mahasiswa

96

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

validitas, praktikalitas dan effektivitas dari LKM prototype 1 tersebut. Selanjutnya LKM-Prototype kemudian dilakukan oleh Validator ahli (expert validator) yang sesuai dengan kepakaran/keahlian yang relevan. Validasi Konten/isi di validasi oleh pakar bidang Ilmu Kimia(3 orang) dan pakar ilmu Bahasa Inggis (2 Orang) dan satu (1) orang dari pakar Instruksional desain (pembelajaran) serta oleh 2 orang praktisi (dosen pengampu matakuliah sejenis). serta respon oleh mahasiswa yang menggambil mata kuliah. Sampai diperoleh produk final yang telah memenuhi pada tingkat validitas, tingkat praktikalitas dan tingkat efektifitas skore tinggi.( sesuai skala likert). LKM ( bahan ajar) yang dirancang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa baruPendidikan Kimia, FKIP-UR, angkatan 2014, terdiri dari kelas A dan Kelas B.Materi LKM di fokuskan pada isi/content: Matter and Volume, Element dan Acids

Rata - Rata Hasil Tes Kelas A & Kelas B Kelas A Kelas B 56,67 58,79

PEMBAHASAN Prototype LKM –Bahasa Inggris Kimia yang dihasilkan telah dipelajari –dilakukan peer-review dengan teman sejawat yang memiliki kompetensi yang sama serta mempertimbangkan dan diperkuat dengan penelitian Muhatadi (2008) yang melaksankan pembelajaran aktif sejenis. Kemudian Protype IV. HASIL LKM (bahan ajar) juga telah BAHASA dilakukan validasi Tabel : HASIL TES dan MOTIVASI MAHASISWA PADA MATAKULIAH oleh pakar bidang studi (pendidikan kimia INGGRIS KIMIA yang juga pengampu matakuliah yang sama) Rata-Rata Motivasi kelas A & B serta validasi dari pakar pendidikan bahasa Kelas A Kelas B Inggris. 47,56 46,24 Setelah beberapa kali pertemuan, angket motivasi ( lampiran 1) yang telah divalidasi di sebarkan kepada dua kelas yang mengikuti mata kuliah Bahasa Inggris Kimia. Kedua Kelas menunjukkan antusias/motivated karena memperoleh sesuatu yang baru pada pembelajaran ini yaitu ilmu kimia yang disampaikan dalam bahasa asing (bahasa Inggris) seperti istilah/terminalogi, vocab/kosa kata dan ketrampilan berbahasa Inggris ( communicative competence) yang sebelumnya sebagian besar tidak mereka ketahui. Sehingga menurut hemat penulis, semangat/motivasi belajar yang terpelihara baik, akan mampu meningkatkan prestasi belajar dan berujung memiliki kompetensi-yaitu mahasiswa mampu membaca dengan baik dan mengerti/paham buku teks kimia.

97

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Sixth Editions. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, Ltd. Howard, J., Major, J. (2005). Guidelines for Designing Effective English Language Teaching Materials.Seoul, South Korea: Ninth Conference of the Pan-Pacific Association of Applied Linguistics, Oct 2004. 101-109. http://www.paaljapan.org/resources/proc eedings/PAAL9/pdf/Howard.pdf Joyce Bruce, Weil Marsha dan Calhoun Emily. 2010. Models of Teaching- Model model Pengajaran. Edisi kedelapan. Jakarta: Pustaka Pelajar. Joyce, B., Weil, M., with Showers, B. 1992.. Models of Teaching, 4 Th ed. Boston: Allyn & Kaifa. Littlewood, Wiliam. 1996. „AUTONOMY”; An Anatomy and Framework System. 24 (4): 427-435 Muhtadi. A, 2011 Implemnetasi Konsep Pembelajaran „Active Learning” sebagai upaya untuk meningkatkan keatifan mahasiswa dalam Perkuliahan. Nieveen, Nienke. 1999. Prototyping to Reach Product Quality. Dalam Plomp, T; Nieveen, N; Gustafson, K; Branch, R.M; dan van den Akker, J (eds). Design Approaches and Tools in Education and Training. London: Kluwer Academic Publisher. Nieveen, Nienken. 2010. Formative Evaluation in Educational Design Reseach. Dalam Tjeerd Plom and Nienken Nieeveen (Ed). An Introduction to Educational Design Research. Netherlands in www.slo.nl/organisatie/international/publ ications Persada. Plomp, T. 1997 . Educational Design: Introduction from Tjeerd Plomp (eds). Eduacational & Training Sistem Design: Introduction Design of Education and Training (in Dutch). Utrech (the Netherlands): Lemma. Netherland: Faculty of Educational Science and Technology, University of Twente Plomp,Tjeerd. 2010. Educational Design Research: An Introduction. Dalam Tjeerd Plom and Nienken Nieeveen (Ed). An Introduction to Educational Design Research. Netherlands in

IV.

KESIMPULAN Pembelajaran Bahasa Inggris kimia melalui perancangan bahan ajar/LKM-Bahasa Inggris Kimia membawa dampak positif pada motivasi mahasiswa. Mahasiswa jadi motivated. Motivasi belajar adalah suatu perubahan tenaga di dalam diri seseorang (pribadi) yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan (Nashar, 2004), kemudian Clayton dalam (Nashar,2004) menyatakan Motivasi belajar adalah kecenderungan siswa/mahasiswa dalam melakukan kegiatan belajar yang didorong oleh hasrat untuk mencapai prestasi atau hasil belajar sebaik mungkin. Motivasi belajar juga merupakan kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan diri secara optimum sehingga mampu berbuat yang lebih baik, berprestasi dan kreatif (Abraham dalam Nashar, 2004:42). Clayton menyimpulkan bahwa perubahan tingkah laku pada diri mahasiswa yang terjadi, khususnya mereka memilik motivasi belajar yang mendorong/menimbulkan rasa senang dan belajar secara sungguh-sungguh. Sehingga akhirnya terbentuk cara belajar siswa yang sistematis, penuh konsentrasi dan membuahkan hasil/kompetensi. (reading literacy). DAFTAR PUSTAKA Dee Fink. 1999. Active Learning. http://coe.sdsu.edu.eet/article/activeleraning/sta rt.htm, diakses tanggal 28 Agustus 2011). Dimyati dan Mujiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Gagne, M. Robert. 1988. Essential Learning for Instruction. Hindale: The Dryden Press. Gal,Iddo., Ginsburg, Lynda and Schau,Candance. 1997. Monitoring Attitudes and Beliefs in Statics Education. Retrieved 20 Oct.2011 from http:// www.stat.auckland.ac.nz/iase/publication/assessbkref. Gay, L.R , Mills. G.E dan Airasian, P. 2009. Educational Research: Comptencies for Analyisis and applications. Columbus, Ohio: Pearson Guilford. J.P. & Frcher, B. 1978. Fundamental Statistics in Psychology and Education. 98

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

www.slo.nl/organisatie/international/publ ications.

99

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Reigeluth, C. M., and Ann, Y. J. 2006. Functional Contextualism: an Idea Framework for Theory in Instructional Design and Technology. Education Technology Research and Development, 54(1):49-53. Richey, R. C., Klein, D.K and Nelson, W. A. 2002. Developmental Research: Studies of Instructional Design and Development. In David Jonassen, (Eds). Handbook of Research on Educational Communication and Technology (2nd Edition). P: 110 1-1130. On http://www.aectorgledtech/ 42.pdf Richey, R.C & Nelson, W.A 1996). Developmental Research. Handbook of Research for Educational Communications and Technology. New York. MacMillan Simon & Schuster.

Seung Lee, Jae. 2010. Offering EnglishMediated Chemistry Classes in South Korea: A note Silberman, Melvin L. 2006. Active Learning: 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Edisi Terjemah, Cetakan III. Bandung: Penerbit Nusamedia. Tracey, M. W. 2009. Design and Development Research: a model validation case. Educational Technology Research and Development, 57:553-5 71. Tracey, M. W., and Richey, R. C. 2007. ID model construction and validation: a multiple intelligences case. Educational Technology Research and Development, 55:369-390. Zukowski J.; Faust. 2002. Steps to Academic Reading: Steps and Pateaus. 2nd Edition. Reading. Canada: Heinle, a division of Thomson Learning Inc

Lampiran 1. INSTRUMEN PENILAIAN MOTIVASI BELAJAR MAHASISWA PADA PEMBELAJARAN AKTIF BAHASA INGGRIS KIMIA Pengantar: Lembar instrumen ini disampaikan kepada Saudara dengan tujuan untuk mendapatkan data motivasi belajar dalam mengikuti Pembelajaran Aktif Bahasa Inggris Kimia. Untuk itu dimohon Saudara mengisinya dengan jujur dan objektif. Terima kasih atas partisipasi Saudara. NO

ALTERNATIF JAWABAN SS S KS TS STS

PERNYATAAN

1

Saya semakin bersemangat pada model pembelajaran Aktif Bahasa Inggris Kimia. 2 Saya bertambah serius pada model pembelajaran Aktif Bahasa Inggris Kimia 3 Saya sangat menyukai model belajar Aktif Bahasa Inggris Kimia 4 Setelah mengikuti pembelajaran dengan model ini saya berusaha menyelesaikan soal-soal/tugas yang diberikan tidak melewati batas akhir waktu yang ditetapkan oleh dosen 5 Saya senantiasa mencarai tahu jika ada materi pembelajaran yang belum saya pahami 6 Saya berusaha terus menyelesaikan tugas sampai selesai 7 Saya semakin percaya diri belajar bahasa Inggris Kimia 8 Saya tidak lagi takut dalam Pembelajaran Aktif -Bahasa Inggris Kimia 9 Saya semakin bergairah belajar bahasa Inggris Kimia dengan model pembelajaran aktif 10 Saya tidak lagi dihinggapi rasa cemas melalui pembelajaran model pembelajaran aktif Bahasa Inggris Kimia. 11 Saya semakin mudah memahami materi Bahasa Inggris Kimia dengan model pembelajaran aktif 12 Saya suka belajar seperti model pembelajaran aktif ini untuk mempelajari materi/teks kimia lainnya. Keterangan: Nilai 5: SS = Sangat Setuju ,Nilai 4: S = Setuju Nilai 3: KS = Kurang Setuju, Nilai 2: TS = Tidak Setuju Nilai 1 : STS = Sangat Tidak Setuju

100

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

KOMIK BERWARNA SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN ALTERNATIF PADA MATERI KIMIA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI UNTUK SMA KELAS X Bayharti1), Hardeli2) Dilla Novita3) Jurusan Kimia FMIPA Univeristas Negeri Padang 1) 2) Dosen Jurusan Kimia FMIPA UNP 3)Alumni S1 Kimia UNP e-mail: [email protected] ABSTRACT The soal of this rescard is to produce the chemical comic on learning chemistry in daily life. Comic is one of learning media which can increase attention and reading interest of student, because it has colourful picture story which is suitable for tecnager. This comic media consist of, list of content, introducing of caracter, chemistry in daily life chapter, conclusion and evaluation. The type of this research is the research and development (R & D), that consist of potential and problem, data gatherig, product design, design validation, design revision, feasibility test of product, product revision, aplication test of product, product revision and production. This research was done in SMA N 2 Koto Baru in XI grade. The data was collected from questionnaire in form Likert scale that based on content and purpose quality, instructional quality, and technical quality. Data analysis result showed that comic media which produced is feasible with the mean of feasibility criteria of each item was 87,3%. Learning media in form of comic media for chemistry in daily life is feasible to use in learning process based on content and purpose quality, instructional quality, and technical quality. Key words-Comic media, chemistry in daily life, feasibility test. buku teks dalam menyampaikan materi pelajaran sehingga fakta-fakta dari materi kurang tersampaikan, misalnya contoh bahan kimia dalam kehidupan sehari-hari seperti bahan pembersih, obat-obatan, dan bahan pemutih hanya dijelaskan dalam bentuk gambaran tanpa diberikan contoh secara langsung sehingga motivasi siswa untuk belajar kimia cenderung lebih rendah. Untuk memotivasi siswa dalam memahami materi kimia, guru dituntut untuk menciptakan proses pembelajaran yang sesuai. Berbagai cara telah dilakukan guru, mulai dari pemberian tugas baca, diskusi, ceramah, dan sebagainya. Salah satu cara yang sering dilakukan guru adalah pemberian tugas baca kepada siswa, namun siswa kurang menyukai membaca buku pelajaran karena siswa malas membaca kalimat yang panjang. Siswa akan tertarik membaca apabila materi tersebut dijadikan cerita yang menarik dengan gambar-gambar kartun yang lucu dan warna yang cerah. Salah satu cara untuk mengatasi hal diatas dapat dilakukan dengan menyajikan materi pembelajaran dalam bentuk komik berwarna yang memuat materi kimia dalam kehidupan sehari-hari yang dituangkan dalam

I. PENDAHULUAN Pelajaran kimia merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam yang dipelajari siswa. Secara umum pelajaran kimia membahas mengenai hukum dan teori suatu atom maupun molekul yang tidak dapat dilihat, yang dapat diketahui hanyalah gejala dari atom maupun molekul tersebut. Penanaman konsep-konsep yang harus dipahami oleh siswa harus dikondisikan dengan proses pembelajaran yang tepat, sehingga pelajaran kimia menjadi mudah dan senang dipelajari [3]. Berdasarkan Kurikulum 2013, pelajaran kimia yang diajarkan di sekolah menengah atas (SMA) yaitu pada kelas X merupakan pelajaran lanjutan dari sekolah menengah pertama (SMP). Di dalam silabus pembelajaran kimia tersebut terdapat materi kimia dalam kehidupan sehari-hari yang dipelajari pada awal semester I kelas X. Sebenarnya siswa kelas X SMA sudah mengenal pelajaran kimia, namun karena kurangnya variasi media mengakibatkan siswa kurang termotivasi dan sulit memahami materi pelajaran dengan baik. Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari beberapa orang siswa, menunjukkan bahwa guru lebih terfokus pada 101

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

bentuk cerita bergambar. Siswa umumnya lebih menyukai cerita dengan gambar-gambar dan warna yang menarik. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, kebanyakan siswa lebih senang belajar sambil bermain dibandingkan membaca buku yang monoton/berisi kalimat yang panjang. Hal ini terlihat dari sebagian besar siswa mengisi waktu luangnya untuk bermain, membaca buku bergambar (komik), dan majalah selain membaca buku pelajaran. Media pembelajaran dalam bentuk komik berwarna sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan serta keinginan siswa. Komik memuat materi pelajaran yang dituangkan dalam bentuk cerita bergambar. Hal ini sesuai dengan pendapat Sadiman[2] ”Gambar memiliki fungsi untuk menarik perhatian, memperjelas sajian ide, mengilustrasikan atau menghiasi fakta yang mungkin akan cepat diingat atau diabaikan”. Media didesain agar bisa dipergunakan baik di sekolah maupun ketika mengisi waktu luang. Media komik berwarna berisikan materimateri yang disampaikan melalui gambar– gambar yang menarik, sehingga dapat merangsang siswa untuk belajar. Hal ini sesuai dengan kurikulum 2013 yang nantinya diharapkan dapat menghasilkan insan yang kreatif dan mandiri[2]. Ilustrasi gambar dapat membantu para siswa membaca buku pelajaran terutama dalam menafsirkan dan mengingat– ingat isi materi yang menyertainya[5]. Dalam kurikulum yang berlaku (kurikulum 2013), siswa dituntut untuk aktif dalam proses pembelajaran, siswa lebih banyak belajar sendiri dan tidak hanya menunggu penjelasan dari guru saja. Media komik dibuat untuk mempermudah siswa dalam belajar mandiri, karena dalam komik disajikan materi-materi melalui gambar yang mudah dimengerti dan dilengkapi dengan soal-soal untuk membantu siswa dalam mendalami materi pelajaran. Dalam komik ini siswa diajak untuk mengamati suatu gejala sehingga timbullah pertanyaan dari siswa sebagai tanggapan atas apa yang telah diamati dan dari komik inilah timbul jawaban dari pertanyaan tersebut. Komik juga memadukan kekuatan gambar dan tulisan yang dirangkai dalam suatu alur cerita gambar yang membuat informasi lebih mudah diserap. Teks membuatnya lebih dimengerti dan alur membuatnya lebih mudah untuk diikuti dan diingat. Penyajian komik dengan ilustrasi berwarna dan alur cerita yang

ringkas akan menarik peserta didik untuk membaca. Sebagaimana ungkapan bahwa, buku-buku komik dapat dipergunakan secara efektif oleh guru-guru dalam usaha meningkatkan minat, mengembangkan perbendarahaan kata-kata dan keterampilan membaca, serta untuk memperluas minat membaca[5]. Selain memiliki kelebihan, komik juga memiliki keterbatasan. Penggunaan komik yang terlalu sering dalam pembelajaran, membuat siswa kurang terlatih menggunakan bahasa ilmiah. Selain itu, indera yang terlibat hanya indera penglihatan saja Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menghasilkan media komik berwarna sebagai bahan bacaan di rumah pada materi kimia dalam kehidupan sehari-hari untuk SMA kelas X, (2) Menentukan tingkat kelayakan media komik untuk pembelajaran materi kimia dalam kehidupan sehari-hari dari segi kualitas isi dan tujuan, kualitas instruksional dan kualitas teknis untuk siswa kelas X. Dalam penulisannya komik yang disusun memuat daftar isi, perkenalan karakter tokoh, materi kimia dalam kehidupan sehari-hari, rangkuman, dan soal evaluasi. Tulisan ini diharapkan bermanfaat bagi guru untuk meningkatkan motivasi siswa dalam belajar dan mengerjakan latihan khususnya materi kimia dalam kehidupan sehari-hari dan sebagai pelengkap perangkat pembelajaran kimia. II. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian dan pengembangan (Research and Development/ R & D). Metode penelitian ini merupakan metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan menguji keefektifan produk tersebut[6]. Penelitian yang dilakukan adalah pembuatan suatu media komik kimia pada materi kimia dalam kehidupan sehari-hari kemudian dilakukan uji kelayakan terhadap media yang dibuat. Penelitian ini dilakukan dikelas XI SMA Negeri 2 Koto Baru, penelitian direncanakan pada bulan Juli tahun 2014. Subjek penelitian ialah terdiri dari Guru Kimia, dan Siswa SMAN 2 Koto Baru. Prosedur penelitian ini dibagi atas beberapa tahap pengembangan, yaitu potensi dan masalah, pengumpulan data, desain produk, validasi desain, revisi desain, uji coba produk, revisi produk(1), uji coba pemakaian, revisi 102

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

produk(2), dan produksi masal. Mengingat penelitian ini merupakan penelitian untuk menghasilkan produk, maka penelitian ini hanya dilakukan sampai tahap revisi produk(1) saja. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah angket dan lembaran wawancara. Angket ini diberikan kepada siswa untuk melihat kualitas instruksional dan kualitas isi, sedangkan untuk guru hanya wawancara dengan memberi lembaran wawancara untuk melihat kualitas isi dan tujuan, kualitas instruksional dan kualitas teknis terhadap media komik kimia pada materi Kimia dalam Kehidupan Sehari-hari. Angket disusun berdasarkan skala likert[6]. Skala likert ini disusun dengan kategori positif, artinya pernyataan positif memperoleh nilai tertinggi. Setelah tahap pengisian angket selesai dilaksanakan, tahap selanjutnya yang dilakukan yaitu penilaian angket berdasarkan skala likert. Setelah tahap pengisian angket selesai dilaksanakan, tahap selanjutnya yang dilakukan yaitu penilaian angket berdasarkan skala likert. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: 1. Memberikan skor jawaban dengan kriteria Bobot 1 untuk jawaban sangat tidak setuju (STS) Bobot 2 untuk jawaban tidak setuju (TS) Bobot 3 untukj awaban ragu-ragu (RR) Bobot 4 untuk jawaban setuju (S) Bobot 5 untukj awaban sangat setuju (SS) 2. Menentukan skor tetinggi dengan rumus: Skor tertinggi = jumlah validator x jumlah indikator x skor maksimum 3. Menentukan jumlah skor dari masingmasing validator dengan menjumlahkan semua skor yang diperoleh dari masingmasing indikator. 4. Menentukan skor yang diperoleh dengan skor dari masing-masing validator. 5. Penentuan nilai kelayakan dengan cara: Nilai kelayakan = jumlah skor yang diperoleh X

pengenalan tokoh, materi kimia dalam kehidupan sehari-hari, rangkuman, dan soal evaluasi. Beberapa bentuk gambar dalam komik yaitu: DAFTAR ISI HALAMAN PENDAHULUAN A. Perkenalan karakter tokoh............................................. 1 B.

Kompetensi inti dan kompetensi dasar........................

4

C.

Indikator pembelajaran..................................................

4

D.

Tujuan pembelajaran.......................................................

5

A.

Ilmu kimia dan peranannya..............................................

6

B.

Latihan ................................................................................ Hakikat ilmu kimia.............................................................

22 23

C.

Latihan ................................................................................ Metode ilmiah.....................................................................

29 30

D.

Latihan ................................................................................ Bekerja di laboratorium kimia........................................

48 49

Latihan ................................................................................

56

KESIMPULAN ........................................................................................ KEPUSTAKAAN......................................................................................

58 59

ISI

PENUTUP

Cuplikan daftar isi

jumlah skor tertinggi

100% III. HASIL DAN PEMBAHASAN Komik ini dibuat dengan bantuan penyunting gambar, yang kemudian diwarnai menggunakan Adobe Photoshop dan disempurnakan dengan dialog pada komik ini dengan menggunakan microshoft office word. Media komik ini berisi daftar isi komik, 103

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014 Caca ayo banguuuun. . nanti telat kesekolahnya!!

Ooo pelajaran kimia ya Ca ?

ia Mamaaa

Caca ayo sarapan dulu nak !

iaa Paa Iya Pa

Produk seharihari

peralatan mandi Caca masih ada nak? Nanti mama mau ke mini market

Bahan kimia

bensin mobil Papa termasuk bahan kimia juga loh Ca!!

Bahan kimia

Peralatan mandi

Ia kan Ma ??

Bukannya bahan kimia itu berbahaya Pa ?

Tidak semuanya Ca, misalnya (-) merusak struktur tanah

Pupuk sintetis

memangnya kenapa Ca?

(+) membasmi hama tanaman.

Contoh cuplikan alur cerita komik 2

Contoh cuplikan alur cerita komik 1

104

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014 Uji pemahaman

Tabel 1. Hasil Analisis Data Angket untuk Siswa Aspek Fungsi Skor Kriteria Penilaian Media (%) 1.Fungsi Afektif Kualitas instruksional 2.Fungsi 87,54 Layak Kompen (item 1-7) satoris Kualitas 3.Fungsi 87,04 Layak teknis atensi (item 8-12) Rata-rata 87,33 Layak

Ilmu kimia adalah............................ ....................................................... ....................................................... ............

Contoh bahan kimia yang sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari antaralain.................... ....................................................... ....................................................... ....................................................... ..................

Berdasarkan hasil analisis data pada tabel 1, diketahui bahwa rata-rata kriteria untuk setiap item adalah layak. Analisis data untuk kelayakan media komik berwarna secara umum memiliki kriteria layak dengan nilai kelayakan rata-rata 87,33 %. Nilai tersebut diperoleh dengan cara menjumlahkan skor masingmasing item dan membaginya dengan jumlah item yaitu dua belas, sehingga didapat kriteria dari media komik berwarna pada materi kimia dalam kehidupan sehari-hari yang dihasilkan termasuk kedalam kriteria layak digunakan ditinjau dari segi kualitas instruksional dan kualitas teknis. Saran dan masukan dari siswa SMA kelas XI yang mengisi angket uji kelayakan untuk perbaikan dapat dilihat dari tabel 2.

Manfaat ilmu kimia di bidang kesehatan dan kedokteran............................... ................................................, di bidang energi dan lingkungan................................. ..................................................., di bidang pangan dan pertanian................................... ....................................................

Tabel 2. Saran dan Masukan Siswa SMA Kelas XI Untuk Revisi Komik Berwarna No Aspek penilaian Saran 1. Bentuk/ Judul komik lebih tampilan dikreasikan lagi agar lebih menarik 2. Warna dan Gambar kartunnya di gambar buat lebih menarik lagi 3. Bahasa dan Tulisannya lebih di penulisan perbesar lagi

Contoh latihan uji pemahaman Setelah media komik di validasi, dilakukan revisi komik berwarna berdasarkan saran yang diberikan oleh validator. Setelah dilakukan revisi I, maka dihasilkan komik berwarna yang telah valid dan dapat dilanjutkan ke uji kelayakan. a.

Analisis data angket siswa Kelayakan media komik pada materi kimia dalam kehidupan sehari-hari diperoleh dari penilaian berupa angket kepada siswa kelas XI SMAN 2 Koto Baru. Angket yang diberikan kepada siswa terdiri dari segi kualitas instruksional dan kualitas teknis. Dari angket yang diberikan diperoleh saran-saran sebagai penyempurnaan kelayakan media.

b. Lembar wawancara dengan guru Dari hasil wawancara dengan guru bidang studi Kimia SMA N 2 Koto Baru mengatakan bahwa komik kimia pada materi kimia dalam kehidupan sehari-hari kelas X telah sesuai dengan Indikator dan Tujuan pembelajaran yang sudah dan lebih efektif digunakan dirumah pada waktu luang. Komik 105

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

kimia ini juga mampu meningkatkan kesempatan belajar siswa, meningkatkan aktivitas dan motivasi siswa dalam pembelajaran serta membantu siswa dalam menguasai konsep. Begitu juga dengan tampilan pada komik kimia ini sudah sangat menarik. Sedangkan saran dan masukan yang diberikan oleh guru untuk merevisi komik yang dibuat dapat dilihat pada tabel 3.

motivasi siswa c. Membantu siswa menguasai konsep

Tabel 3. Hasil Wawancara dengan Guru Kimia Untuk Revisi Komik Berwarna No Aspek Pertanyaan Tanggapan dan Penilaian Saran 1 Kualitas isi 1. Bagaimana  Media dan tujuan komik pendapat sangat bagus Bapak/Ibuk diberikan terhadap media kepada komik kimia siswa karena pada materi siswa kimia dalam merasa lebih kehidupan santai dan sehari-hari bebas dalam untuk kelas X belajar SMA yang dibuat. Apakah  Indikator sudah sesuai dan tujuan dengan pembelajara Indikator dan n sesuai Tujuan dengan Pembelajaran materi yang yang sudah diberikan. ditetapkan?  Isi komik 2. Bagaimana sudah tepat tanggapan dengan Bapak/Ibuk materi kimia terhadap dalam ketepatan isi kehidupan media komik sehari-hari kimia yang dibuat dengan materi kimia dalam kehidupan sehari-hari untuk kelas X SMA ? 2 Kualitas 3. Penggunaan instrukmedia komik sional dalam pembelaja ran a. Meningkatkan ya aktivitas siswa b. Meningkatkan 106

3

ya

ya

Catatan: Media komik lebih efektif digunakan untuk belajar dirumah Kualitas 4. bagaimana Sudah bagus, teknis soal-soal tanggapan latihannya Bapak/Ibu diperbanyak terhadap tampilan media lagi komik ini? Layak, dengan 5. bagaimana revisi sesuai kesimpulan saran Bapak/Ibu terhadap media komik kimia yang dibuat, apakah media ini layak digunakan dalam proses pembelajaran KIMIA, khususnya materi kimia dalam kehidupan sehari-hari?

Dari distribusi jawaban angket siswa dan lembar wawancara guru mengenai komik berwarna pada materi kimia dalam kehidupan sehari-hari yang memiliki nilai kelayakan ratarata 80 – 89% tiap item, dapat dijabarkan sebagai berikut: 1.Kualitas isi dan tujuan Kualitas isi yang dimaksud disini adalah materi yang terdapat didalam komik. Dimana apakah media yang dibuat sudah sesuai dengan kompetensi inti (KI), kompetensi dasar (KD) dan indikator yang ingin dicapai. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru bahwa materi, gambar, dan animasi yang terdapat dalam komik kimia ini telah sesuai dengan indikator dan tujuan pembelajaran. Bagi siswa materi yang disampaikan dengan menggunakan Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

media komik cukup jelas dan konsep materi kimia dalam kehidupan sehari-hari yang disajikan mudah dipahami. Dari hasil wawancara, guru mengatakan bahwa media komik sangat bagus diberikan kepda siwa karena siswa merasa lebih santai dan bebas dalam belajar, komik yang dibuat sudah sesuai dengan indikator dan tujuan pembelajaran, serta isi komik sudah tepat dan sesuai dengan materi kimia dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, adanya penjabaran kompetensi dasar (KD), indikator serta tujuan pembelajaran akan memudahkan bagi siswa untuk lebih memahami apa yang mereka pelajari. Komik kimia ini juga sangat menarik dan dapat meningkatkan minat dan perhatian siswa dalam mempelajari materi kimia dalam kehidupan sehari-hari. Hanya saja pengalokasian waktunya kurang efektif bila komik kimia ini digunakan sebagai bahan ajar pada waktu jam pelajaran disekolah. Tetapi jika digunakan diluar jam pelajaran seperti waktu istirahat atau dirumah, komik kimia ini cocok untuk mengisi waktu luang siswa. Selain itu juga pembuatan komik kimia ini juga lumayan mahal, jadi kurang efektif bila digunakan sebagai bahan ajar. Komik kimia ini tidak bisa digunakan sebagi pengganti bahan ajar, tetapi sebagai pelengkap bahan ajar yang digunakan untuk mengisi waktu luang siswa.

secara efektif oleh guru-guru dalam usaha meningkatkan minat, mengembangkan perbendarahaan kata-kata dan keterampilan membaca, serta untuk memperluas minat membaca”. Dari hasil wawancara dengan guru bahwa komik kimia ini juga dapat meningkatkan kesempatan belajar siswa, meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran, meningkatkan motivasi siswa, dan membantu siswa dalam menguasai konsep. 3. Kualitas Teknis Kualitas teknis maksudnya dari segi bentuk, tampilan, warna, gambar, bahasa dan penulisan. Pengkombinasian aspek inilah yang akan memotivasi siswa dalam proses pembelajaran. Penyajian informasi dengan mengkombinasikan gambar, warna, dan tulisan dapat menarik perhatian siswa dan memperjelas materi pelajaran sehingga siswa dapat mengingat materi pelajaran tersebut. Berdasarkan data angket siswa diperoleh nilai kelayakan 87,04%. Angka ini menunjukkan bahwa komik kimia layak digunakan sebagai media pembelajaran. Dari hasil wawancara guru mengatakan tampilan media komik sudah bagus dan media ini layak digunakan dalam proses pembelajaran kimia, khususnya materi kimia dalam kehidupan sehari-hari. Dari segi bentuk media ini telah mampu menampilkan materi kimia dalam kehidupan sehari-hari dengan warna yang menarik dan gambar yang sesuai. Selain itu, media komik telah memiliki tulisan yang jelas karena tiap dialog yang berkaitan dengan konsep kimia dibuat dengan warna tulisan yang berbeda, sehingga dapat dimengerti oleh siswa, dimana penggunaan warna-warna terutama warna yang kontras bisa lebih diingat oleh otak[1]. Beberapa kekurangan komik direvisi berdasarkan saran dosen pembimbing sebagai validator, saran guru melalui lembar wawancara, dan siswa yang disampaikan melalui angket. Revisi dilakukan pada bagian-bagian yang disarankan oleh responden dan bagian-bagian yang dirasa perlu seperti memeriksa ulang penulisan baik ukuran dan bentuk tulisan, memeriksa ulang gambar kartun sehingga lebih menarik lagi, serta soal-soal latihan yang ditambah. Adapun bagian komik yang direvisi adalah ukuran huruf, soal latihan dan kalimat pada

2. Kualitas Instruksional Berdasarkan data angket siswa dari segi kualitas instruksional diperoleh nilai kelayakan 87,54%. Angka tersebut menunjukkan bahwa komik berwarna pada materi kimia dalam kehidupan sehari-hari layak digunakan sebagai media pembelajaran. Hal ini disebabkan, materi kimia dalam kehidupan sehari-hari dapat dikemas dalam bentuk komik sehingga siswa menjadi termotivasi dalam mempelajarinya. Dari hasil wawancara, guru mengatakan penggunaan media komik dalam pembelajaran dapat meningkatkan aktivitas dan motivasi siswa serta dapat membantu siswa dalam menguasai konsep materi dalam pembelajaran. Selain itu dengan komik ini dapat membangkitkan minat membaca dari siswa, sebagaimana menurut Sudjana dan Rivai[5] “Buku-buku komik dapat dipergunakan 107

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

komik. Komik ini juga tidak terlepas dari beberapa kelemahan antara lain: 1. Kurang efektif bila digunakan di sekolah. 2. Biaya yang mahal sehingga kurang efesien. 3. Siswa dikhawatirkan hanya tertarik pada gambar-gambar dan warna-warna yang digunakan dalam komik.

V. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih penulis sampaikan kepada Kepala SMAN 2 koto baru, dharmasraya, guru kimia serta siswa kelas xi yang telah bersedia sebagai responden dalam penelitian ini REFERENSI [1] Harianti, Deasy. (2008). Metode Jitu Meningkatkan Daya Ingat. Jakarta : PT. Tangga Pustaka. [2] Mulyasa. (2013). Pengembangan dan implementasi kurikulum 2013. Bandung: PT. Remaja [3] Purba, Michaell. 2007. KIMIA untuk SMA Kelas X Semester 1. Jakarta: Penerbit Erlangga. [4] Sadiman dkk. (2006). Media Pendidikan. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada. [5] Sudjana, Nana dan Rivai, Ahmad. (2009). Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algensindo. [6] Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfa Beta.

Oleh sebab itu, peran guru dalam membimbing siswa sangat diperlukan pada pembelajaran yang menggunakan komik ini. Pembuatan media cetak berupa komik dapat membantu proses pembelajaran kimia di sekolah. Penyajian, pernyataan, pertanyaan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, serta semua komponen yang terdapat di dalam komik telah teruji dapat membantu siswa untuk termotivasi untuk membaca, memahami konsep dan materi, khususnya materi kimia dalam kehidupan sehari-hari dan hasil uji kelayakan media komik kimia secara keseluruhan memiliki nilai kelayakan yang layak. IV. KESIMPULAN DAN SARAN a. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian pembuatan media dan hasil analisis data angket siswa, serta saran yang diberikan oleh guru, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran dalam bentuk komik berwarna untuk pembelajaran kimia dalam kehidupan sehari-hari ”layak” digunakan dalam pembelajaran, baik dari segi kualitas isi dan tujuan, kualitas instruksional dan kualitas teknis. b. Saran Berdasarkan simpulan di atas, maka disarankan kepada guru untuk membuat komik kimia pada materi lain karena sangat menarik dan dapat meningkatkan minat dan perhatian siswa dalam mempelajari materi kimia dan sebagai bahan bacaan siswa diwaktu luang.

108

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

KONSTRUKSI BAHAN AJAR KIMIA SMA DENGAN TEMA BATERAI RAMAH LINGKUNGAN DITINJAU PADA ASPEK ANALISIS STRUKTUR KONTEN Eka Yusmaita1, Hernani2, Ahmad Mudzakir2 1

2

Universitas Negeri Padang Universitas Pendidikan Indonesia [email protected] ABSTRACT

Battery as a context was extensively found in daily life and related to voltaic cell topic in high school chemistry. Used-up batteries contained heavy metals and other dangerous substances which would contaminate water, soil, and in the end it would endanger human body. Even though the effect in human body could only be detected after a long time exposure, students should have the knowledge for prevention. One way to introduce this knowledge to students was to integrate it into teaching materials through green chemistry. Green chemistry was considered as a new paradigm in education which gave a futuristic alternative solution for environmental pollution. This study aimed to analyze the construction of teaching materials which are relevant to daily life using the theme of green batteries especially Li-ion battery in voltaic cell topic. The design used was the Model of Educational Reconstruction as a framework. This model consisted of three components, which are: analysis of content structure, empirical investigations, and construction of instruction. The discussion in this study was focused on the analysis of content structure which required three stages, they are: analysis of literature, clarification of basic text, and modification of the text. Validation through expert judgments was conducted for indicators and learning objectives of cognitive and affective domains based on PISA 2009. Keywords: Green battery , Green chemistry education, Teaching material , Voltaic cell menjaga lingkungan merupakan hal yang penting setelah munculnya dampak/resiko. Paradigma ini harus segera dirubah. Sebagai generasi penerus bangsa kita harus mampu memberikan solusi yang cerdas sebelum resiko itu muncul. Salah satu caranya adalah melakukan suatu tindakan preventif dengan meminimalisir resiko yang akan terjadi ke depannya melalui green chemistry. Pada umumnya, penerapan konsep green chemistry biasanya diterapkan di laboratorium,Meski pun demikian pengintegrasiannya tidak harus terfokus pada laboratorium (Klingshirn, 2009). Cann (2009) dalam penelitiannya memberikan rekomendasi kepada para pendidik untuk mengintegrasikan konsep green chemistry di dalam bahan ajar. Secara selintas tampaknya penyediaan bahan ajar merupakan proses yang mudah dan sederhana, akan tetapi untuk menciptakan bahan ajar yang bermakna tidaklah semudah itu. Penyusunan bahan ajar membutuhkan proses penyeleksian dari berbagai sumber yang terpercaya dan perlu di review oleh pakar. Meskipun beberapa materi ajar yang berhubungan dengan green chemistry telah

1. PENDAHULUAN Konteks baterai banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Baterai yang telah digunakan merupakan limbah yang berbahaya karena mengandung logam berat serta zat berbahaya lainnya. Meskipun dampak yang ditimbulkan oleh limbah ini bersifat jangka panjang, namun pengetahuan tentang hal ini perlu dimiliki oleh siswa. Salah satu solusinya adalah menyajikan pengetahuan tersebut ke dalam bahan ajar. Pada tataran dunia pendidikan, dikenal istilah green chemistry education sebagai paradigma baru terhadap lingkungan yang memberikan solusi alternatif masa depan terkait limbah. Berdasarkan kongres IUPAC (Tundo, 2001) Green chemistry pada konteks saintifik adalah penerapan sejumlah kaidah fundamental kimia untuk mengurangi pemakaian atau memproduksi bahan kimia yang berbahaya. Green Chemistry bertujuan untuk mencegah atau mengurangi bahaya polusi pada segala lini atau jalur timbulnya polusi tersebut. Pada area pendidikan, green chemistry muncul sebagai solusi dalam menjawab kebutuhan ini (Cann, 2009) Masyarakat baru menyadari bahwa 109

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

tersedia, namun sebagian besar materi ajar ini belum diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Untuk itu perlu pemikiran dan penelitian yang serius dan mendalam tentang penyusunan bahan ajar ini agar dapat memenuhi kriteria accessible bagi siswa. Pada umumnya, bahan ajar yang berkembang di Indonesia cenderung menempatkan konten terlebih dahulu dan diakhiri dengan aplikasi dari konten tersebut. Hal ini tidak sejalan dengan pendapat Holbrook (2005) yang menyatakan bahwa sains harus relevan dengan proses dan produk sehari-hari. Oleh karena itu penempatan konten dan konteks disingkronisasikan secara terpadu. Tujuan singkronisasi ini adalah untuk mengembangkan kreatifitas siswa, siswa mampu untuk memecahkan masalah dan membuat keputusan yang dapat meningkatkan mutu kehidupan (Holbrook. 2005) Konsep Green chemistry menyediakan peluang untuk mendidik generasi ke depan menuju sustainable society (Klingshirn, et al. 2009). Green chemistry berperan penting dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Brundtland dalam (Holbrook, 2009) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa meragukan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep pembangunan berkelanjutan memberikan himbauan bahwa pembangunan akan memungkinkan generasi sekarang meningkatkan kesejahteraan, tanpa mengurangi hak generasi masa depan untuk meningkatkan kesejahteraannya. ICASE (International Council of Association for Science Education) mengemukakan bahwa literasi sains dan teknologi erat kaitannya dengan isu pembangunan berkelanjutan (Holbrook, 2009). Terkait dengan kemampuan literasi sains peserta didik, studi penilaian yang dilakukan oleh PISA (Programme for International Student Assessment) mengungkapkan bahwa pembelajaran sains di Indonesia kurang berhasil meningkatkan kemampuan literasi sains peserta didik. Kekecewaan terhadap hasil monitoring PISA tersebut tidak bisa didiamkan begitu saja, perlu adanya suatu gagasan yang mendasar dan relevan. Rendahnya hasil PISA peserta didik Indonesia dan masalah lingkungan yang sering terjadi, merupakan tantangan masa depan dan menjadi alasan mengapa perlu adanya pembaharuan pada pengembangan kurikulum

(Kemendikbud, 2012). Pembaharuan ini dihubungkan dengan perancangan bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan digambarkan secara skematis tahap demi tahapnya ditinjau dari aspek konten. Salah satu materi kimia yang memiliki potensi untuk dikembangkan melalui bahan ajar berbasis green chemistry education adalah konsep elektrokimia. Berdasarkan uraian tersebut maka tujuan penelitian ini adalah memperoleh bahan ajar yang dapat digunakan untuk mencapai literasi sains siswa SMA. Bagaimana proses konstruksi bahan ajar kimia SMA dengan tema baterai ramah lingkungan jika ditinjau dari aspek analisis struktur konten akan di jabarkan pada makalah ini.

2. METODE Desain penelitian ini menggunakan Model of Educational Reconstruction (MER). Model ini dikembangkan oleh Reinders Duit, Harald Gropengiesser, Ulrich Kattman dan Michael Komorek sejak tahun 1995 sampai sekarang. MER merupakan suatu kerangka penelitian yang didesain untuk mengembangkan perencanaan pembelajaran dan penelitian pendidikan sains. Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar validasi pakar untuk menentukan kelayakan materi bahan ajar. Validator yang terlibat adalah sebanyak 7 orang panelis yang terdiri dari dosen dan guru kimia SMA. Lembar validasi dalam penelitian ini meliputi: 1. Lembar validasi indikator dan tujuan pembelajaran aspek kognitif melalui telaah konteks, konten, dan kompetensi. 2. Lembar validasi indikator dan tujuan pembelajaran aspek sikap sains terhadap sains melalui telaah konteks, konten, dan sikap. 3. Lembar validasi rancangan bahan ajar sel volta berbasis green chemistry. Proses validasi dilakukan dengan cara menghadirkan beberapa pakar yang sudah berpengalaman untuk menilai rancangan bahan ajar tersebut. Setiap pakar diminta untuk menilai kelayakan bahan ajar, sehingga selanjutnya dapat diketahui kelemahan dan kekuatan (Sugiyono. 2012: 302). Kemudian, timbangan para pakar dihitung dengan indeks CVR (Content validity Ratio). CVR merupakan indeks untuk menyatakan keshahihan berdasarkan validasi isi 110

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

secara kuantitatif. Validasi isi berkenaan dengan kevalidan suatu alat ukur dipandang dari segi isi (content) materi pelajaran yang melibatkan para panelis untuk menilai. Adapun rumus CVR adalah : CVR = ne N



sesederhana mungkin agar dapat diterima oleh siswa dan juga memperkayanya dengan meletakkan konteks yang membuat siswa mengerti dan menambah rasa ingin tahu. Klarifikasi materi subjek merupakan analisis konten secara kualitatif melalui beberapa buku teks. Pada penelitian ini ada empat buku teks yang dijadikan acuan dalam melakukan analisis konten secara kualitatif. Adapun keempat buku yang digunakan tersebut adalah : Chemistry The Central Science; Chemistry, Fourth Edition; Chemical Ideas; Chemistry A-Level, Fourth. Analisis struktur konten selanjutnya meliputi tahapan analisis standar isi mata pelajaran kimia SMA, telaah dimensi literasi sains, dan telaah kepustakaan green chemistry. Struktur konten sains berupa teks asli dari keempat buku teks yang telah ditetapkan, di pindahkan ke dalam struktur konten untuk pengajaran melalui tahap elementarisasi dan konstruksi. Pada tahapan ini dikenal istilah proses reduksi. Reduksi disini dapat diartikan sebagai pengurangan tingkat kesulitan bahan ajar, sebab pada proses ini bahan ajar direduksi secara didaktis, dengan pertimbangan aspek psikologis dan keilmuan agar bahan ajar yang telah mengalami reduksi ini dapat dipahami oleh para pembelajar (siswa) dengan mudah. Bahan ajar kimia mempunyai bentuk penyajian yang khas, sehingga memerlukan suatu tindakan khusus sebelum proses reduksi, yaitu karakterisasi. Selanjutnya dilakukan suatu proses berupa penghalusan teks yang terdiri dari tindakan penyisipan dan penghapusan kata atau frasa, yang dikenal dengan analisis wacana. Validasi produk dapat dilakukan dengan cara menghadirkan beberapa pakar yang sudah berpengalaman, tujuannya adalah untuk menilai rancangan bahan ajar. Setiap pakar diminta untuk menilai dan memberi pertimbangan terhadap rancangan tersebut, Kemudian timbangan dari para pakar dihitung dengan menggunakan Content Validity Ratio (CVR). Para pakar yang memvalidasi instrumen, terdiri atas dua sesi. Sesi pertama merupakan penilaian terhadap kesesuaian indikator dan tujuan pembelajaran pada aspek kognitif dan sikap berdasarkan SK, KD, konten, konteks dan kompetensi PISA 2009. Sedangkan sesi kedua merupakan penilaian terhadap rancangan bahan ajar sel volta setelah konten dan konteks digabungkan.

(lawshe.1975: 576)

Keterangan : :banyaknya pakar yang sepakat :banyaknya pakar yang memvalidasi

Setelah mengidentifikasi sub pertanyaan pada lembar validasi dengan menggunakan CVR, kemudian dihitunglah CVI (Content Validity index). Secara sederhana CVI merupakan ratarata dari nilai CVR untuk sub pertanyaan yang dijawab “ya”. Perolehan CVI diperoleh dengan menggunakan rumus : CVI = (Alahyari.2011:10)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Komponen pertama MER adalah klarifikasi struktur konten. Ada dua proses pada klarifikasi struktur konten yang saling berhubungan, yaitu klarifikasi materi subjek dan analisis signifikansi pendidikan (gambar 1). Komponen analisis struktur konten menyangkut proses analisis mengubah pengetahuan manusia (kebudayaan) seperti pengetahuan bidang spesifik menjadi pengetahuan untuk sekolah yang melibatkan literasi sains pada siswa.

Gambar 1. Langkah-langkah menuju struktur konten untuk pembelajaran. Pada komponen ini, struktur konten pada bidang tertentu diubah menjadi struktur konten untuk pembelajaran. Kedua struktur secara substansi berbeda. Struktur konten sains untuk topik tertentu mungkin secara tidak langsung diganti menjadi struktur konten untuk pembelajaran. Konten tersebut dibuat 111

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Hasil penilaian pakar terhadap perumusan indikator dan tujuan pembelajaran kemudian dihitung dengan menggunakan CVR. Nilai CVRhitung dibandingkan dengan nilai CVRtabel. Nilai CVRtabel untuk 7 orang panelis pada taraf signifikansi 0,05 one tailed test, yaitu 0,62. Jika perolehan CVR hitung > CVR tabel maka item tersebut dapat diterima. Perolehan nilai CVR rata-rata dari 7 indikator dan 12 tujuan pembelajaran untuk aspek kognitif adalah 0,81. Perumusan indikator dan tujuan pembelajaran pada aspek sikap diperoleh 3 indikator dan 3 tujuan pembelajaran. Nilai CVR yang diperoleh untuk masing-masing indikator dan tujuan pembelajaran tersebut adalah 1. Perbandingan nilai CVRhitung dengan nilai CVRtabel adalah 1 : 0,62. Hal ini menyatakan bahwa perumusan indikator dan tujuan pembelajaran pada aspek kognitif dan sikap adalah diterima karena perolehan nilai CVRhitung lebih tinggi dibandingkan nilai CVRtabel.

6. DAFTAR PUSTAKA Allahyari, T., Rangi, N.H., Khosravi, Y., and Zayeri, F. (2011). Development and Evaluating of A New Questionnaire for Rating of Cognitive Failures at Work. IJOH.3:6-11. Arikunto, S. (2008). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Cann, M. (2009). “Greening the Chemistry Lecturer Curriculum: Now is the time to infuse Existing Mainstream Textbooks with Green Chemistry”. Journal of American Chemical Society. 93-100. Duit, R. (1995). A Model of Educational Reconstruction. San Fransisco : Paper of Research in Sains Teaching (NARST). Duit, R. (2007). Science educational research internationally: Conception, Research method, Domain research. Eurasia jurnal of mathematics. ISSN:1305-8223. Duit, R., Gropengierber, H., Kattmann, U., Komorek, M., Parchmann, I. (2012). The Model of Eductional Reconstruction - A Framework for Improving Teaching and Learning Science. Science Research and Practice in Europe. ISBN :978-94-6091900-8. Hayat, B dan Yusuf, S.(2010). Mutu Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Holbrook, J. (2009). “Meeting Challenges to Sustainable Development through Science and Technologi Education”. Journal of science education international. 20, (1), 44-59. Klingshirn, M, et al. (2009). “Integrating Green Chemistry into the Introductory Chemistry Curriculum”. Journal of American Chemical Society. 79-91 Lawshe. (1975). A Quantitative Approach to Content Validity. Journal Personnel Psycology. 28, 563-575. OECD (2009). PISA 2009 Assessment Framework Key competencies in reading, mathematics and science. [online]. Tersedia:http:// www.oecd.org/dataoecd/11/40/44455820 .pdf [10 September 2012]. Tundo (2001). Green Chemitry Education. Poster presented at the IUPAC congress/General Assembly.

4. PENUTUP Proses mengkonstruksi bahan ajar kimia SMA dengan tema baterai ramah lingkungan ditinjau dari aspek analisis struktur konten melalui beberapa tahap yang diadopsi dari Model of Educational Reconstruction. Secara garis besar tahapan tersebut dibagi atas tiga sub bagian berupa: analisis literatur, klarifikasi teks asli dan modifikasi teks. Validasi produk dilakukan dengan cara menghadirkan beberapa pakar yang sudah berpengalaman. Hasil penilaian pakar terhadap perumusan indikator dan tujuan pembelajaran kemudian dihitung dengan menggunakan CVR. Nilai CVRhitung dibandingkan dengan nilai CVRtabel. Perolehan nilai CVR rata-rata dari 7 indikator dan 12 tujuan pembelajaran untuk aspek kognitif adalah 0,81.

5. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Reinders Duit sebagai pencetus ide MER, yang telah mengirimkan beberapa jurnal penelitian ilmiahnya kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis berikan kepada beberapa dosen kimia FMIPA UPI dan guru kimia kota bandung yang telah bersedia menjadi validator ahli dalam penelitian ini.

112

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TAI (TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATION) DENGAN METODE DEMONSTRASI UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR KIMIA SISWA KELAS XI IPA DI SMA NEGERI 9 KOTA BENGKULU (CLASSROOM ACTION RESEARCH) Elvinawati, Retno Astuty Wulandari dan Sumpono Program Studi Pendidikan Kimia, Jurusan Pendidikan MIPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu Jalan Raya Kandang Limun Bengkulu Email : [email protected] ABSTRACT This research is a classroom action research which aims to improve the quality of learning in the chemistry class XI science of SMAN 9 Bengkulu city through the implementation of cooperative learning model type TAI (Team Assisted Individualization) and demonstration method on the topic of solubility and solubility product. The research was conducted in three cycles, where each cycle consists of four phases that are planning, action, observation and reflection. The data was collected by a test technique using post-test and non-test techniques using student activity and teacher activity observation sheets as well as observation psychomotor and affective domain of students. The results showed that from the cycle I to cycle III the students activity in the cycle I has a sufficient criteria, and achieve good criteria in the cycle II and cycle III with scores of 23, 27.66 and 32.66 respectively while, teacher activity was on a good criteria with scores of 31.33, 36 and 42.66 respectively. For learning outcomes in the cognitive aspects of cycle I and II have not reached mastery learning, but in the cycle III has achieved mastery learning classically. In affective and psychomotor aspects, it was known that number of students who achieve a good criterion of cycle I to cycle III has increased It can be concluded that learning chemistry using cooperative learning TAI type and Demonstration methods can improve the quality of learning in both learning activities and student achievement. Keywords: Demonstration, Student Achievement, Student Activities, Team Assisted Individualization Berdasarkan observasi awal yang dilakukan di SMA Negeri 9 Kota Bengkulu khususnya kelas XI IPA diketahui bahwa sebagian konsep pelajaran kimia dapat dengan mudah dipahami siswa. Akan tetapi banyak juga konsep-konsep yang sulit dipahami siswa misalnya materi yang menyangkut partikel mikro serta materi yang banyak melibatkan hitungan. Karena sulit memahami akibatnya siswa kurang bersemangat serta kurang berminat untuk memperhatikan. Hal ini juga dikarenakan siswa kurang dilibatkan keaktifannya dimana pembelajaran cenderung berpusat kepada guru. Hanya siswa yang berkemampuan tinggi yang aktif selama proses belajar mengajar, sedangkan siswa lain hanya bersifat sebagai penerima dan pendengar. Penyebab lain adalah kurangnya variasi metode ataupun model pembelajaran yang diterapkan guru saat menyampaikan materi kepada siswa. Pelaksanaan pembelajaran perlu diperbaiki dimana siswa tidak boleh lagi dianggap sebagai objek semata, tetapi harus diberikan peran aktif

1. PENDAHULUAN Kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan yang paling pokok dalam keseluruhan proses pendidikan. Peningkatan kualitas pembelajaran merupakan salah satu cara utama yang dapat ditempuh untuk meningkatkan mutu pendidikan. Keberhasilan suatu proses belajar mengajar tidak terlepas dari bagaimana seorang guru dapat menyampaikan konsep-konsep materi pelajaran kepada siswa dengan baik dan benar, sehingga siswa mampu menyerap dan memahami konsep-konsep yang telah diajarkan oleh guru tersebut, serta tujuan pembelajaran yang diinginkan dapat tercapai dengan maksimal (Slameto, 2010). Guru dituntut untuk membantu perkembangan siswa dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotor serta bukan semata-mata memberikan sejumlah ilmu pengetahuan, tetapi juga harus menciptakan kondisi yang kondusif agar siswa dapat tetap belajar (Djamarah, 2002). 113

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

serta dijadikan mitra dalam proses pembelajaran. Sehingga siswa bertindak sebagai pembelajar yang aktif sedangkan guru sebagai fasilitator dan mediator yang kreatif. Metode ceramah perlu dikombinasikan dengan model lain agar dapat menghidupkan semangat dan tidak membosankan bagi siswa. Dari wawancara dengan guru kimia di SMAN 9 Kota Bengkulu juga diperoleh informasi bahwa nilai rata-rata ujian blok mata pelajaran kimia masih banyak yang belum mencapai KKM diantaranya pada konsep hidrolisis, kelarutan dan hasil kali kelarutan serta koloid. Untuk mengatasi permasalahan yang ada maka perlu dilakukan perbaikan terhadap sistem pembelajaran untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa di kelas XI IPA SMAN 9 Kota Bengkulu. Ada berbagai model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah yang terjadi, salah satunya dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif (Ibrahim, 2010). Menurut Trianto (2011) “Pembelajaran kooperatif muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya”. Menurut Wena (2009) “Pembelajaran kooperatif adalah sistem pembelajaran yang berusaha memanfaatkan teman sejawat sebagai sumber belajar, di samping guru dan sumber belajar lainnya”. Sedangkan Suyatno (2009) menyatakan bahwa: “Model pembelajaran kooperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksi konsep, menyelesaikan persoalan atau inkuiri”. Model pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang didalamnya terdapat elemen– elemen yang saling terkait. Ada berbagai elemen yang merupakan ketentuan pokok dalam pembelajaran kooperatif yaitu: 1). saling ketergantungan positif (positive interdependence), 2). interaksi tatap muka (face to face interaction), 3). akuntabilitas individual (individual accountability), dan 4). keterampilan untuk menjalin hubungan antarpribadi atau keterampilan sosial yang secara sengaja diajarkan (use of collarative/ social skill) (Wena, 2009). Menurut Suyatno (2009) Model pembelajaran kooperatif tipe TAI (Team Assisted Individualization) merupakan salah satu alternatif model yang dapat diterapkan oleh

guru dalam proses belajar dengan kombinasi pembelajaran kumpulan dengan pembelajaran individu. Tipe ini dirancang untuk mengatasi kesulitan belajar siswa secara individual. Oleh karena itu, kegiatan pembelajarannya lebih banyak digunakan untuk pemecahan masalah. Ciri khas pada tipe TAI adalah setiap siswa secara individual belajar materi pembelajaran yang sudah dipersiapkan oleh guru. Hasil belajar individual dibawa ke kelompokkelompok untuk didiskusikan dan saling dibahas oleh anggota kelompok, dan semua anggota kelompok bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab bersama. Dalam model ini, diterapkan bimbingan antar teman yaitu siswa yang pandai bertanggung jawab terhadap siswa yang lemah dalam berpikir. Disamping itu, dapat meningkatkan partisipasi siswa dalam kelompok kecil. Siswa yang pandai dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilannya, sedangkan siswa yang lemah dapat terbantu menyelesailkan permasalahan yang dihadapi. Menurut Slavin (1995) ada beberapa alasan perlunya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI untuk dikembangkan, diantaranya adalah sebagai variasi model pembelajaran agar hasil belajar dapat tercapai. Selain itu dalam model pembelajaran ini tidak ada persaingan antar siswa karena siswa saling bekerja sama untuk menyelesaikan masalah dalam mengatasi cara berfikir yang berbeda sehingga siswa dapat termotivasi untuk belajar cepat dan akurat pada seluruh materi serta guru setidaknya akan lebih mudah dalam pemberian bantuan secara individu. Pada model pembelajaran kooperatif tipe TAI, siswa belajar dengan bantuan tugas yang diberikan secara berkelompok, berdiskusi untuk menemukan dan memahami konsep-konsep, dan sesama anggota kelompok berbagi tanggung jawab. Hasil belajar kelompok dibandingkan dengan kelompok lain. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TAI lebih menekankan pada penghargaan kelompok, pertanggungjawaban individu, dan memperoleh kesempatan yang sama untuk berbagi hasil setiap anggota kelompok (Slavin, 1995). Menurut Suyatno (2009) langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe TAI adalah sebagai berikut: 1). menyiapkan bahan ajar, 2). membentuk kelompok kecil yang heterogen, 3). memberikan pre test, 4). setiap pertemuan guru memberikan materi secara singkat, kelompok 114

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

mengerjakan soal yang terdapat dalam lembar diskusi, guru memberikan bantuan secara individu bagi yang memerlukan, ketua kelompok bertanggung terhadap keberhasilan setiap anggota kelompok, dan guru memberikan penekanan materi yang bersangkutan kembali, dan 5). memberikan post test diakhir pembelajaran Adapun kelebihan dari pembelajaran kooperatif tipe TAI menurut Lie (2004) yaitu: 1). siswa yang lemah dapat terbantu dalam menyelesaikan masalah, 2). siswa diajarkan bagaimana bekerjasama dalam suatu kelompok, 3). siswa yang pandai dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilannya, 4). adanya rasa tanggung jawab dalam kelompok dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan kelemahan model pembelajaran TAI yaitu sebagai berikut: 1). siswa yang kurang pandai secara tidak langsung akan bergantung pada siswa yang pandai, 2). tidak ada persaingan antar kelompok. Menurut Roestiyah (2008) metode demonstrasi adalah cara mengajar dimana seorang instruktur atau tim guru menunjukkan, memperlihatkan sesuatu proses sehingga seluruh siswa dalam kelas dapat melihat, mengamati, mendengar mungkin meraba dan merasakan proses yang dipertunjukkan oleh guru tersebut. Dengan demonstrasi, proses penerimaan siswa terhadap pelajaran akan lebih berkesan secara mendalam, sehingga membentuk pengertian dengan baik dan sempurna. Menurut Gulo (2002) metode demonstrasi merupakan metode mengajar yang cukup efektif, sebab membantu para siswa untuk memperoleh jawaban dengan mengamati suatu proses atau peristiwa tertentu. Demonstrasi digunakan untuk mengkomunikasikan ide. Biasanya dilakukan untuk memperkenalkan suatu konsep baru kepada siswa untuk memancing pemahaman, pengetahuan awal atau diskusi. Dewasa ini demonstrasi digunakan untuk mengevaluasi pemahaman konsep dan keterampilan berfikir kritis. Demonstrasi terstuktur meliputi langkahlangkah berikut: 1). memberikan awalan berupa perkenalan alat, bahan dan tujuan, 2). mengajukan pertanyaan pada siswa tentang apa yang terjadi dan mereka amati, 3). memberi waktu pada siswa untuk menjelaskan jawaban mereka secara tertulis, 4). mengumpulkan jawaban siswa, dan 5). melanjutkan demonstrasi selanjutnya.

2. METODE 2.1 Jenis, Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yaitu penelitian yang dilakukan pada sebuah kelas untuk mengetahui akibat tindakan yang diterapkan pada suatu subyek penelitian di kelas tersebut (Trianto, 2011). Subjek penelitian adalah siswa kelas XI IPA SMAN 9 Kota Bengkulu tahun ajaran 2012/2013 yang berjumlah 29 orang. 2.2 Prosedur Penelitian Penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam tiga siklus, dimana tiap siklus terdiri dari empat tahap, yaitu Perencanaan. Kegiatan yang dilakukan adalah: 1). Merancang RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), 2). mempersiapkan materi pembelajaran, 3). membuat LKS (Lembar Kerja Siswa), 4). menyiapkan alat dan bahan yang digunakan, 5). membuat lembar observasi aktivitas guru dan siswa, serta lembar observasi ranah psikomotorik dan lembar observasi ranah afektif, 6). membuat alat evaluasi Pelaksanaan Tindakan. Kegiatan yang dilakukan adalah melaksanakan kegiatan belajar mengajar berdasarkan RPP yang dirancang Observasi. Observasi dilakukan oleh pengamat terhadap pelaksanaan tindakan dengan menggunakan lembar observasi. Refleksi. Refleksi dilakukan berdasarkan hasil analisis data yang didapat, untuk melihat kekurangan-kekurangan yang ada, mengidentifikasi hal-hal yang sudah dan belum tercapai, mengapa terjadi demikian dan langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk perbaikan pada siklus berikutnya. 2.3 Intrumen Penelitian Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah tes dan non tes. Tes yang dilakukan berupa tes akhir pada tiap siklus. Instrumen non tes terdiri dari lembar observasi aktivitas guru dan siswa serta lembar observasi ranah psikomotor dan ranah afektif siswa.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa data hasil observasi terhadap aktivitas belajar mengajar serta data hasil belajar. Hasil observasi aktivitas siswa dan guru dapat dilihat 115

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

pada tabel 1. Hasil belajar siswa pada ranah kognitif, psikomotor dan ranah afektif dapat dilihat berturut-turut pada tabel 2, tabel 3 dan tabel 4. Tabel 1. Hasil observasi aktivitas siswa dan guru Siklus I Siklus II Siklus III Skor Krite- Skor Krite- Skor Kri Objek rata- ria rata- ria rata- teri rata rata rata a Siswa 23 Cu- 27, 66 Baik 32,6 Bai kup 6 k Guru 31,33 Baik 36 Baik 42,6 Bai 6 k Tabel 2. Hasil belajar siswa ranah kognitif Komponen Hasil analisis Siklus I Siklus Siklus II III Jumlah siswa 29 29 29 Jumlah siswa ikut 29 29 29 tes Jumlah siswa 17 23 25 tuntas Nilai tertinggi 97 100 100 Nilai terendah 43 56 68 Rata-rata nilai 67,72 81,82 85,06 siswa Daya serap 67,72% 81,82% 85,06% klasikal Ketuntasan belajar 58,62% 79,31% 86,20% klasikal Keterangan Belum Belum Tuntas tuntas tuntas

Jumlah siswa mengikuti pembelajaran Jumlah siswa tuntas (mencapai kriteria baik) Ketuntasan belajar klasikal Keterangan

29

29

29

16

21

25

55,17% 72,41% 86,20% Belum tuntas

Belum tuntas

Tuntas

Aktivitas belajar adalah berbagai aktivitas yang diberikan pada pembelajaran dalam situasi belajar mengajar (Sudjana, 2006). Aktivitas merupakan suatu bentuk partisipasi siswa dalam proses belajar mengajar yang dapat dilihat dari bentuk interaksi siswa dengan guru dan interaksi siswa dengan siswa. Berdasarkan data hasil observasi yang diperoleh dapat dinyatakan bahwa aktivitas siswa dan guru dalam pembelajaran tentang kelarutan dan hasil kali kelarutan dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TAI dan metode demonstrasi di kelas XI IPA SMAN 9 Kota Bengkulu mengalami peningkatan pada tiap siklusnya. Pada siklus I, ketika dibentuk kelompok diskusi beberapa siswa masih belum bisa bekerja sama sesuai tahap TAI dimana siswa yang berkemampuan tinggi masih sibuk menjawab soal yang diberikan secara individual. Belum ada pembagian tugas sesuai arahan yang diberikan guru, sehingga siswa yang berkemampuan rendah masih bersifat sebagai penerima. Guru kurang membimbing siswa dengan baik dan memandu siswa dalam melaksanakan tahaptahap pembelajaran kooperatif tipe TAI. Berdasarkan refleksi siklus I, maka dilakukan perbaikan-perbaikan pada siklus II. Individualization yaitu saling membagi tugas, mengoreksi jawaban dan membantu teman yang kurang memahami materi serta yang berkemampuan rendah. Pada pelaksanaan siklus II saat diskusi kelompok masih ada siswa yang kurang aktif bertanya kepada temannya dimana letak kesulitannya dalam menjawab soal. Sehingga pada siklus II ini siswa diberi arahan untuk lebih terbuka kepada sesama serta agar menjawab soal yang mudah dulu bagi siswa yang berkemampuan rendah. Disamping itu guru juga memberikan motivasi dan arahan betapa pentingnya untuk bekerja sama agar tugas menjadi ringan dan dapat selesai tepat pada waktunya.

Tabel 3. Hasil belajar siswa ranah afektif Komponen Hasil analisis Siklus I Siklus Siklus II III Jumlah siswa 29 29 29 Jumlah siswa 29 29 29 mengikuti pembelajaran Jumlah siswa 15 22 26 tuntas (mencapai kriteria baik) Ketuntasan belajar 51,72% 75,86% 89,65% klasikal Keterangan Belum Belum Tuntas tuntas tuntas Tabel 4. Hasil belajar siswa ranah psikomotor Komponen Hasil analisis Siklus I Siklus Siklus II III Jumlah siswa 29 29 29 116

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Guru sudah baik dalam membimbing siswa dan interaksi antar anggota kelompok sudah baik dan antusias dalam menyelesaikan soal-soal. Siswa yang berkemampuan tinggi sudah perduli dan merasa bertanggung jawab untuk membantu temannya. Sehingga siswa yang punya kemampuan rendah lebih bersemangat dalam belajar. Hasilnya sangat terlihat pada sebagian siswa yang biasanya malas dan tidak memperhatikan ketika belajar. Dimana dengan penerapan model pembelajaran ini mereka ada keinginan untuk belajar dan mereka dapat menjawab soal hitungan, yang selama ini mereka anggap sulit. Mereka mulai mengerti bahwa kesulitan tersebut didasari dari ketidak mauan mereka untuk memperhatikan serta malu bertanya kepada guru atau teman tentang kesulitan-kesulitan yang mereka rasakan. Di samping itu siswa juga semakin aktif dalam mengeluarkan pendapat maupun memberi tanggapan terhadap hasil presentasi kelompok lain. Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TAI dan metode demonstrasi pada pembelajaran tentang kelarutan dan hasil kali kelarutan dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa. Peningkatan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran mempengaruhi hasil belajar yang mereka peroleh. Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Menurut Sudjana (2006), hasil belajar adalah suatu hasil usaha secara maksimal bagi seseorang dalam menguasai bahan-bahan yang dipelajari dalam domain kognitif, apektif, dan psikomotorik. Anak yang berhasil dalam belajar ialah yang berhasil mencapai tujuan pembelajaran atau tujuan instruksional. Secara umum hasil belajar siswa mengalami peningkatan setiap siklus. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya siswa dapat lebih memahami konsep yang diberikan dengan adanya demonstrasi yang dilakukan guru. Dalam menyelesaikan tugas kelompok setiap siswa bekerja sama dan saling membantu dalam memahami materi melalui diskusi. Dalam memecahkan masalah siswa juga dibimbing oleh guru baik secara individu maupun kelompok. Jadi model pembelajaran kooperatif tipe TAI dapat membantu meningkatkan aktivitas serta menumbuhkan kerja sama yang baik antar

siswa dalam menghadapi suatu permasalahan. Adanya penerapan metode demonstrasi juga membantu siswa meningkatkan pemahaman materi, sehingga tercapai hasil belajar yang lebih baik. Selain meningkatkan hasil belajar siswa pada ranah kognitif, proses pembelajaran melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TAI dan metode demonstrasi juga dapat mempengaruhi ranah afektif dan psikomotor siswa. Hasil belajar siswa pada ranah afektif dan psikomotor dilihat selama proses pembelajaran berlangsung menggunakan lembar observasi. Untuk ranah afektif dilakukan pengamatan terhadap pemunculan karakter dan keterampilan sosial siswa selama proses pembelajaran. Sedangkan pada ranah psikomotor yang diamati selama proses pembelajaran adalah keterampilan siswa dalam berkomunikasi saat berdiskusi serta keterampilan membangun manajemen kelompok. Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan hasil belajar siswa baik pada ranah afektif maupun psikomotor pada tiap siklus.

4. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI) dan metode demonstrasi dapat meningkatkan aktivitas maupun hasil belajar kimia siswa kelas XI IPA SMAN 9 Kota Bengkulu pada pokok bahasan kelarutan dan hasil kelarutan.

5. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengaturkan terima kasih banyak kepada pihak SMAN 9 Kota Bengkulu khususnya Kepala Sekolah dan Guru Bidang Studi Kimia yang telah bersedia membantu dan bekerja sama sehingga kegiatan penelitian ini dapat dilaksanakan dan diselesaikan dengan baik.

6. DAFTAR PUSTAKA Djamarah, (1995), Rahasia Sukses Belajar, Rineka Cipta, Jakarta. Gulo, W, (2002), Strategi Belajar Mengajar, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Ibrahim, R, (2010), Perencanaan Pengajaran, Rineka Cipta, Jakarta. 117

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Lie,

A, (2004), Cooperatif Learning Mempraktikkan Cooperatif Learning di ruang-ruang Kelas, Grasindo, Jakarta. Roestiyah, (2008), Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta, Jakarta. Slameto, (2010), Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi, Rineka Cipta, Jakarta. Slavin, R. E, (1995), Cooperative Learning, Nusa Media, Bandung.

Sudjana, (2006), Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Remaja Rosda Karya, Bandung. Suyatno, (2009), Menjelajah Pembelajaran Inovatif, Masmedia Buana Pustaka, Surabaya. Trianto, (2011), Penelitian Tindakan Kelas, Prestasi Pustaka, Surabaya. Wena, M, (2009), Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer, PT. Bumi Aksara, Jakarta.

118

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

PENGEMBANGAN MULTIMEDIA PEMBELAJARAN DAN LKS UNTUK MATERI LAJU REAKSI DI KELAS XI IPA SMA Fauzana Gazali*, Hardeli**, Latisma Dj** Jurusan Kimia FMIPA UNP Universitas Negeri Padang Jl. Prof. Dr. Hamka Air Tawar Padang 2513 Email: [email protected] ABSTRAK Materi laju reaksi sebagai salah satu materi pokok dalam mata pelajaran kimia harus dipahami siswa dalam 3 level representasi yaitu representasi makroskopis, mikroskopis dan simbolik. Pemahaman level makroskopis biasanya dilakukan melalui kegiatan praktikum atau demonstrasi. Sedangkan untuk pemahaman level mikroskopik dapat dilakukan melalui pemanfaatan media pembelajaran Pada penelitian ini, materi laju reaksi dikembangkan dalam bentuk multimedia dan LKS yang dapat digunakan untuk mengajarkan konsep laju melalui 3 level reprentasi dengan bantuan teknologi komputer. Tujuan pengembangan adalah menghasilkan multimedia dan LKS yang valid, praktis, dan efektif untuk digunakan dalam pembelajaran. Pengembangan dilakukan dengan mengadaptasi model pengembangan prosedural tipe 4D. Pengembangan diawali dengan analisis materi dan siswa, kemudian dilanjutkan dengan perancangan produk. Setelah selesai dirancang, produk melalui tahapan pengembangan berupa validasi dan revisi dari ahli untuk mendapatkan media yang valid untuk dilakukan uji coba. Multimedia dan LKS yang valid selanjutnya diuji coba untuk mengetahui kepraktisan dan keefektifannya di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa multimedia dan LKS yang dibuat sudah valid dan praktis digunakan dalam proses pembelajaran di kelas. Berdasarkan perhitungan momen kappa, diperoleh harga k yang termasuk kategori kevalidan dan kepraktisan yang tinggi. Uji efektifitas produk dilihat dari pemahaman siswa dengan nilai rata-rata tes hasil belajar siswa sebesar 82,65. Nilai ini sudah jauh diatas KKM bidang studi kimia di SMA uji coba yaitu 75. Dengan demikian perangkat pembelajaran yang dihasilkan efektif digunakan dalam proses pembelajaran. Keywords: efektivitas media, Laju Reaksi, LKS, multimedia Pembelajaran, praktikalitas, dan validitas salah satu dari ketiga level representasi di atas, maka kimia akan menjadi bidang studi yang sulit dipahami siswa secara utuh. Siswa cendrung untuk menghafal konsep ilmu yang diberikan tanpa memahaminya dan informasi yang diperoleh tersimpan dalam short term memory mereka, sehingga jika sewaktu-waktu informasi diperlukan kembali, maka mereka tidak akan ingat lagi tentang apa yang sudah mereka pelajari tersebut. Namun, dalam pembelajaran disekolah saat ini, penyampaian konsep ilmu kimia melalui 3 level representasi ini masih jarang dilakukan. Guru sering mengajar menggunakan metode ceramah dan tanya jawab sehingga pembelajaran lebih terpusat pada guru (teacher centered). Di samping itu, kegiatan praktikum untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi seperti tuntutan kurikulum juga tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Hal ini di sebabkan karena

1. PENDAHULUAN Kimia sebagai salah satu mata pelajaran wajib yang dipelajari di tingkat SMA, termasuk dalam kelompok sains yang berkembang berdasarkan hasil percobaan untuk menghasilkan fakta. Dalam pengajaran kimia guru harus mangupayakan bagaimana caranya agar siswa memahami konsep-konsep ilmu kimia, bukan hanya menghafal materi yang diberikan tanpa pemahaman konsep yang benar. Konsep ilmu kimia dapat dipahami dalam 3 level representasi, yaitu level makroskopis, level sub mikroskopis, dan level simbolik (Sirhan, 2007; Talanquer, 2011). Ketiga level representasi tersebut harus saling terintegrasi sehingga informasi yang diperoleh siswa tersimpan dalam long term memory mereka. Dengan demikian, kapan pun informasi tersebut dibutuhkan, siswa masih ingat dan dapat menjelaskannya kembali. Jika pembelajaran kimia dilakukan hanya dengan mengutamakan 119

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

kebanyakan sekolah tidak memiliki laboran tetap, sehingga guru harus mempersiapkan sendiri kelengkapan yang dibutuhkan selama praktikum mulai dari alat dan bahan, prosedur kerja, serta lembar kegiatan siswa. Keadaan sepeti ini mengakibatkan praktikum laju reaksi yang sudah dirancang tidak terlaksana dengan baik. Kalaupun kegiatan praktikum dapat dilaksanakan, tentu siswa hanya akan memahami konsep secara makroskopis dan simbolik saja, sedangkan pemahaman konsep secara mikroskopis belum dilakukan. Solusi yang penulis ajukan untuk mengatasi keadaan ini adalah dengan memanfaatkan media selama proses pembelajaran berlangsung. Salah satu media pembelajaran yang dapat membantu menjelaskan materi laju reaksi baik secara teori maupun praktek sehingga siswa tetap dapat mengamati fenomena-fenomena makroskopik, mikroskopik dan simbol-simbol yang terkait dengan materi pokok laju reaksi adalah multimedia. Menurut Smaldino et all (2011:178) “multimedia adalah media yang menggabungkan dua unsur atau lebih media yang terdiri dari teks, grafis, gambar, foto, audio, video, dan animasi secara terintegrasi”. Selanjutnya Supriyana (2008:22) juga mengemukakan bahwa “ multimedia adalah penggunaan berbagai jenis media (teks, suara, grafik, animasi, dan video) untuk menyampaikan informasi, kemudian ditambahkan elemen yang keenam yaitu interaktif”. Dari kedua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa multimedia merupakan gabungan beberapa media seperti video, animasi, gambar, suara, dan teks yang diintegrasikan dalam suatu media yang bersifat interaktif. Pemanfaatan multimedia dalam pembelajaran dapat mempermudah pembelajaran karena adanya visualisasi terhadap materi yang abstrak dan dapat menghadirkan kejadian yang tidak dapat berlangsung dalam kelas. Visualisasi menggunakan multimedia ini dapat membantu siswa memahami materi yang dipelajari baik secara makroskopis, mikroskopis, maupun secara simbolik. Dengan demikian, kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran yang dituntut kurikulum dapat tercapai dengan optimal. Namun, realita yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan multimedia dalam pengajaran kimia di sekolah-sekolah saat ini masih sedikit, terutama untuk materi pokok

laju reaksi. Oleh karena itu, perlu dikembangkan suatu multimedia pembelajaran yang mengitegrasikan video demonstrasi, animasi, suara, dan teks untuk menyampaikan konsep laju reaksi secara makroskopis, mikroskopis dan simbolik pada siswa kelas XI IPA. Media pembelajaran yang dikembangkan juga dilengkapi dengan LKS yang sesuai. Penggunaan LKS bertujuan untuk memudahkan dalam melaksanakan pembelajaran. Menurut Depdiknas (2008:13) keuntungan adanya LKS adalah mempermudah siswa dalam belajar mandiri dan memahami materi pelajaran. Adapun hasil yang diharapkan dari penelitian pengembangan ini adalah berupa multimedia pembelajaran dan LKS yang valid, praktis, dan efektif membantu pemahaman siswa pada proses pembelajaran Laju Reaksi di SMA.

2. METODE PENGEMBANGAN Penelitian yang telah dilakukan ini termasuk dalam kategori penelitian dan pengembangan (research and development), yang menghasilkan suatu produk baru dalam pembelajaran yaitu berupa multimedia dan LKS untuk mengajarkan laju reaksi pada siswa kelas XI IPA SMA. Model pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini mengadaptasi model pengembangan 4D seperti yang dikembangkan oleh Thiagarajan, S. Semmel dan M. Semmel pada tahun 1974. Model ini terdiri dari 4 tahap pengembangan yaitu Define, Design, Develop. dan Desseminate atau diadaptasikan menjadi model 4P, yaitu Pendefenisian, Perancangan, Pengembangan, dan Penyebaran (Trianto, 2011:93) . Langkah-langkah pengembangan multimedia pembelajaran laju reaksi yang peneliti lakukan dapat dirinci sebagai berikut ini. 1. Tahap Pendefenisian (Define) Kegiatan yang dilakukan pada tahap pendefenisian ini adalah analisis ujung depan, analisis tugas, analisis konsep dan analisis siswa. Analisis ujung depan bertujuan untuk memunculkan masalah yang terjadi sehingga dibutuhkan pengembangan perangkat pembelajaran. Analisis tugas mengacu pada analisis SK dan KD yang akan dikembangkan perangkat pembelajarannya. Analisis konsep dilakukan untuk mengidentifikasi konsepkonsep utama yang akan diajarkan dan menyusunnya secara sistematis sehingga 120

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

membentuk peta konsep, tujuannya adalah agar diperoleh hierarki konsep yang akan dipelajari. Sedangkan analisis siswa meliputi analisis usia, motivasi terhadap pelajaran kimia, kemampuan akademik, dan kemampuan sosial. Dengan demikian media yang dihasilkan dapat dipahami oleh siswa usia SMA. 2. Tahap perancangan (Design) Tujuan tahap ini adalah merancang Multimedia dan LKS untuk mengajarkan materi laju reaksi di SMA. Ada 3 langkah yang harus dilakukan pada tahap desain ini yaitu: Merancang LKS, memilih media pembelajaran berdasarkan indicator yang telah dirumuskan, memilih format media dan membuat rancangan awal media yang dikembangkan.

pada siswa yang belum mempelajari pokok bahasan laju reaksi. Adapun yang menjadi subjek uji coba pada penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA SMA Nurul Ikhlas kecamatan Sepuluh Koto Kabupaten Tanah Datar. Bermutu atau tidaknya produk yang dihasilkan dapat dilihat dari 3 hal yaitu validitas, praktikalitas, dan efektivitas multimedia dan LKS yang dihasilkan. Selanjutnya analisis data pengembangan diolah menggunakan rumus momen Kappa (untuk validitas) dan rumus Probabilitas (untuk kepraktisan dan efektifitas). rumus kappa:

3. Tahap Pengembangan Kegiatan pada tahap pengembangan ini meliputi validasi (penilaian) dan revisi (perbaikan) produk hasil rancangan. Sebelum diuji cobakan, multimedia dan LKS yang dihasilkan divalidasi terlebih dahulu oleh validator yang merupakan dosen Pascasarjana UNP dengan kualifikasi pendidikan S3. Dalam memvalidasi, validator diminta untuk memberikan penilaian dan pendapat terhadap multimedia pembelajaran dan LKS yang sudah dibuat baik dari segi isi, penyajian, maupun bahasa yang digunakan. Daftar nama validator produk yang dikembangkan dapat dilihat dalam tabel 1

Dimana: K = momen kappa yang menunjukkan validitas produk P = proporsi yang terealisasi, dihitung dengan cara jumlah nilai yang diberi validator dibagi jumlah nilai maksimal Pe = proporsi yang tidak terealisasi, dihitung dengan cara jumlah nilai maksimal dikurang jumlah nilai total yang diberi validator dibagi jumlah nilai maksimal Rumus probabilitas:

Kategori keputusan untuk kepraktisan melalui lembar kepraktisan dan lembar observasi adalah sebagai berikut:

Revisi produk bertujuan untuk memperbaiki bagian multimedia dan LKS, yang dianggap masih kurang tepat oleh validator Multimedia dan LKS yang sudah diperbaiki kemudian diberikan kembali kepada validator untuk didiskusikan lebih lanjut sebelum diuji coba. Revisi dihentikan apabila validator sudah menyatakan multimedia pembelajaran, dan LKS yang dibuat sudah dapat diujicobakan. Setelah media dinyatakan valid oleh validator, maka dilakukan uji coba terbatas untuk mendapatkan data tentang praktikalitas dan efektivitas penggunaan media dilapangan. Uji coba ini dilakukan oleh guru mata pelajaran

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis ujung depan yang dilakukan dengan menganalisis kurikulum yang menjadi pedoman pelaksanaan pembelajaran di sekolah, menunjukkan bahwa pembelajaran yang dituntut oleh kurikulum yang berlaku adalah proses pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered), artinya siswa dituntut untuk lebih aktif dalam mengembangkan pengetahuannya sedangkan guru lebih berperan sebagai fasilitator. 121

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Pada kegiatan analisis tugas, dilakukan analisis terhadap SK dan KD yang dikembangkan perangkat pembelajarannya. Berdasarkan hasil identifikasi SK dan KD yang terdapat dalam silabus, dijabarkan beberapa indikator dan ditentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Selanjutnya dilakukan analisis materi pokok dan sub materi pokok yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan menyusun secara sistematis konsep-konsep laju reaksi yang diperlukan untuk menyusun setiap frame multimedia yang dikembangkan. Materi pokok laju reaksi dibagi menjadi 5 sub materi yaitu konsep laju reaksi, faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi, teori tumbukan, persamaan laju reaksi dan orde reaksi. Berdasarkan analisis konsep ini dirancang multimedia pembelajaran dan LKS yang dapat membantu siswa dalam memahami konsep laju reaksi baik secara makroskopis, mikroskopis, maupun simbolik sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan optimal. Hasil analisis siswa menunjukkan bahwa siswa kelas XI SMA umumnya berusia lebih kurang 15-17 tahun dan berada pada tahap operasional formal. Siswa pada usia ini memiliki kecendrungan menyukai warna-warna kontras, serasi, dan tidak mencolok. Mereka lebih tertarik pada kegiatan kelompok yang melibatkan pengalaman langsung seperti praktikum dari pada tanya jawab dan ceramah. Pada tahap operasional formal ini, siswa telah memahami makna abstrak dan prinsip-prinsip yang melandasi konsep-konsep dan teori-teori serta telah dapat merumuskan hipotesis. Berdasarkan analisis terhadap siswa yang telah diuraikan sebelumnya, maka multimedia pembelajaran dan LKS yang dikembangkan telah disesuaikan dengan kondisi siswa. Selama proses pembelajaran siswa tidak hanya berinteraksi dengan media pembelajaran tetapi juga dapat berdiskusi dengan teman sekelompoknya untuk menyelesaikan soal-soal dalam LKS maupun multimedia. Dengan diskusi kelompok ini, diharapkan dapat membantu siswa yang tingkat pemahaman materinya lambat .

dosen, diperoleh harga momen kappa untuk multimedia yang dikembangkan dari aspek isi sekitar 0,81. Sedangkan dari aspek bahasa, harga momen kappa dari analisis penilaian 2 orang validator multimedia menunjukkan angka 0,74 dan termasuk dalam kategori kevalidan tinggi. Jadi dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa bahasa yang digunakan sudah komunikatif, jelas, konsisten, dan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dari hasil analisis penilaian validator terhadap aspek penyajian komponen multimedia, diperoleh harga momen kappa sebesar 0,65 dan termasuk dalam kategori kevalidan tinggi. Berdasarkan penilaian validator tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa multimedia yang dikembangkan sudah memiliki validitas yang tinggi walaupun masih perlu dilakukan beberapa perbaikan. Hasil validasi LKS oleh 2 orang validator menunjukkan harga rata-rata momen kappa dari tiga aspek penilaian yaitu: aspek kelayakan isi didapatkan nilai kappa 0,65 dengan kategori kevalidan tinggi, aspek bahasa didapatkan nilai kappa 0,67 dengan kategori kevalidan tinggi dan untuk aspek komponen penyajian diperoleh nilai kappa 0,67 dengan kategori kevalidan tinggi. Dari ketiga data tersebut dapat disimpulkan bahwa LKS yang dikembangkan sudah mempunyai validitas yang tinggi. LKS yang sudah divalidasi selanjutnya direvisi kembali sesuai dengan saran validator. Pada Tabel 2 diuraikan saran validator terhadap LKS yang dihasilkan.

Praktikalitas Produk yang Dikembangkan Kepraktisan produk yang dikembangkan merupakan keterpakaian multimedia dan LKS, dalam kondisi normal dimana siswa uji coba telah menguasai materi prasyarat dan sekolah uji coba memiliki fasilitas komputer yang memadai. Data kepraktisan multimedia pembelajaran oleh pengguna yaitu guru dan siswa diperoleh melalui angket respon guru, angket respon siswa, dan lembar observasi yang

Validitas Produk yang Dikembangkan Multimedia pembelajaran dan LKS, yang telah dirancang sesuai kurikulum dan karakteristik siswa tersebut, selanjutnya divalidasi oleh 2 orang dosen Pascasarjana UNP. Setelah melalui proses revisi dan validasi 122

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

diisi oleh peneliti sesuai keadaan saat pembelajaran dilaksanakan oleh guru. Berdasarkan data pengamatan dan pengisian angket oleh guru, selanjutnya dilakukan analisis data dengan mencari nilai momen kappanya untuk melihat tingkat praktikalitas produk yang dikembangkan. Dari hasil perhitungan, maka diperoleh harga momen kappa untuk angket respon guru ini senilai 0,75 dan termasuk kategori kepraktisan yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa multimedia pembelajaran dan LKS yang telah dikembangkan praktis untuk digunakan oleh guru sebagai tenaga pengajar yang akan memakai perangkat pembelajaran tersebut untuk mengajarkan konsep laju reaksi pada siswa SMA. Hasil analisis angket respon siswa juga menunjukkan bahwa multimedia dan LKS yang dikembangkan sudah memiliki praktikalitas yang tinggi. Hal ini terlihat dari harga momen kappa yang diperoleh dari perhitungan angket siswa yaitu senilai 0,75 yang juga termasuk kategori kepraktisan tinggi. Selain berdasarkan angket respon guru dan siswa diatas, kepraktisan perangkat yang dikembangkan juga dapat dilihat dari hasil observasi selama proses pembelajaran berlangsung. Nilai probabilitas yang diperoleh dari perhitungan data observasi sebesar 0,92, dimana kepraktisan media mencapai 92%. Hal ini berarti bahwa multimedia dan LKS yang dikembangkan sangat praktis untuk digunakan dalam pembelajaran atau dengan kata lain media mudah digunakan dalam pembelajaran di kelas.

dihasilkan sudah efektif untuk mengajarkan materi Laju reaksi pada siswa kelas XI-IPA SMA.

4. PENUTUP Berdasarkan hasil analisis data validasi dan hasil uji coba multimedia dan LKS yang dikembangkan di lapangan, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian pengembangan ini telah menghasilkan multimedia pembelajaran dan LKS yang valid, praktis dan efektif untuk mengajarkan materi laju reaksi di SMA. Multimedia dan LKS yang dihasilkan memfasilitasi peserta didik agar mereka mendapat kemudahan dalam belajar. Selain itu, dengan menggunakan multimedia dan LKS laju reaksi ini membuat pembelajaran kimia menjadi menyenangkan bagi siswa serta dapat dijadikan indikator untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Sekolah yang ingin menggunakan multimedia pembelajaran yang dihasilkan harus memiliki unit komputer dengan jumlah yang memadai. Selain itu penggunaan multimedia ini menuntut siswa dan guru untuk terampil dalam mengoperasikan komputer dengan baik selama proses pembelajaran berlangsung. Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, maka penulis menyarankan bagi guru dan siswa yang menggunakan multimedia pembelajaran ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dalam mengoperasikan komputer karena multimedia pembelajaran hanya dapat digunakan oleh guru dan siswa yang mampu mengoperasikan komputer saja. Bagi pihak sekolah hendaknya menambah beberapa unit komputer lagi untuk labor komputer agar bisa dimanfaatkan siswa secara perorangan, sedangkan bagi peneliti selanjutnya penulis menyarankan agar dapat mengembangkan multimedia pembelajaran untuk materi kimia lainnya dan pelaksanaan uji coba diperluas pada beberapa sekolah lain.

Efektivitas Produk yang Dikembangkan Efektivitas produk yang dikembangkan dapat diukur dengan melihat hasil belajar siswa yang telah mempelajari materi laju reaksi menggunakan multimedia pembelajaran dan LKS yang dihasilkan. Soal tes yang diberikan berbentuk objektif sebanyak 22 butir soal. Berdasarkan data hasil belajar siswa tersebut diketahui bahwa dari 20 orang siswa uji coba, masih ada 3 orang siswa yang memperoleh nilai tidak tuntas dalam tes yang diadakan. Namun secara keseluruhan rata-rata nilai yang diperoleh siswa uji coba sudah cukup tinggi yaitu 82,65. Nilai ini sudah berada di atas nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), dimana KKM untuk bidang studi kimia di sekolah uji coba yaitu 75. Jadi secara keseluruhan multimedia dan LKS yang

5. UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Mawardi, M.Si dan Bapak Dr. Budhi Oktavia, M.Si, Ph.D yang telah berkenan menjadi validator dari produk yang penulis kembangkan. Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak hingga pada majelis guru SMA Nurul Ikhlas Kecamatan X Koto Kabupaten Tanah Datar 123

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

yang telah banyak membantu penulis selama melakukan penelitian di SMA tersebut.

Upper Saddle River, New Jersey Colombus, Ohio Ninth Edition. Talanquer, Vicente. 2011. “ Macro, Submicro, and Symbolic: The many of the chemistry “triplet”, International Journal of Science Education, 33:2, 179 – 195 Trianto. 2011. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Upu, Hamzah, Amaliah, N.W, Hamka.2011. Developing Learning Packages Of Ecosytem Topic Through Cooperative Learning on The Type of Student (http://blog.unm.ac.id/hamzahupu/2011/0 7/, diakses 13 Desember 2011 pukul 18.00 WIB)

6. DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. 2008. Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas. Sirhan, Ghassan. 2007. Learning Difficulties in Chemistry: An Overview. Journal of TURKISH SCIENCE EDUCATION Volume 4, Issue 2, September 2007. diakses tanggal 20 Desember 2011 pukul 09.45 a.m Smaldino, E. Sharon,dkk. 2011. Instructional Technology and Media for Learning.

124

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

PENGARUH PENGGUNAAN LKS BERBASIS INKUIRI TERBIMBING TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA UNTUK MATERI KOLOID KELAS XI SMAN 1 BATUSANGKAR Iryani, Mawardi, Andromeda Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Padang Jl. Prof. DR. Hamka Air Tawar Padang [email protected] ABSTRAK Pemerintah telah memberlakukan kurikulum pendidikan baru, yang disebut Kurikulum 2013. Proses pembelajaran pada kurikulum ini berorientasi pendekatan saintifik (mengamati, menanya, mengumpulkan data, mengasosiasi, dan berkomunikasi). Untuk itu diperlukan bahan ajar yang berorientasi proses saintifik yang dapat menfasilitasi terjadinya siswa aktif. Salah satu bahan ajar tersebut adalah LKS berbasis inkuiri terbimbing. Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh penggunaan LKS berbasis inkuiri terbimbing terhadap hasil belajar siswa untuk materi koloid. Tujuan penelitian adalah untuk mengungkapkan pengaruh penggunaan LKS berbasis Inkuiri terbimbing terhadap hasil belajar siswa pada materi koloid. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen, dengan rancangan “Randomized Control Group Posttest Only Design”. Populasi adalah siswa kelas XI IPA SMAN 1 BatuSangkar sebanyak 4 kelas, tahun ajaran 2013/2014. Sebagai sampel adalah kelas XI IPA4 (kelas kontrol) dan kelas XI IPA2 (kelas eksperimen). Pengumpulan data dilakukan dengan pemberian tes di akhir penelitian. Dari hasil tes diperoleh nilai rata-rata kelas eksperimen 85,75 dan kelas kontrol 80. Analisis data dilakukan dengan uji-t pada taraf nyata 0,05 dengan derajat kebebasan 38 diperoleh thitung= 1,97 dan ttabel= 1,68. Berdasarkan analisis data terlihat bahwa hasil belajar siswa yang menggunakan LKS berbasis Inkuiri Terbimbing lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan hasil belajar siswa tanpa menggunakan LKS berbasis Inkuiri Terbimbing. Kata Kunci : inkuiry terbimbing, hasil belajar, koloid di bawah KKM.Untuk itu diperlukan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Pemerintah khususnya Kemendikbud telah memberlakukan Kurikulum 2013 mulai semester ganjil 2013. Proses pembelajaran pada kurikulum ini berorientasi pada pendekatan saintifik ( mengamati, menanya, mengumpulkan data, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan). Agar tuntutan kurikulum 2013 tersebut bisa terwujud, maka diperlukan bahan ajar yang berorientasi proses saintifik dan dapat menfasilitasi terjadinya siswa aktif. Salah satu bahan ajar tersebut adalah LKS berbasis inkuiri terbimbing dengan representasi chemistry triangle untuk materi koloid. Lembar Kerja Siswa (LKS) disusun berdasarkan siklus belajar inkuiri terbimbing yaitu orientasi, eksplorasi, pembentukan konsep, aplikasi dan penutup. LKS yang berbasis inkuiri terbimbing ini didalamnya terdapat petunjuk penggunaan LKS, orientasi, model, informasi, pertanyaan kunci dan aplikasi

1. PENDAHULUAN Koloid adalah salah satu materi kimia yang dipelajari di kelas XI semester 2 pada kurikulum 2013. Materi koloid ini merupakan pengetahuan berupa fakta, konsep dan prosedur yang memerlukan pemahaman tinggi. Koloid banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti : mayones, margarine, santan kelapa, es krim, buih, dan lain sebagainya. Pada proses pembelajaran koloid ini siswa dituntut memahami materi melalui teori dan percobaan, untuk itu diperlukan pengetahuan prasyarat yang berhubungan dengan konsep yang akan dibahas sehingga siswa mengetahui kaitan konsep terdahulu dengan konsep yang akan dipelajari (Rostianingrum, 2011). Namun kenyataannya, proses pembelajaran koloid selama ini masih berorientasi pada hafalan sehingga proses penemuan konsep menjadi sering terabaikan karena kurangnya keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Di samping itu proses pembelajaran koloid masih bersifat teacher centre ( pembelajaran berpusat pada guru) sehingga aktifitas siswa rendah dan mengakibatkan hasil belajar masih banyak yang 125

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

atau latihan. Orientasi merupakan materi prasyarat yang harus dikuasai siswa sebelum mempelajari materi koloid. Model-model dan informasi merupakan data atau pusat perhatian yang akan diamati dan dinalisis oleh siswa untuk menemukan konsep-konsep pada materi koloid. Pertanyaan kunci merupakan pertanyaan-pertanyaan yang akan membimbing siswa untuk menemukan konsep-konsep pada materi koloid. Pertanyaan kunci ini merupakan jantung dari kegiatan inkuiri terbimbing untuk membimbing siswa mengeksplorasi suatu model (Hanson.2005.3) Sedangkan aplikasi atau latihan berfungsi untuk memperkuat konsep-konsep pada materi koloid yang telah ditemukan oleh siswa. Dari hasil observasi dan tanya-jawab penulis dengan guru kimia dan siswa di beberapa SMA di Sumatera Barat, seperti Kota Padang, Bukittinggi, Payakumbuh dan Batusangkar, diperoleh suatu kesimpulan bahwa LKS yang digunakan selama ini masih bersifat verbal dan belum ada LKS yang berbasiskan siklus belajar inkuiri terbimbing. LKS yang disediakan hanya berisi soal-soal latihan yang bersifat verbalistis, hafalan, pengenalan rumus-rumus, dan pengenalan istilah-istilah melalui serangkaian latihan secara verbal, serta uraian materi yang terdapat pada LKS belum mendukung siswa dalam proses pencarian dan pembentukan konsep, sehingga penggunaan LKS tersebut belum mencapai hasilyang maksimal. Berdasarkan uraian di atas telah dilakukan penelitian tentang pengaruh penggunaan LKS berbasis inkuiri terbimbing dengan representasi chemistry triangle terhadap hasil belajar siwa untuk materi koloid. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimanakah pengaruh penggunaan LKS berbasis inkuiri terbimbing dengan representasi chemistry triangle terhadap hasil belajar siswa pada materi koloid?. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan pengaruh penggunaan LKS berbasis Inkuiri terbimbing terhadap hasil belajar siswa pada materi koloid. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh guru kimia sebagai salah satu bahan ajar alternatif dalam proses pembelajaran untuk materi koloid dalam rangka meningkatkan hasil belajar siswa. Hipotesis penelitian adalah “Penggunaan LKS berbasis inkuiri terbimbing dengan representasi chemistry triangle mempunyai pengaruh positif terhadap hasil belajar siswa , dimana hasil belajar siswa yang

menggunakan LKS berbasis inkuiri terbimbing dengan representasi chemistry triangle lebih tinggi daripada hasil belajar siswa tanpa menggunakan LKS berbasis inkuiri terbimbing. Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2010: 22). Hasil belajar juga merupakan prestasi yang dapat dicapai siswa setelah mengikuti proses pembelajaran dalam kurun waktu tertentu. Seorang siswa dapat dikatakan berhasil dalam belajar apabila terjadi perubahan tingkah laku dalam dirinya dan perubahan itu terjadi karena latihan dan pengalaman yang mereka peroleh. Hasil belajar tersebut dapat diukur melalui tes yang diberikan kepada siswa. Dari hasil belajar diketahui sejauh mana penguasaan siswa terhadap suatu materi pelajaran. Setelah melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan yang dituntut dalam kurikulum, maka perlu dilakukan penilaian terhadap hasil belajar. Penilaian hasil belajar mencakup tiga ranah yaitu : ranah kognitif, afektif dan psikomotor (Benyamin S. Bloom dalam Sudjana, 2010: 22). 2. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu. Rancangan penelitian menggunakan Posttest Only Control Design. Dalam rancangan penelitian ini sampel digolongkan kedalam dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen dikenakan perlakuan tertentu, yaitu dengan menggunakan LKS berbasis inkuiri terbimbing. Pada kelompok kontrol digunakan LKS biasa yang tidak berbasis inkuiri terbimbing sebagai sumber belajar. Pertama-tama dilakukan pengukuran lalu dikenakan perlakuan untuk jangka waktu tertentu kemudian dilakukan pengukuran untuk kedua rancangan ini. Secara bagan rancangan ini dapat digambarkan sebagai berikut. Tabel 1. Rancangan penelitian Kelas Perlakuan Posttest Eksperimen X T Kontrol T (Lufri.2007 : 69) Keterangan: X : Perlakuan terhadap kelas eksperimen yaitu proses pembelajaran dengan penerapan LKS berbasis Inkuiri Terbimbing (guided inquiry). 126

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

T : Tes akhir yang diberikan kepada kedua kelas sesudah pembelajaran

Pada penelitian ini yang merupakan variabel terikat adalah hasil belajar kimia siswa kelas XI IPA SMAN 1 Batusangkar tahun pelajaran 2013/2014. 2.2.3.Variabel kontrol Variabel kontrol merupakan segala sesuatu yang bisa mempengaruhi hasil belajar siswa selain perlakuan. Pada penelitian ini yang merupakan variabel kontrol adalah alokasi waktu, materi pembelajaran, buku sumber dan guru yang mengajar pada kedua kelas sampel adalah sama.

2.1.Populasi dan Sampel 2.1.1.Populasi Populasi adalah sekelompok orang, kejadian atau benda yang dijadikan objek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Negeri 1 Batusangkar pada tahun pelajaran 2013/2014 yang terdiri 4 kelas. 2.1.2. Sampel Menurut Sugiyono (2007:73) “Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut”. Pengambilan sampel dilakukan dengan suatu teknik penyampelan, yaitu teknik random sampling. Sampel dalam penelitian ini ada dua kelas yaitu kelas XI IPA4 sebagai kelas kontrol dan kelas XI IPA2 sebagai kelas eksperimen.

2.3.Prosedur Penelitian Untuk mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan perlu disusun prosedur yang sistematis. Secara umum prosedur penelitian dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu: persiapan, pelaksanaan, dan penyelesaian. Pada tahap persiapan yang dilakukan adalah: Menentukan tempat dan jadwal penelitian, menentukan populasi dan sampel, menentukan kelas kontrol dan kelas eksperimen, membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol. Mempersiapkan LKS berbasis inkuiri terbimbing, membuat kisi-kisi soal dan mempersiapkan soal tes akhir. 2.3.1.Tahap Pelaksanaan Dalam pelaksanaan penelitian dilakukan proses pembelajaran yang berbeda antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pembelajaran yang diberikan kepada kedua kelas sampel adalah sebagai berikut.

2.2. Variabel Variabel adalah konsep yang mempunyai variasi nilai. Adapun yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 2.2.1.Variabel bebas Variabel bebas merupakan variabel yang berpengaruh terhadap variabel lain. Pada penelitian ini yang merupakan variabel bebas adalah perlakuan yang diberikan pada kelas eksperimen berupa proses belajar mengajar dengan menggunaan LKS berbasis Inkuiri Terbimbing (guided inquiry) 2.2.2.Variabel terikat Variabel terikat adalah variabel yang berpengaruh karena adanya variabel bebas.

Tabel 2. Skenario Pembelajaran Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol. No Kelas Eksperimen No Kelas Kontrol 1 Pendahuluan 1 Pendahuluan Guru menginstruksikan kepada siswa agar Guru menginstruksikan kepada siswa berdo‟a sebelum belajar. agar berdo‟a sebelum belajar. Guru mengecek kehadiran siswa. Guru mengecek kehadiran siswa. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran Guru menyampaikan tujuan Guru memotivasi siswa dengan memberikan pembelajaran beberapa contoh koloid dalam kehidupan Guru memotivasi siswa dengan Siswa dibagi dalam beberapa kelompok memberikan beberapa contoh koloid dengan jumlah anggota 2 orang dalam kehidupan Guru membagikan LKS berbasis Inkuiri Siswa dibagi dalam beberapa kelompok Tebimbing kepada masing-masing siswa dan dengan jumlah anggota 2 orang dan menjelaskan isi LKS secara umum. masing-masing siswa sudah memiliki LKS tanpa berbasis inkuiri terbimbing. Kegiatan Inti 2. Siswa membaca dan memahami materi Kegiatan inti prasyarat, yaitu tentang campuran hetorogen Guru membantu siswa dalam 2. dan homogen . mengingat kembali materi pelajaran 127

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

No

a.

3

Kelas Eksperimen Siswa mengamati model dan mendiskusikan hasil pengamatan yang terdapat pada LKS tentang materi koloid Siswa menjawab pertanyaan kunci pada tiap-tiap model melalui pengamatan terhadap gambar yang ada pada LKS. Guru mengontrol jalannya diskusi dan menghampiri masing-masing kelompok untuk melihat perkembangan diskusi siswa dan untuk mengatasi jika siswa mengalami kendala dalam diskusi. Siswa menemukan dan membentuk konsep sebagai hasil dari proses eksplorasi. Siswa mengerjakan latihan-latihan yang tersedia di dalam LKS dengan bimbingan dari guru. Siswa diminta mewakili kelompok untuk menyampaikan hasil diskusi mengenai pengertian koloid, jenis koloid , sifat koloid, pembuatan koloid. Guru memberikan kesempatan kepada siswa lainnya untuk menanggapi, bertanya ataupun memberikan tanggapan. Guru memberikan konfirmasi terhadap hasil diskusi siswa dan membenarkan konsep siswa jika siswa mengalami kesalahankesalahan dalam memahami konsep. Penutup Siswa dengan bimbingan guru, menyimpulkan materi koloid yang telah dipelajari . Guru memberikan soal evaluasi tentang materi yang telah dipelajari. Guru memberikan tugas kepada siswa untuk dikerjakan di rumah.

2.3.2.Tahap Penyelesaian Pada tahap penyelesaian ini yang akan dilakukan adalah:Memberikan tes pada kedua kelas sampel setelah pembelajaran berakhir, mengolah data dari kedua sampel, menarik kesimpulan dari hasil belajar yang didapat dengan teknik analisis data yang digunakan. . 2.4. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang dipakai adalah tes hasil belajar karena yang menjadi objek penelitian adalah hasil belajar siswa. Tes yang digunakan berupa soal objektif yang disesuaikan dengan tujuan pembelajaran.

No

3.

Kelas Kontrol yang terkait yaitu mengenai campuran heterogen dan homogen.Siswa membaca mengenai materi yang akan dipelajari, yaitu : koloid.Siswa menjawab pertanyaan pada LKS yang telah dimilikinya. Guru mengontrol jalannya diskusi dan menghampiri masing-masing kelompok untuk melihat perkembangan diskusi siswa dan untuk mengatasi jika siswa mengalami kendala dalam diskusi. Siswa menemukan dan membentuk konsep sebagai hasil dari proses eksplorasi. Siswa diminta mewakili kelompok untuk menyampaikan hasil diskusi mengenai pengertian koloid, jenis , sifat koloid dan pembuatan koloid .Guru memberikan kesempatan kepada siswa lainnya untuk menanggapi, bertanya ataupun memberikan tanggapan. Guru memberikan konfirmasi terhadap hasil diskusi siswa dan membenarkan konsep siswa jika siswa mengalami kesalahankesalahandalam memahami konsep Penutup Siswa dengan bimbingan guru, menyimpulkan materi yang baru saja dipelajari. Guru memberikan evaluasi mengenai materi yang dipelajari. Guru memberikan tugas kepada siswa untuk dikerjakan di rumah.

Untuk menganalisis kebenaran data hasil penelitian digunakan uji hipotesis yaitu dengan uji perbedaan dua rata-rata atau uji-t. Sebelum melakukan uji-t terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas. 2.5.1.Uji Normalitas Uji normalitas menggunakan uji Lilierfors (Sudjana, 2005: 466) dengan langkah-langkah sebagai berikut: a) Data X1, X2,………..,Xn dijadikan bilangan baku Z1, Z2,……...Zn dengan mengunakan rumus: Zi =

2.5.Teknik Analisis Data 128

x x s

(1)

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

b) Untuk tiap bilangan baku ini dilihat daftar distribusi normal baku kemungkinan di hitung peluang F ( Zi ) = P ( Z Zi ) c) Selanjutnya dihitung proporsi Z1, Z2,……Zn yang lebih kecil atau sama dengan Zi. Jika proporsi ini dinyatakan oleh S (Zi), maka banyaknya,Z 1,Z 2 ,......... Z n yang Z i S ( Zi ) = n d) Hitung selisih F (Zi) – S (Zi), kemudian tentukan harga mutlaknya. e) Ambil harga yang paling besar diantara harga-harga mutlak selisih tersebut, harga tersebut adalah Lo. Jika Lo < Ltabel, data terdistribusi normal dan jika Ltabel < Lo, maka data tidak terdistribusi normal. Dari pengolahan data diperoleh L0 untuk kelas eksperimen yaitu 0,1015 dan Lt yaitu 0,19 dan L0 untuk kelas kontrol yaitu 0,1251 dan Lt yaitu 0,19, maka kedua kelas terdistribusi normal. 2.5.2.Uji Homogenitas Tujuan melakukan uji homogenitas adalah untuk melihat apakah kelas sampel terdistribusi homogen atau tidak. Cara untuk menentukan homogenitas sampel adalah dengan uji F, dimana harga F dapat dicari dengan rumus: F=

S1

2

S2

2

(Sudjana, 2005:249)

x1

t=

S gab

1 n1

x2 1 n2

(3) Dari hasil perhitungan diperoleh harga thitung 1,84 pada α = 0,05 dan harga ttabel adalah 1,68, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengaruh penerapan penggunaan lembar kerja siswa berbasis inkuiri terbimbing adalah signifikan dan hipotesis penelitian diterima. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Dari penelitian yang telah dilakukan pada kedua kelas sampel, diperoleh data tentang hasil belajar siswa, seperti yang tertera pada Tabel 3 dan 4. Data tersebut diperoleh dari tes akhir pada kegiatan penelitian. Tabel 3. Nilai Hasil Belajar Siswa kelas kontrol No Nilai Frekuensi 1 60 1 2 70 3 3 75 2 4 80 4 5 85 8 6 90 2 Tabel 4. Nilai Hasil Belajar Siswa kelas eksperimen No Nilai Frekuensi 1 75 1 2 80 5 3 85 6 4 90 7 5 100 1

(2)

Dari pengolahan data diperoleh Fhitung yaitu 1,27 dan Ftabel yaitu 1,84, maka Fhitung < Ftabel sehingga data memiliki varians yang homogen. Uji hipotesis yaitu uji dengan kesamaan ratarata dengan uji satu pihak yaitu uji pihak kanan yang sejalan dengan hipotesis penelitian. Perumusan umum untuk uji pihak kanan mengenai rata-rata μ berdasarkan Ho dan H1 adalah: Ho : μ1≤μ2 H1 : μ1>μ2 Keterangan: 1 = Skor rata-rata kelas eksperimen 2 = Skor rata-rata kelas kontrol

Berdasarkan data pada Tabel 3 dan 4 nilai terendah pada kelas kontrol adalah 58 yang diperoleh oleh 1 orang siswa, sedangkan pada kelas eksperimen nilai terendah adalah 65 yang diperoleh oleh 1 orang siswa. Nilai tertinggi pada kelas kontrol adalah 93 dan pada kelas eksperimen adalah 98 Data hasil belajar disusun berdasarkan distribusi frekuensinya, kemudian ditentukan nilai rata-rata ( , simpangan baku (S) dan variansi (S2) dari masing-masing kelas eksperimen dan kelas kontrol seperti yang tertera pada Tabel 5

Berdasarkan hasil uji normalitas dan uji homogenitas diperoleh bahwa kedua kelas mempunyai nilai hasil belajar siswa yang terdistribusi normal dan mempunyai varians yang homogen.Oleh karena itu untuk menguji hipotesis menggunakan uji-t. Menurut Sudjana ( 2005: 240) menyatakan rumus untuk uji-t sebagai berikut. 129

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Tabel.5. Nilai Rata-rata, Simpangan Baku dan Variansi Kelas Sampel Kelas N S S2 Eksperimen 20 85.75 5.68 32.30 Kontrol 20 80.0 7.78 60.53 Berdasarkan Tabel 5 dimana hasil belajar kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan hasil belajar kelas kontrol. Data hasil penelitian terhadap hasil belajar siswa pada kedua kelas sampel dianalisis menggunakan “uji t”. Untuk itu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas untuk menentukan sampel terdistribusi normal atau tidak dan memiliki varians yang homogen atau tidak. Setelah itu baru dilakukan uji hipotesis. 3.1.1.Uji Normalitas Uji normalitas untuk data dari kedua kelas sampel digunakan Uji Liliefors.. Uji normalitas melalui uji Liliefors ini dilakukan dengan membandingkan nilai L0 dan Ltabel yang ditentukan pada taraf nyata 0,05 , untuk lebih jelasnya tertera pada Tabel 6.

Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa Fhitung < Ftabel. Hal ini menunjukkan bahwa data mempunyai variansi yang homogen. 3.1.3. Uji Hipotesis Setelah dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas, diperoleh bahwa data dari kedua kelas sampel terdistribusi normal dan memiliki variansi yang homogen, sehingga pengujian hipotesis yang dapat digunakan adalah “Uji t” dan data hasil uji hipotesis terangkum pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil Uji Hipotesis Tes Akhir Kelas Sampel thitung ttabel Kesimpulan Eksperimen 1,68 Hipotesis diterima Kontrol

Dari Tabel 8 terlihat bahwa harga thitung> ttabel, maka disimpulkan H0 ditolak dan hipotesis alternatif diterima pada taraf nyata 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang menggunakan LKS berbasis inkuiri terbimbing lebih tinggi secara signifikan daripada hasil belajar siswa yang tanpa menggunakan LKS Tabel. 6. Hasil Uji Normalitas Data Tes Akhir berbasis inkuiri terbimbing pada materi koloid Kelas Sampel di kelas XI IPA SMAN 1 Batusangkar Kelas N Α L0 Ltabel Keterangan 3.2. Pembahasan Sampel Berdasarkan data hasil penelitian dan Eksperimen 20 0.05 0.1796 0.19 Normal analisis data, diperoleh bahwa penggunaan LKS Kontrol 20 0.05 0.1611 0.19 Normal berbasis inkuiri terbimbing memberikan pengaruh yang positif terhadap hasil belajar Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui siswa pada kedua kelas sampel. Hasil belajar bahwa kedua kelas sampel memiliki nilai L0 pada kelas eksperimen dengan menggunakan yang lebih kecil dibandingkan nilai Ltabel. Hal lembar kerja siswa berbasis inkuiri terbimbing ini menunjukkan bahwa kedua kelas lebih tinggi daripada kelas kontrol yang terdistribusi normal. menggunakan lembar kerja biasa yang bukan berbasis inkuiri terbimbing. 3.1.2. Uji Homogenitas Lembar kerja siswa berbasis inkuiri Uji homogenitas data dilakukan dengan terbimbing disusun berdasarkan tahapan pada uji F. Uji ini bertujuan untuk melihat apakah strategi inkuiri terbimbing yaitu, orientasi, kedua kelas sampel memiliki variansi yang eksplorasi, pembentukan konsep, aplikasi, dan homogen atau tidak. Hal ini dilakukan dengan penutup (Hanson, 2005:1), LKS memuat cara membandingkan harga Fhitung dengan Ftabel pengetahuan pra syarat atau orientasi, informasi yang terdapat dalam tabel distribusi dengan dan model berupa gambar serta tabel, taraf signifikan 5% dan dk pembilang = n1 – 1 pertanyaan kunci, soal dan latihan. Melalui serta dk penyebut = n2 – 1, lebih lengkapnya lembar kerja siswa berbasis inkuiri terbimbing, dapat dilihat pada Tabel 7. siswa dapat menemukan konsep setelah menjawab pertanyaan kunci. Pertanyaan kunci Tabel 7. Hasil Uji Homogenitas Kelas Sampel dapat dijawab melalui eksplorasi model Kelas N Α Fhitung Ftabel Ket maupun informasi. Dalam menjawab Sampel pertanyaan kunci inilah siswa berdiskusi Eksperimen 20 Variansi 0,05 1,77 1,84 sesamanya dan guru dapat mengatur serta Kontrol 20 homogen membimbing jalannya diskusi yang berarti 130 Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

pembelajaran berpusat pada siswa.Hal ini sesuai dengan kelebihan dari strategi inkuiri terbimbing yang di ungkapkan oleh Suyanti (2010:51). Pembelajaran dengan menggunakan lembar kerja siswa berbasis inkuiri terbimbing dapat menarik minat siswa dalam belajar, karena pada lembar kerja berbasis inkuiri terbimbing terdapat model yang berupa gambar dengan ilustrasi makroskopis maupun mikroskopis yang disertai dengan warna yang menarik bagi siswa. Selama kegiatan diskusi berlangsung, siswa antusias untuk menjawab pertanyaan kunci dan juga dalam mengerjakan soal-soal maupun latihan. Antusias dari siswa juga terlihat pada saat akhir pelajaran, yaitu saat konfirmasi dari guru. Siswa berlomba-lomba untuk mengemukakan kesimpulan yang mereka dapatkan mengenai konsep koloid. Tercapainya tujuan pembelajaran terlihat pada hasil belajar yang diperoleh oleh siswa pada kedua kelas sampel. Hasil yang didapatkan berdasarkan tes akhir yang telah diberikan menunjukkan perbedaan pada kedua kelas. Perbedaan tersebut terlihat pada soal C3 yaitu soal penerapan atau aplikasi, yang dijawab lebih banyak oleh siswa pada kelas eksperimen daripada kelas kontrol. Tingkat ketuntasan dan nilai yang diperoleh oleh siswa pada kelas ekperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol dan nilai KKM yang ditetapkan yaitu 78.

6. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2009. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Citra.. Brady, James E. 2010. Chemistry The Molecular Nature of Matter 6th Edition. John Wiley and Sons : New York. Hamalik, Oemar. (2001). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara Hanson, David. M. (2006). Instructor’s Guided to Process-Oriented Guided-Inquiry Learning. Lisle, IL: Pacific Crest. Hanson, David. M. (2005). Designing ProcessOriented Guided-Inquiry Activities. In Faculty Guidedbook: A Comprehensive Tool For Improving Faculty Performance, ed. S. W.Beyerlein and D. K. Apple. Lisle, IL: Pacific Crest Herni. 2013. Pengembangan Bahan Ajar dalam bentuk Lembar Kerja Siswa (LKS) berbasis Inkuiri Terbimbing pada Materi Koloid untuk Pembelajaran Kimia Kelas XI Tingkat SMA/MA. Padang: Skripsi Jurusan Kimia FMIPA-UNP Kemendikbud, 2013, Kompetensi Dasar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA), Balitbang, Kemendikbud. Lufri. 2007. Metodologi Penelitian. Padang: UNP Press Rostianingrum, Hertina A. (2011). “Pengembangan Prosedur Praktikum Kimia pada Topik Indikator Koloid Alami yang Layak Diterapkan di SMA”. Jurnal Skripsi. FMIPA UPI Bandung. Straumanis, Andrei. 2010. Process Oriented Guided Inquiry Learning. Sudijono, Anas. 2007. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito Bandung Sudjana, Nana. 2010. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : PT Remaja Rosda Karya. Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Suyanti, Dwi. (2010). Strategi Pembelajaran Kimia. Yogyakarta: Graha lmu.

4. PENUTUP Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa penggunaan LKS berbasis inkuiri terbimbing dengan representasi chemistry triangle untuk materi koloid memberikan pengaruh yang positif terhadap hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa yang menggunakan LKS berbasis inkuiri terbimbing dengan representasi chemistry triangle lebih tinggi secara signifikan pada taraf kepercayaan 95% (α 0,05) dibandingkan hasil belajar siswa yang menggunakan LKS biasa (tanpa inkuiri terbimbing ). 5. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada DIKTI yang telah memberikan dana Hibah Bersaing tahun 2014 dan kepada Rektor Universitas Negeri Padang yang telah memfasilitasi penelitian ini. 131

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

PEMBUATAN PERMAINAN ULAR TANGGA KIMIA SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN PADA MATERI KIMIA UNTUK SMP Iswendi, Bayharti, Yeli Gustami, Yeni Artati Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Padang [email protected] ABSTRAK Telah dilakukan penelitian tentang pengembangan media pembelajaran kimia pada materi zat adiktif, psikotropika, perubahan fisika dan kimia untuk SMP kelas VII dan VIII. Media yang dibuat adalah berupa permainan ular tangga kimia sebagai media pembelajaran. Materi zat adiktif, psikotropika, perubahan fisika dan kimia berisi faktual dan konseptual, dan untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi tersebut diperlukan bantuan media permainan yang berisi fakta, konsep serta latihan. Sesuai dengan karakteristik siswa SMP yang senang berkumpul dan bermain, maka media permainan ular tangga kimia dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi tersebut. Media yang dirancang diuji kelakyakannya berdasarkan fungsi media yaitu fungsi atensi, afektif, kognitif, dan kompensatoris melalui angket kepada siswa SMP. Data dianalisis dengan rating scale. Hasil penelitian diperoleh bahwa permainan ular tangga kimia sebagai media pembelajaran sangat layak digunakan pada materi zat adiktif, psikotropika dan perubahan fisika dan kimia untuk SMP kelas VII dan kelas VIII. Kata kunci: Permainan Ular Tangga Kimia, Zat Adiktif, Psikotropika, Perubahan Fisika, Perubahan Kimia, Uji Tingkat Kelayakan, Rating Scale. berupa media power point. Guru telah berusaha menjelaskan materi semaksimal mungkin, namun siswa belum senang dan terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Untuk itu diperlukan suatu cara atau media yang mampu membuat siswa aktif dan senang dalam pembelajaran. Menurut Haryono (2013: 117) siswa yang merasa senang akan bergairah dan aktif dalam belajar. Salah satu caranya dengan menggunakan permainan sebagai media pembelajaran. Menurut Hamalik (2012: 90- 91) jenis-jenis aktivitas siswa salah satunya yaitu menyelenggarakan permainan yang dapat mengembangkan pemahaman dan berfikir kritis. Siswa SMP mengalami masa peralihan dari anak-anak ke remaja, dimana masih senang bermain bersama teman-temannya. Selain itu mereka juga suka berkelompok dengan temantemannya. Menurut Shapiro (1999: 206) anak pada usia 9 dan 12 tahun minat anak untuk berkelompok sudah menjadi keharusan bagi mereka. Menurut Mudjiran (2007: 139), salah satu tingkah laku sosial pada remaja yaitu kesenangan berkelompok. Sifat seperti ini bisa dimanfaatkan kearah yang lebih positif dalam proses pembelajaran, yaitu dengan mengajak siswa untuk belajar sambil bermain. Belajar dengan bermain banyak indera yang terlibat,

1. PENDAHULUAN Pada kurikulum 2013 materi zat adiktif, psikotropika, perubahan fisika dan kimia merupakan salah satu materi pelajaran kimia yang dipelajari di SMP. Pada ranah kogniktif terdapat 4 dimensi pengetahuan yaitu pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual, pengetahuan prosedural dan pengetahuan metakogniktif, dimana dalam dimensi ranah kogniktif terbagi atas 6 tingkatan yaitu mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan (Heer , 2009). Oleh sebab itu siswa harus banyak membaca dan mengerjakan soal latihan. Untuk itu guru dituntut memilih media yang tepat untuk membantu siswa dalam mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan pengetahuan faktual dan pengetahuan konseptual pada materi tersebut. Berdasarkan hasil tanya jawab dengan beberapa guru IPA SMP N Sumbar mengemukakan bahwa materi zat adiktif, psikotropika, perubahan fisika dan kimia ini siswa mengalami kesulitan dalam hal mengingat, memahami. Pembelajaran biasanya dilakukan dengan metode konvensional, metode demonstrasi dan menggunakan media. Media pembelajaran yang biasa digunakan oleh guru 132

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

seperti penglihatan, pendengaran serta anggota tubuh lainnya, sehingga dengan permainan, anak benar-benar terlibat penuh dalam pembelajaran. Selain itu juga bisa meningkatkan daya minat dan keseriusan anak dalam belajar, sehingga aktifitas siswa itu meningkat. Penggunaan permainan dalam pembelajaran dapat meningkatkan stimulus atau minat siswa. Hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan Suyadi (2009) bahwa permainan sebagai media pembelajaran dimaksudkan tidak hanya sebagai permainan semata melainkan juga menstimulus minat belajar siswa. Salah satu permainan yang dapat digunakan sebagai media pembelajaran pada materi zat adiktif, psikotropika, perubahan fisika dan perubahan kimia adalah permainan ular tangga. Permainan ini merupakan permainan papan (board game) yang dimainkan oleh kelompok (dua sampai empat orang) dan tidak dapat dimainkan secara individu. Oleh karena itu, permainan ini secara tidak langsung juga meningkatkan kemampuan sosial siswa. Permainan ular tangga yang digunakan merupakan permainan ular tangga yang sudah dimodifikasi. Permainan ini dibuat semenarik mungkin, dengan memberikan warna yang menarik dan gambar-gambar yang berhubungan dengan materi yang akan dipelajari. Hal ini mengakibatkan secara tidak langsung dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran. Media permainan edukatif, produktif, dan menyenangkan adalah semua alat permainan yang bersifat mendidik dan dapat digunakan dalam pembelajaran, menghasilkan nilai lebih bagi penggunanya, serta membuat senang ketika menggunakannya (Yusuf dan Aulia, 2010:18). Dengan media permainan ini diharapkan pembelajaran lebih menyenangkan dan adanya partisipasi aktif dari siswa untuk belajar. Permainan menjadi menarik sebab di dalamnya ada unsur kompetensi, ada keraguraguan karena kita tidak tahu sebelumnya siapa yang bakal menang dan kalah (Sadiman, dkk. 2011:78). Secara psikologis permainan ular tangga meningkatkan kemampuan anak-anak didik untuk berinteraksi dengan kehidupan sosial (Nugrahani, 2007:36). Pembelajaran yang melibatkan kecenderungan anak-anak untuk bermain jauh lebih efektif karena siswa merasa lebih santai. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nugrahani (2007), bahwa media pembelajaran dalam bentuk permainan ular

tannga efektif untuk meningkatkan daya serap dan pemahaman siswa terhadapp pembelajaran, khususnya pelajaran yang sulit diterima tanpa perantara media. Ketika siswa belajar dalam kondisi menyenangkan, maka siswa bisa menyerap dan mengingat lebih banyak materi yang disampaikan. Permainan ular tangga diciptakan pada tahun 1870 (http://id.wikipedia.org/wiki/ular tangga). Contoh papan permainan ular tangga disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Papan Ular tangga (http://id.wikipedia.org/wiki/ular tangga). Menurut Yusuf dan Auliya (201116) media permainan jika digunakan dengan bijaksana dapat menghasilkan manfaat sebagai berikut: 1) menghilangkan stress dalam lingkungan belajar, 2)mengajak orang terlibat penuh, 3) meningkatkan proses belajar, 4) membangun kreativitas diri, 6) meraih makna belajar melalui pengalaman, 7) menfokuskan siswa sebagai subjek belajar. Penggunaan media membawa dampak positif bagi kegiatan belajar di kelas. Menurut Nugrahani (2007:36) media ular tangga ini dinilai sangat efektif untuk mengulang (review) bab-bab tertentu dalam pelajaran yang dianggap paling sulit untuk dipahami oleh siswa dan kurang efektif apabila disampaikan secara verbal. Media permainan ular tangga dapat membuat siswa mengingat kembali pembelajaran atau materi yang telah diajarkan. Dengan media ular tangga guru dapat menghemat waktu untuk menjelaskan secara detail bab tertentu yang perlu dijelaskan kembali secara struktural. Siswa tidak merasa terbebani dengan pengulangan unit tertentu. Modifikasi permainan ular tangga disesuaikan dengan kebutuhan pembelajaran kimia. Modifikasi komponen tersebut meliputi papan permainan ular tangga, seperti petakanpetakan yang terdapat pada papan ular tangga yang bisanya terdiri dari beberapa gambar133

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

gambar diganti menjadi gambar yang berisi pengetahuan faktual, konseptual dari materi zat adiktif, psikotropika, maupun pada materi perubahan fisika dan kimia. Begitu juga dengan sistem permainan, setiap pemain yang berhenti di suatu kotak diwajibkan untuk menjawab soal dengan benar, akan mendapatkan poin yang sudah ditentukan. Demikian juga aturan permainan dimodifikasi dengan aturan di dalam permainannya. Pada akhir permainan jumlah poin akan diakumalulasikan pada masingmasing kelompok. Poin yang paling tinggi dinyatakan sebagai pemenang dan mendapatkan hadiah. Permainan ular tangga kimia sebagai media pembelajaran pada materi zat adiktif, psikotropika, serta pada materi perubahan fisika dan kimia yang dirancang diuji kelayakannya. Secara umum media pendidikan memiliki beberapa kegunaan diantaranya adalah dapat memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis, mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera, serta dapat mengatasi sifat pasif anak didik (Sadiman dkk, 2012: 17). Suatu media dapat dikatakan layak digunakan jika media tersebut telah memenuhi fungsi media. Fungsi media ini terdiri dari 4 fungsi. Pertama, fungsi atensi yaitu dapat menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk dapat berkonsentrasi terhadap isi pelajaran. Kedua fungsi afektif yaitu dapat dilihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika belajar atau membaca teks yang bergambar atau lambang visual dapat menggugah emosi dan sikap siswa, misalnya informasi yang menyangkut masalah sosial atau ras. Ketiga fungsi kognitif yaitu lambang visual atau gambar dapat memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar. Keempat fungsi kompensatoris yaitu dapat membantu siswa yang lemah dalam membaca untuk mengorganisasikan informasi dalam teks dan mengingatnya kembali (Arsyad,2013: 20-21). Berdasarkan hasil penelitian Nugrahani (2007) menunjukkan bahwa media pembelajaran berbasis visual berbentuk permainan ular tangga sangat efektif untuk meningkatkan daya serap dan pemahaman siswa terhadap pembelajaran dengan peningkatan nilai sebesar 18.8%. Selain itu penelitian Muhab (2009) juga mengemukakan bahwa media permainan ular tangga kimia dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dan hasil belajar siswa dalam materi energetika kimia.

2. Metode Penelitian Jenis penelitian adalah Research and development (R &D). Penelitian dan pengembangan adalah metode penelitian yang digunakan untuk mengembangkan suatu produk baru atau menyempurnakan produk yang telah ada, dan menguji tingkat kelayakan produk tersebut (Sugiyono, 2012: 297). Pada Gambar 1 merupakan langkah-langkah dari penilitian menurut Sugiyono. Pada penelitian ini, langkah-langkahnya dibatasi sampai revisi produk (langkah ke- 7).

Gambar 1. Langkah-langkah metode Penelitian dan Pengembangan (R & D) Sugiyono (2012; ) 3. Teknik Analisis Data Layak atau tidaknya suatu media dapat dilihat dari data angket siswa . tentang fungsi media dari empat kompetensi. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan rating scale yang disusun menggunakan kategori positif, artinya pernyataan positif memperoleh nilai tertinggi, dengan alternatif jawaban sebagai berikut (Sugiyono, 2012: 93): Sangat setuju (SS) :bobot 5, Setuju (S) : bobot 4, Ragu-Ragu (RG) : bobot 3, Tidak setuju (TS):bobot 2, Sangat Tidak Setuju (STS) : bobot jawaban 1 Pada pengukuran rating scale data yang diperoleh berupa data kuantitatif dalam bentuk persen. kemudian menjadi data kualitatif. Nilai kelayakan dari rating scale dibagi atas 4 yaitu tidak layak, kurang layak, layak dan sangat layak, seperti yang terdapat pada Gambar 2.

Gambar 2. Daerah kelayakan menggunakan analisis rating scale (Sugiyono, 2012: 137). Hasil dan Pembahasan a. Deskripsi Data Hasil desain permainan ular tangga kimia disajikan pada Gambar 3, 4 dan 5.

134

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Gambar 3. Kertas Permainan ular tangga kimia materi zat adiktif dan Psikotropika.

Gambar 4. Permainan ular tangga kimia materi perubahan Fisika dan kimia Hasil uji kelayakan diperoleh seperti pada Tabel 2, dan 3. Tabel 2. Persentase Kelayakan Pada Materi Zat Adiktif dan Psikotropika N Kriteria Nomor Persentase Interpreo Kelayakan Item Kelayakan tasi Data 1 Fungsi 1, 2, 3, 4, 91,43 % Sangat Atensi 5, 6, 7, 8, 9 Layak 2 Fungsi 10, 11, 12 94,10 % Sangat Afektif Layak 3 Fungsi 13, 14 96,00 % Sangat Kognitif Layak 4 Fungsi 15,16,17 90,29 % Sangat KompenLayak satoris Rata-rata Persentase 92,24 % Sangat kelayakan Layak 135

Tabel 3. Persentase kelayakan pada materi perubahan Fisika dan Kimia Kriteria Nomor Persentase InterpreNo Kelayakan Item Kelayakan tasi Data 1. Fungsi 1, 2, 3, Sangat Atensi 4, 5, 6, 90, 92% Layak 7, 8 2. Fungsi 9, 10, Sangat 92, 44% Afektif 11 Layak 3. Fungsi Sangat 12, 13 92, 67% Kognitif Layak 4. Fungsi 14, 15, Sangat Kompen92, 00% 16 Layak satoris Sangat Persantase Kelayakan = 91, 63% Layak Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

(Haryono, 2013: 117). Perasaan senang akan membentuk pengembangan sikap positif dalam diri siswa terhadap sesuatu yang dipelajari. Berdasarkan data analisis angket siswa tingkat kelayakan permainan ular tangga kimia untuk materi zat adiktif, psikotropika adalah 94,10 %, untuk materi perubahan fisika dan kimia yaitu 92, 44%. Hal ini menunjukan bahwa permainan ular tangga kimia sangat layak digunakan dalam pembelajaran yang mampu membantu siswa dalam meningkatkan pemahaman terhadap materi pelajaran. Hal yang terdapat pada fungsi afektif ini yaitu mengenai antusias siswa, kesenangan siswa, dan aktivitas siswa dalam pembelajaran. Aktivitas belajar siswa juga akan meningkat karena siswa terlibat langsung dalam proses pembelajaran, sehingga siswa akan lebih mudah mengingat kembali materi yang telah dipelajari sebelumnya (Haryono, 2013: 19-20). Jenis-jenis aktivitas siswa salah satunya yaitu menyelenggarakan permainan yang dapat mengembangkan pemahaman dan berfikir kritis (Hamalik, 2012: 90- 91). Permainan ular tangga kimia juga dapat meningkatkan interaksi sosial siswa, karena pada permainan ini siswa dijadikan berkelompok dengan 4 orang sebagai pemain dan 1 orang sebagai coordinator. Sehingga dengan bermain, siswa berinterkasi untuk menjadi yang terbaik, saling mengoreksi, mengingatkan, berdiskusi dalam menjawab soal-soal yang berkaitan dengan materi pembelajaran. 3). Kelayakan dari segi fungsi kogniktif Fungsi kognitif adalah fungsi media pembelajaran dalam pencapaian tujuan pembelajaran untuk memahami dan mengingat informasi yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan data angket siswa tingkat kelayakan dari segi fungsi kogniktif untuk materi zat adiktif, psikotropika adalah 96,00 %, dan untuk materi perubahan fisika dan kimia yaitu 92, 67%. Berarti permainan ular tangga kimia sebagai media pembelajaran pada materi tersebut sangat layak digunakan. Fungsi kogniktif mengenai kemampuan siswa dalam meningkatkan pemahaman terhadap materi dan kemampuan siswa dalam memahami materi yang akan dipelajari. Pada permainan ular tangga kimia ini terdapat soal-soal yang akan dijawab oleh siswa sambil bermain. Soal yang ada terdiri dari 4 buah variasi soal dengan tingkat kesulitan yang sama. Setiap seri terdiri dari 47 nomor. Ketika siswa sudah banyak mengerjakan soal latihan

b. Pembahasan 1) Kelayakan dari segi fungsi atensi Fungsi atensi yaitu menarik dan memusatkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi pada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang di tampilkan yang berisi warna, gambar, simbol, jenis dan ukuran huruf, serta bahasa yang digunakan. Berdasarkan angket siswa fungsi atensi, tingkat kelayakan yang diperoleh permainan ular tangga kimia sebagai media pembelajaran pada materi zat adiktif, psikotropika yaitu 91,43 %, dan untuk materi perubahan fisika dan perubahan kimia yaitu 90, 92%. Berarti permainan ular tangga kimia sangat layak digunakan. Kertas permainan ular tangga kimia ini dibuat semenarik mungkin, dengan memasukkan gambar-gambar dan warna yang sesuai dengan materi. Warna dari kotak-kotak dibuat lebih kontras agar siswa mampu memberikan perhatian lebih pada permainan ini, sehingga siswa mampu meningkatkan pemahaman terhadap materi . Pada kartu soal dibuat dengan menarik dengan pemberian gambar yang berbeda pada setiap seri soal tersebut. Media pembelajaran dapat dimanfaatkan dengan menggunakan gambar untuk membedakan konsep-konsep (Rahman & Amri, 2014: 182). Ketika perhatian siswa sudah meningkat maka materi yang akan dipelajari mudah dipahami. Hal ini sesuai dengan pendapat Haryono (2013: 14) jika siswa dapat memusatkan perhatiannya secara penuh dalam pembelajaran, hal ini terbukti dapat meningkatkan hasil belajar. Penggunaan jenis huruf, ukuran huruf, dan simbol disesuaikan dengan kebutuhan, bahasa yang dipakai sederhana, berisi pengetahuan faktual dan konseptual . Tampilan media yang jelas/dapat dibaca, mudah dimengerti dan menarik perhatian membuat media tersebut mampu menyampaikan pesan yang diiinginkan penggunanya (Arsyad. 2009: 105). Hal ini menunjukan bahwa media mempunyai kemampuan untuk memotivasi dan menarik perhatian siswa dalam belajar sehingga akan membangkitkan minat belajar siswa (Jalius, 2009: 18). 2)Kelayakan dari segi fungsi afektif Fungsi afektif adalah fungsi media pembelajaran dilihat dari tingkat kenikmatan siswa dalam proses pembelajaran (Arsyad, 2009: 17). Siswa yang merasa senang akan bergairah dan aktif dalam belajar bergairah 136

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

maka pengetahuan baik faktual maupun konseptual yang terdapat pada materi dapat dipahami dengan baik. Latihan bermanfaat dalam pembelajaran karena dapat meningkatkan hasil belajar, dan penguasaan aspek-aspek perubahan tingkah laku siswa (Hamalik, 2012: 95) Apabila siswa menggunakan media itu sendiri maka banyak indera yang aktif dalam menerima informasi, sehingga konsep yang terdapat pada media tersimpan dalam long term memory siswa (Jalius, 2009:79). Hal ini akan sangat membantu siswa dalam menerima suatu konsep pemahaman yang baik. 4).Kelayakan dari segi fungsi kompensantoris Fungsi kompensatoris adalah fungsi media pembelajaran mengenai kepraktisan media dalam membantu siswa. Berdasarkan data angket siswa tingkat kelayakan permainan ular tangga kimia sebagai media pembelajaran pada materi zat aditif dan psikotropika yaitu 90,29 % sedangkan untuk materi perubahan fisika dan kimia sebesar 92, 00%. Hal ini menunjukan bahwa permainan ular tangga kimia sangat layak digunakan sebagai media pembelajaran. Kepraktisan yang dimaksud adalah media ini dapat membantu siswa dalam belajar, baik dalam kelas maupun secara individual dan dapat digunakan kapan dan dimana saja. Permainan ular tangga kimia ini mudah digunakan, karena pada permainan ini juga terdapat aturan yang akan menuntun pemain dalam bermain. Pada aturan ini dijelaskan cara bermain dan apa saja yang diperbolehkan dan yang dilarang. Sehingga siswa bisa menggunakan permainan ular tangga kimia ini kapan saja dan dimana saja. Manfaat pemakaian media dalam pembelajaran yaitu, dapat terjadi kapan dan dimana saja (Jalius, 2009: 83).

Ucapan Terimakasih Penelitian ini terlaksana atas bantuan dan kerjasama beberapa pihak, untuk penulis mengucapkan terima kasih kepada: ketua Jurusan kimia FMIPA, Dekan FMIPA, Siswa/siswi , Guru-guru IPA dan Kepala SMP N 1 Lubuk Sikaping, dan SMP N 3 Batang Anai. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2013. Ular Tangga. http://id. wikipedia.org/wiki/Ular_tangga), diakses 24 maret 2014 Arsyad, Azhar. 2007. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada Hamalik, Oemar. 1986. Media Pendidikan. Bandung: P.T Alumni. Haryono. 2013. Pembelajaran IPA yang Menarik dan Mengasyikkan: Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Kepel Hees, Rex, 2009. Center for Excellence in Learning and Teaching, Iowa State University.http://id.wikipedia.org/wiki/ul ar tangga. Jalius, Ellizar. 2009. Pengenbangan Program Pembelajaran. Padang: UNP Press Mudjiran, dkk . 2007. Perkembangan Peserta Didik. Padang: UNP. Nugrahani, Rahina. 2007. Media Pembelajaran Berbasis Visual Berbentuk Permainan Ular Tangga Untuk Meningkatkan Kualitas Belajar Mengajar di Sekolah Dasar. Jurnal Lembaran Ilmu Kependidikan Jilid 36, No.1 Rahman, Muhammat &Amri, Amri. 2014. Model Pembelajaran Arian Terintegratif. Jakarta: Prestasi Pustaka Sadiman, Arief,dkk. 2011. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Shapiro, Lawrence E. 199. Mengajarkan Emotional Inteligence, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Sugiyono. 2007. Metode Penelitian (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabetan. Suyadi, 2009. Permainan Edukatif yang Mencerdaskan. Jogyakarta: Power Books Yusuf, Yasin & Umi Auliya. 2011. Sirkuit Pintar: Melejitkan Kemampuan Matematika & Bahasa Inggris dengan Metode Ular Tangga. Jakarta: Visimedia.

4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data angket siswa disimpulkan bahwa permainan ular tangga kimia pada materi zat adiktif, psikotropika dan materi perubahan fisika dan kimia sangat layak digunakan sebagai media pembelajaran untuk SMP ditinjau dari segi fungsi media, yaitu fungsi atensi, afektif, kognitif dan kompensatoris.

137

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

MODEL PEMBELAJARAN AKTIF, KREATIF, EFEKTIF, DAN MENYENANGKAN DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN KIMIA Usman Bakar Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Padang ABSTRAK Penggunaan model pembelajaran tradisional dipandang tidak baik untuk mengembankan potensi siswa secara maksimal. Akibatnya, siswa kurang termotivasi secara penuh berpartisipasi dalam proses pebelajaran sebagai ditunjukkan oleh pengalaman yang kurang memuaskan. Studi model PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan) dalam pembelajaran kimia di SMAN perlu diimplementasikan. Tujuan studi ini adalah untuk mendeskripsikan keefektifan dari model PAKEM dalam proses pembelajaran kimia di SMAN. Sampel penelitian ini adalah dua kelas siswa di sekolah level tinggi, dua kelas siswa di sekolah level sedang, dan dua klelas siswa di sekolah level bawah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan dalam hal hasil belajar siswa antara siswa yang belajar dengan Model PAKEM dan yang belajar dengan model tradisional pada sekolah ketegiri tinggi, sekolah kategori sedang, dan sekolah kategori bawah. Penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi model PAKEM dalam proses pembelajaran kimia efektif meninkatkan hasil belajar siswa baik pada sekolah kegori tinggi, sedang, dan bawah. Sebagai kesimpulan, model PAKEM lebih efektif dari model tradisional dalam meningkatkan hasil belajar kimia siswa. Ini akan sangat bermanfaat bila guru kimia mengadopsi model PAKEM ini untuk mencapai kualitas yang baik dalam proses pembelajaran kimia di SMA. Key Word: model PAKEM, proses pembelajaran, hasil belajar, and Kimia. dan menyenangkan (enjoyable learning). Active learning mengacu pada pembelajaran yang memberikan tanggungjawab lebih besar kepada peserta didik. Peserta didik lebih banyak dilatih agar mampu menggali sendiri informasi, memecahkan masalah, bekerja kelompok, berdiskusi, mengumpulkan data/fakta, dan merumuskan kesimpulan. Peran guru lebih banyak membimbing, mengarahkan, memotivasi, memfasilitasi, dan menciptakan kondisi belajar yang kondusif. Creative learning memberikan kebebasan kepada siswa untuk berkarya agar menjadi kreatif, mampu mengemukakan ide-ide atau pendapat-pendapat yang relatif baru dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Guru berperan mendorong dan memfasilitasi siswa mengemukakan ide atau pendapat yang relevan dengan permasalahan yang sedang dihadapi. Sedangkan efective learning dimaksudkan sebagai pembelajaran yang dapat mencapai tujuan pembelajaran sesuai dengan yang direncanakan. Enjoyable learning merupakan suasana lingkungan pembelajaran yang nyaman, tidak mengancam, penuh dengan kegembiraan, kasih sayang, suasana keakraban, menantang, dan

I. Pendahuluan PAKEM merupakan sebuah model pembelajaran yang perlu diterapkan dalam proses pembelajaran. Permen Diknas No 22 tahun 2006 tentang standar isi KTSP menegaskan bahwa guru harus mengajarkan content kurikulum melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Di samping itu, Permen Diknas No 41 tahun 2007 juga menegaskan bahwa guru dalam kegiatan inti proses pembelajaran harus melatih peserta didik dengan kemampuan eksplorasi informasi, elaborasi, dan konfirmasi secara maksimal. Lebih jauh, UU No,20 tahun 2003 tentang Sisdiknas mendefinisikan pendidikan sebagai upaya sadar dan terencana untuk menciptakan suasana belajaar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensinya secara maksimal untuk memiliki pengetahuan, keterampilan, dan rasa percaya diri yang berguna bagi dirinya, bangsa, dan negara. Dengan perkataan lain, implementasi model PAKEM sangat penting dalam proses pembelajaran di sekolah. PAKEM adalah singkatan dari pembelajaran aktif (active learning), kreatif (creative learning), efektif (effective learning), 138

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

berkompetisi, sehingga proses pembelajaran menjadi bermakna bagi peserta didik. Siswa senang belajar bukan karena guru memberikan materi pelajaran yang mudah-mudah, tugas yang tidak sulit, disiplin belajar yang longgar, dan soal ujian yang tidak sukar, tetapi karena kondisi belajarnya dibuat menyenangkan. Dalam hal ini, guru berperan mengkondisikan proses pembelajaran yang membuat siswa senang belajar, baik dengan guru maupun tanpa guru. Penggabungan keempat macam tipe pembelajaran tersebut di atas akan menghasilkan pembelajaran model PAKEM seperti diamanatkan Permen Diknas No. 22 tahun 2006. 1.1. Latar Belakang Pembelajaran model PAKEM ini pada dasarnya dapat diterapkan pada semua mata pelajaran di sekolah. Kerena, model pembelajaran seperti ini selalu didasarkan pada hakekat dan martabat peserta didik yang memiliki potensi intelektual, sosial, emosional dan spiritual tinggi yang harus dikembangkan secara maksimal. Tentu saja, penerapannya dalam proses pembelajaran mensyaratkan profesionalisme guru yang memiliki kemampuan dan keterampilan handal dalam mengelola proses pembelajaran dengan mengutamakan keterlibatan siswa melalui penguasaan mereka terhadap keterampilan belajar mandiri (independent learning skills). Di samping merancang pembelajaran model PAKEM, guru juga harus mampu mengajarkan kepada siswa tentang bagaimana cara belajar yang baik (learning how to learn) yang dikenal sebagai keterampilan belajar (study skills). Sebab, study skills berfungsi sebagai alat untuk membantu peserta didik menjadi pembelajar yang mandiri (independent learners). Dengan study skills yang cukup, siswa akan dapat berpartisipasi secara aktif dalam proses pembelajaran yang bernuansa PAKEM dalam mengembangkan potensi dirinya melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Selanjutnya, pembelajaran model PAKEM dapat diwujudkan dengan menerapkan beberapa pendekatan aktif, antara lain: (1) pendekatan pembelajaran pemecahan masalah (problem solving) yang mengacu kepada pembentukan sikap ilmiah peserta didik dalam memecahkan berbagai permasalahan yang dialaminya sehari-hari. (2) pembelajaran inkuiri (inquiry learning) yang menekankan kepada penggunaan pikiran peserta didik secara

maksimal untuk memahami suatu konsep atau prinsip yang diajarkan (3) pembelajaran koperatif (cooperative learning) yang menekankan kepada aktivitas belajar dalam kelompok kecil (small-group discussion), dan (4) pembelajaran CTL (contextual teaching and learning) yang mengacu kepada proses pembelajaran yang bertujuan untuk membantu peserta didik menemukan makna dari materi akademik yang sedang mereka pelajari dengan menghubungkannya dengan pengetahuan akademik yang sudah mereka miliki dalam kontek kehidupam mereka sehari-hari, yakni dalam kontek hubungan personal, sosial, dan budaya mereka. Dengan perkataan lain, penerapan keempat macam pendekatan tersebut di atas secara terpadu dapat menghasilkan suatu proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan Umumnya, pembelajaran model PAKEM dengan menggunakan pendekatan problem solving, inquiry leraning, cooperative learning dan CTL ini sangat cocok diterapkan dalam proses pembelajaran kimia di SMA. Karena, mata pelajaran ini merupakan salah satu mata pelajaran dalam disiplin Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang dikembangkan atas dasar observasi dan eksperimentasi. Meskipun pada awalnya konsep dan prinsip ilmu kimia diperoleh dan dikembangkan berdasarkan percobaan dan pengamatan dengan menggunakan pendekatan induktif, namun pada perkembangan selanjutnya konsep dan prinsip kimia itu juga bisa diperoleh dan dikembangakan secara teoritis dengan menggunakan pendekatan deduktif (Permen No 22 tahun 2006), sehingga materi pelajaran kimia itu berkembang sangat cepat. Oleh karena itu, dalam mempelajari ilmu kimia, peserta didik tidak mungkin diajar secara tradisional dengan menyampaikan materi kimia sebanyakbanyaknya, peserta didik diminta datang, duduk, mencatat, dan menghafal yang sering disebut model belajar DDCH (datang, duduk, catat, dan hafal). Sebaiknya, mereka harus dihadapkan kepada proses pembelajaran yang berorientasi kepada pemecahan masalah, penggalian informasi, pengumpulan data, pengamatan fenomena, bertanya, menjawab pertanyaan, diskusi kelompok, perumusan kesimpulan, pembuatan laporan dan komunikasi hasil belajar. Kegiatan-kegiatan belajar seperti itu sangat relevan diberikan kepada peserta didik dalam mempelajari konsep atau prinsip ilmu kimia, baik yang bersifat 139

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

konkrit maupun abstrak. Melalui penciptaan kegiatan seperti ini peserta didik akan belajar kimia secara aktif, kreatif, efektif, dalam suasana belajar yang menyenangkan. Dengan perkataan lain, penerapan model PAKEM dalam mata pelajaran kimia di SMA dapat mewujudkan suatu proses pembelajaran yang membelajarkan siswa. Berbagai penelitian tentang model pembelajaran siswa aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan telah dilakukan para ilmuwan. Berkaitan dengan aktivitas belajar, Fosmire dan Alexius (2002) menemukan bahwa peserta didik akan belajar lebih baik jika mereka secara aktif terlibat dalam mempelajari materi pelajaran, dari pada secara pasif menerima ceramah guru tentang materi pelajaran. Dalam hal ini, pendekatan pembelajaran yang dapat melibatkan peserta didik secara aktif adalah pendekatan pembelajaran pemecahan masalah, inkuiri, koperatif, dan CTL. Dengan kata lain, penerapan keempat pendekatan tersebut di atas dapat memicu aktivitas dan kreativitas siswa dalam belajar sehingga proses pembelajaran menjadi efektif dan menyenangkan. Penelitian Pizzini, 1996 (dalam Kusmawan, 1998) dan Syulasmi (2001) mengungkapkan bahwa penggunaan pendekatan problem solving dalam proses pembelajaran dapat meningkatkan aktivitas, kreatifitas dan hasil belajar. Selain itu, Lufri (2005) melaporkan hasil penelitiannya bahwa pembelajaran berbasis problem solving yang diintervensi dengan peta konsep paling baik dalam meningkatkan hasil belajar peserta didik. Selanjutnya, berkaitan dengan pendekatan inquiry learning, Rahman, dkk (2001 dan Rodriguez dan Bethel (1983) melaporkan hasil penelitiannya bahwa penggunaan pendekatan inkuiri dalam proses pembelajaran sangat efektif dalam meningkatkan kemampuan berpikir, keterampilan mengklasifikasi dan berkomunikasi yang berdampak pada peningkatan hasil belajar. Senada dengan itu, hasil penelitian Ni Ketut Rapi (2004) menggambarkan bahwa prestasi belajar Fisika yang belajar melalui model pembelajaran Hipotesis-Deduktif lebih baik dari pada yang belajar melalui model pembelajaran inkuiri. Tetapi sikap ilmiah peserta didik yang belajar melalui model belajar inkuiri lebih tinggi dari pada yang belajar melalui siklus belajar hipotesis-deduktif. Lebih jauh, Be Kim Hoa Nio (1969) melaporkan hasil penelitiannya bahwa penggunan pertanyaan peringkat tinggi

jauh lebih unggul dalam merangsang peserta didik berpikir mendalam, analitis, kritis dan kreatif yang mengarah pada pembentukan penalaran. Dalam hal pendekatan cooperative learning, Wakhinuddin (2003) melaporkan bahwa pembelajaran koperatif dapat meningkatkan aktivitas belajar, kerjasama, dan kemampuan berkomunikasi. Sejalan dengan itu, Mega Iswari dan Marlina (2002) menyimpulkan bahwa penerapan strategi pembelajaran koperatif dapat menghasilkan kerjasama yang produktif dan kondusif antar sesama mahasiswa dalam kelompok dan memotivasi mahasiswa lebih giat belajar sehingga suasana belajar lebih dirasakan hidup. Berkenaan dengan pendekatan CTL (contextual teaching and lerning), National Science Board (1991) melaporkan hasil penelitiannya bahwa peserta didik dapat memahami dunia nyata bila mereka bekerja secara langsung dengan fenomena alam di sekitarnya, menggunakan pikiran untuk mengamati dan menggunakan instrumen untuk mengembangkan daya nalarnya. Selain itu, I Ketut Tika (2004) melaporkan bahwa rata-rata hasil belajar peserta didik yang diajar dengan model pembelajaran kontektual teaching and learning (CTL) lebih tinggi daripada yang diajar dengan model pembelajaran langsung (expository learning). Di samping itu, penelitian Sunarya, dkk (2001) menemukan bahwa penerapan model pembelajaran berbasis keterampilan berpikir kritis dan keterampilan proses sains harus didasarkan kepada jenis dan sifat konsep materi yang akan diajarkan. Lebih jauh, Iskandar (2001) melakukan penelitian tentang penerapan teori belajar konstruktvisme dalam proses pembelajaran kimia. Ia menemukan bahwa pembelajaran yang berorientasi kepada konstruktivisme cocok diterapkan dalam proses pembelajaran kimia di SMA. Dapat disimpulkan bahwa hasil-hasil penelitian tentang pembelajaran peserta didik aktif yang dilaporkan oleh para peneliti pada umumnya menggambarkan temuan-temuan yang positif. Mesikupun pembelajaran Model PAKEM lebih cocok diterapak dalam proses pembelajaran, tetapi mengingat banyaknya ragam peserta didik yang dihadapi guru, belum tentu juga efektif diterapkan, perlu diteliti terlebih dahulu. Oleh karena itu, penelitian tentang model PAKEM dan Implementasinya dalam proses pembelajaran kimia, perlu dilakukan. 140

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Pembelajaran model PAKEM dapat dilaksanakan dengan langkah sebagai berikut: (1) mengatur ruang kelas yang menyenangkan, (2) memotivasi peserta didik belajar, (3) mengajukan masalah sesuai dengan kompetensi dasar yang akan diajarkan, (4) memberi peserta didik keterampilan belajar (study skills), (5) mendorong peserta didik aktif belajar (membaca, berdiskusi, bertanya, menjawab pertanyaan/mengemukakan pendapat, berkreasi, dsb), (6) membimbing peserta didik memecahkan masalah dengan menggunakan beragai macam metode (ekspositori, demonstrasi, diskusi, dan eksperimentasi) dan pendekatan (inkuiri, pemecahan masalah, koperatif, dan CTL), (7) menggunakan media pembelajaran, (8) membimbing peserta didik menyimpulkan materi pelajaran yang telah dipelajarinya, (9) memberi tugas-tugas pembelajaran, (10) mengevaluasi hasil belajar, (11) memberi peserta didik pembelajaran remedial dan/atau pengayaan. Dengan menerapkan langkah-langkah pembelajaran tersebut di atas, pembelajaran model PAKEM dalam proses pembelajaran kimia di SMA dapat diwujudkan. Pembelajaran eksperimen adalah metode pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik, baik perorangan meupun kelompok kecil, untuk melakukan suatu perobaan di laboratorium atau dlapangan terbuka, guna membukatikan teoti atau menemukan sendiri pengetahuan yang relatif baru. Metode ini umumnya dilakukan di laboratorium, yaitu melaui kegiatan praktikum yang dipandu dengan buku petunjuk praktikum, lembaran kerja, dan bimbingan guru atau asisten praktikum. Fungsi metode ini adalah sebagai penunjang kegiatan proses belajar siswa untuk menemukan konsep-konsep tertentu atau menjelaskan konsep-konsep yang dikembangkan. Dalam hal ini, fungsi laboratorium tidak diartikan sebagai tempat untuk kegiatan belajar yang sekedar mengcek atau mencocokkan benaran teori, tetapi juga harus berfungsi mengembangkan proses berpikir dengan timbulnya pertanyaan mengapa terjadi reasi demikian, bagaimana terjadi gas, dan mengapa terjadi perubanahan warna. Dengan demikian, penggunaan metode ekperimen dalam proses pembelajaran dapat memberikan gambaran yang konkrit tentang suatu peristiwa yang berkaitan dengan materi pelajaran sehingga pemahaman siswa terhadap materi pelajaran lebih optimal.

1.2. Perumusan Masalah Perumusan masalah penelitian ini dapat dkemukakan sebahai berikut: Apakah penerapan model PAKEM dalam proses pembelajaran kimia efektif meningkatkan hasil belajar peserta didik. 1.3. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui: Apakah implementasi model PAKEM dalam proses pembebelajar an kimia dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik. 2. Metode Penelitian Metode penelitian ini adalah metode ekperimen, karena melihat efetifitas penerapan model PAKEM terhadah hasil belajar peserta didik. Penelitian ini dilakukan di SMAN Kota Padang. Sampel terdiri dari tiga SMAN, yaitu SMAN 1 (sebagai sekolah katori tinggi), SMAN 9 (sebagai sekolah kategori sedang), dan SMAN 7 (sebagai sekolah kategiri bawah). Pengkategoriannya berdasarkan nilai NEM. Masing-masing SMA diambil 2 kelas sampel, yaitu, kelas sampel ekperimen dan kontrol. Instrumen yang dipakai adalah instrumen buatan sendiri, setelah divalidasi (uji normalitas dan variabilitas), intrumen bisa digunakan, Penelitian ini dilakukan bulan Maret dan april 2010, dengan topik kimia Sistem Kolid, yang dilakukan selama 1 bulan mengajar dan praktikum di kelas. Kelas ekprimen diajar dengan model PAKEM dan kelas kontrol diajar dengan model tradisional. Hasil belajar antara kelas eksperimen dan kelas kontol diuji dengan t-tes, setelah dilakukan terlebih dahulu uji normalitas dan homogenitas 3. Kajian Teori Meskipun pembelajaran model PAKEM, secara teoritis, cocok diterapkan dalam proses pembelajaran kimia yang terpusat kepada siswa (student centered instruction) sebagaimana dituntut KTSP dan permen-permen yang mengatur tentang pembaharuan pendidikaan nasional kearah pengembangan potensi siswa secara maksimal dan mandiri, namun kenyatan di lapangan masih banyak guru yang belum memahaminya dengan baik tentang pembelajaran model PAKEM ini. Guru mata pelajaran kimia di SMA pada umumnya mengalami kesulitan dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran bernuansa PAKEM. Dengan kata lain, pembelajaran model PAKEM perlu disosialisasikan dan diujicobakan secara eksperimen dalam proses pembelajaran kimia di SMA. 141

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Tentukan Standar Kompetensi (berdasarkan KTSP) Tentukan Indikator Keberhasilan (berdasarkan kompetensi dasar) Tentukan Materi Pelajaran (berdasarkan tujuan pembelajaran) Ajukan Masalah (berdasarkan materi pelajaran) Bimbing Siswa (memecahkan masalah) Kelompok besar/klasikal Aktivitas guru: Membimbing siswa dengan menggunakan metode dan pendekatan: Demontrasi Diskusi Problem solving Inquiry learning CTL Memberi siswa kesempatan belajar yang optimal Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan Menerapkan high-touch dan high-tech Mengamati aktivitas siswa Aktivitas siswa: Berpikir memecahkan masalah Membaca/menggali informasi Bertanya Berdiskusi Mengemukakan pendapat Merumuskan kesimpulan Mengerjakan tugas

Kelompok kecil/group Aktivitas guru: Membimbing siswa dengan menggunakan metode dan pendekatan: Diskusi Problem solving Inquiry learning Koperatif CTL Memberi siswa kesempatan belajar yang optimal Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan Menerapkan high-touch dan high-tech Mengamati aktivitas siswa Aktivitas siswa: Berpikir memecahkan masalah Membaca/menggali informasi Berdiskusi Mengemukakan pendapat Merumuskan kesimpulan Mengerjakan tugas

Praktek laboratorium/group Aktivitas guru: Membimbing siswa dengan menggunakan metode dan pendekatan: Eksperimentasi Diskusi Problem solving Inquiry learning Koperatif CTL Memberi siswa kesempatan melalukan percobaan Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan Menerapkan high-touch dan high-tech Mengamati aktivitas siswa Aktivitas siswa: Memahami petunjuk percobaan Melakukan percobaan Mengamati dan mencatat data Berdiskusi Merumuskan kesimpulan Membuat laporan Mengkomunikasikan hasil

Evaluasi hasil belajar siswa (kognitif, afektif, psikomotor)

Tidaklanjut hasil evaluasi

Gambar 1. Skema Model PAKEM Pembelajaran model PAKEM dapat menjangkau 2 pilar pendidikan, yaitu kewibawaan dan kewiyataan. Kewibawaan adalah alat pendidikan yang digunakan guru untuk menjangkau kedirian peserta didik dalam proses penbelajaran melalui perilaku kasih sayang dan kelembutan, penguanatan

(reinforcemen), pengarahan, tindakan tegas dan keteladanan yang mendidik (Prayitno, 2005). Purwanto (2006) mengemukakan bahwa kewibawaan timbul dari perkataan guru yang bisa mengikat dan selalu dituruti oleh pesrta didik. Dapat disimpulkan bahwa melalui kewibawaan, guru bisa menciptakan suasana 142

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

pembelajaran yang menyenanangkan yang mendorong peserta didik belajar mandiri, Kewibawaan pendidik harus diimplementasikan dalam proses pendidikan dan pembelajaran melalui perwujudan nilainilai atau norma-norma yag ada dalam diri pendidik itu sendiri (Purwanto, 2006) . Alasannya, kewibawaan itu sendiri mempunyai tujuan untuk membawa peserta didik ketingkat kedewasaan, yaitu menuju kehidupan yang sesuai dengan aturan-aturan atau norma-norma, maka sudah seharusnyalah pendidik menberi contoh dan tauladan tentang penerapan aturanaturan atau norma-norma itu dalam kehidupan sehari-hari. Langeveld (1978) mengungkapkan bahwa tidak ada seseorangpun lebih banyak kewibawaannya dari pada mewujudkan nilainilai kewibawaan itu dalam dirinyna sendiri. Jika demikian, guru sebagai pendidik seyogyanya mewujudkan aturan-aturan, nilainilai atau norma-norma yang mencerminkan kewibawaan dalam setiap kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang dilakukan, baik di sekolah maupun di luar sekolah Pemahaman guru terhadap konsep pendidi sangat mempengaruhi kualitas proses pembelajaran. Guru konfesional memandang bahwa pendidik adalah individu super yang bisa mengisi otak peserta didik dengan berbagai macam ilmu pengetahuan dan keterampilan jadi. Pada hal, guru seharusnya memandang dirinya sebagai pendidik profesional yang berada pada posisi aktif dalam mebantu para peseta didik mengembangkan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan (Purwanto, 2006). Lebih rinci, UU No 14 tahun 2005 menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Senada dengan itu, pendidik adalah individu yang melibatkan diri dalam memberikan bimbingan, pengajaran, dan pelatihan kepada orang lain. Selanjutnya konsep pendidik sebagai jabatan fungsional telah diakui oleh para ahli pendidikan dan masyarakat luas. Full (1967) mengungkapkan bahwa pendidik adalah jabatan profesional, Alasannya adalah pendidik dalam melaksanakan tugasnya melibatkan enam hal pokok, yaitu (1) karakter intelektual kaidah keilmuan yang penuh dengan proses berpikir, (2) kompetensi profesi pendidik yang diperoleh melalui belajar, penelitian, kerja laboratorium, dan seminar, (3) objek spesifik sebagai wadah

pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran (4) komunikasi pendidikan yang terbuka dan transparan (5) orgaisasi profesi yang baik, dan (6) motivasi kerja profesi untuk kepentingnan masyarakat. Pandangan tersebut jika dimiliki oleh guru, maka ia akan menjadi guru yang profesional yang diakui oleh masyarakat luas. Berdasarkan persyaratan keprofesian seperti dkemukakan di atas, maka tugas guru bukan lagi mengajarkan pengetahuan, tetapi mengajarkan kompetensi yang menekankan kepada penguasaan secara optimal konsepkonsep keilmuan dan perekayasaan yang didasarkan kepada nilai-nilai dan etika moral. Tugas mulia ini hanya bisa diemban oleh guru yang memahami fungsinya sebagai pendidik profesional. 4. Pembahasan Hal ini menggambarkan bahwa penerapan model PKEM dalam proses pembelajaran kimia di SMA efektif meningkatkan hasil belajar siswa. Dengan perkataan lain, jika dibandingkan dengan model pembelajaran tradisonal, penerapan model PAKEM dalam proses pembelajaran kimia dapat meningkatkan hasil belajar siswa secara maksimal. Keefektifan penggunaan model PAKEM dibandingkan dengan penggunaan model pembelajaran tradisional terhadap peningkatan hasil belajar siswa disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain keterlibatan siswa yang maksimal dalam proses pembelajaran, bimbingan guru, metode dan pendekatan yang digunakan. Dalam proses pembelajaran model PAKEM, siswa umumnya dilibatkan secara aktif mengembangkan potensi dirinya belajar secara mandiri dan koperatif dengan menggali informasi melalui berbagai sumber belajar, mendiskusikan materi pelajaran dengan cara bertanya dan mengemukakan pendapat berkaitan dengan masalah yang akan dipecahkan, mencatat, menggambar, dan mempresentasikan hal-hal yang sudah dipelajari. Sejalan dengan pendapat Ansyar (1989) yang mengungkapkan bahwa potensi peserta didik harus diaktualisasikan untuk memanusiakan manusia. Keterlibatan dalam belajar pada dasarnya akan memperkaya peserta didik dengan pengalaman belajar yang bervariasi sehingga ilmu pengetahuan yang diperolehnya menjadi lebih berkualitas. Fosmire dan Alexius (2002) mengemukakan bahwa bahwa belajar akan 143

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

lebih efektif bila peserta didik terlibat secara individu atau kelompok dalam proses pembelajaran. Selain itu, Bonwell dan Edison (1991) mengungkapkan bahwa pembelajaran yang melibatkan peserta didik secara aktif bisa menghasilkan lima keuntungan, yaitu peserta didik (1) terlibat dalam kelas melebihi mendengar, (2) memperoleh lebih banyak pengalaman dan keterampilan belajar, (3) terlatih berpikir pada level yang lebih tinggi, seperti menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi, (4) dilibatkan dalam kegiatan menggali informasi, berdiskusi, dan menulis, dan (5) terlatih memiliki nilai dan sikap ilmiah yanh baik. Di sisi lain, pembelajaran tradisional (DDCH) lebih terfokus kepada guru (teacher centered instruction). Siswa lebih banyak pada posisi pasif, seperti mendengan, mencatat, bertanya, dan mengerjakan tugastugas terstruktur, sehingga potensi dan pengalaman belajar siswa tidak berkembang secara maksimal. Dengan demikian, pembelajaran model PAKEM yang melibatkan peserta didik belajar secara aktif memberikan dampak positif terhadap peningkatan kualitas hasil belajar. Selain itu, peran guru sebagai fasilitator pembelajaran juga sangat menentukan kualitas proses dan hasil belajar. Dalam proses pembelajaran model PAKEM, guru berperan memfasilitasi peserta didik belajar melalui berbagai cara, antara lain mengajukan masalah yang akan dipecahkan, memberi keterampilan belajar (study skills), membimbing peserta didik menggali informasi, berdiskusi, dan mengembangkan kreativitas siswa secara maksimal. Di sisi pihak, pembelajaran tradisional lebih mementingkan penyampaian materi pelajaran secara sistematis sesuai silabus dan menghandalkan kemampuan peserta didik mendengan, mencatat, mengingat atau menghafal ilmu pengetahuan yang telah diajarkaan. Dengan perkataan lain, dalam proses pembelajaran model PAKEM, bimbingan guru dan motivasi siswa belajar sangat diperlukan untuk mengembangkan potensi dirinya secara maksimal guna mencapai hasil belajar yang lebih tinggi. Disamping itu, pembelajaran model PAKEM juga menerapkan berbagai macam metode dan pendekatan pembelajaran peserta didik aktif yang disesuaikan dengan karakteristik materi kimia yang diajarkan. Dalam hal ini, guru menciptakan suasana belajar yang terpusat kepada peserta didik

(student centered instruction) dengan menggunakan berbagai macam metode dan pendekatan pembelajaran yang relevan, antara lain metode ekspositori, demontrasi, diskusi, dan eksperimentasi dengan menggunakan pendekatan inquiry, problem solving, cooperative, dan CTL. Seperti dikemukakan dalam Bab I, berbagai hasil penelitian menggambarkan bahwa penggunaan metode dan pendekatan seperti tersebut di atas pada umumnya dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas serta mengembangkan sikap atau nilai-nilai ilmiah peserta didik secara maksimal. Di samping itu, penggunana metode dan pendekatan ini akan berdampak posistif terhadap peningkatan hasil belajar jika guru menciptakan suasana belajar yang efektif dan menyenangkan dengan cara membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), mengatur ruang belajar yang nyaman, memotivasi siswa belajar, melaksanakan kegiatan pembelajaran siswa aktif, menciptakan interaksi pembelajaran yang menyenangkan, mewujudkan proses pembelajaran yang demokratis dan obyektif, dan menerapkan sistem pemberian nilai dan hukuman yang mendidik. Dengan demikian, pembelajaran model PAKEM dapat mengembangkan seluruh potensi siswa untuk mencapai suatu hasil belajar yang memuaskan. Jika dilihat dari segi perbedaan hasil belajar siswa yang belajar dengan model PAKEM antara sekolah kategori unggul, sedang, dan bawah, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan hasil belajar siswa yang belajar dengan model PAKEM antara sekolah kategori unggul dan sekolah kategori sedang, tetapi terdapat perbedaan yang berarti dalam hal hasil belajar siswa antara sekolah kategori unggul dengan sekolah kategori bawah dan sekolah kategori sedang dengan sekolah kategori bawah. Perbedaan ini pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu (1) potensi diri dan (2) keterampilan belajar (study skills). Pembelajaran model PAKEM memerlukan potensi diri siswa yang siap untuk dikembangkan. Potensi diri berupa kemampuan intelektual ini pada umumnya telah dimiliki oleh siswa secara individual dengan intensitas yang tidak selalu sama antara satu dengan yang lainnya. Siswa di sekolah kategori unggul dan sedang pada umumnya memiliki potensi diri yang relatif tinggi sehingga mudah dikembangkan secara maksimal. Para siswa di sekolah ini telah memiliki motivasi belajar yang 144

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

baik, sehingga pembelajaran model PAKEM yang berorientasi kepada pembelajaran siswa yang secara aktif mengembangkan potensi diri secara maksimal dapat terlaksana secara efektif. Dibandingkan sekolah kategori bawah, para siswa di sekolah ini umumnya memiliki potensi diri atau kemampuan intelektual yang relatif rendah sehingga mereka mengalami kesulitan belajar secara mandiri. Mereka lebih suka diajar daripada dibelajarkan. Dengan demikian, pembelajaran model PAKEM lebih efektif diterapkan dalam proses pembelajaran siswa yang memiliki potensi diri dan motivasi belajar yang tinggi dibandingkan dengan siswa yang memiliki potensi diri dan motivasi belajar yang rendah.

Efektivitas penggunaan model PAKEM dalam proses pembelajaran kimia di sekolah kategori unggul dan sedang tidak berbeda secara signifikan, tetapi lebih tinggi dari sekolah kategori bawah.. Keefektifan penggunaan model PAKEM dibandingkan dengan penggunaan model pembelajaran tradisional (DDCH) terhadap peningkatan hasil belajar mata pelajaran kimia disebabkan oleh keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran, bimbingan guru dalam mengembangkan kemampuan kreativitas siswa, penggunaan metode dan pendekatan pembelajaran yang bervariasi sesuai dengan karakteristik materi kimia yang diajarkan. Dalam pelaksanaan proses pembelajaran model PAKEM, guru perlu memberi siswa keterampilan belajar (study skills) secara efektif sehingga dapat digunakannya dalam menyelesaikan tugas-tugas belajar yang dihadapinya. 6. Saran Mengacu kepada kesimpulan yang dikemukakan di atas maka dapat dirumuskan saran-saran sebagai berikut. a. Dalam upaya meningkatkan kualitas hasil belajar kimia, guru diharapkan menggunakan b. model PAKEM dalam setiap kegiatan pembelajaran. c. Penggunaan model PAKEM dalam proses pembelajaran perlu disesuaikan dengan d. tingkat kemampuan akademik serta motivasi belajar siswa. e. Dalam melaksanakan proses pembelajaran model PAKEM, guru perlu memberi siswa f. keterampilan belajar (study skills) yang cukup sehingga mereka mampu menyelesaikan g. tugas-tugas belajarnya secara mandiri.

Selain itu, keterampilan belajar (study skills) yang dimiliki siswa secara individual juga sangat menentukan keberhasilannya dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Senada dengan itu, Gall, dkk (1990) yang menyatakan bahwa proses pembelajaran akan berhasil baik jika peserta didik memiliki study skills yang bisa digunakan untuk menyelesaikan semua tugastugas belajar secara mandiri dengan sedikit peran atau arahan guru. Umumnya para siswa di sekolah kategori unggul dan sedang telah memiliki keterampilan belajar yang cukup baik sehingga mereka mengetahui bagaimana caracara belajar yang benar untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang diinginkannya. Sebaliknya, para siswa di sekolah kategori bawah umumnya memiliki keterampilan atau kebiasaan belajar yang kurang baik sehingga mereka mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugas belajar secara mandiri. Dalam belajar mereka lebih suka menerima informasi dari guru daripada menggali informasi secara mandiri. Dengan demikian, pembelajaran model PAKEM lebih efektif diterapkan dalam proses pembelajaran siswa yang telah memiliki keterampilan belajar (study skills) yang baik daripada siswa yang memiliki keteramilan belajar yang relatif kurang baik. 5. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dikemukakan di atas dapat dirumuskan kesimpulan penelitian sebagai berikut: Penerapan model PAKEM dalam proses pembelajaran kimia di SMA efektif meningkatkan hasil belajar peserta didik, baik di sekolah kategori unggul maupun di sekolah kategori sedang dan bawah.

DAFTAR PUSTAKA Ansyar, Mohammad. (1989). Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti P2LPTK. Asim. (2001). Sistematika Penelitian Pengembangan. Malang:LPUNM Bischof, L.J. (1976). Adult Psychology. New York: Harper & Row Publishing. Bonwell, C.C. & Edison, J.A. (1991). Active Learning: Creating Excitement in The Classroom. Washington DC: George Washington University. DeeFink. (1999). Active Learning. http://coe.sdsu.edu.eet/article/activelerani 145

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

ng/start.htm, diakses tanggal 28 Agustus 2007) DePoster, Bobbi & Reardon Mark. (1999). Quantum Teaching (terjemahan Ary) : Bandung: Penerbit Kaifa. Djiwandono, Sri Esti Wuryani. (2002). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Fosmire & Alexius Macklin. (2002). Riding the Active Learning Wave: Furchan, Arief. (2005). Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gall, MD, et al. (1990). Tools for Learning. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development. Iskandar, Sririni M (2001). Penerapan Konstruktivisme dalam Pembelajaran Kimia di SMU.”Media Komunikasi Kimia”. Nomor 2 tahun ke 5 I Ketut Rapi (2004). Prestasi Belajar Fisika Siswa melalui model belajar HipotesisDeduktif “Jurnal Pendidikan MIPA” , volume 3 tahun ke 4 I Ketut Tika (2004) “ Pembelajaran Kontektual Teaching and Learning dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa.”Jurnal Pendidikan MIPA. Volume 4 tahun ke 3 Khatena, J. (1982). Educational Psychology. Boston: Hougton Mifflin Co. Kusmawan, Udan. 1998). Model Instruksional DDFK Problem Solving. Jakarta. Univ. Terbuka. Kim Hoa Nio (1994). Peranan Pertanyaan Peringkat Tinggi dalam Proses Belajar Mengajar terhadap Penalaran siswa SMP Negeri di Propinsi Sumatera Barat, “Forum Pendidikan” No 02,thn XX1994. Longveld (1978). Pedagigik Teoritis Sistematis. Jakarta. FIP IKIP jakarta. Lufri. (2005). Pengaruh Pembelajaran Berbasis problem Solving yang Diintervensi dengan Peta Konsep terhadap Hasil Belajar Siswa. “Jurnal Pembelajaran”. Volume 28. Nomor 01, April 2005. Mega Iwari dan Marlina (2002). Penerapam Stategi Pembelajaran Kooperatif dalam Meningkatkan Kerjasama antar Sesama Siswa. “Jurnal Pembelajaran MIPA” . Vol. 5 tahun ke 3.

McInerney & Valentina. ( 1998). Educational Psychology. Sydney: Prentice Hall. Ni Ketut Rapi (2004) Ni Ketut Rapi (2004) Mulyasa. (2005). Menjadi Guru Profesional, Memciptakan Pembelajaran yan Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Permen Diknas No 22 tahun 2006 Tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas. Permen Diknas No 41 tahun 2007 Tentaang Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Depdiknas Permen Diknas No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Jakarta: Sinaar Grafika Prayitno. (2005). Peta Keilmuan Pendidikan: Sosok Keilmuan Ilmu Pendidikan. Jakarta: Direktorat PPTKPT Ditjen Dikti. Purwanto, Ngalim (2005). Ilmu pendidikan: Teori dan Praktis, Bandung. PT Remaja Rosdakarya Rahman (2001). Efektivitas Pertanyaan Pengarah terhadap Penguasaan Konsep dan Retensi siswa dalam Pembelajaran Biologi.”Journal Pembelajaran MIPA” Volume 2 Rodriguez and Bethel (1983) . “Pendekatan Inkuiri untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa”. Jurnal Pendidikan MIPA. Volume 3 tahun ke 3. Silberman, Melvin L. (2006). Active Learning: 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Bandung: Penerbit Musamedia. Sudijono, Anas. (2005). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Sudjana. (2005). Metoda Statistika. Bandung: Penerbit Tarsito. Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sunarya, Yayan (2004). Pengembangan Model Pembelajaran Kimia untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains Siswa SMU.‟Jurnal Pembelajaranan MIPA” Volume 2 Sukmadinata, Nana Syaodih. (2003). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Suparlan, dkk. (2009). PAKEM: Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Bandung: PT Genesindo. 146

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Syulasmi, ddk. (2001). Pembeajaran Pengetahuan Lingkungan dengan MenggunakanMetode Problem Solving Mata Kuliah Biologi. “Jurnal Pembelajaran MIPA”. Volume 2. Usman, Uzer (1995). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Rosdakarya. UU RI No.20 tahun 2002 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta. Depdiknas.

Wakhinuddin (2003). Pengaruh pembelajaran Kooeratif terhadap Hasil Belajar “Forum Pendidikan” Nomor 01; tahun 28/Edisi Maret 2003 Wina Sanjaya. (2006). Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

147

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

STUDI COPRECIPITATION LOGAM-LOGAM BERAT DALAM SAMPEL PERAIRAN MENGGUNAKAN Al(OH)3 SEBAGAI COPRECIPITANT Indang Dewata1)* dan Edi Nasra2)* 1),2)

Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Padang [email protected]; [email protected]

*

ABSTRAK Kehadiran logam-logam berat dalam perairan sangat merugikan baik bagi kehidupan di perairan tersebut maupun bagi kehidupan dan aktifitas manusia. Berbagai upaya telah dilakukan dalam penanggulan logam-logam berat tersebut, baik pada konsentrasi yang cukup besar maupun dalam jumlah yang relatif kecil (trace metal). Logam berat dalam konsentrasi yang sangat kecil sekalipun sangat berbahaya bagi manusia, meskipun toksisitas yang dimilikinya baru bekerja dan memperlihatkan pengaruhnya apabila logam tersebut telah masuk ke dalam tubuh organisme perairan dan dalam jangka waktu tertentu terakumulasi dalam tubuh manusia. Banyak metoda yang digunakan pada penentuan logam berat dalam suatu sampel, salah satunya adalah dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrometry (AAS). Konsentrasi logam yang ada dalam perairan umumnya sangat kecil maka penentuan secara AAS cukup sukar dilakukan. Oleh sebab itu perlu metoda pretreatment sebelum diukur dengan AAS. Salah satu metoda pretreatment yang digunakan untuk mengukur kandungan logam dalam konsentrasi sangat kecil adalah metoda coprecipitation. Studi coprecipitation yang didasarkan pada sifat adsorbsi coprecipitant terhadap ion-ion logam dalam perairan telah dilakukan. Metoda ini merupakan metoda pretreatment sebelum dilakukan pengukuran dengan AAS. Trace logam yang ada dalam perairan diharapkan dapat terdeteksi dengan menggunakan metoda coprecipitation menggunakan Al(OH)3 sebagai coprecipitant. Penentuan trace logam dalam perairan dilakukan pada kondisi optimum. Kondisi optimum coprecipitation menggunakan Al(OH)3 untuk masing-masing logam terjadi pada pH 6 – 8 (pH = 6 untuk Cu2+ dan Pb2+, pH = 7 untuk Cd2+ dan pH = 8 untuk Zn2+ dan Co2+). Volume Al3+ sebagai coprecipitant terjadi pada volume volume 11 mL untuk Cu2+ dan Cd2+ serta 12 mL untuk Zn2+ dan Co2+. Trace logam yang telah diadsorbsi pada permukaan Al(OH)3 pada pH optimum dengan volume Al3+ optimum di elusi dengan HNO3 sebelum diukur dengan AAS. Volume optimum HNO3 saat elusi adalah 1 mL. Kondisi optimum yang didapat dialikasikan pada penentuan trace logam di Sungai batang Arau. Diperoleh faktor pemekatan rata-rata menggunakan metoda coprecipitation adalah 104 kali dibandingkan tanpa metoda coprecipitation. Kata Kunci: AAS, Al(OH)3, Coprecipitation, Trace Logam dan Sungai Batang Arau PENDAHULUAN Logam berat ialah benda padat atau cair yang mempunyai berat 5 gram atau lebih untuk setiap cm3, sedangkan logam yang beratnya kurang dari 5 gram adalah logam ringan. Banyak metoda yang digunakan pada penentuan logam berat dalam suatu sampel, salah satunya adalah dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrometry (AAS). (Haraide, M., Z.S. Chen dan H Kawaguchi, H, 1993). Metoda AAS didasarkan pada interaksi energi elektromagnetik dengan atom yang berada dalam keadaan dasar (ground state). Apabila seberkas energi radiasi dikenakan pada sekelompok atomatom yang berada pada tingkat dasar dan apabila sinar tersebut sesuai maka energi tersebut akan diserap (absorbsi), dan atom-atom tersebut akan tereksitasi ke tingkat energi tertentu. (Khopkar, S. M, 1993)

Menurut Bourguer Lambert-Beer, banyaknya sinar yang diserap sebanding dengan banyaknya atom yang menyerap. Pengamatan besarnya sinar yang diserap tersebut dilakukan dengan membandingkan intensitas sinar sebelum dan sesudah diserap oleh atom-atom pada tingkat energi dasar, dapat ditulis sebagai A = - log (P/Po), dimana A merupakan Absorbansi, Po menunjukkan intensitas sinar mula-mula dan P merupakan intensitas sinar yang diteruskan. Konsentrasi logam yang ada dalam perairan umumnya sangat kecil maka penentuan secara AAS cukup sukar dilakukan. Oleh sebab itu perlu metoda pretreatment sebelum diukur dengan AAS. Salah satu metoda pretreatment yang digunakan untuk mengukur kandungan logam dalam konsentrasi sangat kecil adalah metoda coprecipitation. Metoda Coprecipitation biasanya digunakan untuk tujuan pemekatan dari 148

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

logam tersebut sehingga bisa dianalisa konsentrasinya. (Minezevski, 1982 dan Mizuiki, 1983). Metoda ini dilakukan dengan cara menggunakan suatu reagen yang dapat mengendapkan logam tersebut bersama-sama dengan coprecipitant membentuk koloidal sehingga terjadi pemekatan dan dapat diukur dengan SSA setelah koloid tadi dilarutkan dalam asam pekat. Banyak coprecipitant yang telah dicobakan pada penelitian sebelumnya diantaranya menggunakan Magnesium Hidroksida tapi membutuhkan pemanasan untuk melarutkan copresipitant tersebut (Yabutani, Tomoki dkk, 2006).. Meskipun Indium Hidroksida merupakan copresipitant yang sangat bagus, tapi serapan latar belakang dari indium mengganggu dalam analisa. Untuk mengatasinya dilakukan minimalisasi konsentrasi indium yang digunakan untuk mengurangi efektifitas fungsinya sebagai coprecipitant (Haraide, M., Chen, Z. S dan H Kawaguchi, 1993). Semuanya dilakukan pengukuran dengan Grafit Furnace Atomic Absorbtion Spectrometry (GFAAS) atau Spektrofotometer Searapan Atom dengan pembakar grafit (GFSSA). Kashiwagi, Yasuto dan Kokufuta, Etsuo. 2000, mengunakan Besi (III) sebagai coprecipitant pada penentuan secara selektif selenat dan selenit dalam limbah cair dengan GFAAS Scandium Hidroksida juga digunakan sebagai coprecipitant yang baik pada penentuan tembaga, timbal, kadmium, kobal dan nikel pada sampel air laut dan juga menggunakan Spektrofotometer Searapan Atom dengan pembakar grafit (GFSSA) (Minami, T dkk, 2003). Haraide, T dkk, 1995 menggunakan Tin (IV) Hydroxide dalam analisa logam-logam berat dengan GFAAS. Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti mencoba menentukan efektifitas Al(OH)3 sebagai coprecipitant pada penentuan logamlogam dengan menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom (AAS) Nyala Udara-Asetilen. Tujuan penelitian ini adalah mencari kondisi optimum coprecipitation dengan menggunakan Al(OH)3 seperti pH dan konsentrasi Al(OH)3 sebagai copresipitant dengan menggunakan AAS Nyala Udara – Asetilen dan hasilnya diaplikasikan pada sampel air laut dan sungai. METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Spektrofotometer Serapan Atom

(varian AA240), kertas saring Whatmen no. 1 0,45 mm, kertas pH indicator universal, magnetik stirrer, botol sampel, bola hisap, hot plate, neraca analitik, kertas label, erlenmeyer 250 mL, labu ukur 100 mL dan 1000 mL, gelas piala 100 mL, gelas ukur 100 mL, pipet volumetrik 2.0 mL, pipet gondok 10 mL, labu semprot n dsentrifuge. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah: aquades, kristal Pb(NO3)2.3H2O , Asam Nitrat (HNO3) p.a, AlCl3.6H2O, Natrium Hidroksida (NaOH) dan sampel air sungai batang arau kota Padang. Prosedur Penentuan pH optimum Diambil 50 mL larutan masing-masing logam 1 ppm dan 10 mL larutan Al3+ 0.2 M, masukkan dalam 8 buah erlenmeyer, cek pH awal larutan.Masing-masing larutan ditambahkan NaOH 2M dengan variasi pH 5 -12. Larutan dimasukkan ke dalam centrifuge dan dicentrifuge dengan kecepatan 1.000 rpm/10 menit. Pisahkan filtrat dan endapan. Filtrat yang terbentuk dimasukkan kesalam labu ukur 25 mL dan ditambahkan dengan HNO3 0,15 M sampai tanda batas, sedangkan endapan yang terbentuk dilarutkan dengan 2 mL HNO3. Larutan diukur dengan Spektrofotometer Serapan Atom. pH optimum copecipitation dapat ditentukan. Penentuan volume optimum kopresipitan Al3+ Ke dalam 7 buah erlemenyer dimasukkan 50 mL larutan masing-masing logam 1 ppm dan larutan Al3+ 0,2 M dengan volume optimum. Masing-masing larutan ditambahkan NaOH 2 M sampai pH optimum. Larutan dimasukkan ke dalam tabung centrifuge dan dicentrifuge dengan kecepatan 1.000 rpm/10 menit. Pisahkan Filtrat dan Endapan. Larutkan endapan dengan 2 mL HNO3 14 M larutan diukur dengan Spektrofotometer Serapan Atom dengan panjang hingga didapat volume optimum (konsentrasi) coprecipitant didapat. Penentuan volume HNO3 sebagai eluen Ke dalam 7 buah erlemenyer dimasukkan 50 mL larutan masing-masing logam 1 ppm dan larutan Al3+ 0,2 M dengan variasi volume 8-14 mL. Masing-masing larutan ditambahkan NaOH 2 M sampai pH optimum. Larutan dimasukkan ke dalam tabung centrifuge dan dicentrifuge dengan kecepatan 1.000 rpm/10 menit. Pisahkan Filtrat dan Endapan. Larutkan endapan dengan HNO3 14 M dengan variasi volume 1 – 5 mL. Larutan diukur dengan Spektrofotometer Serapan Atom

149

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

dengan panjang hingga didapat volume eluen HNO3. Kinerja Analitik Kebolehulangan Larutan standar masing-masing logam yang telah di coprecipitation pada kondisi optimum diukur berulang-ulang menggunakan AAS. Keboleh ulangan ditunjukkan dengan % KV. Kurva kalibrasi Larutan standar masing-masing logam dibuat dengan variasi konsentrasi dari 40 sampai 100 μg L-1 diukur mempergunakan AAS pada λ 283,3 nm. Dari data yang diperoleh dibuat kurva kalibrasi. Limit deteksi Limit deteksi ditentukan melalui pengukuran harga absorbansi terkecil yang masih dapat dibedakan dengan sinyal blanko hasil dari beberapa kali pengukuran. Limit deteksi dinyatakan sebagai perbandingan sinyal standar (S) terhadap sinyal blanko (N) yang memeneuhi ketentuan S/N=3 Analisis sampel Larutan sampel dengan volume 50 mL dicoprecipitation pada kondisi pH optimum, volume Al(OH)3 optimum dan volume HNO3 pekat dengan volume optimum diukur mempergunakan AAS pada λ 283,3 nm. Pengaruh matriks dan persen perolehan kembali (% Recovery) Pengujian dilakukan dengan mempergunakan metode spike. Larutan standar Pb2+ 20 μg L-1 sebanyak 0,3 mL diencerkan dalam labu takar 100 mL hingga tanda batas dengan mempergunakan sampel yang telah dianalisis sebelumnya. Larutan sampel kemudian dicprecipitation pada kondisi optimum kemudian diukur mempergunakan AAS pada λ 283,3 nm.

ion positif logam, dan ketika dicentrifuge akan mengendap secara bersama (tercoprecipitation), seperti dapat diliat dalam ilustrasi pada Gambar 1, berikut:

Gambar 1. Skema Adsorbsi Ion Pb2+ oleh Coprecipitant Al(OH)3 dipilih sebagai coprecipitant karena nilai Ksp nya yang lebih kecil dibandingkan analit (Ksp Al(OH)3 = 5 x 10-33) sehingga akan membentuk hidroksida terlebih dahulu yang kemudian mengadsorbsi ion-ion logam. Karena kemampuan teradsorbsi hampir sama, maka pengaruh logam lain dalam penentuan Pb2+ penting untuk diketahui. Oleh karena itu kondisi optimum dari ion-ion pengganggu perlu untuk diketahui untuk dapat diantisipasi gangguan ion-ion logam tersebut. pH Optimum Kondisi pH sangat mempengaruhi proses coprecipitation berhubungan dengan pembentukan Al(OH)3. Dengan Ksp 5 x 10-33, dengan konsentrasi Al3+ 0,1 M, maka [OH-] minimum yang diperlukan untuk terbentuknya endapan sekitar 3,7 x 10-11 atau nilai pH sekitar 4. Sedangkan pH awal campuran Pb2+ dan Al3+ adalah 3. Oleh karena itu optimasi pH coprecipitation dilakukan pada rentang pH 4 – 12. Gambar 2, menggambarkan kondisi optimum tiap-tiap ion pengganggu pada coprecipitation Pb2+ menggunakan Al(OH)3

HASIL DAN PEMBAHASAN Secara prinsip, prakonsentrasi menggunakan coprecipitation menggunakan sifat adsorbsi koloid dari precipitant, Al(OH)3 yang digunakan. Ketika ke dalam larutan yang mengandung analit dan Al3+ ditambakan NaOH, maka terbentuklah koloid Al(OH)3 yang bermuatan negatif. Koloid ini akan mengadsorbsi 150

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

6

[Cu2+]

4

[Cd2+]

2

[Zn2+]

0

[Co2+] 5 6 7 8 9 10 11

[Pb2+]

pH

Gambar 2. Pengaruh pH pada coprecipitation ionion pengganggu pada penentuan Pb2+ menggunakan Al(OH)3 sebagai coprecipitant Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa endapan mulai terbentuk pada pH 5. Pada pH 4 belum terbentuk endapan Al(OH)3. Meningkatnya pH meningkatkan jumlah endapan yang terbentuk sehingga kemampuan Al(OH)3 sebagai coprecipitant juga meningkat. pH optimum terjadi pada pH = 6 untuk Cu2+, pH = 7 untuk Cd2+ dan pH = 8 untuk Zn2+ dan Co2+. Pada pH yang lebih tinggi, terjadi penurunan kemampuan coprecipitant dalam mengadsorbsi ion logam. Hal ini berubungan dengan sifat keamfoteran Al3+, dimana dalam kondisi yang lebih basa, endapan Al(OH)3 akan larut kembali, menurut reaksi: Al(OH)3(S) + OH-  Al(OH)4-(aq)

Dari gambar di atas, dapat diketahui bahwa jumlah ion Al3+ yang diperlukan untuk membentuk Al(OH)3 dengan NaOH 2 M, terjadi pada volume 11 mL untuk Cu2+ dan Cd2+ serta 12 mL untuk Zn2+ dan Co2+. Sesuai persamaan stoikiometris antara Al3+(aq) + 3OH-(aq)  Al(OH)3(s), dimana dengan 3 mL NaOH 2 M, dibutuhkan 12 mL Al3+ 0,2 M. Jumlah ion logam yang teradsorbsi dipengaruhi oleh ukuran ion-ion logam. Semakin kecil ukuran ion-ion logam semakin muda teradsorbsi pada permukaan koloid. Dari gambar diketahui ion Cd2+ yang mempunyai jari-jari paling besar, ukuran ion paling besar lebih sedikit teradsorbsi yang ditunjukkan oleh konsentrasi teradsorbsi hanya 2,713 mg/L. Sedangkan ion Zn2+ yang mempunya jari-jari paling kecil, paling mudah dan paling banyak teradsorbsi di permukaan koloid dengan konsentrasi 11,746 mg/L. Adanya ion-ion logam tersebut apalagi yang mempunyai jari-jari ion lebih kecil akan mengganggu pada penentuan dan prakonsentrasi Pb2+ dengan coprecipitant Al(OH)3. Waktu Kontak Waktu kontak berhubungan dengan lamanya proses coprecipitation ion logam Pb2+ oleh Al(OH)3 yang dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini: [logam], mg/L

[logam], mg/L

8

Jadi karena endapan Al(OH)3 larut kembali, sehingga kemampuan Al(OH)3 dalam mengadsorbsi ion logam juga berkurang yang ditunjukkan oleh grafik yang menurun. Volume Al3+ Jumlah Al3+ optimum yang digunakan sebagai coprecipitant pada prakonsentrasi ion-ion logam dapat dilihat pada Gambar 4. [Logam], ppm

15 10

Cu2+

5

Cd2+ Zn2+

0 0

5

10

15

Volume Al3+, mL

Gambar 3. Pengaruh Volume Al3+ pada coprecipitation ion-ion logam

Co2+

15 10 5 [Pb2+] 0 15 30 45 60 75 waktu, menit

Gambar 4. Pengaruh waktu kontak terhadap coprecipitation ion-ion logam pada Al(OH)3 Dari gambar dapat diketahui bahwa proses coprecipitation terjadi dalam waktu yang relatif lama yaitu 30 menit. Setelah melewati waktu 30 menit, ion logam cukup stabil teradsorbsi pada permukaan koloid yang ditunjukkan oleh konsentrasi logam yang terukur pada waktu kontak 45 – 75 menit relatif konstan (9,437 – 9,67 mg/L) dan tidak terlalu banyak berkurang dibandingkan pada waktu kontak 30 menit dengan konsentrasi logam 10,214 mg/L . Volume eluen

151

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

[logam], mg/L

Ion-ion logam yang teradsorbsi pada permukaan koloid Al(OH)3 dapat dideteksi dengan menggunakan AAS setelah dielusi dengan HNO3 pekat. Variasi volume HNO3 pekat yang digunakan untuk mengelusi ion-ion logam yang teradsorbsi dapat dilihat pada Gambar 5, di bawah ini : 15 10 [Co2+]

5

[Zn2+]

0 1

2

3

4

5

[Pb2+]

Volume HNO3, mL

HNO3 digunakan sebagai eluen berhubungan dengan kelarutan garam nitrat dari masingmasing logam yang besar dalam air. Hidroksida logam-logam SIMPULAN Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa Kondisi optimum coprecipitation menggunakan Al(OH)3 untuk masing-masing logam terjadi pada pH 6 – 8 (pH = 6 untuk Cu2+ dan Pb2+, pH = 7 untuk Cd2+ dan pH = 8 untuk Zn2+ dan Co2+). Volume Al3+ sebagai coprecipitant terjadi pada volume volume 11 mL untuk Cu2+ dan Cd2+ serta 12 mL untuk Zn2+ dan Co2+. Trace logam yang telah diadsorbsi pada permukaan Al(OH)3 pada pH optimum dengan volume Al3+ optimum di elusi dengan HNO3 sebelum diukur dengan AAS. Volume optimum HNO3 saat elusi adalah 1 mL. Kondisi optimum yang didapat diaplikasikan pada penentuan trace logam di Sungai batang Arau. UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih kami ucapkan kepada Dirjen Dikti atas dana Hibah Bersaing yang diberikan sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Considine, D. M. (1981). Encyclopedia of Chemistry. Van Nostrand Reinhold Company, New York. Hal. 266 – 269. Darmono. (2003). Toksikologi Logam Berat. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Pasca Sarjana IPB.

Haraide, M dkk. (1995) Coprecipitation with Tin (IV) Hydroxide Followed by Removal of Tin carrier for The Determination of Trace Heavy metal by Graphite Furnace Atomic Absorbtion Spectrometry. Analytical Chimica Acta, Hal 103-107 Haraide, M., Chen, Z. S dan H Kawaguchi. (1993). Copretipitation with Microgram Quantities of Indium Hydroxide for The Determination of Trace Heavy metal in Rain Water, Bunseki Kagaku. Vol 42. Hal. 759. Kagaya, dkk. (2003). Determination of Cadmium in River Water by Electrothermal Atomic Absorption Spectrometry After Internal Standardization – Assisted Rapid Coprecipitation With Lanthanum Phospate. Analytical Sciences. Volume 19. Hal 1061-1064. Kashiwagi, Yasuto dan Kokufuta, Etsuo. (2000). Selective Determination of Selenite and Selenate in Wastewater by Graphite Furnace AAS after Iron (III) Coprecipitation and Reductive Coprecipitation on Palladium Collector Using Hydrazinium Sulfate. Analytical Sciences. Volume 16. Hal 1215-1219. Khopkar, S. M. (1993). Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas Indonesia, Jakarta. Minami, T dkk. (2003). Determination of Cobalt and Nickel by Graphite-Furnace Atomic Absorbtion Spectrometry after Copretipitation with Scandium Hydroxide, Analytical Sciences. Hal 313-315. Minezewski, J dkk. (1982). Separation and Preconcentration Methods in Inorganic Trace Analysis. Ellis Horwoo, Chichester. Hal. 37. Mizuiki, A dkk. (1983). Enrichment Techniques for Inorganic Trace Analysis. Springer, Berlin. Hal. 56. Parker. (1983). Encyclopedia of Chemistry. McGraw Hill Book Company. Hal. 199 – 201. Yabutani, Tomoki dkk. (2006). A Multielement Masking Method Using Magnesium Hydroxide Coprecipitation for Selective determination of Lead in Water Samples. Analytical Sciences. Volume 22. Hal 1021-1024.

152

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

ANALISA KUALITATIF BORAKS DALAM SAMPEL BAKSO DI KOTA BATUSANGKAR Maya Sari1 1

Stain Batusangkar [email protected] ABSTRAK Isu pemakaian zat aditif pada makanan menjadi perhatian serius bagi masyarakat baru-baru ini. Mereka bahkan menambahkan senyawa-senyawa kimia yang tidak boleh ada didalam makanan. Boraks adalah salah satu zat tambahan yang sering digunakan saat ini. Sasaran dari penelitian ini adalah mengidentifikasi boraks dalam sampel bakso yang ada di kota Batusangkar. Metode pengambilan sampel di lakukan dengan cara purposive sampling berlokasi di 5 tempat di kota Batusangkar. Pemeriksaan kadar boraks dalam sampel bakso dilakukan dengan menggunakan Uji nyala dan pemeriksaan menggunakan kertas tumerik. Pada analisa menggunakan uji nyala, sampel yang mengandung Boraks akan menghasilkan nyala hijau sedangkan pada pemeriksaan menggunakan kertas tumerik, boraks akan teridentifikasi dengan perubahan warna dari kuning menjadi merah pada kertas tumerik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel bakso yang ada di Batusangkar negatif (-) mengandung boraks. Hal ini dibuktikan dengan Uji nyala yang menghasilkan nyala Kuning dan tidak ada perubahan warna pada kertas tumerik yang dicelupkan ke dalam sampel bakso. Kata Kunci: Boraks, uji nyala, kertas tumerik

1. PENDAHULUAN Boraks adalah senyawa berbentuk kristal putih tidak berbau dan stabil pada suhu ruangan. Boraks merupakan senyawa kimia dengan nama Natrium Tetraborat (NaB4O7 10 H2O). Jika larut dalam air akan menjadi hidroksida dan asam borat (H3BO3). Boraks atau asam boraks biasanya digunakan untuk bahan pembuat deterjen dan antiseptik, pembasmi kecoak dan mengurangi kesadahan air (Jansen; 2010) Mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks tidak berakibat buruk secara langsung, tetapi boraks akan menumpuk sedikit demi sedikit karena diserap dalam tubuh konsumen secara kumulatif. Gejala keracunan Boraks adalah pusing, kejang, kram, muntah,kolaps. Larangan pemakaian Boraks sebagai senyawa aditif pada makanan sudah diatur oleh PERMENKES RI NO.1168 /MENKES/ PER / X / 1999 menyatakan bahwa salah satu BTM yang dilarang pemakaiannya adalah Boraks. Salah satu metode pemeriksaan kualitatif boraks yang sederhana adalah dilakukan dengan mendestruksi boraks dan turunannya di dalam makanan kemudian diidentifikasi dengan reaksi nyala menggunakan asam sulfat. Pemeriksaan sampel dengan cara tersebut masih membutuhkan waktu yang lama dan menggunakan alat tanur yang mahal. Agar

boraks dapat diidentifikasi dengan mudah oleh seluruh lapisan masyarakat perlu dikembangkan suatu metode identifikasi sampel secara singkat tanpa destruksi. Identifikasi boraks dengan menggunakan kertas kurkumin adalah metode yang dianggap paling sederhana. Kertas kurkumin dibuat dengan melarutkan kertas saring didalam ekstrak kurkumin yang diperoleh dari perasan kunyit. Sasaran dari penelitian ini adalah mengidentifikasi boraks dalam sampel bakso yang ada di kota Batusangkar

2. METODE Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposife. Sampel bakso jajanan diambil dilokasi Cubadak, Parak Juar, Dobok, Limo Kaum, Simpang Kambang. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak sekali untuk setiap penjual bakso. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian, yaitu cawan petri, korek api, oven, pipet ukur, mortir dan penggerus, cawan porselin, tabung reaksi, spatula, pengaduk kaca, timbangan analitik, gelas kimia dan labu ukur. Bahan-bahan pereaksi yang digunakan dalam penelitian yaitu larutan bakso, HCl 1 N, aquades, asam sulfat pekat, natrium karbonat, metanol, amonia, kurkumin. Identifikasi boraks dibatasi pada uji nyala dan uji warna. Identifikasi boraks tidak 153

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

dilakukan secara kualitatif karena tidak diperoleh nya natrium boraks sehingga kesulitan dalam menentukan panjang gelombang unsur tersebut. 2.1 Metode Uji Nyala Menurut Roth (1988) di Indra Tubagus,dkk (2013), metode uji nyala pada boraks: 1. Sampel ditimbang sebanyak 10 g dan dipotong-potong kecil lalu di oven pada suhu 120° C selama 6 jam. 2. Kemudian sampel dimasukkan kedalam cawan porselin. 3. Dimasukkan kedalam tanur dan dipijarkan pada suhu 800°C. 4. Sisa pemijaran ditambahkan 1-2 tetes asam sulfat pekat dan 5-6 tetes metanol.Kemudian dibakar. 5. Bila timbul nyala hijau, maka menandakan adanya boraks. Pada penelitian ini tidak dilakukan pemijaran didalam tanur karena ketidak tersediaan alat. 2.2 Metode Uji warna dengan kertas tumerik Metode uji warna menurut Depkes(1993): 1. Kurang lebih 10 g sampel di gerus masukkan ke kurs porselin. 2. Ditambahkan 10 ml natrium karbonat 10%, aduk rata. 3. Diuapkan diatas penangas air sampai mengering. 4. Dimasukkan ke dalam tanur dan dipijarkan pada suhu 550°C sampai pengabuan sempurna 5. Setelah dingin dtambahkan 10 ml air panas. Panaskan. 6. Ditambahkan HCl (1:1) sampai asam. 7. Disaring sampai didapat filtrat. 8. Celupkan kertas tumerik kedalam filtrat. 9. Jika bewarna merah, maka positif mengandung boraks 2.3 Pembuatan Kertas Tumerik Pembuatan Kertas tumerik menurut Jansen, dkk ( 2006) 1. Timbang 125 mg kurkumin 2. Masukkan kedalam labu ukur 100 ml dan larutkan dengan menggunakan asam asetat sampai tanda batas. Larutan ini disebut dengan larutan kurkumin 3. Siapkan kertas saring dengan merk Wheatman

4. Celupkan kertas saring tersebut kedalam larutan kurkumin yang sudah dibuat sampai merata diseluruh permukaan kertas saring. 5. Kering angin kan selama 24 jam 6. Kertas tumerik siap digunakan

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 5 lokasi di kota Batusangkar. Sampel yang diambil berupa bakso yang dibeli di tempat penjualan Miso dan bakso dari pedagang bakso tusuk. Kode sampel dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Kode sampel bakso di tiap lokasi No Lokasi Nama usaha Kode pengambilan sampel 1 Parak Juar Miso mas narno SP 1 2 Pasar Miso Bakri SP 2 batusangkar 3 Pasar Miso dari SP 3 batusangkar gerobak keliling 4 Dobok Miso Handayani SP 4 5 Limo Kaum Bakso tusuk SP 5 Pemeriksaan kualitatif boraks pada sampel bakso dilakukan secara Uji nyala dan Uji warna dengan kertas tumerik. UJI NYALA Dari hasil pemeriksaan dengan metode uji nyala yang dilakukan sebanyak tiga kali ulangan akan terlihat bahwa semua sampel tidak mengandung boraks. Tabel 2. uji nyala Kode sampel SP 1 SP 2 SP 3 SP 4 SP 5

Hasil analisis boraks dengan metode Pengamatan Nyala biru kekuningan Nyala biru kekuningan Nyala biru kekuningan Nyala biru kekuningan Nyala biru kekuningan

Hasil I II III - - - - - - - - - - -

UJI WARNA DENGAN KERTAS TUMERIK Data hasil pemeriksaan dengan uji warna menggunakan kertas tumerik dapat dilihat pada tabel berikut.

154

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Tabel 3. Hasil analisis boraks dengan uji warna kertas tumerik Kode Uji warna Hasil sampel kertas I II III tumerik SP 1 Warna kuning SP 2 Warna kuning SP 3 Warna kuning SP 4 Warna kuning SP 5 Warna kuning Keterangan: - : Tidak terdeteksi boraks Hasil uji kualitatif kedua metode tersebut dapat dilihat bahwa tidak ada boraks yang terdeteksi pada sampel bakso yang diambil secara acak dikota Batusangkar. Pada penelitian tidak terdapat data kontrol positif karena sulitnya untuk mendapatkan di pasaran.Pengukuran secara kuantitatif juga tidak dilakukan karena tidak berfungsinya spektrofotometer UV/VIS di Lab. Biologi STAIN Batusangkar. Penelitian dilakukan karena isu pemakaian boraks sangat marak pada penjualan bakso. Penambahan boraks pada sampel bakso merupakan pelanggaran terhadap Permenkes RI No. 1168/Menkes/PerX/1999 tentang bahan pangan. Pada penelitian pengambilan sampel bakso dilakukan dengan cara purposive sampling. Menurut Sugiyono (2013), Metode purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Sampling dilakukan di kota Batusangkar. Pengambilan dilakukan sebanyak 5 tempat dengan rincian sebagai berikut : penjual miso di parak juar, dobok, pasar batusangkar, penjual miso keliling dan penjual bakso tusuk. Penjual miso dari 3 lokasi tersebut dianggap mewakili penjual miso kota batusangkar karena penjual miso di lokasi yang berdekatan merupakan cabang dari penjual miso di ke tiga lokasi tersebut. Begitupun hal nya dengan miso keliling diambil satu sampel saja karena beberapa pedagang miso keliling mengambil bakso di tempat yang sama. Analisa boraks dengan menggunakan uji nyala dilakukan dengan mendestruksi boraks dan turunannya kemudian diidentifikasi dengan reaksi nyala menggunakan asam sulfat( Jansen, 2010). Warna nyala yang mengindikasikan adanya boraks adalah wana nyala hijau. Tetapi pada penelitian tidak teridentifikasi warna hijau melainkan warna biru kekuningan. Hasil pengujian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdeteksi boraks didalam sampel bakso. Akan

tetapi, tidak terdeteksi nya boraks bisa saja disebabkan karena prosedur penelitian yang tidak sesuai dengan prosedur dari referensi yang sudah ada. Menurut Roth di dalam Tubagus, dkk (2013) sebelum pengujian nyala menggunakan larutan asam sulfat, sampel harus dimasukkan didalam tanur dengan suhu 800°C sampai terbentuk abu. Hal ini tidak dilakukan didalam penelitian ini. Pengabuan hanya dilakukan dengan cara konvensional yaitu menguapkan sampel di atas bunsen sehingga tidak diperoleh pengabuan yang sempurna. Menurut Jansen (2010), pengabuan ini bertujuan untuk mendestruksi seluruh senyawa asam boraks serta menghilangkan ion-ion pengganggu yang ada didalam sampel sehingga ketika dilakukan identifikasi nyala hanya diperoleh ion boraks saja. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan prosedur yang sesuai agar bisa dipastikan ada atau tidak nya boraks didalam sampel. Hal yang sama juga ditemukan pada pengujian dengan metode uji warna. Tidak terdeteksinya boraks dengan metode ini kemungkinan juga disebabkan karena tidak dilakukan proses pengabuan sehinga pemisahan ion-ion dalam sampel bakso tidak sempurna. Akibatnya boraks tidak dapat terdeteksi. Dari hasil penelitian dapat juga diperoleh hipotesa bahwa boraks memang tidak ditambahkan lagi dalam pembuatan bakso karena untuk pembelian Natrium Boraks sudah sangat dibatasi. Pada penelitian juga tidak dilakukan pengontrolan positif kadar boraks dengan menggunakan senyawa boraks. Pengontrolan tidak dapat dilakukan karena peneliti tidak dapat melakukan pembelian Natrium Boraks terkait dengan pembelian senyawa tersebut hanya untuk instansi kesehatan saja.

4. PENUTUP Dari hasil penelitian dapat juga diperoleh hipotesa bahwa boraks memang tidak ditambahkan lagi dalam pembuatan bakso karena untuk pembelian Natrium Boraks sudah sangat dibatasi. Pada penelitian juga tidak dilakukan pengontrolan positif kadar boraks dengan menggunakan senyawa boraks. Pengontrolan tidak dapat dilakukan karena peneliti tidak dapat melakukan pembelian Natrium Boraks terkait dengan pembelian senyawa tersebut hanya untuk instansi kesehatan saja.

155

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

5. DAFTAR PUSTAKA Endrinaldi. Identifikasi dan Penetapan Kadar Boraks pada Mie Basah yang Beredar di Beberapa pasar Di Kota Padang. Fakultas Kedokteran; Padang.2006 Indra Tubagus, dkk. Identifikasi Penetapan Kadar Boraks Dalam Bakso Jajanan di Kota Manado. Pharmacon. Jurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT. Vol 2. No.4. 2010 Jansen Silalahi, dkk. Pemeriksaan Boraks di dalam Bakso di Medan. Maj Kedokt Indon. Vol 60 No.11.2012 Winarno, F.G, 1988. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Press ; Jakarta. http://www.bapelkescikarang.or.id http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/

156

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

PENENTUAN KONSENTRASI UNSUR PEMBANGUN SENSOR PIEZOELEKTRIK MENGGUNAKAN METODA X-RAY FLUORESCENCE (XRF) DAN ENERGY DISPERSIVE X-RAY MICROANALYSIS (EDAX) Rindang Kembar Sari Jurusan Tarbiyah STAIN Sjech Djamil Djambek, Kampus STAIN Kubang Putih Bukittinggi Email : [email protected] ABSTRACT Piezoelectric sensor is a device which is widely used for various purposes of design and development of electronic instruments. Piezoelectric sensor generates a voltage when mechanical stress was given. The purpose of this research is to determine the concentration of elements that build the piezoelectric sensor. There are two methods in this research respectively X-Ray Fluorescence and Energy Dispersive X-Ray Microanalysis. Data from both methods were compared with the result of measurement using X-Ray Diffraction. Based on data analysis obtained that piezoelectric sensors composed by three elements with the highest concentration of 93.11% Rh, 3.788% Pd and 1.009% Ba by using X-Ray Fluorescence, and 19.56% Zr, 72.22% Pb, 8.22% from measurement using Energy Dispersive X-Ray Microanalysis. Meanwhile, the results of XRD measurements obtained that a piezoelectric sensor consists of a phase PZT phase Ag and Pb (TixZr1-x) O3 with x 0.3. Data of measurement using X-Ray Diffraction supports finding of Energy Dispersive X-Ray Microanalysis method. Keywords: Concentration of element, Energy Dispersive X-Ray Microanalysis, Piezoelectric sensor, X-Ray Fluorescence, X-Ray Diffraction.

1. PENDAHULUAN Bahan piezoelektrik ditemukan pertama kali oleh oleh Pierre dan Jaques Curie bersaudara pada tahun 1880. Mereka mendapatkan gelaja terjadinya perpindahan muatan listrik pada sebuah bahan ketika dikenai tegangan mekanik (tegangan). Selain itu, Curie bersaudara ini menemukan fenomena unik lain dari bahan piezoelektrik ini tujuh tahun kemudian atau tepatnya tahun 1887 yaitu terjadi regangan ketika bahan tersebut ditempatkan pada medan listrik. Bahan yang diteliti oleh Curie bersaudara ini adalah sejumlah kristal tunggal seperti kwarsa, tourmalin dan garam Rochelle. Duan temuan dari Curie bersaudara ini menunjukkan bahwa bahan piezoelektrik memiliki dua efek yaitu efek langsung dan efek balik. Efek langsung ditandai dengan perpindahan muatan listrik akibat dikenai tegangan, sementara efek balik ditandai oleh terjadinya regangan karena pemberian medan listrik. Ada dua jenis bahan piezoelektrik yaitu bahan alami dan buatan. Bahan piezoelektrik alami seperti kuarsa (SiO2), Berlinite, Turmalin dan garam Rochelle. Sedangkan bahan piezoektrik buatan antara lain Barium titanate (BaTiO3), Lead zirconium titanate (PbZrTiO3),

Lead Titanate (PbTiO3) dan sebagainya. Piezoelektrik buatan banyak dikembangkan dari bahan keramik yang terpolarisasi (B.Jaffe, WR.,Cook & H. Jaffe., 1971; A.J.Moulson & J.M.Herbert., 1990). Sifat yang unik dari bahan piezoelektrik ini dimanfaatkan untuk membuat devais elektronik yaitu sensor dan actuator. Piezoelektrik dari bahan keramik merupakan bahan yang kompak dan sangat baik untuk merespon frekuensi serta lebih mudah digabungkan dengan system Kristal lain. Beberapa tahun terakhir piezoelektrik berbahan keramik yakni Barium titanate (BaTiO3) dan Lead zirconium titanate (PbZrTiO3) banyak dikembangkan dan diteliti karena memiliki sifat piezoelektrik yang kuat dan bentuk bahan keramik yang relative getas. Lead zirconium titanate secara komersial dikenal dengan nama PZT dengan berbagai variasi (Mardiyanto,. 2010). Tabel 1 memperlihatkan sifat-sifat beberapa jenis material piezoleketrik (Subbarao, E.C,. 1972; Ariwahjoedi, Bambang,. 2005).

157

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Tabel 1. Sifat-sifat beberapa material piezoelektrik. d33 Material Tetapan dielektrik (C/N) Kristal kwarsa 2,3 x 10-12 4,5 Kristal BaTiO3 85,6 x 10-12 Keramik BaTiO3 191 x 10-12 1700 PbTi0,45Zr0,55O3 130 x 10-12 500 Keramik timbal zirkonat titanat modifikasi 1 270 x 10-12 1200 Keramik timbal zirkonat titanat modifikasi 2 320 x 10-12 1200 Pada Tabel 1 terlihat bahwa salah satu unsur yang terkandung dalam bahan piezoelektrik yang banyak dikembangkan saat ini adalah timbal (Pb) yang tergolong kedalam logam berat. Sifat racun dari logam berat tentu memiliki resiko terhadap kesehatan mahkluk hidup, termasuk manusia sendiri. Kebergantungan manusia saat ini terhadap berbagai produk hasil proses industri yang sangat tinggi tindak dapat dielakkan lagi. Disisi lain, proses industrialisasi memiliki dampak negative terhadap lingkungan. Adanya bahan sisa industri atau buangan produk industri baik yang berbentuk padat maupun cair berpengaruh terhadap lingkungan. Bila sisa tersebut dilepaskan ke perairan bebas akan terjadi perubahan nilai dari perairan tersebut baik kualitas maupun kuantitas sehingga perairan dapat dianggap tercemar (Rochyatun, Endang & Rozak, Abdul,. 2007). Pencemaran oleh bahan-bahan poduk dari industri yang mengandung unsur kimia yang berbahaya, misalnya logam berat seperti mercury (Hg), Cadmium (Cd), Timbal (Pb) cederung meningkatkan kasus keracunan dan gangguan kesehatan masyarakat (Harjana dalam Sugijanto dkk,. 1991). Makin tinggi komposisi dari kandungan logam dalam perairan akan semakin tinggi pula kandungan logam berat yang terakumulasi dalam tubuh hewan (Rai et al,. 1981). Karena itu, pemantauan dan penanganan terhadap unsur-unsur logam berat yang terkadung dalam berbagai bahan dan produk industry penting dilakukan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan konsentrasi dari unsur pembangun sensor piezoelektrik yang banyak dijual di pasaran. Ada dua metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu X-Ray Fluorescence (XRF) dan Energy Dispersive XRay Microanalysis (EDAX). Kedua metode ini memiliki fungsi yang sama yaitu untuk mengetahui unsur penyusun suatu bahan.

Ps (µC.cm-2) 7,5 26 7,5 30 35 45

2. METODE Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu Laboratorium Material Kimia Fisika ITB dan Laboratorium instrumen Jurusan Kimia Universitas Negeri Padang. Ada dua tahap yang proses penelitian yang dilaksanakan. Pada tahap pertama yang dilakukan adalah penyiapan sampel penelitian yaitu sensor piezoelektrik yang dijual di pasaran. Sampel sensor piezoelektrik ini memiliki tiga bagian yaitu bagian lapisan konduktif, keramik dan substrat logam kuningan (Rindang, K.S,. 2010). Tahap kedua dilakukan analisis unsur penyusun sensor piezoelektrik dengan metoda EDAX dan XRF. Metode EDAX digunakan untuk analisis kuantitatif dan kualitatif unsur kimia non destruktif dengan resolusi spasial dalam orde mikrometer. Metode ini didasarkan pada analisis spektral karakteristik radiasi sinar-X yang dipancarkan dari atom sampel pada iradiasi dengan berkas elektron difokuskan dari SEM. Sampel yang dianalisis disiapkan dengan ukuran tertentu, kemudian diletakkan pada holder dan dimasukkan kedalam ruang sampel, lalu dianalisa dengan menggunakan komputer. Sampel tidak perlu dilapisi lagi dengan emas, karena sampel sensor piezoelektrik menghantarkan listrik. Sementara itu, metode XRF juga digunakan untuk analisa unsur penyusun suatu bahan menggunakan radiasi sinar-X yang diserap dan dipantulkan oleh target atau sampel. Namun, XRF tidak bekerja dalam orde yang kecil atau mikro dan biasanya digunakan untuk analisa bahan dengan fraksi yang lebih besar seperti bahan-bahan geologi. Metode ini paling banyak digunakan untuk analisis unsur dari bahan batuan, mineral dan sedimen (Fitton, G., 1997). Analisis menggunakan XRF dilakukan berdasarkan identifikasi dan pencacahan karakteristik sinar-X yang terjadi akibat efek fotolistrik. Efek foto listrik terjadi karena elektron dalam atom target pada sampel terkena sinar berenergi tinggi (radiasi gamma, sinar-X) 158

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Hasil pengukuran terhadap unsur penyusun sensor piezoelektrik dari masingmasing metode ini dibandingkan. Analisa terhadap unsur penyusun dari sensor piezoelektrik ini diperkuat dengan hasil pengukuran menggunakan X-Ray Diffraction (XRD). Difraksi sinar-X dilakukan untuk mengetahui struktur kristal yang terbentuk pada sampel. Sampel yang dianalisis disiapkan dengan ukuran tertentu agar dapat ditempel pada plat sampel dengan lem. Plat sampel diletakkan pada tempat sampel dalam alat XRD. Pengamatan intensitas yang dihamburkan dimulai dari sudut difraksi θ = 00 sampai 600 . Langkah-langkah dari penelitian yang dilakukan diperlihatkan oleh diagram alir pada Gambar 1. Persiapan Sampel Sensor Piezoelektrik

Analisa Unsur Menggunakan Metode EDAX

Tabel 2. Unsur penyusun sensor piezoelektrik unsur Geologi Oksida Ca CaO CaO 0.053% 0.074% 0.073% Ti Ti TiO2 0.125% 0.125% 0.206% Cr Cr Cr2O3 0.016% 0.016% 0.024% Fe Fe2O3 Fe2O3 0.024% 0.035% 0.034% Co Co Co3O4 0.004% 0.004% 0.006% Rh Ag PdO 93.139% 0.124% 4.31% Pd Cd Ag2O 3.79% 0.822% 0.128% Ag Sn CdO 0.124% 0.062% 0.928% Cd I SnO2 0.822% 0.829% 0.079 Sn Ba BaO 0.063% 1.009% 1.114% Ba Rh Rh 1.01% 93.11% 92.278%

Analisa Unsur Menggunakan Metode XRF

Pengukuran Menggunakan Metode XRD

Unsur-unsur Penyusun Sensor Piezoelektrik

Hasil pengukuran menggunakan XRF ini memperlihatkan tiga unsur penyusun sensor piezoelekrik terbanyak yakni secara berturutturut Rodium (Rh) sebesar 93,139 %, Paladium (Pd) sebanyak 3,79 % dan Barium (Ba) sebesar 1,01 %. Unsur pembangun dari sensor piezoelektrik juga ditentukan menggunakan metode EDAX. Pengukuran dilakukan di Laboratorium Kimia Fisika Institut Teknologi Bandung. Hasil pengukuran EDAX terhadap sensor piezoelektrik diperlihatkan oleh Gambar 2.

Gambar 1. Diagram alir penelitian

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan unsur penyusun dari sampel sensor piezoelektrik yang tersedia di pasaran dilakukan menggunakan instrument XRF. Pengukuran dilakukan di Laboratorium Kimia Universitas Negeri Padang. Hasil pengukuran XRF dari sensor piezoelektrik diperlihatkan oleh Tabel 2.

159

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Gambar 2. Hasil pengukuran EDAX dari sensor piezoelektrik Grafik hasil kuantifikasi unsur kimia menggunakan EDAX terlihat tiga puncak grafik dengan intensitas yang tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa sensor piezoelektrik dibangun dari tiga unsur utama yaitu Zirkonium (Zr), Timbal (Pb), dan Titanium (Ti) dengan persentase berat masing-masing secara berturutturut 19,56 %, 72,22 %, dan 8,22 %. Dari ketiga unsur yang terkandung dalam sensor piezoelektrik diperoleh unsur Pb memiliki persentase yang paling besar, kemudian diikuti oleh Zr dan Ti. Besarnya persentasi Pb sebagai unsur pembangun sensor piezoelektrik perlu menjadi perhatian dalam penanganan limbah produk elektronik berbasis bahan piezoelektrik. Manajemen limbah produk yang mengandung unsur beracun seperti PB perlu dilakukan dengan baik. Pembuangan limbah beracun ini ke lingkungan yang tidak terkontrol akan menimbulkan pencemaran dan dalam waktu yang tertentu akan menimbulkan ganguan kesehatan pada mahkluk hidup terutama manusia. Pengukuran menggunakan EDAX juga dilakukan terhadap lapisan penutup sensor piezoelektrik. Hasil pengukuran EDAX memperlihatkan komposisi unsur penyusun lapisan penutup sensor piezoelektrik seperti pada Gambar 3.

Gambar 3.Hasil pengukuran EDAX dari lapisan penutup sensor piezoelektrik Grafik kuantifikasi unsur dari EDAX untuk sampel memiliki satu puncak, artinya lapisan yang menutupi sensor piezoelektrik yang diperlihatkan oleh Gambar 3 dominan mengandung unsur perak (Ag) dengan persentase berat 99,07 % dan Untuk memperkuat hasil temuan unsur penyusun sensor piezoelektrik oleh metode XRF dan EDAX, maka dilakukan uji menggunakan XRD. Difraksi sinar-X dilakukan untuk mengetahui jenis fasa yang terbentuk pada sensor piezoelektrik. Berdasarkan data hasil difraksi sinar-X untuk sensor piezoelektrik diperlihatkan oleh Gambar 4.

160

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

elektronik diantaranya sensor dan aktuator. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa unsur pembangun dari sensor piezoelektrik mamiliki persentase terbesar timbal sebagai salah satu logam berat yang beracun. Rekomendasi dari penelitian ini adalah perlunya penanganan limbah yang berasal dari produk teknologi menggunakan material piezoelektrik.

4. PENUTUP

Gambar 4. Grafik hasil pengukuran XRD sensor piezoelektrik Unsur penyusun sensor piezoelektrik menggunakan XRD dapat ditemukan melalui fasa yang terbentuk pada grafik yaitu fasa perak (Ag) dan fasa PZT [Pb(TixZr1-x)O3]. Kedua fasa ini digambarkan oleh puncak-puncak yang dihasilkan oleh sampel pada setiap sudut 2θ. Untuk fasa Ag memberikan puncak yang tinggi dan tajam, sedangkan fasa PZT memberikan puncak yang lebih lebar dan pendek. Karena itu, sensor piezoelektrik memiliki unsur timbal (Pb), titanium (Ti) dan zirkonium (Zr). Hasil XRD ini sesuai dengan temuan unsur penyusun sensor piezoelektrik menggunakan metode EDAX. Temuan dari metode XRF terhadap unsur pembangun sensor piezoelektrik sangat jauh berbeda dengan EDAX dan XRD. Karena itu, unsur penyusun dari sensor piezoelektrik yang dijual di pasaran adalah timbal (Pb), titanium (Ti) dan zirkonium (Zr). Berdasarkan beberapa referensi dijelaskan bahwa metode XRF dianjurkan untuk penentuan unsur-unsur penyusun bahan geologi atau material piezoelektrik alamiah dengan fraksi yang lebih besar. Oleh sebab itu, penentuan unsur-unsur penyusun dari bahan piezoelektrik buatan dengan orde mikro tidak direkomendasikan menggunakan metode XRF atau sebaiknya menggunakan metode EDAX. Aplikasi dari material piezoelektrik buatan ini cukup banyak seperti untuk devais

Berdasarkan hasil pengukuran dan analisa data yang telah dilakukan dapat dikemukakan beberapa kesimpulan yaitu : a. Sensor piezoelektrik terbuat dari bahan keramik buatan memiiki unsur penyusun terbanyak yaitu timbal atau Pb yang memiliki sifat racun. b. Penentuan unsur penyusun dari sensor piezoelektrik lebih tepat menggunakan metode EDAX. c. Untuk bahan alamiah lebih tepat menggunakan metode XRF. Karena itu, ada beberapa saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini. a. Perlu manajemen limbah yang berasal dari produk teknologi yang menggunakan material piezoelektrik buatan. b. Analisa unsur penyusun dari suatu bahan sebaiknya menggunakan lebih dari satu metode untuk menyakinkan akan hasil temuan.

5. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini terlaksana dengan baik karena bantuan berbagai pihak dan berbagai instansi. Ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Bambang Ariwahyudi, Kepala Laboratorium Kimia Fisika ITB Bandung, Balai Pengujian Material pada Laboratorium Teknik Mesin ITB Bandung, dan Kepala Laboratorium Instrument Jurusan Kimia Universitas Negeri Padang.

6. DAFTAR PUSTAKA Ariwahjoedi, Bambang., (2005), Prototip Kontra-bas Elektrik Ukuran 4/4 dengan Teknologi Transjuser Berbasis Kristal Material Keramik Piezoelektrik, Sinopsis Lomba Karya Cipta, Kompetisi Sains, Seni dan Teknologi, ITB Science, Art and Technology Fair 2005, Juni 2005.

161

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

B.Jaffe, W.R., Cook & H. Jaffe., (1971), Piezoelectric Ceramics, Academic Press, inc, New York. Fitton, G., (1997), X-Ray Flourescence Spectrometry, In Gill, R. (ed), Modern Analytical Geochemistry : An Introduction to Quantitative Chemical Analysis for Earth, Environmental and Material Scientist, Addison Wesley Longman, UK. Mardiyanto., (2010), Sintesa dan Karakterisasi Bahan Dasar Aktuator Piezoelektrik PZT Lapisan Tipis dengan Metode Sol Gel dan Proses Poling, Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir, Batan, Jakarta. Rai, L.L., J. Gaur and H.D. Kumar., (1981), Phycology and Heavy Metal Pollution. In Biological Review of The Phycology Societ, Cambridge University Press London.

Rindang, K.S., (2010), Analisis Struktur Morfologi dan Kristal Material Keramik Piezoelektrik Komersial Untuk Aplikasi Tranduser Akustik, Jurnal Eksakta, Volume 2, Universitas Negeri Padang. Rochyatun, Endang & Rozak, Abdul,. (2007), Pemantau Kadar Logam Berat Dalam Sedimen di Perairan Teluk Jakarta, Makara, Sains, Volume 11, Nomor 1, hal 28-26. Sugijanto, Koeswadji. H., Mukono. J. dan Hadiadi. H., (1991), Analisis Kadar Merkuri dan Kadmium Dalam Beberapa Hewan Laut di Muara Sungai Kalimas. Artikel Lingkungan dan Pembangunan.

162

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

ISOLASI DAN KARAKTERISASI SUATU SENYAWA FLAVONOID DARI DAUN PETAI CINA (Leucaena glauca Benth.) Sri Benti Etika Jurusan Kimia FMIPA UNP,Padang Email: [email protected], FMIPA, Air Tawar, Padang 25131 Hp 085274262823 ABSTRACT The isolation and characterization of a flavonoid compound obtained from the leaf petai cina (Leucaena glauca,Benth) have been done. This study was aimed to isolate and characterize a flavonoid compound obtained from the leaf petai cina (Leuceana glauca,Benth). The sampel was macerated using MeOH and the extract was fractioned using gradient elution from n-hexane and ethyl acetate. Separation of fraction was performed column chromatography (silica gel, EtoAc-MeOH). The Characteristic of a compound was a brownish yellow powder, m.p 215,5-216,3 oC. Qualitative test showed that the compound was grouped as flavonol (positive to 10% NaOH, concentrated H2SO4 and Mg-HCl). In addition, the staining test on TLC, UV-Vis and FT-IR indicate the isolate compound was 5,7,3’,4’ tetrahydroxiflavonol 3-O-glycoside. Keywords: colomn chromatography, flavonoid, Leucaena glauca,Benth, macerated, thin layer chromatography.

1. PENDAHULUAN Tumbuh-tumbuhan merupakan sumber daya alam yang banyak manfaatnya bagi manusia. Hal ini didukung tradisi pemanfaatan obat tradisional dan keadaan alam Indonesia yang sangat kaya akan sumber daya alam hayati. Pemanfaatan tumbuh-tumbuhan oleh manusia selain sebagai bahan obat-obatan juga sebagai bahan makanan, bahan sandang, insektisida, kosmetika dan lain-lain. Penggunaan tumbuhan sebagai obat berkaitan dengan kandungan kimia yang terdapat dalam tumbuhan terutama zat aktif biologisnya. Senyawa bioaktif yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan biasanya merupakan senyawa metabolit sekunder seperti: flavonoid, alkaloid, steroid, terpenoid dan saponin (Aliunir dkk, 2002). Flavonoid merupakan senyawa fenolik yang telah banyak diisolasi dari tumbuhan dan lebih dari 8000 jenis senyawa flavonoid yang telah diketahui strukturnya. Senyawa flavonoid termasuk jenis metabolit sekunder yang memperlihatkan keanekaragaman struktur yang tinggi, baik sebagai kerangka karbon maupun gugus fungsi yang sekaligus memberikan sifat bioaktivitas yang beraneka ragam. Flavonoid memberikan efek fisiologis dan farmakologis terhadap makhluk hidup. Pada tumbuhan, flavonoid berfungsi sebagai zat warna, pengatur

tumbuhan dan penangkal serangan penyakit. Di samping itu pada manusia flavonoid juga mempunyai bioaktivitas yang beragam seperti: antihipertensi, antialergi, antitumor, antidiabetes dan sebagainya (Pietta, 2000). Di Sumatera Barat, penggunaan tumbuhan untuk mengobati bermacam-macam penyakit telah lama dikenal oleh masyarakat, salah satunya adalah daun petai cina (Leucaena glauca,Benth). Daun petai cina dikenal pemanfaatannya sebagai obat cacing, sebagai obat luka baru, eksim dan diabetesmilitus. Fauziah Nurul (2008) telah melakukan penelitian tentang efek anti inflamasi ekstrak etanol dari daun petai cina pada tikus jantan galur Wistar, tetapi penelitian tentang kandungan senyawa kimia (bioaktif) dari daun petai cina belum ditemukan. Hasil uji pendahuluan yang dilakukan terhadap kandungan kimia dari daun petai cina menunjukkan positif mengandung alkaloid, flavonoid dan saponin. Hal inilah yang melatar belakangi penelitian untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi flavonoid dari daun petai cina. Penelitian ini dilakukan dengan metoda ekstraksi secara maserasi menggunakan pelarut metanol, fraksinasi dengan n-heksana dan etil asetat. Pemisahan dan pemurnian komponen kimia dilakukan dengan kromatografi, serta 163

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

karakterisasi senyawa dengan melakukan pemeriksaan secara uji kualitatif dan spektrofotometri IR dan UV-Vis. Permasalahan yang melatar belakangi penelitian ini adalah usaha pemanfaatan daun petai cina (Leucaena glauca,Benth) secara umum baru sebatas pemanfaatan langsung sebagai obat tradisional dalam penyembuhan pada beberapa penyakit. Untuk itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang kandungan dan potensi kimia dari daun petai cina ini. Penelitian ini bertujuan mengisolasi dan mengkarakterisasi senyawa flavonoid dari daun petai cina (Leucaena glauca,Benth.).

2. METODE Bahan dasar yang digunakan adalah daun petai cina yang diambil di jalan Khatib Sulaiman Kec.Padang Utara. Sampel diidentifikasi sebagai Leucaena glauca,Benth oleh Herbarium Universitas Andalas (Anda). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini daun petai cina sebanyak 4 kg, yang sudah dibersihkan dan dirajang halus. Bahan kimia yang digunakan berupa pelarut organik yaitu metanol, n-heksana, EtOAc, HCl pekat, serbuk Mg, AlCl3 dan NaOH. Peralatan yang digunakan adalah peralatan gelas yang umum dipakai pada penelitian kimia organik bahan alam, evaporator putar heidolp WB 2000, pipa kapiler, plat KLT (silica gel 60 F), kolom kromatografi konvensional, lampu UV untuk pengungkap noda model UV GL-58 UV 254 nm dan 365 nm, apparatus titik leleh (Gallenkamp), spektroskopi Ultraviolet UV-Vis Agilent 8453, dan spektroskopi Inframerah FTIR Jasco 460 plus. 2.1 Uji Skirining Fitokimia Untuk mengetahui adanya senyawa flavonoid dalam daun petai cina (Leucaena glauca,Benth), dilakukan uji pendahuluan penapisan golongan kimia ekstrak tumbuhan tersebut khususnya untuk senyawa flavonoid yaitu: O,5 g sampel yang telah dirajang halus diekstrak dengan metanol dan dipanaskan selama 5 menit dalam tabung reaksi. Ekstrak metanol ditambahkan serbuk Mg, lalu ditambahkan asam klorida pekat. Apabila terbentuk warna orange, merah atau kuning berarti positif flavonoid. 2.2 Ekstraksi dan Fraksinasi

Sampel segar yang telah dibersihkan sebanyak 4 kg dirajang halus, dimaserasi dengan metanol sampai ampas menunjukkan hasil negatif terhadap uji shinoda tes. Saring dan uapkan pelarut dengan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental. Tambahkan air panas ke ekstrak kental, disaring sehingga didapat ekstrak berair. Dengan menggunakan corong pisah, ekstrak berair difraksinasi dengan n-heksana beberapa kali sampai didapat fraksi n-heksana dan fraksi berair. Fraksi berair difraksinasi dengan etil asetat sehingga didapat fraksi etil asetat yang positif terhadap Mg-HCl. Selanjutnya dipekatkan dengan menggunakan alat rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak pekat etil asetat sebanyak 49 g (Finar,I.L, 1976). 2.3 Pemisahan dan Pemurnian Dari hasil skrining fitokimia dengan menggunakan pereaksi FeCl3 5% dan serbuk Mg-HCl pekat terhadap ekstrak etil asetat daun petai cina (Leucaena glauca,Benth) menunjukkan bahwa daun petai cina tersebut mengandung senyawa flavonoid. Sebelum dilakukan kromatografi kolom, terlebih dahulu terhadap fraksi etil asetat dilakukan uji kromatografi lapis tipis (KLT) untuk menentukan jenis eluen yang memiliki pola pemisahan paling baik yang akan digunakan pada kromatografi kolom. Isolasi senyawa flavonoid dari daun petai cina dilakukan dengan metoda kromatografi kolom menggunakan silica gel 60 sebagai fasa diam dan etil asetat : metanol sebagai fasa gerak berdasarkan teknik Step gradient polarity (SGP). Eluen yang keluar dari kolom kromatografi ditampung dalam botol vial 12 ml dan dianalisis dengan KLT. Fraksi-fraksi yang memiliki pola dan nilai Rf yang sama digabung dan pelarutnya diuapkan, selanjutnya dilakukan pemurnian dengan rekristalisasi. Untuk menguji kemurnian flavonoid hasil isolasi dilakukan dengan kromatografi lapis tipis (KLT) dan pengujian titik leleh. Untuk menentukan karakterisasi atau golongan senyawa flavonoid hasil isolasi dilakukan analisis reaksi warna, kromatografi kertas dua arah (KKT-2A), analisis UV-Vis dan FT-IR.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Proses pemisahan ekstrak etil asetat sebanyak 5,5 g dilakukan menggunakan kromatografi kolom dengan adsorben silica gel 164

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

60 dan fasa gerak etil asetat : metanol (80:20, 70:30, 60:40, 50:50 v/v). Fraksi-fraksi ditampung sebanyak 12 ml dan terhadap fraksifraksi hasil kromatografi kolom tersebut dimonitor dengan kromatografi lapis tipis dan penampak noda FeCl3 5%. Selanjutnya fraksi dengan pola Rf yang sama digabung dan diuapkan pelarutnya. Dari penggabungan fraksi-fraksi tersebut diperoleh 3 fraksi gabungan yaitu fraksi 1, fraksi 2 dan fraksi 3. Ketiga fraksi penggabungan tersebut dilakukan skirining fitokimia untuk mengetahui keberadaan senyawa flavonoid, dan dari hasil skrining fitokimia diperoleh bahwa fraksi 1 menunjukkan hasil positif terhadap pereaksi senyawa flavonoid. Selanjutnya terhadap fraksi 1 dilakukan uji kemurnian menggunakan kromatografi lapis tipis dengan berbagai fasa gerak yang menunjukkan adanya noda tunggal sehingga dapat disimpulkan bahwa fraksi 1 tersebut adalah murni berupa serbuk kuning kecoklatan dengan titik leleh 215,1 – 216,3 oC. Uji kualitatif menunjukkan bahwa senyawa merupakan senyawa flavonoid golongan flavonol (positif dengan NaOH 10%, H2SO4 pekat, dan Mg-HCl) (Finar,I.L. 1976). Hasil KKT-2A menunjukkan senyawa ini adalah golongan flavonol tri-O-glikosida, hal ini terlihat dari noda tunggal berwarna lembayung dengan sinar UV 365 nm. Noda terletak pada kromatogram bagian kiri dengan Rf 0,84 dengan eluen BAA dan 0,5 dengan eluen asam asetat 15% (Markham,K.R. 1988). Dari spektrum UV-Vis senyawa hasil isolasi dalam pelarut metanol seperti pada Gambar 1 memberikan serapan pada panjang gelombang 357 nm (pita I) sedangkan pita II pada 257 nm pola spektrum ini berada pada daerah serapan utama flavonol yaitu daerah (330-360) nm (pita I) dan (250-280) nm (pita II) (Markham,K.R.).

Penambahan pereaksi geser NaOH memberikan serapan pada panjang gelombang 411 nm (Pita I) dan 271 nm (pitaII). Penambahan NaOH ini menyebabkan pergeseran batokromik 54 nm pada pita I yang merupakan karakterisasi OH di C-4 seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Spektrum UV-Vis flavonoid hasil isolasi dengan pelarut MeOH+NaOH Penambahan pereaksi geser AlCl3 memberikan serapan pada panjang gelombang 421 nm (pita I) dan 275 nm (pita II). Penambanhan AlCl3 ini menyebabkan pergeseran batokromik 64 nm (pita I) yang merupakan karakterisasi OH di C-5. Setelah penambahan HCl memberikan serapan pada panjang gelombang 401 nm (pita I) dan 272 nm (pita II). Penambahan HCl ini menyebabkan terjadinya pergeseran batokromik 44 nm (pita I) yang menunjukkan adanya OH di C-3 atau C-5 seperti pada Gambar 3.

Gambar 3. Spektrum UV-Vis flavonoid hasil isolasi dengan pelarut MeOH+AlCl3+HCl

Gambar 1. Spektrum UV-Vis flavonoid hasil isolasi dengan pelarut MeOH

Penambahan pereaksi geser NaOAc memberikan serapan pada panjang gelombang 362 nm (pita I) dan 267 nm (pita II). Penambahan NaOAc menyebabkan pergeseran 165

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

batokromik 10 nm pada (pita II), yang menunjukkan adanya OH di C-7. Setelah penambahan H3BO3 memberikan serapan pada panjang gelombang 375 nm pada (pita I) dan 261 nm (pita II) yang menunjukkan adanya o-di OH pada cincin B pada (pita I) seperti pada Gambar 4.

bahwa flavonoid hasil isolasi diduga mempunyai struktur 5,7,3’,4’ tetrahidroksiflavonol 3-O-glikosida seperti yang terlihat pada Gambar 6. 3'

4

2 1

8 7

9 A

O

2

OH '

'

HO

OH

B

1'

5' 6'

C 3

6

10 5 OH

4

O

glikosida

O

Gambar 6. Dugaan struktur senyawa hasil isolasi Gambar 4. Spektrum UV-Vis flavonoid hasil isolasi dgn pelarut MeOH+NaOAc+H3BO3 Spektrum inframerah (FT-IR) fraksi 1 pada Gambar 5 memperlihatkan adanya pita serapan melebar pada bilangan gelombang 3334,65 cm -1 yang diduga streching dari gugus OH. Hasil ini didukung oleh adanya pita serapan pada bilangan gelombang 1651,68 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus C-O keton, serapan pada bilangan gelombang 1503,68 cm-1 menunjukkan adanya puncak C=C, serapan pada 1270,22 cm -1 menunjukkan adanya C-O eter dan serapan pada 827,87 cm -1 menunjukan adanya puncak C-H aromatik (Fessenden, 1997).

5. DAFTAR PUSTAKA Fauziah Nurul., (2008), Efek anti inflamasi ekstrak etanol dari daun petai cina (Leucaena glauca,Benth) pada tikus putih jantan galur wistar. Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta. Fessenden,R.J.D.F.J.S, (1997), Kimia Organik. Terjemahan oleh A. Hadiyana P. Jilid I, Edisi ketiga. Jakarta, Erlangga. Finar, I. L. (1976), Organic Chemistry Stereochemistry and Natural Product. Volume Two. Fifth Edition. Longman. England. Markham,K.R, (1988). Cara Mengidentifikasi Flavonoid, Bandung, ITB. Nurhasnah Aliunir, dkk, (2002), Kimia Bahan Alam. FMIPA Universitas Negeri Padang. Pietta, Pier-Giorgio. (2000), Flavonoids as Antioxidants. J. Natural Produt. 63, 1035-1042.

Gambar 5. Spektrum FT-IR flavonoid hasil isolasi. 4. PENUTUP Berdasarkan hasil uraian diatas maka hal yang dapat di ambil sebagai kesimpulan yaitu senyawa hasil isolasi dari daun petai cina (Leucaena glauca,Benth) adalah serbuk kuning kecoklatan sebanyak 0,395 g. Berdasarkan uji skrining fitokimia, KKT-2A dan analisis spektrum UV-Vis, FT-IR memperlihatkan 166

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

PENGARUH WAKTU PENGAMBILAN SAMPEL TERHADAP PENENTUAN KADAR COD, TSS DAN LOGAM SENG DALAM AIR SUNGAI BATANG GADANG KECAMATAN LUBUK KILANGAN KOTA PADANG Zul Afkar Dosen Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Padang ABSTRAK Air mempunyai peranan penting bagi seluruh kehidupan di dunia. Begitu juga dengan masyarakat Kecamatan Lubuk Kilangan yang memanfaatkan air sungai Batang Gadang untuk keperluan pertanian, perikanan dan keperluan sehari-hari seperti mandi, mencuci dan kakus. Umumnya masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran sungai Batang Gadang bergantung pada air sungai untuk memenuhi kebutuhannya. Namun, akhir-akhir ini banyaknya masyarakat yang mengeluh karena sewaktu-waktu warna dan bau air sungai Batang Gadang berubah, bahkan banyak mengandung lumpur. Hal ini disebabkan oleh adanya kegiatan penambangan batu kapur disebelah sungai Batang Gadang oleh PT. Semen Padang, sehingga adanya pelarutan material-material padatan oleh air sungai. Untuk itu perlu adanya uji kualitas air, seperti derajat keasaman, suhu, BOD (Biological Oxygent Demand), COD (Chemical Oxygent Demand), TSS (Total Suspended Solid), kadar logam berat dan parameter-parameter lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh waktu pengambilan sempel air sungai Batang Gadang Kecamatan Lubuk Kilangan terhadap parameter COD, TSS dan logam seng. Sampel air sungai diambil pada dua waktu yang berbeda, yaitu pagi dan siang hari per setiap pengambilan sampel. Metoda yang digunakan yaitu titrimetri (untuk COD), metoda gravimetri (untuk TSS) dan metoda Spektrofotometri Serapan Atom untuk penentuan kadar seng. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai COD masih berada dibawah batas maksimum baku mutu air yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu 100 mg/L sedangkan hasil yang diperoleh 86,6 – 87,3 mg/L. Sedangkan untuk nilai TSS juga masih berada dalam standar yang diperbolehkan yaitu untuk TSS 59139 mg/L. Untuk logam seng masih berada dibawah baku mutu untuk keperluan pertanian tetapi untuk perikanan dan pencucian kadar Seng berada diatas standar yang dibolehkan. Disamping kadar COD dan TSS dipengaruhi oleh waktu pengambilan sampel. Kata kunci : COD, TSS, Air Sungai dan Gravimetri

1. PENDAHULUAN Air adalah zat yang dibutuhkan oleh semua makhluk hidup termasuk manusia, hewan serta tumbuh-tumbuhan. Manfaat air bermacam-macam misalnya untuk diminum, untuk pembawa zat makanan pada tumbuhan, zat pelarut, pembersih dan sebagainya. Oleh karena itu penyedian air merupakan salah satu kebutuhan utama bagi manusia untuk kelangsungan hidupnya dan menjadi faktor penentu dalam kesehatan dan kesejahteraan manusia (Pandia,1995). Air yang ada dibumi ini tidak pernah terdapat dalam keadaan murni, tetapi selalu ada senyawa atau mineral lain yang terlarut di dalamnya. Hal ini tidak berarti bahwa semua air di bumi telah tercemar. Sebagai contoh, air yang diambil dari mata air dipegunungan dan air hujan. Keduanya dapat dianggap sebagai air yang bersih, namun senyawa atau mineral (unsur) yang terdapat didalamnya berbeda

(Wardhana, 1995 ). Air permukaan tanah yang mempunyai derjat pengotoran yang tinggi yaitu air sungai. Air sungai memiliki debit yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan domestik warga disekitar. Begitu juga dengan warga disekitar sungai Batang Gadang Kecamatan Lubuk Kilangan yang memanfaatkan air sungai untuk pertanian, perikanan dan untuk kebutuhan sehari-hari. Namun akhir-akhir ini banyaknya warga yang bermukim disekitar aliran sungai Batang Gadang yang mengeluh karena sewaktu-waktu warna dan bau air sungai berubah menjadi keruh dan berbau amis, bahkan banyak mengandung lumpur. Hal ini mungkin disebabkan oleh banyaknya limbah buangan rumah tangga dan pembuangan sampah sembarangan kedalam sungai. Kemungkinan lain yaitu adanya kegiatan penambangan batu kapur oleh PT Semen Padang sebagai bahan baku pembuatan semen. Akibat dari pada penambangan batu 167

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

kapur ini yaitu adanya pelarutan materialmaterial padatan dari bukit batu kapur masuk ke dalam air sungai. Keberadaan senyawasenyawa asing di dalam air dapat mengakibatkan air tidak dapat atau tidak digunakan secara normal atau sesuai peruntukannya yang mengakibatkan air dikatakan air tercemar. Untuk mengetahui apakah suatu air telah tercemar atau tidak, diperlukan pengujian untuk menentukan sifatsifat air sehingga diketahui apakah terjadi penyimpangan dari batasan-batasan pencemaran air. Adapan pengujian dapat meliputi dejat keasaman, suhu, BOD ( Biological oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand), TSS (Total Suspended Solid) dan logam-logam berat (Wardhana, 1995). Menurut Alerts & Santika (1987) COD (Chemical Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen (mg/O2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam 1 liter sampel air, dimana pengoksidasi K2Cr2O7 digunakan sebagai sumber oksigen. COD digunakan untuk proses deoksigenasi dalam suatu perairan atau air limbah. Menurut Peraturan Pemerintah (2001) Angka COD berdasarkan kelasnya yaitu, kelas I 10 mg/L, kelas II 25 mg/L, kelas III 50 mg/L dan kelas IV 100 mg/L. Sebahagian besar zat organik melalui tes COD dioksidasi oleh larutan kalium dikhromat dalam keadaan asam yang mendidih. Perak sulfat ditambahkan sebagai katalisator untuk mempercepat reaksi. Sedangkan merkuri sulfat ditambahkan untuk menghilangkan gangguan klorida, yang pada umumnya ada didalam air buangan (Alerts & Santika, 1987). Contoh reaksi oksidasi senyawa organik (gliserol) oleh larutan K2Cr2O7 seperti diberikan dibawah ini: 3 C3H8O3 + 7 Cr2O72- + 56H+ 3+

Ag2SO4

9 CO2 + 40 H2O + 14 Cr

Nilai BOD dan COD dipengaruhi oleh oksigen terlarut (Disolved Oxygen = DO). Jika tingkat oksigen terlarut rendah, maka organisme aerob berkemungkinan akan mati atau akan menguraikan bahan organik dan menghasilkan bahan seperti metana dan hidrogen sulfide, zatzat itulah yang menyebabkan air berbau busuk ( Versi, 2010). Suhu juga mempengaruhi kadar oksigen terlarut dalam air. Sumber utama oksigen dalam

perairan antara hasil difusi dari udara, terbawa melalui presipitasi (air hujan) dan hasil fotosintesis fitoplankkton. Sebaliknya, kandungan oksigen terlarut dalam air dapat berkurang karena dimanfaatkan oleh aktifitas respirasi dan perombakan bahan organik Tekanan udara dapat pula mempengaruhi kelarutan oksigen didalam air karena tekanan udara mempengaruhi kecepatan difusi oksigen dari udara ke perairan. Kekurangan oksigen dapat pula dialami akibat stratifikasi salinitas yang dapat terjadi setelah hujan lebat ( Wardhana, 1995). Ada saatnya oksigen dalam air menjadi lewat jenuh. Konsentrasi lewat jenuh dapat terjadi pada tambak-tambak yang terlalu subur dan fitoplankton tumbuh terlalu padat. Keadaan ini dapat terjadi setelah tengah hari, yaitu melalui aktifitas fotosintesis fitoplankton banyak menghasilkan oksigen dengan reaksi sebagai berikut: klorophil 6 CO2 + 6 H2O C6H12O6 + 6 O2 Ultra Violet (cahaya matahari) Menurut Aleart & Santika, (1987) TSS adalah jumlah berat (mg/L) lumpur kering yang ada dalam limbah setelah mengalami penyaringan menggunakan filter kertas atau filter fiber glass dan kemudian zat padat yang tertahan pada filter dikeringkan pada suhu 105o C, berat residu sesudah penyaringan tersebut adalah zat padat tersuspensi. Penentuan zat padat tersuspensi (TSS) berguna untuk mengetahui kekuatan pencemaran air limgah domestik, dan juga berguna untuk penentuan efisiensi unit pengolahan air. Menurut peraturan Pemerintah (2001) angka TSS untuk air berdasarkan kelasnya yaitu, kelas I 50 mg/L, kelas II 100 mg/L, kelas III 400 mg/L dan kelas IV 400 mg/L. Menurut Aleart dan Santika (1987) pada umumnya air lingkungan yang telah tercemar ditandai dengan kandungan oksigennya sangat rendah. Hal itu terjadi karena oksigen yang terlarut di dalam air diserap oleh mikroorganisme dengan bantuan sinar matahari untuk memecah bahan buangan organik sehingga menjadi bahan yang mudah menguap. Semakin banyak bahan buangan organik yang ada di dalam air, maka semakin sedikit sisa oksigen terlarutnya dan semakin tinggi kadar pencemarannya. COD merupakan salah satu parameter yang digunakan dalam menentukan kadar pencemaran dengan cepat, tepat dan teliti 168

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

dibandingkan dengan kadar BOD. Metoda yang umum digunakan untuk penentuan COD adalah metoda titrimetri namun dengan berkembangnya ilmu pengetahuan banyak metoda yang dapat digunakan untuk penentuan COD antara lain adalah metoda spektrometri. Parameter lain untuk penentuan tingkat kadar pencemar yaitu TSS dan kandungan logam berat. Melihat kandungan lumpur atau tanah liat yang cukup tinggi adalah berasal dari pelarutan material bukit batu kapur pada air sungai Batang Gadang, maka perlu adanya analisa kadar zat padat tersuspensi dan koloidal karena apabila kandungan TSS tinggi maka air tidak dapat digunakan untuk keperluannya. Begitu juga dengan kandungan logam berat di dalam air sungai. Sumber logam seng di dalam air sungai Batang Gadang diduga berasal dari material geokimia yang terbawa arus sungai atau yang sudah ada terdapat dalam sungai, limbah pemupukan yang mengandung Zn dan banyaknya sampah serta limbah penduduk yang dibuang ke dalam sungai seperti limbah deterjen Berdasarkan uraian ini maka dikemukakan masalah berapakah kadar COD, TSS dan logam Seng serta pengaruh waktu pengambilan sampel air sungai Batang Gadang Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang. Maka selanjutnya dilakukan penelitian dengan Pengaruh Waktu Pengambilan sampel terhadap Penentuan Kadar COD dan TSS dan logam seng dalam Air Sungai Batang Gadang Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang.

2. METODE 2.4 Jenis Penelitian, Waktu dan Tempat Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif yang dilakukan di Laboratorium Kimia Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Padang. 2.5 Persiapan Sampel Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel air yang diperoleh dari Sungai Batang Gadang Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang. Sampel dengan dua waktu pengambilan yaitu pagi dan siang hari. Untuk setiap waktu pengambilan diambil tiga titik yaitu titik satu diambil pada air sungai yang terletak sebelum malalui bukit kapur, titik dua diambil pada air sungai yang terletak disebelah bukit kapur dan titik tiga diambil pada air sungai setelah bukit kapur.

2.3 Prosedur Kerja a. Penentuan Kadar COD (Alearts & Santika 1987) 1). Ditimbang 0,2 g Hg2SO4 dan dimasukkan ke dalam labu refluks COD 250 mL 2). Dimasukkan batu didih kedalam labu COD. 3). Kemudian ditambahkan 10 mL larutan sampel. 4). Selanjutnya ditambahkan 5 mL larutan K2Cr2O7 0,25 N. 5). Kedalam labu COD ini ditambahkan 2,5 mL pereaksi asam sulfat dan dikocok perlahan-lahan dan hati-hati untuk mencegah penguapan, tetapi larutan harus tercampur dan panasnya merata. 6). Air pendingin dialirkan pada kondensor dan Erlenmeyer COD ditempatkan dibawah kondensor. Kemudian tambahkan lagi 12,5 mL pereaksi asam sulfat, dituangkan melalui dinding kondensor kedalam labu COD ( labu refluks) sedikit demi sedikit dengan menggunakan dispenser dan selama ini gelas refluks digoyang-goyang agar semua pereaksi dan sampel tercampur. 7). Kondensor dengan gelas erlenmeyer COD (gelas refluks) ditempatkan diatas Bunsen. Alat pemanas dinyalakan dan larutan direfluks selama dua jam. 8). Gelas refluks dibiarkan dingin, kemudian kondensor dibilas dengan aquades sebanyak 25 – 50 mL. 9). Gelas refluks dilepaskan dari kondensor, dan larutan didinginkan (dengan merendam gelas refluks di dalam air ) kemudian larutan yang telah direfluks diencerkan sampai menjadi dua kali jumlah larutan dalam gelas refluks dengan aquades. Tambahkan aquades 75 – 100 mL. Selanjutnya didinginkan sampai suhu kamar. 10). Ditambahkan 3 – 4 tetes indicator feroin. 11). Dikhromat yang tersisa didalam larutan sesudah direfluks, dititrasi dengan larutan standar ferro ammonium sulfat 0,1 N sehingga terjadi perubahan warna dari hijau menjadi coklat merah. 12). Balanko dilakukan pula dengan prosedur yang sama. b. Penentuan TSS ( Aleart & Santika) 1). Kertas saring dipanaskan dalam oven pada suhu 105o C selama satu jam. Dan didinginkan dalam desikator selama 15

169

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

menit. Kemudian kertas saring ditimbang dengan capat. 2). Sampel yang sudah dikocok merata, sebanyak 100 mL dipindahkan kedalam corong penyaringan dan dilakukan penyaringan. 3). Kertas saring ini dikeringkan dalam oven pada 105o C selama satu jam. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang dengan cepat. Pemanasan diulang sampai beratnya konstan. C.Penentuan konsentrasi Logam Seng (Zn) dengan Spektrofotometri Serapan Atom (Standarisasi Nasional Indonesia. 2009) 1). Masukkan 100 ml sampel yang sudah dikocok sampai homogen ke dalam gelas piala 250 ml. 2). Tambahkan 10 ml HNO3 pekat kedalam gelas piala tutup dengan kaca arloji. 3). Panaskan perlahan-lahan sampai volumenya 15 ml - 20 ml. 4). Jika destruksi belum sempurna (tidak jernih), maka tambahkan lagi 10 ml HNO3 pekat, kemudian tutup gelas piala dengan kaca arloji dan panaskan lagi (tidak mendidih). Lakukan proses ini secara berulang sampai semua logam larut, yang terlihat dari warna endapan dalam sampel menjadi agak putih atau sampel menjadi jernih. 5). Bilas kaca arloji dan masukkan air bilasannya kedalam gelas piala. Pindahkan Larutan ke dalam labu ukur 100 ml (saring bila perlu) dan tambahkan dengan aquades sampai tanda batas dan homogenkan. 6). Larutan diukur dengan Spektrofotometri Serapan Atom dengan panjang gelombang 213,9 nm. 2.4. Teknik Analisis Data Kadar COD Kadar COD ditentukan menggunakan rumus dibawah ini: mgO2/L=

dengan

……..(1)

Keterangan : a : ml FAS untuk titrasi blanko b : ml FAS untuk titrasi sampel N : normalitas larutan FAS Kadar TSS (Total Suspended Solid) mg/L zat tersuspensi =

..(2)

Keterangan : a : berat filter dan residu sesudah pemanasan 105oC (mg) b : berat filter kering sesudah dipanaskan pada suhu 105oC (mg) c : ml sampel

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut: 3.1.1 Penentuan Kadar COD dengan Variasi waktu dan titik Pengambilan sampel Hubungan antara variasi waktu dan titik pengambilan sampel dengan nilai COD dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini Tabel 1`Data Angka COD VariasiWaktu dan Titik Pengambilan Sampel Waktu Titik 1 Titik 2 Titik 3 mL COD mL COD mL COD FAS mg/L FAS mg/L FAS mg/L Pagi 4,0 87,3 4,0 86,6 4,0 86,6 Siang 4,3 62,9 4,1 77,5 3,9 93,1 Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa angka COD pada pagi hari lebih tinggi dari pada angka COD pada siang hari. 3.1.2 Penentuan Kadar TSS dengan Variasi Waktu dan Titik Pengambilan Sampel Hubungan variasi waktu dan titik pengambilan sampel dapat dilihat pada tabel 2 berikut: Tabel 2 Data Angka TSS pada Variasi Waktu dan Titik Pengambilan Sampel TSS Titik TSS Titik TSS Titik Waktu 1mg/L 2 mg/L 3mg/L Pagi 73 78 82 Siang 59 67 139 Berdasarkan tabel 2 terlihat bahwa angka TSS pada pagi hari lebih tinggi dari pada angka TSS pada siang hari. 3.1.3 Penentuan Kadar Seng Pengukuran logam seng dilakukan dengan metoda Spektrofotometri Serapan hasilnya diberikan pada table 3 dibawah ini Tabel 3 Hasil pengukuran Logam Seng dalam Sampel Kons. Kons. Kons. RataWaktu Titik 1 Titik 2 Titik 3 Rata (ppm) (ppm) (ppm) (ppm) 170

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Pagi Siang

O,1235 0,1300

0,1233 0,1235

0,1235 0,1231

0,1234 0,1232

Berdasarkan data tabel 3 Kelihatan bahwa waktu pengambilan sampel tidak mempengaruhi kadar seng air sungai Batang Gadang 3.2 Pembahasan 3.2.1 Penentuan Kadar COD dengan Variasi Waktu dan Titik Pengambilan Sampel Dari hasil pemeriksaan COD dapat dilihat bahwa angka COD pada pagi hari lebih tinggi dibandingkan kadar COD pada siang hari yaitu untuk pagi adalah 86,6 – 87,3 mg/L dan untuk siang adalah 62,9 – 93,1 mg/L. Namun pada titik tiga kadar COD siang hari lebih tinggi dibandingkan kadar COD pada pagi hari.Nilai COD memiliki hubungan dengan nilai BOD. Dimana nilai COD juga dipengaruhi oleh oksigen terlarut. Beberapa factor yang mempengaruhi perbedaan angka COD adalah intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam air, curah hujan, sirkulasi air pertanian dan air limbah penduduk (Wardhana, 1995). Tingginya nilai COD pada titik tiga pada siang hari kemungkinan disebabkan adanya kegiatan penambagan batu kapur oleh PT Semen Padang pada Bukit Batu Kapur yang sebelum titik tiga tersebut, sehingga pada saat pengambilan batu kapur mengakibatkan terjadinya pelarutan bahan atau material padatan seperti garam-garam dan senyawa organik dari bukit batu kapur. Hal ini akan menyebabkan air sungai akan banyak mengandung senyawa-senyawa organik yang dapat dioksidasi oleh oksigen di dalam air dan apabila kadar oksigen didalam air rendah maka akan terjadi peningkatan kadar COD ( Aleart & Santika, 1987 ). Akibat lain dari penambangan batu kapur adalah terjadinya perubahan warna air sungai menjadi keruh atau gelap sehingga akan mengurangi penetrasi sinar matahari kedalam air. Maka dari itu` proses fotosintesis tanaman dalam air juga akan berkurang dan tentu berakibat terhadap kehidupan organisme yang hidup di dalam air. Tingginya kadar COD juga dipengaruhi kebiasaan warga setempat yang membuang sampah ke dalam sungai seperti sampah organic. Dimana sampah organik tersebut membutuhkan oksigen yang cukup banyak untuk dapat terdegradasi. Sedangkan sampah anorganik bila ada diperairan akan menghalangi cahaya matahari masuk kedalam

air dan akan menghambat proses fotosintesis dari tumbuhan air dan alga yang menhasilkan oksigen. 3.2.2 Penentuan Kadar TSS dengan Variasi Waktu dan Titik Pengambilan sampel Berdasarkan data yang diperoleh pada tabel 2 terlihat bahwa kadar TSS pada pagi hari lebih tinggi dari pada kadar TSS pada siang hari. Sedangkan pada titik 3 kadar TSS siang hari lebih tinggi dari TSS pada pagi hari. Tingginya kadar TSS pada siang hari hal ini terjadi kemungkinan adanya kegiatan penambangan batu kapur oleh PT Semen Padang. Dimana penambangan batu kapur tersebut teletak setelah titik 3. Dengan adanya penambangan batu kapur tersebut dapat memberikan adanya zat terlarut yaitu berbentuk garam-garam, senyawa organik dan zat padat tersuspensi seperti tanah liat yang berasal dari bukit kapur yang berada ditepi sungai Batang Gadang sehingga kandungan zat padat tersuspensi meningkat. Diperkirakan penyebab lain yaitu pembuangan air limbah batu kapur setelah penambangan ke dalam sungai, sehingga mengakibatkan terjadi perubahan kecepatan aliran dalam sungai sehingga endapan pada dasar sungai dapat tergerus dan terbawa oleh aliran sehingga kekeruhan naik secara drastis dan endapan sungai yang sudah membusuk pada dasar sungai tersebut bercampur dengan air yang segar pada bagian atas. Hal inilah mengakibatkan peningkatan nilai TSS (Aleart & Santika ). 3.2.3 Penentuan Kadar Logam Seng (Zn) pada Sampel dengan Spektrometri Serapan Atom Dari tabel 3 dapat dilihat hasil pengukuran sehingga diperoleh konsentrasi logam seng (Zn) dalam air sungai Batang Gadang yang diambil pada pada tiga titik dengan kadar rata 0.1233 mg/L. Air sungai Batang Gadang ini dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk keperluan pertanian, perikanan dan keperluan sehari-hari seperti mandi, mencuci dan kakus. Menurut peraturan pemerintah tahun 2001 kadar logam seng dalam air sungai untuk keperluan diatas masingmasing adalah 2 mg/L, 0.05 mg/L dan 0.05 mg/L. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan diperoleh bahwa kadar logam seng dalam air sungai untuk keperluan pertanian 171

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

masih dibawah batas maksimum yang ditetapkan pemerintah. Namun air sungai yang dimanfaatkan untuk perikanan dan keperluan sehari-hari kadar logam seng berada diatas batas maksimum yang ditetapkan pemerintah. Hal ini mungkin disebabkan oleh limpahan air permukaan tanah yang umumnya disebabkan oleh hujan, penggerusan bukit kapur yang mengakibatkan material-material dalam batu gamping mengalami pelarutan di dalam air sungai dan banyaknya warga yang membuang limbah rumah tangga dan sampah ke dalam sungai. Sedangkan waktu pengambilan tidak mempengaruhi kadar logam seng dalam air sungai Batang Gadang ini. 4.PENUTUP Dari hasil penelitian yang dilakukan dibawah ini dikemukan kesimpulan sebagai berikut: 1. Kadar COD (Chemical Oxygent Demand), TSS (Total Suspended Solid) dan logam seng (Zn) pada air sungai Batang Gadang Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang secara berurutan adalah kadar COD pagi hari adalah 86,6 – 87,3 mg/L dan untuk siang hari adalah 62,9 – 93,1 mg/L, untuk kadar TSS adalah pagi hari 78 – 82 mg/L dan siang hari 59 – 139 mg/L dan kadar logam seng adalah 0,1232 mg/L 2. Variasi waktu pengambilan sampel dan titik pengambilan sampel berpengaruh terhadap kadar CODdan TSS sedangkan kadar seng tidak dipengaruhi oleh waktu pengambilan sampel.

Fersi, Mutia Dewi. 2010. Penentuan Kadar COD, BOD dan TSS pada Perikanan Tambak dan Kolam Ikan Dikawasan Industri Perikanan, Desa Koto Sani, Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok. Skripsi UNP: Padang. Pandia, dkk. 1995. Kimia Lingkungan. Pengendalian Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) dan Pusat Studi Lingkungan (PSL): Jakarta. Peraturan Pemerintah. 2001. Pengelolaan Kualiatas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Pemerintah Republik Indonesia. Standarisasi Nasional Indonesia. 2004. Air dan Air Limbah _ Bagian 2: Cara Uji Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK) dengan Refluks Tertutup secara Spektrometri. Badan Standarisasi Nasional Indonesia. Standarisasi Nasional Indonesia. 2008. Air dan Air Limbah – Bagian 57: Metoda Pengambilan Contoh Air Permukaan. Badan Standar Nasional Indonesia. Standarisasi Nasional Indonesia. 2009. Air dan Air Limbah – Bagian 7: Cara Uji Seng (Zn) Secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)-Nyala. Badan Standar Nasional Indonesia.

5.DAFTAR PUSTAKA Aleart, G, & Santika, S.S. 1987. Metoda Penelitian Air. Surabaya: Usaha Nasional

Sugiyarto, Kriastian H. 2003. Dasar-Dasar Kimia Anorganik Logam. Universitas Negeri Yogyakarta: Yogyakarta.

Arifin. 2009. Metoda Pengolahan Seng (Zn), Suatu Tinjauan pada Instalasi Pengolahan Air. (http://www.google.com)

Wardhana, Arya Wisnu. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi: Yogyakarta.

172

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

IMPLEMENTASI PENDEKATAN SAINTIFIK DALAM PEMBELAJARAN FISIKA DI SEKOLAH Amali Putra Jurusan Fisika FMIPA UNP Padang E mail :[email protected]

ABSTRACT Has conducted monitoring and evaluation (monev) at the implementation of the curriculum in 2013 (September-November 2014). in some county-town in West Sumatera. One of them is the monev of the implementation of the scientific approach in learning physics in high senior and science-physics in junior school, which aims to describe the condition of the implementation of the scientific approach involves : teaching material, implementation of scientific approach, and the development of students' competencies. Monev conducted at 4 districts in the city of West Sumatra (Agam, Tanah Datar, Padang and Pariaman,) which involves 4 units 4 units of high school education and secondary school education. Monev is done by using a survey questionnaire, classroom observation, and interviews using observation and video recording formats of learning, in order to obtain the data in the form of quantitative and qualitative. Monev results indicate that there are some weaknesses in the implementation of learning physics in high senior and science-physics in junior school that is related to : a) Availability of the teacher learning in general average of 21% is available and complete, 46% available but less complete, 29% available but incomplete , and 4% are not available. ; b) adherence to the scientific approach, an average of 3% done and adequate, 38% done but inadequate, 50% implemented and inadequate, and 10% did not materialize; and c) the development of student competencies average: 8% done and adequate, 34% done but inadequate, 47% implemented and inadequate, and 11% did not materialize. Keywords: scientific approach, contextual, competence, learning physics

berkelompok, dan belajar berpusat pada siswa;b) Assessment berarti pengukuran kema-juan belajar siswa yang dibandingkan dengan target pencapaian tujuan belajar ; c) Kebera-gaman mengandung makna bahwa dalam pendekatan ilmiah mengembangkan pendekatan keragaman. Pendekatan ini membawa konseku-ensi siswa unik, kelompok siswa unik, termasuk keunikan dari kompetensi, materi, instruktur, pendekatan dan metode mengajar, serta konteks. Implementasi pendekatan saintifik secara baik, akan menentukan kompetensi yang dapat dikuasai siswa. Guru dapat memfasilitasi bela-jar siswa pada tiga tipe pilihan yaitu model deskriptif, relasional, atau eksperimen. Ketiga tipe tersebut memerlukan teknik eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi yang berbeda sehingga akan menghasilkan produk belajar yang berbeda yaitu dalam bentuk deskriptif (fakta, konsep), relasional (prinsip, teori,) dan hasil eksperimen (procedural, hukum). Atas dasar itu, perkembangan terakhir materi

1. PENDAHULUAN Kehadiran kurikulum 2013, mengamanatkan agar pembelajaran dilaksanakan dengan pendekatan saintifik (scientific approach) yang terdiri dari kegiatankegiatan: mengamati,me-nanya, mencoba, menalar, dan mengkomuni-kasikan. Disamping itu pembelajaran harus dilaksanakan secara kontekstual, yaitu disesuai dengan konteks siswa (berkembangnya kompe-tensi siswa untuk aspek kognitif, afektif, dan psikomotor) melalui kegiatan berfikir bernalar dan berbuat, dan konteks materi pelajaran (fakta, konsep, prinsip, dan posedural) Menurut majalah Forum kebijakan Ilmiah yang terbit di Amerika pada tahun 2007 sebagaimana dikutip Wikipedia menyatakan bahwa penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran harus memenuhi tiga prinsip utama; yaitu : a) Siswa belajar aktif, dalam hal ini termasuk inquiry-based learning atau belajar berbasis penelitian, cooperative learning atau belajar 173

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

pembelajaran di sekolah dapat dikelompokkan menjadi empat kategori materi (pengetahuan), yaitu materi fakta, konsep, prinsip, dan prose-dural. Pendekatan Saintifikmerupakan konsep dasar yang menginspirasi teknik, metode, strategi, model dan pendekatan pembelajaran. Karena sesungguhnya pembelajaran disekolah itu sendiri merupakan suatu kegiatan ilmiah (scientific activities). Pendekatan pembelajaran secarailmiah (scientific teaching) merupakan bagian dari pendekatan pedagogis yang melan-dasi penerapan metode ilmiah (scientific method) yang diyakini sebagai langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah (science)secara benar. Oleh sebab itu penerapan pendekatan saintifik (pendekatan ilmiah) dalam pembelajaran tidak hanya fokus pada bagaimana mengembangkan kompetensi siswa dalam melakukan observasi atau eksperimen, namun bagaimana mengembangkan pengetahuan dan keterampilan berpikir sehingga dapat mend-kung aktivitas kreatif dalam berinovasi dan berkarya. Penerapan metode ilmiah disekolah, ada-lah dengan mengimplementasikan pendekatan saintifik.Penilaian hasil belajar melalui pendekatan inidibedakan dalam tiga dimensi yaitu dimensipsikomotor ( kecakapan berfikir dan berbuat), dimensi attitude (perubahan sikap dan karakter), dan dimensi kognitif ( pening-katan pengetahuan ). Kecakapan berpikir dan berbuat terefleksi pada aktivitas ;mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyaji , mena-lar dan membentuk jejaring. Level kecakapan berpikir terpetakan dalam model taksonomi : mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan berkreasi. Perubahan sikap dan karakter yaitu munculnya sikap dan karakter yang baik (budi pekerti) Sedangkan peningkatan pengetahuan yang dimaksud berupa penguasaan teoridalam ilmu pengetahuan yang meliputi pengetahuan faktual, konseptual, dan prosedural. Dalam pelaksanaan disekolah tidak semua aktivitas dinilai pada tiap pelaksanaan pembelajaran. Guru dapat memilih prioritas berdasarkan kompetensi yang hendak dicapai. Dalam Permendikbud No. 65 Tahun 2013 tentang Standar Prosesuntuk Pendidikan Dasar dan Menengah mengamanatkan agar proses pembelajaran di laksanakan dengan pendekatan saintifik yangmerupakan ciri khas dan kekuatan dari Kurikulum 2013. Hal ini

sangat wajar karena pembelajaran itu sendiri sesungguhnya adalah sebuah proses ilmiah (keilmuan).Umumnya para ahli di bidang pen-didikan meyakini bahwa melalui pendekatan saintifik, selain dapat menjadikan siswa lebih aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya, juga dapat mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan guna menemukan fakta-fakta dari suatu fenomena atau kejadian. Artinya, dalam proses pembelajaran, siswa dibelajarkan melalui pembiasaan menemukan kebenaran ilmiah da-lam melihat suatu fenomena. Mereka dilatih untuk mampu berfikir logis, runut dan sistematis, dengan menggunakan kapasistas berfikir tingkat tinggi (High Order Thingking). Combie White (1997) dalam bukunya yang berjudul “Curriculum Innovation; A Celebration of Classroom Practice” seperti di sampaikan oleh Sudrajat (2013) mengingatkan kita tentang pentingnya membelajarkan para siswa tentang fakta-fakta “Tidak ada yang lebih penting, selain fakta“, demikian ungkapnya. Penerapan pendekatan saintifik menuntut adanya perubahan setting pembelajaran yang berbeda dengan pembelajaran konvensional atau tradisional yang menganutChalk and Talk Approach.Melalui pembelajaran yang melatih siswa untuk berfikir, bernalar dan ber-buat yang membelajarkan siswa melalui mengenal masalah, merumuskan masalah, mencari solusi atau menguji jawaban sementara atas suatu masalah atau pertanyaan dengan melakukan penyelidikan (menemukan fakta-fakta melalui penginderaan), pada akhirnya dapat menarik kesimpulan dan menyajikannya secara lisan maupun tulisan. Menurut Teori Perkembangan Kognitifdari Piaget , bahwa seorang individu mulai usia 11 tahun hingga dewasa (tahap formal-operasional), telah memiliki kemampuan meng-koordinasikan baik secara simultan maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif yaitu: (1) Kapasitas menggunakan hipotesis; dan (2) Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak. Berdasarkan teori ini sangat mungkin untuk menerapkannya mulai pada usia ini (jenjang pendidikan SLTP dan SLTA) yang dilakukan secara bertahap, dimulai dari penggunaan hipotesis dan berfikir abstrak yang sederhana, kemudian seiring dengan perkembangan kemampuan berfikirnya dapat ditingkatkan

174

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

dengan menggunakan hipotesis dan berfikir abstrak yang lebih kompleks. Kemendikbud (2013) memberikan konsepsi tentang pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran didalamnya mencakup komponen: mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta. Komponen-komponen tersebut seyogyanya dapat dimunculkan dalam setiap praktik pembelajaran, tetapi tidaklah dimaknai sebagai suatu sintaks atau sebuah siklus pembelajaran. Kurikulum 2013telah digulirkan sejak pertengahan tahun 2013. Sebagian besar, guru-guru telah mendapatkan sosialisasi dan pela-tihan kurikulum ini.Berdasarkan beberapa penda-pat guru tentang kurikulum ini, sebagian guru sudah menyadari kebutuhan akan kehadiran Kurikulum 2013. Akan tetapi secara teknis dalam proses pembelajaran masih ditemukan beberapa permasalahan, terutama terkait dengan pengembangan materi pelajaran yang kontekstual, penerapan strategi dan metode pembelajaran yang berbasis saintifik dan penerapan teknik penilaian autentik, terutama dialami oleh guru-guru mata pelajaran yang saat ini belum tersentuh langsung oleh Kebijakan Pendidikan Nasional.Permasalahan lain yaitu masih ada sekolah yang belum sanggup mengembangkan pembelajaran dengan meman-faatkan IT untuk mengoptimalkan hasil belajar siswa, baik karena faktor kompetensi guru itu sendiri maupun terbatasnya sarana dan prasarana. Sebagai sebuah inovasi dalam pelaksanaan pembelajaran, Implementasi Kurikulum 2013 melalui pendekatan saintifik pasti tidak akan langsung dapat berjalan secara sempurna. Seiring dengan perjalanan waktu dan upaya perbaikan yang berkelanjutan, lambat laun, diharapkan pelaksanaan pembelajaran akan lebih baik hendaknya. Dalam pelaksanaan pendekatan saintifik menurut Kurikulum 20013, diisyaratkan bahwa proses pembelajaran yang dikehendaki adalah pembelajaran yang mengedepankan penga-laman personal melalui observasi (menyimak, melihat, membaca, mendengar), asosiasi, bertanya, menyimpulkan, dan mengkomuni-kasikan. yang yang berpusat pada peserta didik (student centered active learning) yang bersifat kontekstual.(Sumber: Pengembangan Kurikulum 20013, Bahan Uji Publik, Kemendikbud).Secara konseptual proses

pembelajaran yang ditawar-kan dalam Kurikulum 2013 dibandingkanKurikulum 2004 (KBK) dan Kurikulum 2006 (KTSP), pada dasarnya menghendaki proses pembelajaran yang tidak jauh berbeda seperti apa yang tersurat dalam Kurikulum 2013. Jika dipersandingkan dengan Kurikulum 2013, konsep-konsep pembelajaran tersebut pada intinya tidak jauh berbeda. Permasa-lahannya adalah konsep-konsep pembelajaran mutakhir tersebut tidak terimplementasikan dengan baik. Setidaknya ada 2 (dua) sisi permasalahan yang berbeda, dan tidak dapat dipisahkan, yaitu masalah keterbatasan kemampuan(ketrampilan) dan keterbatasan kemauan (motivasi). Dalam mengimplementasikankurikulum 2013, tidak hanya bertumpu pada sisi keterampilan saja, tetapi juga menyentuh pula aspek motivasional dalam arti, perlu ada upaya-upaya tertentu untuk membangun kemauan dan komitmen guru agar dapat menerapkan secara konsisten berbagai pendekatan dan metode pembelajaran yang sejalan dengan tuntutan Kurikulum 2013. Pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif mengonstruk konsep, hukum atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati (untuk mengidentifikasi atau menemukan masalah), merumuskan masalah, mengajukan atau merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan dan mengomunikasikan konsep, hukum atau prinsip yang “ditemukan”. Pendekatan saintifik dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik dalam mengenal, memahami berbagai materi menggunakan pendekatan ilmiah. Informasi materi pelajaran haruslah disikapi bahwa bisa berasal dari mana saja, kapan saja, tidak bergantung pada informasi searah dari guru. Oleh karena itu kondisi pembelajaran yang terjadi dapat diarahkan untuk mendorong peserta didik dalam mencari tahu dari berbagai sumber melalui kegiatan observasi. Penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran melibatkan keterampilan proses seperti mengamati, mengklasifikasi, mengukur, mera-malkan, menjelaskan, dan menyimpulkan yang memerlukan bantuan guru yang akan semakin berkurang dengan semakin bertambah dewasanya siswa.

175

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Setidaknya ada4 teori belajar yang relevan dengan pendekatan saintifik yaitu teori Bruner, teori Piaget, teori Vygotsky dan teori Bandura. Teori belajar Bruner disebut juga teori belajar penemuan (discovery learning). Menurut Slavin (2006), ada empat hal pokok berkaitan dengan teori belajar Bruner (dalam Carin & Sund, 1975). Pertama, individu hanya belajar dan mengembangkan pikirannya apabila ia menggunakan pikirannya. Kedua, dengan melakukan prosesproses kognitif dalam proses penemuan, siswa akan memperoleh sensasi dan kepuasan intelektual yang merupakan suatu penghargaan intrinsik. Ketiga, satu-satunya cara agar seseorang dapat mempelajari teknik-teknik dalam melakukan penemuan adalah denganmelakukan kegiatanpenemuan itu . Keempat, dengan melakukan penemuan maka akan memperkuat retensi ingatan. Ke empat hal tersebut bersesuaian dengan proses kognitif yang diperlukan dalam pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik. Teori Piaget, menyatakan bahwa belajar berkaitan dengan pembentukan dan perkem-bangan skema, yang merupakan suatu struktur mental atau struktur kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya (Bal-dwin, 1967; Slavin, 2006). Skema tidak pernah berhenti berubah, skemata(bentuk jamak dari skema) seorang anak akan berkembang dan berubah menjadi skemata orang dewasa melalui proses adaptasi dengan cara asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan stimulus yang dapat berupa persepsi, konsep, hukum, prinsip ataupun pengalaman baru ke dalam skema yang sudah ada didalam pikirannya. Akomodasi dapat berupa pembentukan skema baru yang dapat cocok dengan ciri-ciri rangsangan yang ada atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan ciri-ciri stimulus yang ada. Dalam pembelajaran perlukan adanya ekuilibrasi (penyeimbangan) antara asimilasi dan akomodasi (slavin, 2006). Vygotsky, dalam teorinya menyatakan bahwa pembelajaran terjadi apabila peserta didik bekerja atau belajar menangani tugastugas yang belum dipelajari namun tugastugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuan atau tugas itu yang berada dalam zone of proximal development(ZPD) daerah tingkat perkem-bangan anak, yang

didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampub (Slavin, 2006). Vygotsky meyakini bahwa bila siswa berada dalam daerah ZPD untuk tugas-tugas belajar tertentu memer-lukan bantuan (scaffolding) dalam menyelesai-kan tugas tersebut. Menurut teori Bandura belajar terjadi karena proses peniruan (imitation). Kemampuan meniru respon memberikan daya ungkit utama aktivitas belajar. Teori Bandura yang dikenal dengan teori belajar social (social learning theory) menganut 4 konsep dasar yaitu : 1) pemodelan (modeling) yaitu belajar dengan cara meniru prilaku orang lain dan pengalaman vicarious (keberhasilan dan kegagalan orang lain) ; 2) fase belajar, meliputi fase pemberian perhatian terhadap model (attentional), meng-endapkan hasil memperhatikan model dalam pikiran peserta didik (retention), menampilkan ulang prilaku model (reproduction), dan motivasi (motivation) ketika peserta didik berkeinginan mengulang-ulang prilaku model yang mendatangkan konsekwensi-konsekwensi positif dari lingkungan; 3) Belajar vicarious tentang ganjaran dan hukuman yang diterima orang lain selama terlibang dengan prilakuprilaku tertentu.; 4) Pengaturan diri (self regulation), dengan mengamati, mempertimbangkan, memberi ganjaran atau hukuman terhadap prilaku sendiri (Slavin, 2006). Pembelajaran dengan pendekatan saintifik memiliki karakteristik : 1) berpusat pada siswa : 2) melibatkan keterampilan proses sains ; 3) melibatkan proses-proses kognitif yang merangsang perkembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa; dan 4) dapat mengembangkan karakter siswa. Proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 untuk semua jenjang pendidikan diamanatkan pelaksanannya menggunakan pendekatan saintifik, meliputi : menggali informasi melalui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah data atau informasi, menyajikan data atau informasi, dilanjutkan dengan menganalisis, menalar, kemudian menyimpulkan, dan mencipta. Pendekatan saintifik dalam pembelajaran disajikan sebagai berikut:a) Mengamati (observasi).Metode mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning), karena melalui penyajian media obyek secara nyata, peserta didik merasa senang dan tertantang, dan 176

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan dalam Permendikbud Nomor 81A/2013, yaitu hendak-nya guru memfasilitasi dan membuka kesem-patan secara luas dan bervariasi terhadap pe-serta didik untuk melakukan pengamatan melalui kegiatan: melihat, menyimak, men-dengar, dan membaca untuk menemukan hal yang penting dari suatu benda atau objek yang dipelajari. b) Menanya. Melalui kegiatan mengamati, guru membuka kesempatan secara luas kepada peserta didik untuk bertanya mengenai apa yang sudah dilihat, disimak, dibaca atau dilihat. Guru perlu membimbing peserta didik untuk dapat mengajukan pertanyaan tentang yang hasil pengamatan objek yang konkrit sampai kepada yang abstrak, dengan pertanyaan yang bersifat faktual sampai kepada pertanyaan yang bersifat hipotetik. Kegiatan “menanya”sebagaimana tertuang da-lam Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013, adalah mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati.c) Mengumpulkan Informasi. Kegiatan inimerupakan tindak lanjut dari bertanya, dengan menggali dan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber melalui berbagai cara, seperti membaca buku, memperhatikan fenomena atau objek yang lebih teliti, atau melakukan eksperimen. Dalam Permendikbud Nomor 81a Tahun 2013, di jelaskan bahwa aktivitas mengumpulkan informasi dilakukan melalui eksperimen, membaca sumber lain selain buku teks, mengamati objek/ kejadian/, aktivitas wawancara dengan nara sumber dan sebagainya. d) Mengasosiasikan/ Mengolah Informasi/Me-nalar. Dalam Permendikbud Nomor 81a Tahun 2013, di jelaskan bahwa kegiatan ini adalah berupa memproses informasi yang sudah dikum-pulkan baik terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/eksperimen maupun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi untuk menemukan keterkaitan satu informasi dengan informasi lainya, menemukan pola dari keterkaitan informasi tersebut. Aktivitas ini juga diistilahkan sebagai kegiatan menalar, yaitu proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa

pengetahuan sehingga pengalamanpengalaman yang sudah tersimpan di memori otak berelasi dan berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya. Setelah menemukan keterkaitan antar informasi dan menemukan berbagai pola dari keterkaitan tersebut, selanjutnya secara bersama-sama dalam satu kesatuan kelompok, atau secara individual membuat kesimpulan. e)Mengkomunikasikan. Kegiatan ini berupa menyampaikan kesimpulan dari proses yang telah dilalui yang dapat dilakukan melalui menuliskan atau men-ceritakan apa yang ditemukan dalam kegiatan mencari informasi, mengasosiasikan dan menemukan pola. Hasil tersebut disampaikan di kelas dan dinilai oleh guru sebagai hasil belajar peserta didik atau kelompok peserta didik tersebut. Kegiatan “mengkomunikasikan” dalam kegiatan pembelajaran sebagaimana disampai-kan dalam Permendikbud Nomor 81a Tahun 2013, adalah menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya. Fisika sebagai salah satu mata pelajaran peminatan kelompok bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SMA/MA, dan merupakan salah satu komponen mata pelajaran IPA di SMP/MTs, sesuai dengan konteks materi yang terkandung di dalamnya sangat cocok diterapkan dengan pendekatan saintifik. Meski-pun saat ini sebagian besar guru-guru telah mendapatkan sosialisasi, pelatihan, serta pendampingan dalam mengimplementasikan pendekatan saintifik, masih terdengar suara-suara guru-guru yang merasa kesulitan dalam melaksanakannya. Telah dilakukan monitoring dan evaluasi (monev) penerapan pendekatan saintifik dalam pelajaran Fisika SMA dan IPA-Fisika SMP pada beberapa kabupaten/kota di Sumatera Barat yang bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan kurikulum 2013 berkenaan dengan ketersediaan perangkat pembelajaran, pelaksanaan pende-katan saintifik, dan pengembangan kompetensi siswa pada saat pembelajaran. Diharapkan hasil monev ini bermanfaat bagi pengembangan pembelajaran IPA, khususnya Fisika di sekolah untuk masa mendatang. 2. METODE Monev impelementasi pendekatan saintifik ini termasuk kedalam jenis penelitian 177

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

evaluasi dilaksanakan dengan metode mixed untuk mendeskripsikan data secara kuantitatif dan kualitatif. Satuan pendidikan yang terjaring dari monev ini terdiri dari 4 satuan pendidikan SMP dan 4 satuan pendidikan SMA pada 4 kabupaten/kota di Sumatera Barat yaitu Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Agam, Kota Pariaman dan Kota Padang, yang dipilih secara acak. Setiap Kabupaten/kota terdiri dari 1 SMP dan 1 SMA.Informan (personal sumber infor-masi) dan subjek penelitian terdiri dari guru dan siswa yang terlibat dalam pembelajaran fisika SMA dan IPA-fisika pada sekolah sampel.Data monef diperoleh melalui observasi terhadap pelaksanaan pembelajaran guru dan dokumen terkait pembelajaran, dilanjutkan dengan indepth interview terhadap guru dan siswa terkait pelaksanaan pembelajaran. Alat pengumpul data yang digunakan adalah berupa format observasi, angket, dan rekaman video pembelajaran sebagai bahan untuk di analisis. Pengolahan data mengunakan teknik persentase dan memplotnya dalam bentuk grafik, serta dilakukan triangulasi dengan data hasil indepth interview, untuk pembahasan dan penarikan kesimpulan sebagai hasil monev. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan monev implementasi pendekatan saintifik pada pelajaran fisika SMA dan IPA-fisika SMP, pada bagian ini dikemukakan hasil monev dan pembahasan 3.1. Hasil Penelitian Hasil monev implementasi pendekatan saintifik pada pelajaran fisika SMA dan IPAfisika SMP yang akan disajikan adalah berkenaan dengan : a) ketersediaan perangkat pembelajaran guru; b) keterlaksanaan pendekatan saintifik; dan c) pengembangan kompetensi siswa. a. Ketersediaan perangkat pembelajaran guru Data tentang ketersediaan perangkat pembelajaran guru di jaring melalui kegiatan observasi terhadap dokumen yang disiapkan guru dengan bantuan format observasi yang disiapkan.Secara kuantitatif hasil observasi terhadap kondisi setiap komponen persiapan pembelajaran guru dalam mengimplementasikan pendekatan saintifik disajikan oleh grafik pada Gambar 1.

Gambar

1. Grafik KondisiPerangkat Pembelajaran Guru Fisika dalam Mengimplementasikan Pende-katan Saintifik

Gambar 1. Menunjukkan bahwa kondisi tertinggi yang dimiliki kelengkapan persiapan pembelajaran guru terletak pada komponen silabus, yaitu 75 % berada pada kondisi tersedia dan lengkap sesuai dengan KD, dan 25 % lagi, tersedia tapi kurang lengkap/kurang sesuai KD. Kondisi terendah terdapat pada ketersediaan bahan ajar hanya 75 % dengan kondisi 37,5 % ada tapi kurang lengkap, dan 37,5 % lagi tidak lengkap. Secara keseluruhan rata-rata kondisi persiapan pembelajaran guru adalah 21 % tersedia dan lengkap, 46 % tersedia tapi kurang lengkap, 29 % tersedia tapi tidak lengkap, dan 4 % tidak tersedia b. Keterlaksanaan pendekatan saintifik Data tentang keterlaksanaan pendekatan saintifik di jaring melalui kegiatan observasi terhadap kondisi pembelajaran guru dengan bantuan format observasi dan rekaman video sebagai bahan analisis.Secara kuantitatif hasil observasi terhadap kondisi keterlaksanaan pendekatan saintifik guru disajikan oleh grafik pada Gambar 2.

178

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Gambar 2. Grafik KondisiKeterlaksanaan Pendekatan Saintifik Pada Saat Pelaksanaan Pembelajaran Gambar 2. Menunjukkan bahwa keterlaksanaan pendekaan saintifik berada antara 12,5 % s.d 62,5 %. Untuk kegiatan mengamati kondisinya 12,5 % terlaksana dan memadai, 37,5 % kurang memadai, dan 50 % tidak memadai. Sedangkan kegiatan menanya kondisinya 37,5 % terlaksana dengan kondisi kurang memadai, dan 63 % tidak memadai. Sedangkan untuk kegiatan mencoba, menalar dan mengkomunikasikan kondisinya kondisinya 37,5 % terlaksana dengan kondisi kurang memadai, dan 50 % tidak memadai. Secara keseluruhan rata-rata kondisi keterlaksanaan pendekatan saintifik guru adalah 3 % terlaksana dan memadai, 38 % terlaksana tapi kurang memadai, 50 % terlaksana dan tidak memadai, dan 10 % tidak terlaksana. c. Pengembangan kompetensi siswa Data tentang keterlaksanaan kegiatan pengembangan kompetensi siswa dalam pembelajaran di jaring melalui kegiatan observasi terhadap kondisi pembelajaran guru dengan bantuan format observasi dan rekaman video sebagai bahan analisis.Secara kuantitatif hasil observasi terhadap kondisi keterlaksanaan kegiatan pengembangan kompetensi siswa disajikan oleh grafik pada Gambar 3.

Gambar

3. Grafik KondisiKeterlaksanaanPengembang an Kompetensi Siswa Saat Pembelajaran

Gambar 3. Menunjukkan bahwa kondisi keterlaksanaan kegiatan pengembangan kompetensi siswasaat pembelajaran berada antara 12,5 % s.d 62,5%. Untuk kegiatan pemberian acuan kondisinya 25 % terlaksana tapi kurang memadai, dan 62,5 % tidak memadai. Kualitasmenanya kondisinya 37,5 % terlaksana dengan kondisi kurang memadai, dan 62,5 % tidak memadai. Kegiatan konfirmasi materi kon-disinya kondisinya 25 % terlaksana dengan kondisi kurang memadai, dan 62,5 % tidak memadai. Keterlaksanaan evaluasi kognitif kon-disinya, 50 % terlaksana dan memadai, 37,5 % terlaksana, dengan kurang memadai, dan 12,5 % terlaksana, tetapi tidak memadai. Keterlaksana-an evaluasi afektif kondisinya 25 % terlaksana, dengan kurang memadai, dan 50 % terlaksana, tetapi tidak memadai. Keterlaksanaan evaluasi psikomotor kondisinya, 38 % terlaksana dengan kurang memadai, dan 50 % terlaksana, tetapi tidak memadai.Keterlaksanaan kegiatan pem-bentukan karakter kondisinya, 13 % terlaksana dan memadai, 37,5 % terlaksana, dengan kurang memadai, dan 12,5 % terlaksana, tetapi tidak memadai. Sedangkan 179

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

kegiatan tindak lanjut pembelajaran kondisinya, 50 % terlaksana terlaksana, dengan kurang memadai, dan 37,5 % terlaksana, tetapi tidak memadai. Secara keseluruhan rata-rata kondisi keterlak-sanaan kegiatan pengembangan kompetensi siswa pada saat pembelajaran adalah 8 % terlaksana dan memadai, 34 % terlaksana tapi kurang memadai, 47 % terlaksana dan tidak memadai, dan 11 % tidak terlaksana.

setiap pembelajaran sebaik-nya diawali dengan aktivitas mengamati (observation) terhadap berbagai objek belajar, baik berwujud kebendaan ataupun fenomena alam yang dapat dilakukan secara langsung maupun tak langsung. Pengamatan langsung dapat dilakukan melalui kegiatan demontasi guru dengan menggunakan peralatan dan bahan sederhana ( local material) yang mudah didapat dari lingkungan sekitarnya. Pengamatan tak langsung dilakukan dengan menggunakan media dalam bentuk video, pemodelan dalam bentuk simulasi, animasi, gambar, ataupun suara. Sedapatnya objek pengamatan adalah objek yang sebenarnya/nyata (kontekstual).Dalam hal ditemukan berbagai keterbatasan dapat digunakan tiruan objek pengamatan dengan menggunakan media. Tindak lanjut dari pengamatan, adalah menanya, berupa perumusan masalah (pertanyaan masalah) dan perumusan hipotesis (jawaban sementara terhadap pertanyaan masalah) sebagai hasil berfikir kritis, analitis, dan kreatif siswa. Pertanyaan pertanyaan atau masalah yang muncul diharapkan dapat dipecahkan siswa, baik secara mandiri ataupun secara berkelompok dengan metode pemecahan masalah (problem based learning). Pertanyaan yang diajukan, sebaiknya mengacu kepada pertanyaan tingkat tinggi yang berlandaskan pada pengamatan yang telah dilakukan (apa yang diamati), misalnya menggunakan pertanyaan mengapa sehingga siswa melakukan identifikasi (mencari tahu) secara mendalam tentang objek atau fenomena yang diamati (inquiry based learning). Masalah yang harus dipecahkan siswa dapat dilanjutkan dengan pertanyaan bagaimana yang akan memupuk rasa ingin tahu siswa berkembang untuk mendalami dan menemukan proses kerja yang akan dilakukan dalam memenuhi hasrat ingin tahunya. Untuk ini guru dapat menerapkan metode proyek (project based learning) sehingga siswa menghasilkan karya. Atas dasar itu implementasi pendekatan saintifik dapat dilakukan dengan mengkombinasikan metode pemecahan masalah, metode inkuiri, dan metode proyek. Dalam memecahkan masalah siswa akan melakukan kegiatan ilmiah berdasarkan masalah yang hendak di pecahkan. Kegiatan selanjutnya adalah mencoba, dimana siswa melakukan eksperimen/ percobaan baik secara pribadi atau kelompok

3.2. Pembahasan Berdasarkan hasil monev implementasi pendekatan saintifik pada pelajaran fisika SMA dan IPA-fisika SMP dapat dilakukan pem-bahasan sebagai berikut : a. Ketersediaan perangkat pembelajaran guru Ketersediaan perangkat pembelajaran guru secara lengkap merupakan indikasi dari kesiapan guru untuk melaksanakan pembelajaran dengan baik, ditinjau dari penguasaan konten dan teknik dan didaktik pembelajaran. Hasil monev menunjukkan bahwa rata-rata ketersediaan perangkat pembelajaran hanya 21 % yang leng-kap sesuai dengan KD, 4 % tidak tersedia dan 75 % pada kondisi kurang lengkap dan tidak lengkap. Perangkat pembelajaran yang sangat menentukan adalah ketersediaan bahan ajar yang yang mencerminkan penguasaan konten dan strategi pembelajaran guru. Hanya 75 % dari guru yang menyediakan bahan ajar yang kondisinya kurang lengkap dan tidak lengkap. Dari hasil observasi dan indepth interview terungkap bahwa sebagian besar guru hanya menggunakan bahan ajar cetak yang ada dipasaran, dan hanya sebagian kecil guru yang mencoba menyusun bahan ajar sendiri dengan kondisi yang sangat terbatas. Hasil monev tentang ketersediaan perangkat pembelajaran ini, merupakan bahwa guru belum sepenuhnya menguasai konten dan strategi pembelajaran sehingga kurang serius dalam menyiapkan perangkat pembelajaran secara lengkap dan memadai. b. Keterlaksanaan pendekatan saintifik Belajar merupakan kegiatan ilmiah.Penerapan metode ilmiah disekolah, adalah dengan mengimplementasikan pendekatan sain-tifik.Fisika sebagai bagian dari IPA maju dan berkembang didukung oleh pendekatan ilmiah yang telah di ekplisitkan pada kurikulum 2013. Kegiatan inti dalam 180

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

sesuai dengan prosedur/proses kerja yang telah disusun, sehingga diperoleh data yang harus di proses melalui kegiatan mengolahdata dan menalar sehingga hasil percobaan dapat di simpulkan. Kesimpulan yang diperoleh dikomunikasikan oleh siswa atau wakil kelompok siswa di depan kelas melalui kegiatan menyaji. Kelanjutan hasil penyajian siswa adalah diskusi kelas dengan adanya kelompok siswa yang menang-gapi (sharing idea). Dengan adanya saling komunikasi antar siswa dan dengan guru akan terbentuklah jejaring (tukar informasi) yang sifatnya saling melengkapi (komplemen). Hasil monev menunjukkan bahwa hanya 2,5 % terlaksana dengan baik, 87,5 % pelaksanaannya berada pada kondisi kurang memadai dan tidak memadai. Sebanyak 12,5% lagi belum melaksanakan. Kondisi yang agak memprihatinkan adalah kegiatan menanya kondisinya 37,5 % terlaksana dengan kondisi kurang memadai, dan 63 % tidak memadai. Menanya (merumuskan masalah dan menyusun hipotesis) merupakan kegiatan yang amat penting dalam proses membangun keilmuan fisika. Karena melalui kegiatan menanyalah kemampuan berfikir dan bernalar siswa dapat dikembangkan. Berdasarkan pembahasan tersebut, dapat kemukakan bahwa kegiatan ilmiah siswa dalam menyusun konsep-konsep fisika belum dapat ditumbuh kembangkan dengan baik.Dan dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembelajaran masih didominasi oleh informasi guru saja.

pendekatan saintifik, pemberian acuan diiringi dengan objek pengamatan, yang harus diamati siswa dengan seksama secara kritis, sehingga permasalahan yang dimunculkan pada tahapan pembelajaran berikutnya dapat di bahas dan dipikirkan siswa secara baik. Sebagai contoh, untuk pembelajaran tentang gaya apung dalam zat cair, guru dapat memberikan acuan kepada siswa bahwa setiap benda dalam zat cair dapat dalam keadaan terbenam, melayang, atau mengapung, yang dipengaruhi oleh perbedaan massa jenis zat cair dengan dengan massa jenis benda yang ada di dalam zat cair tersebut. Sebagai contoh, perhatikan peragaan berikut ini (pemberian objek pengamatan), yaitu sebuah telur yang baik berada dalam keadaan terbenam dalam gelas yang berisi air. Jika air dalam gelas di beri garam sedikit demi sedikit, dan diaduk, akan terlihat bahwa telur akan naik menuju permukaan air, sehingga posisinya menjadi melayang, dan bila air teris diberi garam dan di aduk, maka akhirnya telur akan melayang. Dalam mengembangkan aspek kognitif,me-nyangkut konten mata pelajaran, setelah kegiatan pemberian acuan, dan penyajian objek pengamatan bagi siswa, dapat dilakukan dengan kegiatan menanya, yang dapat diawali dengan kataapa, mengapa/kenapa, dan bagaimana. (sebaiknya pertanyaan high order thinking). Sebagai contoh : Apa yang di amati/diobservasi ? Telur dalam gelas berisi air dalam keadaan terbenam (materi fakta). -----diperoleh melalui kegiatan mengamati. Apa yang dimaksud dengan terbenam ? Terbenam adalah suatu keadaan benda dalam zat cair berada pada dasar bejana tempat zat cair berada (materi konsep)----- diperoleh melalui kegiatan menalar /mengasosiasi. Kenapa telur dalam keadaan terbenam ? (kegiatanmenanya/merumuskan masalah)----Telur terbenam bila massa jenis telur > massa jenis zat cair (materi prinsip). Diperoleh melalui kegiatan menalar/ mengaso-siasi Bagaimana cara membuat telur yang terbenam menjadi melayang dan mengapung ? (menanya/merumuskan masalah) --Langkah-langkah merubah posisi telur dari keadaan terbenam menjadi melayang dan mengapung adalah ; a) Sediakan sebuah telur ayam yang baik, gelas berisi air yang bening, sendok, dan sebungkus garam ; b)Masukkan telur ayam kedalam gelas berisi air, dengan

c. Pengembangan kompetensi siswa Salah satu tuntutan pembelajaran yang dilakukan guru adalah harus sesuai dengan konteks siswa, yaitu berkembangnya kompetensi siswa menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, melalui kegiatan berfikir, bernalar, dan berbuat, seiring dengan pananaman karakter yang baik terhadap siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Dalam mengembangkan kompetensi siswa, kegiatan pemberian acuan pada saat awal pembelajaran adalah sangat penting bagi siswa sebagai bekal awal siswa untuk mengembangkan kemampuan berfikirnya.Tanpa acuan yang jelas sulit diarahkan pemikiran siswa dalam me-ngikuti pelajaran. Pemberian acuan yang jelas juga merupakan indikasi dari pemahaman guru terhadap materi yang akan bahas bersama siswa dalam pembelajaran. Sesuai dengan 181

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

hati-hati menggunakan sendok. Apabila telur tenggelam, menunjukkan telur yang digunakan dalam keadaan baik ; c) Tambahkan garam sedikit demi sedikit ke dalam air dan diaduk , Seiring de-ngan itu telur ayam secara perlahan akan bergerak naik ke atas sampai pada keadaan melayang, dan akhirnya mengapung (materi prosedural). Lakukanlah kegiatan sesuai dengan langkahlangkah yang telah dirumuskan (Melakukan kegiatan mencoba/ber eksperimen) Apakah kamu berhasil menaikkan telur ke atas dalam zat cair ?jika tidak jelaskan kenapa tidak berhasil. Jika kamu berhasil, kenapa/faktor-faktor apa yang membuat telur menjadi naik kepermukaan zat cair ? (kegiatanmenalar/ asso-siasi). Sampaikanlah hasil kegiatanmu didepan kelas ? (kegiatanmengkomunikasikan). Diskusikanlah jawaban pertanyaan berikut ini sebagai kesimpulan dari kegiatan pembelajaran (kegiatan menalar dan membentuk jejaring) 1. Apa yang terjadi jika dengan telur yang dalam keadaan terbenam dalam cair bila zat cair diberi garam sedikit demi sedikit dan di aduk ? (jawabannya materi fakta) 2. Jelaskan perbedaan keadaan benda tenggelam, melayang dan mengapung ? (jawabannya materi konsep) 3. Apa persyaratan benda dalam keadaan tenggelam, melayang dan mengapung ? (jawabannya materi prinsip) 4. Kenapa telur dalam zat cair yang dalam keadaan terbenam bila zat cair diberi garam sedikit demi sedikit dan di aduk telur akan bergerak naik kepermukaan zat cair ? (jawabannya materi prinsip) 5. Bagaimana langkah-langkah percobaan membuat telur yang dalam keadaan tenggelam dalam zat cair, menjadi melayang dan mengapung ? (jawabannya materi procedural) Setelah kegiatan pembelajaran sehubungan dengan unjuk kinerja siswa telah dilakukan, konsep-konsep yang dibangun oleh siswa melalui pembelajaran yang dilakukan dinamakan konsepsi siswa yang belum tentu benar (sesuai dengan konsep ilmiah) maka sebelum menyimpulkan hasil pembelajaran guru perlu melakukan konfirmasi materi pelajaran yang telah dibahas, sehingga konsepsi tentang isi materi pelajaran adalah konsep-konsep yang benar (konsep ilmiah). Berdasarkan uraian di atas, contoh konfirmasi

materi pelajaran sehubungan dengan konsep gaya apung adalah : 1. Materi Fakta Sebuah telur dalam keadaan tenggelam didalam gelas berisi air dapat dirubah posisinya menjadi melayang dan mengapung dengan cara menambahkan garam sedikit demi sedikit kedalam air dalam gelas tersebut sambil mengaduknya sehingga telur benjak naik ke atas. 2. Materi Konsep a) Terbenam adalah suatu keadaan benda yang berada didasar zat cair dimana benda itu berada. b) Melayang adalah suatu keadaan benda yang berada diantara dasar dan permukaan zat cair dimana benda berada. c) Mengapung adalah suatu keadaan benda yang berada dipermukaan zat cair dimana benda berada. 3. Materi Prinsip a) Syarat benda terbenam massa jenis benda> massa jenis zat cair b) Syarat benda melayang massa jenis benda= massa jenis zat cair c) Syarat benda mengapung massa jenis benda< massa jenis zat cair 4. Materi Prosedural Cara merubah posisi telur yang terbenam menjadi melayang dan mengapung dapat ditempuh dengan langkah-langkah : a) Sediakan sebuah telur ayam yang baik, gelas berisi air yang bening, sendok, dan sebungkus garam ; b)Masukkan telur ayam kedalam gelas berisi air, dengan hati-hati menggunakan sendok. Apabila telur tenggelam, menunjukkan telur yang digu-nakan dalam keadaan baik; c) Tambahkan garam sedikit demi sedikit ke dalam air dan diaduk , Seiring dengan itu telur ayam secara perlahan akan bergerak naik ke atas sampai pada keadaan melayang, dan akhirnya mengapung. Konfirmasi materi merupakan aktifitas guru dalam meluruskan konsepsi siswa yang hasilnya merupakan kesimpulan dari materi pelajaran yang harus dikuasai siswa.Tanpa konfirmasi materi, maka penguasaan materi siswa diragukan kebenarannya.Dan aktifitas konfirmasi materi pada akhir pelajaran sebelum menyimpulkan, juga menjadi indikasi tingkat penguasaan konten pelajaran oleh guru. Berdasarkan contoh di atas, menunjukkan kepada kita bahwa guru perlu mengembangkan konten/materi pelajaran sebagai pengetahuan yang akan diperoleh 182

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

siswa melalui kegiatan pembelajaran. Siswa harus dilatih menyusun kon-sep/prinsip bagai hasil belajar. Konsep yang disusun siswa ini pada mulanya berupa hipotesis dalam bentuk konsepsi, dan besar kemungkinan siswa mengalami miskonsepsi. Melalui diskusi kelas, dan konfirmasi guru, konsepsi atau miskonsepsi ini di luruskan oleh guru melalui bimbingannya menjadi konsep ilmiah, yang merupakan bagian dari kompetensi ilmiah yang diperoleh melalui pendekatan ilmiah/saintifik. Dalam mengembangkan kompetensi siswa secara holistik seluruh kinerja siswa menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotorharus dievaluasi secara baik menggunakan instrument yang tepat, sehingga tindak lanjut pembelajaran dapat dilakukan secara tapat pula. Pembentukan karakter siswa selama proses pembelajaran merupakan bahagian yang tidak terpisahkan dengan perkembangan kompetensi siswa. Dalam berbuat dan bertindak didalam kelas guru harus menanamkan karakter yang baik, melalui keteladanan guru, sehingga seiring dengan perubahan waktu belajar siswa akan terjadi peningkatan ketrampilan, sikap dan karakter siswa seiring dengan pertambahan penge-tahuannya. Hasil monev mengenai kualitas pengembangan kompetensi siswa melalui pendekatan saintifik belum menunjukkan hasil yang meng-gembirakan. Terutama dengan aktivitas pem-berian acuan pada awal pembelajaran, kua-litas menanya guru yang belum memadai, serta konfirmasi materi guru yang belum terlaksana dengan baik. Berdasarkan pembahasan yang te-lah dilakukan dapat dikemukakan bahwa penguasaan strategi dan konten pembelajaran guru masih perlu ditingkatkan.

% terlaksana tapi kurang memadai, 50 % terlaksana dan tidak memadai, dan 10 % tidak terlaksana ; dan c) Pengembangan kompetensi siswa rata-rata : 8 % terlaksana dan memadai,34 % terlaksana tapi kurang memadai, 47 % terlaksana tapi tidak memadai, dan 11 % tidak terlaksana 4.2. Saran-saran Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dikemukakan beberapa saran sebagai berikut : a) Guru-guru fisika perlu menyusun konten materi fisika yang yang akan di pelajari terlebih dahulu sebelum pelaksanaan pembelajaran mengangkut materi fakta, konsep, prinsip, dan procedural. b) Bahan ajar yang tepat merupakan hal yang urgen harus disiapkan guru sebagai salah satu perangkat pembelajaran yang akan menjamin kegiatan pembelajaran dapat berjalan dengan baik. c) Pemberian acuan oleh guru yang diiringi dengan aktifitas pengamatan oleh siswa untuk memulai suatu pembelajaran sangat penting untuk dilaksanakan guru, sehingga pembelajaran menjadi lebih terarah, dan kompetensi yang akan dicapai siswa menjadi lebih terpenuhi. d) Konfirmasi materi sebelum penarikan kesim-pulan pada akhir pembelajaran merupakan aktivitas yang menjadi tanggung jawab guru. Tanpa konfirmasi materi sulit diramalkan penguasaan materi siswa adalah dalam bentuk konsep-konsep yang benar (konsep ilmiah). e) Perlu kiranya dikembangkan model-model dan strategi pembelajaran fisika yang bersifat holistik yang dapat mengakomodir terlak-sananya pembelajaran secara kontekstual, baik ditinjau dari konteks siswa, konteks materi pelajaran, dan konteks sarana dan prasarana pembelajaran.

4. PENUTUP Sebagai penutup dari artikel ini, dikemu-kakan beberapa kesimpulan dan saran yaitu : 4.1. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari hasil monev ini adalah : a) Bahan persiapan pembelajaran guru secara umum rata-rata 21 % tersedia dan lengkap, 46 % tersedia tapi kurang lengkap, 29 % tersedia tapi tidak lengkap, dan 4 % tidak tersedia. ; b) Keterlaksanaan pendekatan saintifik, ratarata 2,5 % terlaksana dan memadai, 37,5

5. UCAPAN TERIMA KASIH Pada bagian akhir dari tulisan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada:1) Ketua Lembaga Pene-litian Universitas Negeri Padang yang telah mengikutsertakan penulis sebagai tim monev implementasi kurikulum2013; 2) Dirjendikti Kemdikbud sebagai penyandang dana monev ; 3) Kepala LPMP Provinsi Sumatera Barat, yang juga telah menyediakan dana dan memberi kesempatan kepada penulis untuk mengkaji pelaksanaan pembelajaran IPA pada SMP SBSNP di Kabupaten Agam Sumatera Barat;4)Kepala dinas pendidikan, pimpinan 183

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

sekolah dan guru yang terkait, dengan penelitian ini. Tanpa peran serta beliau mustahil penelitian ini dapat terlaksana.

Implementasi Kurikulum Pedoman Umum Pembelajaran Kemdikbud (2013) Bahan Pelatihan Kurikulum 2013 bagi Pengawas SMA diselenggara-kan oleh P4TKMIPA,bertempat di Hotel Lembang Asri, Bandung Barat, 8 – 14 Juli 2013. _______(2014) Pengembangan Profesi Pendidik. : Materi Pelatihan Guru Implementasi Kuri-kulum 2013 :Jakarta: Kemendikbud. Kemendiknas , (2008). Pendekatan, Jenis, dan Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta Rawcett J and Downs F, (1986).http://www.indiana.edu/ ~educy520/readings/fawcett86.pdf Slavin, R.E.(2006).Educational Psychology : Theory and Practice. Eigh Edition, Boston : Pearson Sugiyono (2005). Memahami Penelitian Kuali-tatif. Bandung: Alfabeta.

6. DAFTAR PUSTAKA Ausubel, D. (1963). The Psychology of Meaningful Verbal Learning. New York: Grune & Stratton. Ausubel,D. (1978). In defense of advance organizers: A reply to the critics. Review of EducationalResearch, 48, 251-257. Ausubel, D., Novak, J., & Hanesian, H. (1978).Educational Psychology: A Cognitive View (2nd Ed.). New York: Holt, Rinehart & Winston. Dahar, R.W.(1989). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga Kemdikbud (2013) Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 lampiran IV tentang

184

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING (PBL) DENGAN METODE EKSPERIMEN UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITASDAN HASIL BELAJAR IPAFISIKA SISWA KELAS VIII.ASMPN 12 KOTA BENGKULU Dedy Hamdani, Dio Aru Prasetya dan Connie Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan MIPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu Jalan Raya Kandang Limun Bengkulu Email : [email protected] ABSTRACT This study aims toimprove the activity andlearning outcomes of students with the implemetation ofproblem-basedlearning(PBL) model. The subjects were the students of classVIII.A of state junior high school 12 (SMPN 12) of city of Bengkuluas many as 24students. Data obtainedfromthe test and observations sheetswere analyzed usingdescriptive statistics. This research was conductedin four phases: planning, action, observation, andreflection. The results showed that the learningactivities of students in the first cyclewithan average scoreof25.5inenough categories, the second cycle of33.5in good categories, and thethird cycleof 37.5in good categories. The learning outcomes of students obtainedforthe cognitiveaspects ofthe first cycle are the average valuesof67.75and62.50% of mastery learning; the second cycle are the averagevalues of 82.88and95.83% of mastery learning; and the third cycle are the average valuesof76.03and87.50% of passing grade. Learning outcomes of students obtainedforthe affectiveaspects ofthe first cycleby an average of57.64; thesecond cycle of73.07; and the third cycleof76.74. Learning outcomes of students obtained forpsychomotoraspects ofthe first cyclevalues by an average of74.65; thesecond cycle of94.97; and the third cycleof96.01. In general it canbe saidthat the implementation of problem based learning model with theexperimental methodcanincrease the activity and learning outcomes of students. Keywords:activity learning, experimentalmethods, learning outcomes, problem based learningmodel

1. PENDAHULUAN Fisika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan alam, dan merupakan ilmu yang lahir dan berkembang lewat langkah-langkah observasi, perumusan masalah, penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis melalui eksperimen, penarikan kesimpulan, serta penemuan teori dan konsep. Hakikat fisika adalah ilmu yang mempelajari gejala-gejala alam melalui se-rangkaian proses ilmiah yang dibangun atas dasar sikap ilmiah dan hasilnya terwujud sebagai produk ilmiah yang tersusun atas tiga komponen terpenting berupa konsep, prinsip, dan teori yang berlaku secara universal (Trianto, 2010). Dalam peraturan menteri pendidikan nasional (Permendiknas) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 disebutkan bahwa pembelajaran IPA di SMP juga dimaksud-kan sebagai wahana untuk membudayakan berfikir ilmiah yang berguna untuk meme-cahkan masalah di dalam kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut, salah satu tujuan diajar-kannya mata pelajaran IPA di SMP berda-sarkan Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 adalah

sebagai sarana pengembangan kete-rampilan siswa untuk dapat melakukan pengamatan dengan peralatan yang sesuai, melaksanakan percobaan sesuai prosedur, mencatat hasil pengamatan dan pengukuran dalam tabel dan grafik yang sesuai, mem-buat kesimpulan dan mengomunikasikannya secara lisan dan tertulis sesuai dengan bukti yang diperoleh (Departemen Pendidikan Nasional, 2006). Pernyataan di atas menunjukkan bahwa proses pembelajaran IPA di SMP seharus-nya dimaksudkan sebagai sarana untuk melatih siswa untuk mengembangkan ke-mampuan berpikir agar dapat memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut, pernyataan di atas juga menunjukkan bahwa proses pembelajaran fisika seharus-nya dapat memberikan pengalaman lang-sung pada siswa untuk mengembangkan sejumlah keterampilan proses melalui se-rangkaian kegiatan yang memungkinkan siswa berinteraksi langsung dengan alam sekitar, salah satunya adalah melalui ke-giatan penyelidikan. Winkel dalam Riyanto (2010) menyatakan bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang ber185

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

langsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahanperubahan dalam pengetahuan pemahaman, keterampilan, dan nilai-sikap. Selama ini pembelajaran IPA di sekolah terlalu menekankan pada penguasaan konsep semata. Sebagian besar siswa kurang mampu menggunakan dan mengaplikasikan konsep yang mereka pelajari dengan masalah dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan konsep tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi kegiatan pembelajaran yang dilakukan di SMPN 12 kota Bengkulu khusus-nya di kelas VIII.A, ditemukan beberapa fakta bahwa : 1) Pembelajaran IPA-Fisika masih dominan dilakukan oleh guru. Dalam proses pembelajaran IPA, guru lebih sering menggunakan metode ceramah, tanya-jawab dan latihan soal. Kegiatan pembalajaran dimulai dengan penyampaian materi oleh guru, kemudian guru memberi beberapa contoh soal selanjutnya memberikan tes berupa latihan soal untuk mengukur pengua-saan siswa terhadap konsep yang dipelajari. 2) Keaktifan siswa belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Siswa belum berani mengajukan pertanyaan kepada guru dan mengemukakan pendapat di depan kelas. Hanya dua atau tiga siswa yang terlihat aktif menjawab pertanyaan guru sedangkan siswa yang lain lebih banyak diam 3) Kemandirian siswa dalam belajar terutama dalam meme-cahkan masalah masih kurang. Siswa dapat menjawab pertanyaan yang sama seperti soal latihan yang diberikan oleh guru, namun ketika bentuk pertanyaannya sedikit diubah padahal masih dalam konsep yang sama, siswa menjadi bingung. Siswa cenderung menunggu jawaban dari guru atau temannya yang lebih pintar 4) Siswa kurang memiliki pengalaman belajar yang nyata dan aktif. 5) Kegiatan praktikum jarang dila-kukan, sehingga keterampilan proses sains siswa tidak terbentuk. Selain itu, proses pembelajaran yang biasa digunakan kurang menekankan pada kegiatan berfikir yang mendorong siswa untuk mengembangkan pengetahuannya secara mandiri, sehingga pengetahuan yang dimiliki siswa hanya terbatas pada apa yang diperoleh dari guru saja. Hal tersebut ber-pengaruh terhadap rendahnya hasil belajar yang dicapai siswa karena tidak terjadi kesesuaian antara hakikat pembelajaran IPA dengan metode pembelajaran IPA yang digunakan. Hal ini terlihat pada nilai rata-rata IPA yang diperoleh

siswa pada ujian semester ganjil adalah 64, belum mencapai target yang diharapkan. Salah satu konsep IPA yang dipelajari di kelas VIII adalah konsep cahaya. Konsep ini sudah diperkenalkan sejak di sekolah dasar dan sering dijumpai dalam kehidupan nyata seharihari, namun tidak sedikit siswa yang merasa kesulitan untuk memahami ini terutama dalam hal membedakan sifat bayangan nyata dan maya yang terbentuk pada cermin. Hal ini dikarenakan di sekolah siswa menerima konsep cahaya dengan hanya mendengarkan dan mencatat konsep-konsep IPA tanpa terlibat secara langsung dalam menemukan konsepkonsep itu. Sis-wa biasanya menghafal setiap pembentukan bayangan. Padahal, jika siswa melihat secara langsung proses pembentukan bayangan tersebut melalui percobaan, mereka dapat membedakan sifat bayangan tanpa harus menghafal. Salah satu cara untuk memperbaiki proses pembelajaran ini adalah dengan mengubah cara belajar siswa melalui penggunaan model pembelajaran, pemanfaatan media belajar, dan lingkungan sekitar. Salah satu alternatif model pembelajaran yang memberikan penekanan pada kegiatan pemecahan masalah berupa kegiatan penyelidikan yang melibatkan struktur kognitif, afektif, dan psikomotor siswa adalah model problem based learning (PBL). PBL adalah sebuah pendekatan pembelajaran yang menyajikan masalah kompleks sebagai konteks dan stimulus bagi siswa untuk belajar. Dalam kelas yang menerapkan pembelajaran berbasis masalah, siswa bekerja sama dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata (Major dan Betsy, 2001). PBLmerupakan metode instruksional yang menantang siswa agar “belajar untuk belajar,” bekerja sama dalam kelompok untuk mencari solusi bagi masalah (Duch, dkk dalam Watson, 2002). Dalam imple-mentasi pembelajaran berbasis masalah ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa. Pembelajaran berbasis masalah tidak mengharapkan siswa hanya sekadar mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran, akan tetapi melalui pembe-lajaran berbasis masalah siswa aktif berfikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, dan akhirnya menyimpulkan (Sanjaya, 2006). Salah satu cara mengimplementasikan model PBL dalam kegiatan pembelajaran IPA agar tujuan yang diharapkan tercapai secara optimal adalah melalui penggunaan metode 186

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

eksperimen. Penggunaan metode eksperimen memberikan kesempatan kepada siswa mencari dan menemukan sendiri ja-waban atau penyelesaian dari masalah yang dihadapi dengan melakukan percobaan. Pembelajaran dengan metode eksperimen dapat membantu guru dalam menghubung-kan mata pelajaran dengan dunia nyata, serta bisa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari melalui eksperimen (Putra, 2013). Berdasarkan penelitian sebelumnya diperoleh hasil bahwa penerapan model PBL dengan metode eksperimen memberikan hasil yang lebih baik pada hasil belajar dan aktivitas belajar siswa terutama pada kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama (Medriati, 2013; Abdullah dan Taufik, 2014; Tatang, 2012).

2. METODE Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK), yaitu suatu penelitian yang dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri melalui refleksi diri yang bertujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan proses pembelajaran dan hasil belajar siswa di kelasnya. Pelaksanaan tindakan terdiri dari tiga siklus. Setiap siklus dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang ingin dicapai yaitu untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa.Setiap siklus terdiri dari 4 tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan tin-dakan, observasi, dan refleksi. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII.A SMPN 12 kota Bengkulu, yang berjumlah 24 siswa, 11 siswa laki-laki dan 13 siswa perempuan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen tes dan non tes. Instrumen tes terdiri dari lembar tes dan lembar kerja siswa. Instrumen non tes terdiri dari lembar observasi, lembar penilaian afektif, dan lembar penilaian kinerja praktikum. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tes dan observasi. Data yang diperoleh dari lembar observasi dan tes dianalisis secara deskriptif, yaitu suatu analisis data yang menggambarkan temuan-temuan dalam proses pembelajaran dengan pernya-taan logis.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Data aktivitas belajar siswa pada setiap siklus ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Data aktivitas belajar siswa

Aktivitas Belajar Siswa Siklus I Siklus II Siklus III

Skor rata-rata 25,5 33,5 37,5

Pada siklus I, skor rata-rata aktivitas belajar siswa adalah 25,5 dan berada dalam kategori cukup. Pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung masih ditemukan bebe-rapa siswa yang kurang aktif dalam pembe-lajaran. Hal ini disebabkan karena model ini termasuk baru diterapkan di kelas ini. Kebanyakan siswa tetap pasif dan belum beradaptasi dengan perubahan metode yang diajarkan guru. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Yazdani dalam Nur (2011) bahwa model PBL memiliki kelemahan antara lain dipersyaratkan keharusan per-siapan mental untuk cara belajar ini. Berbeda halnya dengan siklus II, terlihat bahwa pada siklus II terjadi peningkatan aktivitas siswa yang cukup signifikan, dimana skor rata-rata aktivitas belajar siswa pada siklus II adalah 33,5 dengan kategori baik. Peningkatan aktivitas siswa ini disebabkan siswa mulai terbiasa dengan pembelajaran melalui penerapan model PBL dengan metode ekperimen. Skor rata-rata aktivitas belajar siswa pada siklus III adalah 37,5 dan berada pada kategori baik. Akti-vitas belajar siswa selama pembelajaran me-lalui penerapan model PBL dengan metode ekperimen pada siklus III mengalami peningkatan. Secara umum dapat dikatakan bahwa pembelajaran dengan menerapkan model PBL dengan metode ekperimen dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa. Hal ini didukung oleh pendapat Medriati (2013) dan Sanjaya (2006 : 218), yang menyatakan bahwa model PBL dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa. Hasil belajar yang diamati terdiri dari tiga aspek yaitu hasil belajar kognitif, hasil belajar afektif, dan hasil belajar psikomotor. Hasil belajar kognitif merupakan gabungan hasil tes evaluasi tiap siklus dengan nilai lembar kerja siswa (LKS). Hasil belajar afektif dinilai selama proses pembelajaran berlangsung sementara hasil belajar psiko-motor difokuskan pada saat siswa melaksa-nakan percobaan. Data hasil belajar afektif, psikomotor dan kognitif diperlihatkan secara berturut-turut pada tabel 2, tabel 3 dan tabel 4.

187

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Tabel 2. Data hasil belajar afektif siswa

Hasil Belajar Afektif Siswa Siklus I Siklus II Siklus III

Nilai rata-rata 64,41 73,09 76,74

Tabel 3. Data hasil belajar psikomotor siswa

Hasil Belajar Psikomotor Siswa Siklus I Siklus II Siklus III

Nilai rata-rata 74,65 94,97 96,01

Tabel 4. Data hasil belajar kognitif siswa

Hasil Belajar Kognitif Siswa Siklus I Siklus II Siklus III

Nilai rata-rata 67,75 82,88 76,03

Ketuntasan belajar (%) 62,50 95,83 87,50

Nilai rata-rata hasil belajar siswa pada aspek afektif siklus I adalah 57,64 dengan kategori cukup, pada siklus II meningkat dengan nilai rata-rata 73,09 dengan kategori cukup dan pada pada siklus III meningkat dengan nilai rata-rata 76,74 dengan kategori cukup. Adapun tindakan yang dilakukan adalah membimbing dan memotivasi siswa. Hal ini mengindikasikan bahwa tindakan yang dilakukan mampu merangsang siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran dengan cukup baik dilihat dari aspek afektif siswa. Nilai rata-rata hasil belajar siswa pada aspek psikomotor siklus I adalah 74,65 dengan kategori cukup, pada siklus II me-ningkat dengan nilai rata-rata 94,97 dengan kategori baik dan pada siklus III meningkat dengan nilai rata-rata 96,01 dengan kategori baik. Adapun tindakan yang dilakukan adalah membimbing dan memotivasi siswa dalam melakukan percobaan, sehingga hasil belajar pada aspekaspek psikomotor ter-sebut meningkat pada setiap siklus. Dengan adanya peningkatan kinerja siswa selama praktikum mengindikasikan bahwa siswa sudah baik dalam melaksanakan tahapan percobaan dilihat dari aspek psikomotor siswa. Siswa makin baik dalam menggunakan alat-alat praktikum dan menunjukkan antu-sias yang besar dalam melakukan kegiatan praktikum. Peningkatan hasil belajar siswa pada aspek psikomotor melalui pembela-jaran

dengan metode eksperimen sesuai dengan pendapat Roestiyah (2012) yang menyatakan bahwa salah satu keunggulan metode eksperimen adalah meningkatkan keterampilan siswa terutama dalam aspek menggunakan alat. Hasil belajar kognitif siswa pada siklus I diperoleh, nilai rata-rata siswa adalah 67,75 dengan ketuntasan belajar 62,5 %. Pada siklus II, nilai rata-rata siswa me-ningkat menjadi 82,88, dengan ketuntasan belajar meningkat menjadi 95,83%. Pada siklus III, nilai rata-rata yang diperoleh siswa adalah 76,03 dan ketuntasan belajar 87,50%. Secara klasikal proses pembe-lajaran pada siklus III dikatakan sudah tuntas.

4. PENUTUP Berdasarkan hasil analisis data penelitian dan pembahasan, maka diperoleh simpulan sebagai berikut: (1) Penerapan model PBL dengan metode eksperimen dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas VIII.A SMPN 12 kota Bengkulu. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya skor rata-rata aktivitas belajar siswa pada tiap siklusnya. (2) Penerapan model PBL dengan metode eksperimen dapat meningkatkan hasil belajar fisika siswa kelas VIII.A SMPN 12 kota Bengkulu. Hal ini terlihat dari hasil belajar siswa meningkat untuk setiap siklus, baik untuk hasil belajar pada aspek afektif, psikomotor dan kognitif.

5. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, A. G. dan Taufik R., Implementasi Problem Based Learning (PBL) pada Proses Pembelajaran di BPTP Bandung. [Online]. Tersedia : http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._ PEND._TEKNIK_ELEKTRO/19721113 1999031ADE_GAFAR_ABDULLAH/Makalah_ dan_Artikel_yang_sudah_dipublikasikan _(9_files)/Artikel-02.pdf (2 Februari 2014). Departemen Pendidikan Nasional, (2006), Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional, (2006), Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta.

188

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Major, C. H. dan Betsy P., (2001), Assesing the Effectiveness of Problem-Based Learning in Higher Education : Lessons from The Literature. [Online]. Tersedia : http://www.rapidintellect.com/AEQweb/ mop4spr01.htm (10 Januari 2014). Medriati, R., (2013), Upaya Peningkatan Hasil Belajar Fisika pada Konsep Cahaya Kelas VII6 Melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Berbasis Laboratorium di SMPN 14 Kota Bengkulu. Prosiding Semirata, 131-139. Nur, M, (2011), Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Pusat Sains dan Matematika Sekolah Universitas Negeri Surabaya. Surabaya. Putra, S. R., (2013), Desain Belajar Mengajar Kreatif Berbasis Sains. Penerbit Diva Press, Yogyakarta. Riyanto, Y., (2010), Paradigma Baru Pembelajaran : Sebagai Referensi bagi Guru/Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Yogyakarta.

Roestiyah, (2012), Strategi Belajar Mengajar, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Sanjaya, W., (2006), Strategi Pembelajaran, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Tatang, (2012), Upaya Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa pada Pembelajaran Getaran dan Gelombang dengan Metode Eksperimen di Kelas VIIIC SMPN 1 Ciguaya Karawang, Skripsi pada Universitas Pendidikan Bandung. [Online]. Tersedia : http://aresearch.upi.edu/skripsiview.php?pageno =1740 (13 Juli 2013). Trianto, (2010), Model Pembelajaran Terpadu : Konsep, Strategi, dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Penerbit Bumi Aksara, Jakarta. Watson, G., (2002), Using Technology to Promote Success in PBL Courses: The Technology Source. [Online]. Tersedia : http:// www.udel.edu/pbl/articles/UsingTechnology-to-Promote-Success-inPBL.pdf (22 Februari 2014).

189

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

IMPLEMENTASI MODEL PEMECAHAN MASALAH FISIKA BERNUANSA SAINTIFIK UNTUK MENINGKATKAN KARAKTER BERPIKIR KRITIS SISWA SMAN 3 KOTA PADANG Djusmaini Djamas1), Syakbaniah1), Winda Anggraini2) 1)

Staf Pengajar Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Negeri Padang Mahasiswa Pendidikan Fisika, FMIPA Universitas Negeri Padang [email protected]

2)

ABSTRACT Low of crtitical thinking character of X Grader student in SMAN 3 Padang is predicted because the student was not engaged in learning process. Student was not trained to solve the problem and use their reasoning and critical thinking character. One solution that could be applied to increase critical thinking character is applying model of physics problem solving with scientific approach. Goal of this research is to identify how far implementation of model of phisics problem solving with scientific approach could increase critical thingking character of Student in SMAN 3 Padang. Kind of this research is Quasi Experiment. Sampel of this research is X IPA 5 Grader student of SMAN 3 Padang. Instrument used to collect data is California Critical Thinking Disposition Inventory (CCTDI). Data about critical thinking character is collected in early and the end of research. Statistic used is correlation of Product Momen Pearson and followed by test of efectivity using t-test at real level of 5%. Result of reserch shows that the contribution of initial critical thinking character to final is 39,8%. Efectivity test result of implementation of model of physics problem solving with scientific approach to increase critical thinking character shows t-count 4,71 and t-tabel 1,698 for real level of 5%. In this case t-count > t-tabel, it means implementation of model of physic problem solving with scientific approach is effective to increse critical thinking character of X Grader student in SMA N 3 Padang Keywords: California Critical Thinking Disposition Inventory (CCTDI), Critical Thinking Character, Modelof Physics Problem Solving, Saintific 1. PENDAHULUAN Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk manusia yang berkualitas karena pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki siswa sehingga mampu bersaing dalam dunia global. Salah satu mata pelajaran yang mampu mewujudkan tujuan pendidikan adalah mata pelajaran fisika. Fisika adalah salah satu cabang sains mempelajari tentang fenomena dan gejala alam. Pembelajaran fisika menekankan pada pemberian pengalaman langsung agar siswa mampu menemukan konsep sendiri untuk menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan berfikir, bekerja dan bersikap ilmiah. Oleh karena itu, sudah seharusnya pembelajaran fisika lebih menekankan pada pengembangan kemampuan berfikir kritis untuk bekal menghadapi masa yang akan datang.

Berfikir kritis dapat dilihat dari dua sisi yaitu keterampilan dan karakter berfikir kritis. Keterampilan berpikir kritis merupakan suatu proses intelektual yang terampil mengkonseptualisasi, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi informasi yang dikumpulkan dari pengamatan, pengalaman untuk menghasilkan suatu kesimpulan yang terbaik. Jika keterampilan berfikir kritis terus dilatih maka akan menjadi kebiasaan pada diri siswa yang mana kebiasaan itu disebut dengan karakter berfikir kritis. Karakter berfikir kritis adalah watak atau kepribadian yang terbentuk dari kebiasaan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah yang diberikan melalui tahap-tahap kerja ilmiah yang dilakukan dalam pembelajaran fisika. Siswa yang memiliki karakter berfikir kritis tinggi tidak hanya mau menerima pernyataan, namun ia akan menyelidiki terlebih dahulu sebelum 190

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

menyelesaikan masalah, menerima pendapat teman, mampu bekerja sesuai dengan prosedur dan mampu mengemukakan pendapat kepada orang lain. Keterampilan berfikir kritis dan karakter berfikir kritis memiliki hubungan yang sangat erat, seseorang yang memiliki keterampilan berfikir kritis tinggi maka ia juga memiliki karakter berfikir kritis tinggi. Berbagai usaha yang telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran fisika, diantaranya adalah melengkapi alat-alat laboratorium dan sarana prasarana, peningkatan kualitas guru melalui penataran, Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), sertifiksi guru, serta yang paling penting adalah upaya penyempurnaan kurikulum secara terus menerus yang disesuaikan dengan perkembangan IPTEK. Pada saat ini disempurnakan lagi menjadi kurikulum 2013 yang diharapkan dapat membentuk berfikir kritis,kreatif dan mandiri siswa. Namun kenyataannya keterampilan berpikir kritis siswa masih rendah (Jalius &Djamas, 2012). Rendahnya karakter berfikir kritis siswa di SMAN 3 Padang disebabkan oleh proses pembelajaran yang belum memberi perhatian dalam menumbuhkembangkan berpikir kritis, yang sesungguhnya merupakan kunci keberhasilan akademis siswa. Di samping itu, proses pembelajaran yang dilaksanakan belum memberikan ruang yang cukup bagi siswa untuk mengembangkan aktivitas berpikir kritis dalam proses pembelajaran. Keadaan ini terlihat dari masih sedikitnya peran siswa dalam proses pembelajaran. Siswa belum terlatih untuk memecahkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan konsep fisika yang dipelajarinya. Apabila hal ini dibiarkan terus menerus, maka siswa tidak terbiasa dalam memecahkan masalah fisika yang menyebabkan keterampilan berfikir kritis siswa kurang meningkat, yang secara langsung berdampak terhadap karakter berpikir kritis. Karena karakter berfikir kritis terbentuk dari kebiasaan siswa dalam memecahkan masalah. Untuk itu perlu segera dicarikan solusinya agar harapan yang tercantum dalam kurikulum 2013 dapat terwujud. Salah satu strategi yang mampu meningkatkan karakter berfikir kritis siswa yaitu strategi Problem Based Learning (PBL) berbantuan Solution Path Outline (SPO).

Integrasi SPO kedalam langkah-langkah PBL menghasil suatu Model Pemecahan Masalah Fisika (MPMF). MPMF merupakan model pemecahan masalah yang memiliki langkahlangkah kerja ilmiah (bernuansa saintifik). Tujuan penelitian ini adalah menyelidiki pengaruh implementasi MPMF terhadap peningkatan karakter berpikir kritis siswa SMAN 3 Padang PBL merupakan sebuah strategi pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang siswa untuk belajar. Jadi belajar mengunakan strategi PBL adalah rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesian masalah yang dihadapi secara ilmiah[1]. Pembelajaran mengunakan strategi PBL merupakan bentuk pembelajaran dimana siswa belajar atau bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang anggotanya bersifat heterogen. Umumnya kelompok kecil ini terdiri dari empat sampai enam orang kemudian di awal pembelajaran siswa diberikan permasalahan, selanjutnya masalah tersebut diinvestigasi dan dianalisis untuk dicari solusinya. Masalah yang disajikan adalah masalah dunia nyata (kontekstual). Pembelajaran mengunakan strategi PBL merupakan pembelajaran yang menyajikan masalah autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada siswa untuk melakukan penyelidikan terhadap masalah yang diberikan (Trianto, 2009). Jadi, peran guru dalam pembelajaran adalah menyajikan berbagai masalah, mengajukan pertanyaan, memfasilitasi investigasi dan membimbing siswa dalam diskusi sehingga siswa dapat menemukan sendiri konsep dari materi yang dipelajarinya. Pembelajaran PBL ini bermanfaat bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan berfikir kritis sehingga dari kebiasaan memecahkan masalah tersebut dapat membentuk karakter berfikir kritis dan melatih siswa untuk menjadi individu yang mandiri. Pembelajaran menggunakan strategi PBL memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara terbuka dan mendorong siswa berfikir secara kritis, logis, analitis, sistematis dan mengembangkan keterampilan pemecahan masalah sehigga siswa memperoleh pengetahuan dari masalah

191

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

tersebut serta dapat meningkatkan karakter berfikir kritis siswa. Penerapan strategi PBL dalam proses pembelajaran memberikan siswa tanggung jawab untuk menyelesaikan permasalahan, sehingga siswa terlibat langsung dalam pembelajaran. Pembelajaran PBL ini dapat menumbuhkan kreatifitas siswa untuk melahirkan ide-ide cemerlangnya. Siswa juga dituntut untuk mencari berbagai informasi yang terkait dengan masalah, berlatih berkomunikasi serta mengkomu nikaskan ide dan hasil kerjanya (Wena, 2012). Pemecahan masalah mengunakan strategi PBL harus sesuai dengan langkahlangkah metode ilmiah agar siswa dapat memecahkan masalah secara sistematis dan terencana. Oleh sebab itu, penggunaan strategi PBL dapat memberikan pengalaman belajar melakukan kerja ilmiah yang baik kepada siswa serta dapat memotivasi siswa dalam menyelesaikan masalah. Strategi PBL memiliki 7 langkah, yaitu : Clarify, Define, Analyse, Review, . Identify learning objectives, Self study,dan Report and synthesis. Pada langkahClarify, siswa mengidentifikasi kata-kata, persamaan atau konsep-konsep fisika yang belum dimengerti dari permasalahan. Define merupakan langkah siswa bekerja sama dalam kelompok untuk merumuskan permasalahan. Analyse merupakan langkah siswa melakukan ”brainstorming” dengan cara semua anggota kelompok bebas mengungkapkan seluruh ide pemikirannya terhadap permasalahan yang ada. Review merupakan langkah siswa menyusun ide-ide yang telah dikemukakan oleh anggota kelompok, kemudian menyeleksi ide-ide tersebut sehingga terpilih jawaban sementara dari permasalahan yang ada. Identify learning objectives merupakan tahap siswa pada masingmasing kelompok menyepakati apa saja informasi apa yang akan dicari. Self Study merupakan langkah siswa bekerja sendiri mencari berbagai sumber yang dapat memperjelas masalah yang akan sedang dipecahkan seperti artikel tertulis (jurnal), akses internet atau web, kegiatan inquiry (laboratorium). Report dan synthesis merupakan langkah siswa bekerjasama dan sharing tentang hasil informasi yang diperoleh setiap anggota kelompok dan selanjutnya

merumuskan solusi dari permasalahan yang ada. Pada langkah ini dilatihkan kegiatan berfikir mensintesis[4]. Supaya pemecahan masalah lebih mudah dan terarah maka digunakanlah Solution Path Outline (SPO).SPO merupakan format yang berisi langkah-langkah pemecahan masalah sesuai dengan langkah kerja ilmiah yang diharapkan dalam pembelajaran fisika. Integrasi SPO dengan PBL ini merupakan suatu Model Pemecahan Masalah Fisika (MPMF) yang bernuansa saintifik. Pembelajaran menerapkan model pemecahan masalah fisika (MPMF) diawali dengan memberikan masalah nyata kepada siswa, dimana dalam penelitian ini masalah tersebut diberikan melalui LKS dan untuk menjawab pertanyaan dari LKS yang diberikan, digunakan langkah-langkah MPMF yang menuntun siswa menemukan sendiri konsep fisika yang dipelajarinya secara terperinci. Ada beberapa langkah-langkah SPO yang diintegrasikan dengan langkah PBL adalah sebagai berikut: Format SPO 1. Pertanyaan permasalahan dari masingmasing skenario permasalahan: a. Informasi spesifik apa yang diberikan oleh skenario permasalahan? b. Hal-hal yang telah diketahui berkaitan dengan permasalahan 2. Hipotesis permasalahan: a. Hal-hal yang harus diketahui/dicari? b. Cara menemukan solusi/jawaban permasalahan? 3. Identifikasi informasi/konsep Informasi atau konsep yang harus dipelajari atau dikuasai untuk memperoleh jawaban yang benar 4. Menyelidiki informasi/konsepbaru diperoleh tadi? 5. Uji informasi/konsep baru: a. Apakah informasi/konsep baru ini menuntun saya pada solusi/jawaban permasalahan? b. Apakah informasi/konsep baru ini memperbaiki/menambah pengetahuan awal saya? (mengenai teori/konsep yang berlaku pada permasalahan) c. Apakah informasi/konsep baru ini akan membantu saya menemukan jawaban yang benar? 192

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

6. Solusi/jawaban permasalahan (Djamas,2013) Berdasarkan uraian diatas, dalam memecahkan suatu masalah siswa diminta mengemukakan kembali permasalahan dengan bahasa sendiri, kemudian merumuskan hipotesis, mengidentifikasi masalah, mencari solusi untuk permasalahan, melakukan tes untuk informasi baru yang ditemukan, dan menemukan solusi dari permasalahan. Dengan demikian diharapkan siswa dapat menemukan solusi dari permasalahan secara sistematis dan dapat membentuk siswa berfikir kritis, kreatif serta pemikiran siswa lebih terorganisasi. Jadi Pembelajaran mengunakan strategi PBL berbantuan SPO diharapkan siswa menjadi aktif dan dapat mengembangkan ide-idenya serta melatih siswa untuk berpikir kritis dan kreatif, selain itu hasil pemikiran siswa terorganisasi dengan baik. Jika hal ini dibiasakan terus kepada siswa akan menjadi budaya bagi siswa, sehingga siswa terbiasa dalam memecahkan masalah maka dari kebiasaan tersebut terbentuklah karakter berfikir kritis siswa. Instrumen yang digunakan untuk mengukur karakter berfikir kritis siswa adalah California Critical Thinking Disposition Inventory (CCTDI), Berdasarkan instrument yang telah diterima dari California Academic Press, CCTDI terdiri dari 7 (tujuh) indikator yaitu Truth-seeking, Open-mindedness, Analyticity, Systematicity, CT Self confidence, Inquisitiveness, Cognitive maturity. PadaTruthseeking adalah tahap dimana siswa untuk mencari kebenaran dari fakta-fakta atau berita yang diperoleh sehingga mereka mendapatkan pemahaman yang jelas dari informasi tersebut, jujur dan obyektif tentang penyelidikan. OpenMindedness adalah berpikiran terbuka dan toleran terhadap pandangan yang berbeda dengan pendapatnya sendiri, biasanya mereka menerima saran-saran yang membangun. Analyticity adalah orang yang waspada terhadap masalah yang dihadapi dan mengantisipasi kemungkinan yang terjadi, dan menjunjung tinggi penerapan nalar dan penggunaan bukti bahkan jika masalah yang dihadapi ternyata menantang atau sulit. Systematicity adalah seseorang yang biasanya menyelesaikan masalah secara teratur, terstruktur dan terencana dengan baik. CT Self-

Confidence adalah seseorang yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi terhadap ide atau pemikiran yang diyakininya. Inquisitiveness adalah seseorang yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi untuk mengetahui akan sesuatu, walaupu hal tersebut belum jelas kegunaannya. Maturity of Judgment adalah siswa memiliki kematangan dalam mengambil keputusan[5]. Pada tahap ini siswa telah memikirkan terlebih dulu sebelum ia mengeluarkan pendapatnya. 2. METODE PENELITIAN Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu One Group Pretest-Posttest Design. Pada penelitian ini, digunakan satu kelas yang diberi perlakuan strategi PBL berbantuan SPO. Pada awal penelitian dilakukan tes untuk melihat karakter berfikir kritis awal siswa dan pada akhir penelitian sampel diberikan tes lagi untuk melihat peningkatan karakter berfikir kritis siswa. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMAN 3 Padang yang terdaftar pada Tahun Ajaran 2013/2014. Pemilihan sampel dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap pertama dengan teknik purposive sampling karena yang mengajar pada kelas X ada 3 orang guru fisika yang mengajar mengunakan kurikulum yang sama maka peneliti mengambil sampel dari salah seorang guru yang mengajar di kelas X tersebut. Tahap kedua dengan cluster random sampling, karena guru tersebut mengajar 3 kelas maka dilakukan pemilihan sampel secara acak terpilih satu kelas sampel yaitu kelas X IPA 5. Penelitian ini mempunyai dua variabel yaitu (1) Variabel bebas yang merupakan penerapan strategi Problem Based Learning (PBL)berbantuan Solution Path Outline (SPO) dikenal dengan MPMF, (2) Variabel terikat yang merupakan karakter berfikir kritis siswa. Data dalam penelitian ini yaitu data karakter berfikir kritis yang diambil diawal dan di akhir penelitian melalui instrumen California Critical Thinking Disposition Inventory (CCTDI). Berdasarkan instrument yang telah diterima dari California Academic Press, CCTDI terdiri dari 7 (tujuh) skala seperti yang sudah diungkap terdahulu. Instrumen ini terdiri dari 75 buah pernyataan. Siswa dapat memilih

193

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

sesuai dengan kebiasaan yang dominan dalam berpikir sehari-hari maupun perilaku belajarnya Data yang diperoleh dari penelitian, dianalisis dengan tujuan untuk mengetahui apakah terdapat peningkatan yang signifikan penerapan strategi Problem Based Learning (PBL) berbantuan Solution Path Outlline (SPO) terhadap karakter berfikir kritis fisika siswa kelas X SMAN 3 Padang. Untuk itu digunakan statistik Korelasi Product Moment Pearson. Menurut Djamas (2012) ada tiga syarat penggunaan Korelasi Product Moment Pearson adalah sebagai berikut: a. Sampel diperoleh secara random. b. Variabel X dan Y masing-masing harus normal. c. Variabel X dan Y harus Linear[6]. Berikut akan dibahas satu persatu yaitu sebagai berikut: 1. Sampel diperoleh secara random Sampel penelitian dipilih secara Cluster Random Sampling seperti yangtelah dijelaskan terdahulu. 2.1 Variabel X dan Y masing-masing harus normal Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah sampel berasal dari populasi yang terdistribusi normal, digunakan uji Chi kuadrat. Langkah-langkah dalam pengujian normalitas yaitu: 2.1.1 Melakukan pengujian normalitas untuk data X dan Y menggunakan table kurva normal teoritis, dengan sebaran frekuensinya terdiri dari 6 kelas interval dengan persentase : 2%, 14%, 34%,34%, 14%, 2% Selanjutnya untuk menghitung nilai X2 digunakan table kerja perhitungan Chi Kuadrat seperti Tabel 4. Nilai frekuensi harap (fh) yang dimasukkan pada Tabel 4 adalah nilai frekuensi normal Tabel 4. Tabel Kerja Perhitungan Chi Kuadrat No Interval f0 fh (f0 - fh) 1 2 dst Jumlah N=

(f0 - fh)2/ fh

Dimana dk = fh-1. Apabila X2hitung< X2tabel maka data berasal dari populasi yang terdistribusi normal. 2.2. Uji Linearitas Regresi linear sederhana didasarkan pada hubungan fungsional antara satu variabel bebas dengan satu variabel terikat. Persamaan regresi linear sederhana adalah sebagai berikut: Dimana:

Yˆ = a+bX a disebut sebagai intercept yaitu suatu bilangan konstan yang berarti harga rata-rata nilai variabel Y apabila variabel X=0. b : disebut sebagai koefisien arah regresi yaitu suatu bilangan yang menyatakan besarnya perubahan variabel y. untuk memperoleh harga a digunakan rumus:

dimana: Xi : data variabel X Yi : data variabel Y ∑Xi : jumlah kaudrat data variabel X ∑Yi : jumlah kaudrat data variabel Y ∑XiYi : hasil kali variabel X dan variabel Y Setelah harga a dan b diketahui maka di dapat persamaan regresinya. Untuk melakukan uji independen antara variabel Y dan variabel X dipakai analisis varians. Berikut pada Tabel 5 daftar analisis varians untuk regresi linear sederhana. Tabel 5. Daftar Analisis Varians untuk Regresi Linear Sederhana. sumber dk Jk KT F varians regresi 1 (a) regresi 1 S²reg= b/a residu

X2 =...

2.1.2 Setelah diperoleh X2hitung lalu 2 dibandingkan dengan X dalam tabel.

n-2

S²res= (Yiŷi)²/n2

jumlah 194

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Untuk mendapatkan harga :

Korelasi Product Momen dari Pearson sebagai berikut:

Untuk uji independen x dan y dipakai rumus:

Jika Fn < F (1-α) (1,n-2), maka Ho diterima dan sebaliknya, untuk taraf kepercayaan 5% .Untuk menilai kekeliruan S²res, dilakukan dengan ulangan terhadap variabel x yaitu dengan membagi dua kekeliruan : a. Kekeliruan eksperimen b. Ukuran tuna cocok model linear Apakah model linear yang diperoleh betul-betul cocok dengan keadaan atau tidak dipakai perhitungan terhadap: JK (E) yaitu kuadrat kekeliruan eksperimen JK (TC) yaitu kuadrat tuna cocok Untuk menghitung JK (E) dipakai rumus : JK (E) JK (TC)=JKresidu-JK(E) Setelah kedua harga JK diperoleh, selanjutnya dimasukkan ke dalam tabel anava untuk uji kekeliruan regresi seperti Tabel 6. Tabel 6: Uji Kekeliruan Regresi Sumber dk Jk Belajar Regresi 1 (a) Regresi b/a

1

JK

KT

Dimana r adalah koefisien korelasi yang menunjukkan derajat keeratan hubungan variabel X dan Y. Untuk menguji keberartian hubungan variabel X dengan Y digunakan rumus statistik t sebagai berikut:

Ho diterima jika –t(1-1/2 α) < t < t(1-1/2 α) untuk dk (n-2). Untuk harga yang lain Ho ditolak. Untuk mengetahui sejauh mana variabel X berkontribusi terhadap variabel Y, maka dilakukan perhitungan koefisien determinasi dengan rumus: KD = r² x 100%. Analisis Efektifitas Untuk mengetahui apakah implementasi MPMF efektif dalam meningkatkan karakter berpikir kritis siswa SMAN3 Padang, dilakukan uji efektifitas yaitu menggunakan analisis perbandingan berkorelasi. Untuk menganalisis keefektifan penerapan strategi PBL berbantuan SPO (MPMF) digunakan uji-t. yang berguna untuk menganalisis hasil eksperimen yang mengunakan Pretestdan Posttest desain satu kelompok, digunakan Pretest dan Posttest sampel dengan rumus: t=

S²reg = JK

keterangan : d = posttest –pretest = Y-X Md = mean dari perbedaan posttest dan pretest xd = d – Md x²d = jumlah kuadrat deviasi N = subjek pada sampel (Arikunto, 2006)

Residu n-2

Tuna k-2 Cocok

JK (TC)

Kekeliru n-k JK (E) an Selanjutnya dilakukan perhitungan koefisien korelasi r menggunakan rumus

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil karakter berfikir kritis siswa yang mengunakan instrumen CCTDI, dilaksanakan diawal dan diakhir penelitian. Deskripsi hasil analisis data skor karakter

195

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

berfikir kritis siswa pada kelas sampel dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Deskripsi Hasil Analisis Data Karakter Berfikir Kritis Awal dan Akhir. Deskripsi Data CCTDI Awal CCTDI Akhir Mean 315,2 340,79 Variansi 1559,091 1017,422 Standar deviasi 39,5 31,90 Skor maksimum 362 399 Skor minimum 155 214 Tabel 7 menunjukkan bahwa karakter berfikir kritis siswa yang mengunakan instrumen CCTDI pada kelas sampel pada umumnya meningkat. Ada beberapa siswa yang karakter berfikir kritisnya menurun, ini disebabkan, karena siswa dalam mengisi angket kurang serius. 3.1. ANALISIS DATA Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian ini tergantung kepada hasil uji hipotesis menggunakan statistik Korelasi Product Moment Pearson. Seperti yang sudah diungkapkan terdahulu ada tiga syarat penggunaan Korelasi, perlu dipenuhi terdahulu sebagai berikut: 3.1.1. Sampel Diperoleh Secara Random Sampel penelitian dipilih secara Cluster Random Sampling seperti yang telah dijelaskan terdahulu. 3.1.2. Variabel X dan Y Masing-Masing Harus Normal. Untuk uji normalitas digunakan Chi Kuadrat. Hasil uji normalitas karakter berfikir kritis awal dan akhir dari kelas sampel dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil Uji Normalitas Awal dan Akhir Karakter Berfiki Kritis Kelas Eksperimen Taraf Kelas Kondisi x2 x2 Distribusi nyata (α) hitung tabel X IPA Awal (X) 5 Akhir (Y)

0,05 0,05

15,5 1,77

41,4 Normal 41,4 Normal

Tabel 8 menunjukkan bahwa nilai x2hitunglebih kecil dari nilaix2tabel artinya data kelas sampel berasal dari populasi yang terdistribusi normal. Uji Linearitas Untuk menguji linearitas dapat digunakan regresi linear sederhana. Persamaan umum regresi linear sederhana adalah : Dimana: a = harga Y jika harga X = 0 (harga konstan) b = koefisien regresi X = variabel bebas Harga a dan b dapat dicari mengunakan rumus: a b

= 157,08 = 0,59

jadi persamaan regresi linear Y atas X untuk data penelitian adalah Untuk melihat F ketidakcocokan antar variabel dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Analisis Varians Untuk Uji Kelinearan Regresi Sumber dk (JK) (KT) F Varians Ketidakcocokan 27 3854678,35 142765,86 (TC) -0,15 Kekeliruan 4 -3828133,1 -957033,28 (KK) Berdasarkan analisis didapatkan hubungan Fhitung t table. Ini berarti MPMF efektif meningkatkan karakter berpikir kritis siswa SMAN 3 Padang 3.2. PEMBAHASAN Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, hasil skor rata-rata karakter berfikir kritis siswa setelah diberikan pembelajaran mengunakan strategi PBL berbatuan SPO (MPMF) lebih tinggi dibandingkan sebelum diberi perlakuan. Skor rata-rata karakter berfikir kritis awal 313,39 dan akhir 340,61 Berdasarkan uji hipotesis mengunakan uji regresi linear, dengan membandingkan thitung dengan ttabel didapatkan bahwa harga t tidak berada pada daerah penerimaan Ho sehingga dapat dikatakan bahwa Hipotesis kerja (Hi) diterima pada taraf nyata 0,05. Artinya penerapan strategi PBL berbantuan SPO (MPMF) dapat meningkatkan karakter berfikir kritis. Hal ini terjadi karena strategi PBL berbantuan SPO (MPMF) bernuansa saintifik. Siswa saat diberikan masalah dunia nyata (kontekstual), mereka dilatih memecahkan masalah mengikuti alur kerja MPMF sesuai dengan langkah kerja ilmiah. Siswa secara terus menerus dilatih berpikir secara sistematis mengikuti pemecahan masalah sesuai alur kerja ilmiah. Sebetulnya yang dilatihkan tadi adalah proses kognitif mulai dari melakukan analisis, sintesis, evaluasi, inferensi menggunakan penalaran ilmiah yaitu penalaran deduktif dan

induktif. Apabila budaya ini dilatihkan terus menerus maka akan muncul dalam diri siswa suatu kebiasan positif, yaitu selalu menerapkan keterampilan berpikir kritis dalam pembelajaran . Mengimplementasi MPMF ( PBL yang terintegrasi dengan SPO)memiliki keunggulan, seperti yang dikemukana oleh Sanjaya (2011) yaitu: “Mengembangkan kemampuan siswa untuk berfikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata”. Penggunaan strategi PBL dalam pembelajaran fisika dapat meningkatkan keterampilan berfikir kritis siswa, karena dalam memecahkan masalah menggunakan langkahlangkah PBL melatih siswa untuk menganalisis, mengsintesis, brainstormimg, belajar mandiri (self study), membentuk rasa percaya diri, evaluasi data atau informasi, inferensi, penalaran deduktif dan induktif. Apabila pembelajaran mengunakan model MPMF secara terus menerus dilatihkan maka pada gilirannya budaya ini akan terinternalisasi menjadi suatu karakter dalam diri siswa yaitu karakter berpikir kritis. Langkah-langkah (MPMF) mampu meningkatkan karakter berfikir kritis siswa, karena dari kebiasaan siswa memecahkan masalah menggunakan MPMF (PBL berbantukan SPO). Adapun tahap-tahap PBL berbantukan SPO yaitu pada tahap Clarfy dan Define, siswa memahami dan mengidentifikasi istilah, persamaan dan konsep fisika yang tidak dimengerti dari permasalahan serta merumuskan permasalahan mengunakan katakata sendiri. Pada tahap ini dapat membentuk karakter berfikir kritis siswa pada indikator Inquisitiveness yaitu siswa memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap permasalahan yang diberikan. Tahap selanjutnya yaitu tahap Analyse merupakan tahap siswa melakukan ”brainstorming” dengan cara semua anggota kelompok bebas mengungkapkan seluruh ide pemikirannya terhadap permasalahan yang ada.Pada tahap ini dapat membentuk karakter berfikir kritis siswa pada indikator Analyticity yaitu siswa terbiasa waspada terhadap masalah yang dihadapi dan mengantisipasi kemungkinan yang terjadi, dan menjunjung tinggi penerapan nalar dan penggunaan bukti

197

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

bahkan jika masalah yang dihadapi ternyata menantang atau sulit. Tahap Review merupakan tahap siswa menyusun ide-ide yang telah dikemukakan oleh anggota kelompok, kemudian menyeleksi ideide tersebut sehingga terpilih jawaban sementara dari permasalahan yang ada. Pada tahap ini dapat membentuk karakter berfikir kritis siswa pada indikator Open-Mindedness, dimana siswa terbiasa berpikiran terbuka dan toleran terhadap pandangan yang berbeda dengan pendapatnya sendiri dan mau menerima saran-saran yang membangun. Tahap identify learning objectives merupakan tahap siswa pada masing-masing kelompok menyepakati informasi apa saja yang akan dicari dan cara menemukanya.Pada tahap ini dapat membentuk karakter berfikir kritis siswa pada indikator Truth-seeking, dimana Truth-seeking merupakan siswa mencari kebenaran dari faktafakta atau berita yang diperoleh sehingga mereka mendapatkan pemahaman yang jelas dari informasi tersebut, jujur dan obyektif tentang penyelidikan. Tahap Self Study merupakan tahap siswa bekerja sendiri mencari berbagai sumber yang dapat memperjelas masalah yang sedang dipecahkan seperti artikel tertulis (jurnal), akses internet atau web, kegiatan inquiry (laboratorium). Pada tahap ini dapat membentuk karakter berfikir kritis siswa pada indikator CT Self-Confidence yaitu siswa terbiasa memiliki rasa percaya diri yang tinggi terhadap ide atau pemikiran yang diyakininya yang didukung dari buku sumber yang didapatnya. Tahap selanjutnya yaitu tahap Report dan synthesis merupakan tahap siswa bekerjasama dan sharing tentang hasil informasi yang diperoleh setiap anggota kelompok (self study) dan selanjutnya merumuskan solusi dari permasalahan yang ada. Pada tahap ini dilatihkan kegiatan berfikir mensisntesis. Pada tahap ini dapat membentuk karakter berfikir kritis siswa pada indikator Maturity of Judgment, dimana siswa memiliki kematangan dalam mengambil keputusan. Pada tahap ini siswa telah memikirkan terlebih dulu sebelum ia mengeluarkan pendapatnya. Oleh sebab itu, penerapan strategi PBL berbantukan SPO bukan hanya sekedar memberikan pengetahuan mengenai konsep fisika tetapi juga menjadikan pengetahuan yang diperoleh lebih

bermakna melalui analisa masalah yang mengubah konsep yang selama ini bersifat abstrak menjadi nyata, sehingga konsep tersebut bertahan lama dalam pikiran siswa serta dapat meningkatkan karakter berfikir kritis siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor karakter berfikir kritis siswa yang teraplikasi dalam menghadapi permasalahan fisika mengalami peningkatan setelah diberi perlakuan. Hal ini telah teruji secara statistik menggunakan Korelasi Product Moment Pearson, Nilai koefisien korelasi yang diperoleh 0,631 dengan koefisien determi nasi sebesar 39,8 %. Pembelajaran mengunakan strategi PBL berbantuan SPO dapat menumbuhkan kreatifitas siswa untuk melahirkan ide-ide pemikiran. Siswa juga dituntut untuk mencari berbagai informasi yang terkait dengan masalah, berlatih berkomunikasi serta menyampaikan ide dan hasil kerjanya. Agar penyelesaian masalah lebih terstruktur dan sistematis maka digunakanlah format kerja ilmiah yang menuntun siswa menjawab permasalahan sehingga siswa menemukan sendiri konsep yang dipelajarinya. 4. PENUTUP Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan dapat disimpulkan Implementasi MPMF (PBL berbantuan SPO) atau MPMF dapat meningkatkan karakter berfikir kritis siswa kelas X SMAN 3 Padang”. 5. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi.2006. Prosedur penelitian (suatu pendekatan Praktik).Jakarta:Bumi Aksara. Djamas, Djusmaini.2012. Metode Penelitian dan Publikasi. Padang:UNP. Djamas, Djusmaini. 2013. Model Pemecahan Masalah Fisika Mengunakan Problem Based Learning berbantuan Solution Path Outline Untuk Meningkatkan Keterampilan dan karakter berpikir kritis siswa SMA.UNP. Sanjaya, Wina. 2011. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan Bandung: Kencana Trianto.2009. Mendesaian Model Pembelajaran Inovatif- Proresif. Jakarta : Kencana Wena, Made.2012.Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer.Jakarta : Bumi Aksara

198

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

PENGINTEGRASIAN ENERGI TERBARUKAN KE DALAM PERANGKAT PEMBELAJARAN FISIKA BERKARAKTER HEMAT ENERGI-MODEL CPS DENGAN PENDEKATAN OPEN-ENDED MENGGUNAKAN ANALISIS DOKUMEN Hamdi (1) dan Ahmad Fauzi (1), Widya (3) (1) Dosen Pendidikan Fisika Pasca Sarjana Universitas Negeri Padang, Padang (2) Dosen Pendidikan Fisika Pasca Sarjana Universitas Negeri Padang, Padang (3) Mahasiswa Pendidikan Fisika Pasca Sarjana Universitas Negeri Padang, Padang ABSTRAK Pelaksanaan kurikulum 2013 menempatkan guru sebagai fasilitator yang mampu merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran yang menekankan pada pengembangan kompetensi dan karakter (hemat energi). Guru diharapkan mampu mengembangkan perangkat pembelajaran pembelajaran mulai dari silabus, RPP, bahan ajar dan istrumen evaluasi yang disesuaikan dengan karakteristik siswa dan karekteristik materi yang akan dipelajari. Dalam pengembangan perangkat pembelajaran harus disesuaikan dengan model dan pendekatan tertentu yang sesuai dengan karakterstik siswa dan materi pembelajaran. Materi usaha energi memiliki tujuan pembelajaran (KD 3. menganalisis konsep dan KD. 4 memecahkan masalah) dapat menggunakan model creative problem solving (CPS). Model CPS dapat membantu siswa dalam memecahkan masalah dan menuntun siswa dalam berpikir kreatif. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat kebutuhan perangkat pembelajaran yang diperlukan pada pembelajaran fisika SMA. Analisis kebutuhan perangkat pembelajaran dilakukan melalui analisis dokumen yang meliputi: analisis (analisis kurikulum, analisis potensi daerah), analisis siswa, dan analisis materi dan tujuan pembelajaran. Instrumen analisis kurikulum menggunakan lembar kontrol, analisis siswa menggunakan AUM PTSDL, analisis potensi daerah menggunakan analisis SWOT, analisis materi dan tujuan pembelajaran menggunakan lembar kontrol. Hasil dari analisis kebutuhan ini adalah perlu dilakukan pengembangan perangkat pembelajaran menggunakan model creative problem solving dengan pendekatan open-ended agar dapat mencapai tujuan pembelajaran berupa kemampuan memecahkan masalah. Pengintegrasian biomassa (energi terbarukan) ke dalam materi usaha dan energi perlu dilakukan untuk membentuk karakter hemat energi dan mengatasi krisis energi. Metode pembelajaran yang digunakan adalah metode diskusi. Penjabaran materi dalam perangkat pembelajaran disesuaikan dengan hasil analisis materi dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Keywords: kebutuhan, perangkat pembelajaran, hemat energi, energi terbarukan, model CPS dan pendekatan open-ended

A. PENDAHULUAN Implementasi kurikulum 2013 merupakan aktualisasi kurikulum dalam pembentukan kompetensi serta karakter peserta didik (Mulyasa, 2013: 99). Perubahan pola pikir dari kurikulum lama ke kurikulum 2013 yaitu pembelajaran yang berpusat pada guru berubah menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa, model pembelajaran problem solving merupakan contoh model pembelajaran yang berpusat pada siswa(Sani, 2013: 92). Salah satu jenis model pembelajaran problem solving adalah creative problem solving (CPS). CPS merupakan kerangka kerja metodologi yang didesain untuk membantu memecahkan masalah dengan menggunakan kreatifitas dalam mencapai tujuan dan meningkatkan kecakapan berfikir (Isaksen dkk, 1995:54). Adapun langkah-langkah dari model CPS ini

adalah objective finding (penemuan objek), fact finding (penemuan fakta), problem finding (penemuan masalah), idea finding (penemuan ide), solution finding (penemuan solusi), acceptance finding (penerimaan) (Mitchell dan Kowalik, 1999). Model pembelajaran CPS merupakan model pembelajaran yang menuntut kreatifitas (memiliki banyak cara) dalam menyelesaikan masalah (Isrok‟atun, 2012). Selama ini siswa kurang mampu dalam menyelesaikan masalah yang memerlukan jawaban kreatif. Pendekatan pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam menemukan banyak cara untuk menyelesaikan sebuah permasalahan yaitu pendekatan open-ended (Murni, 2013). Adapun langkah-langkah dari pendekatan open-ended adalah orientasi, menyajikan masalah terbuka, penyelesaian masalah terbuka 199

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

secara individual, diskusi kelompok, menyajikan hasil diskusi kelompok, penutup. Langkah pembelajaran model creative problem solving (CPS) dengan pendekatan open-ended disajikan pada Tabel 1 adalah: Tabel 1: Langkah CPS dengan Open-Ended Tahap Kegiatan Pembelajaran Orientasi Guru membuka pelajaran Penyajian Guru memberikan masalah masalah a. Siswa mengindentifikasi objek terbuka; (Objective Finding). b. Siswa mengidentifikasi semua data-data dan informasi (Fact Finding) c. Siswa menyusun sebanyak mungkin pertanyaan kreatif (Problem Finding) Penyelesaian Pengembangan ide-ide baru (Idea masalah Finding) Diskusi Siswa menggunakan daftar kelompok: solusi. (Solution Finding) Presentasi Siswa menemukan cara dalam hasil diskusi penyelesaian masalah. kelompok (Acceptance Finding) Penutup Guru dan siswa membuat sebuah kesimpulan Sebagai fasilitator, guru harus mampu memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam pembelajaran (Sanjaya, 2010:23). Dalam Pemendikbud No 65 tahun 2013 berkaitan dengan standar proses mengisyaratkan guru untuk mengembangkan perangkat pembelajaran. Pengembangkan perangkat pembelajaran (silabus, RPP, handout, LKS dan perangkat penilaian) hendaknya dikembangkan sesuai dengan karakteristik siswa dan kondisi lingkungan (Depdiknas, 2006). Berdasarkan obeservasi yang penulis lakukan di salah satu sekolah di Kota Padang didapatkan informasi bahwa perangkat pembelajaran yang ada saat ini belum masuk kriteria valid. Kegiatan pembelajaran yang disajikan dalam silabus masih berpusat pada guru. Kegiatan pembelajaran pada silabus dan RPP yang digunakan di sekolah belum dijabarkan sesuai dengan langkah-langkah suatu model atau pendekatan, bahan ajar yang digunakan di sekolah adalah buku paket yang berlaku secara nasional dan belum tentu sesuai dengan karakteristik siswa di sekolah tersebut. Selain itu, menurut Wena (2010: 229) sebagian besar buku paket yang digunakan dirancang hanya menekankan pada penyampaian pengetahuan

saja. Perangkat evaluasi yang digunakan hanya menekankan pada penilaian ranah kognitif saja. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan hendaknya sesuai dengan pendekatan tertentu (Permendikbud No 65 tentang standar proses). Perangkat pembelajaran yang dikembangkan disesuaikan dengan model pembelajaran yang dapat menunjang ketercapaian tujuan pembelajaran. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan disesuaikan dengan langkah model CPS dengan pendekatan open-ended. Selain menekankan pada pembentukan kompetensi, pengembangan kurikulum 2013 juga difokuskan pada karakter siswa berupa sikap yang dapat didemonstrasikan siswa sebagai wujud pemahaman konsep yang dipelajarinya secara konstekstual. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam UU No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, bahwa pendidikan Indonesia menekankan pada pengembangan kompetensi dan karakter bangsa. Pendidikan karakter dilaksanakan untuk mempersiapkan generasi bangsa dalam mengahadapi segala permasalahan. Salah satu permasalahan bangsa yang sedang marak diperbincangkan adalah krisis energi. Sebagian besar energi yang dikonsumsi merupakan energi fosil yang tidak dapat diperbaharui (irenewable resources). Ketersediaan energi fosil sebagai sumber energi utama sangat terbatas dan terus mengalami ancaman kelangkaan karena penggunaan energi tersebut dalam skala besar dan secara terus menerus.Sebagian besar kebutuhan energi masyarakat di Indonesia masih bergantung pada energi fosil, seperti yang disajikan dalam grafik berikut:

Gambar 1: Penggunaan Energi di Indonesia Sumber: (Balitbang 2012) Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa pemanfaatan energi nasional masih bergantung pada sumber energi fosil yaitu sebanyak 95,21% dari keseluruhan penggunaan energi (Balitbang 2012). Tindakan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi krisis energi adalah dengan mengeluarkan peraturan melalui undang200

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

undang nomor 30 tahun 2007 tentang energi yang menjelaskan bahwa untuk mengatasi krisis energi perlu dilakukan pengembangan terhadap energi terbarukan. Salah satu jenis energi terbarukan dalam undang-undang nomor 30 tahun 2007 tentang energi terbarukan adalah biomassa. Biomassa adalah jumlah total berat kering bahan-bahan organic hidup yang terdapat di atas dan juga di bawah permukaan tanah dan dinyatakan dalam ton per unit area (Lukito: 2013). Untuk menanggulangi krisis energi yang terjadi, hal yang perlu dilakukan adalah penanaman karakter hemat energi pada seluruh masyarakat Indonesia. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membentuk karakter hemat energi adalah mengintegrasikan materi energi terbarukan ke dalam proses pembelajaran di sekolah. Biomassa sebagai salah satu sumber energi terbarukan dapat diintegrasikan ke dalam pembelajaran fisika. Materi biomassa dapat diintegrasikan ke dalam konsep usaha dan energi. Kompetensi dasar: menganalisis konsep energi, usaha, hubungan usaha dan perubahan energi, dan hukum kekekalan energi untuk menyelesaikan permasalahan gerak dalam kejadian seharihari. Ketika dilakukan pengolahan biomassa terjadi perubahan energi biomassa menjadi energi gerak dan akhirnya menjadi energi listrik. Sebelum melakukan pengembangan perangkat pembelajaran perlu dilakukan analisis kebutuhan perangkat pembelajaran yang diperlukan melalui analisis dokumen melalui langkah-langkah berikut: 1. Analisis Kurikulum Analisis kurikulum dilakukan untuk menetapkan pada kompetensi mana perangkat pembelajaran akan dikembangkan. Menurut Kusuma (2013) analisis kurikulum, dilakukan terhadap empat komponen yaitu tujuan, komponen isi, komponen metode, dan komponen evaluasi. 2. Analisis Potensi Daerah Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan perangkat pembelajaran adalah potensi daerah. Sebagaimana dinyatakan dalam Undangundang Sistem Pendidikan Nasional 20 Tahun 2003 bahwa kurikulum pada jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diverifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik. Analisis potensi daerah dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT suatu daerah, yaitu dengan

melihat kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity), dan ancaman (threaths) suatu daerah. 3. Analisis Karakteristik Siswa Karakteristik siswa adalah bagian-bagian pengalaman siswa yang berpengaruh pada keefektifan proses belajar (Budiningsih 2011). Analisis siswa perlu dilakukan untuk menentukan langkah-langkah pembelajaran yang akan dilakukan (Thiagarajan 1974:26). Sebelum mengembangkan perangkat pembelajaran, guru diharapkan mampu memahami karakteristik siswa (Mulyatiningsih;2012) Hal ini penting karena semua proses pembelajaran harus disesuaikan dengan karakteristik siswa. 4. Analisis Karakteristik Materi Analisis materi ditujukan untuk mengidentifikasi, merinci dan menyusun konsep-konsep utama dari materi pembelajaran secara sistematis. Materi fakta adalah segala hal yang bewujud kenyataan dan kebenaran, materi konsep adalah segala yang berwujud pengertian-pengertian baru yang bisa timbul sebagai hasil pemikiran, materi prinsip lebih berupa hal-hal utama, pokok, dan memiliki posisi terpenting, serta hubungan antar konsep yang menggambarkan implikasi sebab akibat, materi prosedur meliputi langkah-langkah sistematis dalam mengerjakan suatu aktivitas (Handayani, 2010:54-55). 5. Analisis Tujuan Pembelajaran Tujuan pembelajaran adalah pernyataan mengenai kemampuan peserta belajar yang dapat dicapai setelah pembelajaran (Asyhar, 11:1620). Analisis tujuan pembelajaran merupakan rumusan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada proses pembelajaran dan harapannya pada penelitian ini siswa mampu menguasai materi yang telah diajarkan (Kurniawan dan Luthfiyah 2013).

B. METODE PENELITIAN Untuk melihat kebutuhan perangkat pembelajaran dilakukan analisis dokumen dengan tahapan sebagai berikut: a. Analisis Awal-Akhir Adapaun dokumen yang dianalisis pada tahap ini adalah: 1) Analisis Kurikulum Pada tahap analisis kurikulum menjabarkan kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD) yang mengacu pada Permendikbud No.69 Tahun 2013 tentang Kurikulum SMA-MA untuk pembelajaran fisika, model pembelajaran yang digunakan, 201

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

serta penilaian yang tepat untuk mengukur ketercapaian kompetensi tersebut berdasarkan Permendikbud No.66 tahun 2013 tentang standar penilaian. Instrumen yang digunakan untuk analisis kurikulum ini adalah lembar kontrol. 2) Analisis Potensi Daerah Analisis potensi daerah dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT. Pada faktor kekuatan (strength) kisi-kisi yang digunakan adalah peraturan pemerintah tentang energi dan penanganan krisis energi serta peraturan pemerintah tentang pengolahan biomassa dan pengolahan sampah. Pada faktor kelemahan (weakness) kisi yang digunakan adalah perilaku masyarakat dan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang sumber energi terbarukan/alternatif serta kurangnya sosialisasi pemerintah tentang hemat energi dan energi alternatif. Pada faktor peluang (opportunity), kisi-kisi yang digunakan adalah peluang pengembangan energi terbarukan (khususnya energi biomassa) di Sumatera Barat dan kota Padang serta peluang integrasi materi energi terbarukan ke dalam pembelajaran fisika di sekolah. Pada faktor ancaman (threaths), kisikisi yang digunakan adalah cadangan sumber energi yang berasal dari fosil. b. Analisis Siswa Analisis siswa merupakan telaah karakteristik siswa. Analisis siswa diperoleh dengan merujuk AUM PTSDL yang dikembangkan oleh Prayitno dkk. 1) Persyaratan Penguasaan Materi (P): 2) Keterampilan Belajar (T) 3) Diri Pribadi (D) c. Analisis Materi dan Tujuan Pembelajaran Materi pembelajaran dikelompokkan ke dalam kelompok fakta, konsep, prinsip, dan prosedur. Semua materi ditentukan tingkat kognitifnya: untuk C1 (pengetahuan), C2 (pemahaman), C3 (aplikasi), C4 (menganalisis), dan C5 (mengevaluasi).

C. HASIL PENELITIAN Berdasarkan analisis dokumen yang telah dilakukan, maka didapatkan hasil sebagai berikut: 1. Analisis Kurikulum Salah satu materi pembelajaran Fisika di kelas XI SMA adalah usaha dan energi, dengan kompetensi sebagai berikut: 3.3 Menganalisis konsep energi, usaha, hubungan usaha dan perubahan energi, dan hukum kekekalan energi untuk

menyelesaikan permasalahan gerak dalam kejadian sehari-hari. 4.3 Memecahkan masalah dengan menggunakan metode ilmiah terkait dengan konsep gaya, dan kekekalan energi Kompetensi yang harus dicapai siswa adalah kemampuan menganalisis konsep dan kemampuan memecahkan masalah. Agar siswa dapat mencapai kompetensi tersebut guru diharapkan mampu menerapkan model dan pendekatan pembelajaran yang membantu kreatifitas berpfikir siswa. Model pembelajaran yang dapat digunakan untuk memicu kreatifitas berfikir siswa adalah model creative problem solving (CPS) yang dikombinasikan dengan pendekatan open-ended. 2. Analisis Potensi Daerah Dari analisis potensi daerah didapatkan data sebagai berikut: a. Kekuatan (Strength) (S): Peraturan daerah Kota Padang nomor tahun 2012 tentang rencana tata ruang wilayah kota padang tahun 2010 – 2030 (berisi tentang pengolahan sampah) b. Kelemahan (Weakness): Tingkat ketergantungam masyarakat terhadap energi khususnya energi listrik dan fosil semakin tinggi, masyarakat memiliki pengetahuan yang kurang tentang energi alternatif, c. Peluang (Opportunity: Kota Padang termasuk salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki produksi sampah yang tinggi setiap harinya sekitar 600 ton per hari. d. Ancaman (Threat): Kebutuhan akan energi semakin meningkat yaitu sebesar 7% setiap tahunnya, sedangkan ketersediaan minyak bumi di Indonesia semakin terbatas, diperkirakan hanya untuk 12 tahun ke depan (Balitbang 2012) Berdasarkan hasil analisis potensi daerah di atas maka dilakukan pengintegrasian biomassa ke dalam pembelajaran Fisika SMA karena dengan ketersediaan sumber biomassa (dari sampah) yang cukup besar di kota Padang. Pengintegrasian dilakukan dalam rangka membentuk karakter hemat energi dengan memahami salah satu energi terbarukan yaitu biomassa. 3. Analisis Siswa Berdasarkan analisis siswa didapatkan data sebagai berikut: sebanyak 34 orang dari 38 (89 %) dari siswa berminat dalam pembelajaran fisika, 34 orang siswa suka belajar dalam kelompok dari pada belajar sendiri. Siswa menyukai metode belajar secara diskusi. Guru harus merencanakan dan melaksanakan 202

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

pembelajaran yang menggunakan metode diskusi. Model CPS dengan pendekatan openended merupakan model pembelajaran yang langkah-langkahnya menggunakan metode diskusi.

1.

2.

3.

4.

4. Analisis Materi Analisis materi dilakukan untuk membedakan materi pembelajaran dalam bentuk fakta, konsep, prinsip dan prosedur dengan jabaran sebagai berikut; Jenis Jabaran Materi materi Fakta a. Semua benda yang bergerak memiliki energi kinetik. b. Buah kelapa yang diam berada di atas pohonnya memiliki energi, yaitu energi potensial c. Energi biomassa dapat dirubah menjadi energi mekanik dan energi listrik Konsep a. Usaha b. Energi Potensial c. Energi Kinetik d. Energi Biomassa e. Daya Prinsip a. Hubungan usaha dengan energi b. Hukum kekekalan energi mekanik c. Pengolahan biomassa Prosedur Melakukan pemecahan masalah yang terkait dengan usaha dan energi menggunakan langkahlangkah model creative problem solving (CPS) Kemampuan yang harus dimiliki siswa setelah mempelajari materi ini adalah kemampuan menganalisis (C4), dan memecahkan masalah. Kemampuan ini mebutuhkan kreatifitas dan kecakapan berfikir kritis dalam pembelajaran. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus disertai dengan model pembelajaran yang menuntun siswa untuk berpikir kritis. 5. Analisis Tujuan Pembelajaran Tujuan pembelajaran dirumuskan setelah melakukan analisis materi: a. Dimensi sikap 1) Siswa menyadari bahwa energi adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa 2) Siswa mampu menunjukkan perilaku terbuka, kritis, kreatif, inovatif dan peduli lingkungan dan hemat energi

b. Dimensi pengetahuan 1) Siswa mampu menjelaskan konsep usaha dalam konteks fisika 2) Siswa mampu menjelaskan konsep energi potensial 3) Siswa mampu menjelaskan konsep dari energi kinetik 4) Siswa mampu menjelaskan konsep energi biomassa 5) Siswa mampu menyebutkan beberapa sumber energi biomassa 6) Siswa mampu menjelaskan konsep daya 7) Siswa mampu menerapkan konsep usaha dan energi untuk menyelsaikan permasalahan gerak 8) Siswa mampu menganalisis hubungan usaha dengan gaya dan perpindahan 9) Siswa mampu menganalisis hubungan posisi dan massa terhadap besarnya energi potensial 10) Siswa mampu mengnalisis hubungan energi kinetik dengan massa dan kecepatan 11) Siswa mampu menganalisis hubungan energi biomassa dengan jumlah produksi dan kadar air pada biomassa 12) Siswa mampu menganalisis hubungan usaha dengan energi 13) Siswa mampu menganalisis prinsip hukum kekekalan energi pada berbagai keadaan. c.

Dimensi Keterampilan Siswa mampu memecahakan masalah dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan konsep usaha dan energi

D. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dokumen yang dilakukan maka perlu dilakukan pengembangan perangkat pembelajaran menggunakan model creative problem solving dengan pendekatan open-ended agar dapai mencapai tujuan pembelajaran berupa kemampuan memecahkan masalah. Penjabaran materi dalam perangkat pembelajaran disesuaikan dengan hasil analisis materi dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Pengintegrasian biomassa ke dalam materi usaha dan energi dilakukan untuk membentuk karakter hemat energi dan mengatasi krisis energi. Berdasarkan analisis karakter siswa didapatkan metode pembelajaran yang cocok adalah metode diskusi.

203

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

E. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Hibah Tim Pascasarjana UNP tahun 2014 a.n Dr. Hamdi,M.Si, dan Dr. Yulkifli, M.Si. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada: 1. Direktorat Jenderal Pendidika Tinggi 2. Guru yang membantu dalam melakukan analisis dokumen: Dra. Yunida Herawati (Guru SMA Negeri 3 Padang) dan Lusi Marlice, S. Pd (Guru SMA Negeri 7 Padang) DAFTAR PUSTAKA Asyhar, Rayandra. 2011. Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran. Jakarta: Gaung Perasada (GP) Press. Balitbang.2012. Penelitian dan Pengembangan Teknologi Energi Terbarukan Berdasarkan Sumber Daya Lokal di Provinsi Riau. Balitbang: Riau. Budiningsih, Aci. 2011. Karakteristik Siswa Sebagai Pijakan Dalam Penelitian Dan Metode Pembelajaran. Journal Cakrawala Pendidikan, Februari 2011, Th. XXX, No. 1 hal 160-173. Depdiknas. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat SMA, MA, SMALB, SMK dan MAK. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Panduan Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Depdiknas. Handayani. 2010. Bahan Ajar Perencanaan Pembelajaran. www.file.upi.edu (Diakses pada 2 Mei 2014) 2Isaksen, Scott G. 1995. On the conceptual Foundation of Creative Problem Solving: A response to Magyari-Beck. Journal Creativity an amanagement. Volume 5 Nomor 1 Isrok‟atun. 2012. Creative Problem Solving(CPS) Matematis. Prosding. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika dengan tema ”Kontribusi Pendidikan Matematika dan Matematika dalam Membangun Karakter Guru dan Siswa" pada tanggal 10 November 2012 di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY Kusuma, Deden Cahaya. 2013. Analisis Komponen-Komponen Pengembangan

Kurikulum 2013 pada Bahan Uji Publik Kurikulum 2013. FMIPA UPI. Lukito Martin. 2013. Estimasi biomassa dan karbon tanaman jati umur 5 Tahun (kasus kawasan hutan tanaman jati unggul nusantara (jun) desa krowe, kecamatan lembeyan kabupaten magetan). Journal Agri-tek Volume 14 Nomor 1 Maret 2013 Mitchell, William E dan . Kowalik, Thomas F. 1999. Creative Problem Solving. Genigraphics Inc. Mulyasa. 2013. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung:PT. Remaja Rosdakarya. Mulyatiningsih, Endang. 2012. PengembanganModel Pembelajaran. www.staff.uny.ac.id (Diakses pada 2 Mei 2014). Murni. 2013. Open-Ended Approach in Learning to Improve Students Thinking Skills in Banda Aceh. International Journal of Independent Research and Studies – IJIRS. Vol. 2, No.2 (April, 2013) 95-101 Reina, Dennis S dan Chagnon, Michlle L. 1994. Creative Problem Solving (Instructur’s Book). Water bury. Rochmad. 2012. Desain Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika. Jurnal Kreano, ISSN : 20862334.Diterbitkan oleh Jurusan Matematika FMIPA UNNES Volume 3 Nomor 1, Juni 2012 Sani, Ridwan Abdullah. 2013. Inovasi Pembelajaran. Jakarta: Pt. Bumu Kasara. Salinan Lampiran Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses. Jakarta: BSNP. Sanjaya, Wina. 2010. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Bandung: San Grafika Thiagarajan, S; Semmel, D.S; & Semmel, M.I. 1974. Instructional Development for Training Teachers of Exceptional Children: A Sourcebook. Indiana: Indiana University Undang-undang No 30 tahun 2007 tentang energi Undang-undang 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Wena, Made. 2011. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara.

204

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

EKSPLORASI PEMAHAMAN KONSEPTUAL MAHASISWA DAN GURU TENTANG GAYA MELALUI FORCE CONCEPT INVENTORYVERSI BAHASA INDONESIA Irwan Koto Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu Email: [email protected] ABSTRACT This study explores the 31 physics education students‟ and the 28 physics teachers‟ conceptual understanding on force and investigates whether students‟ reasoning are consistent with their answers. Data were collected through administering FCI‟s Indonesian version and interviews with the selected students about their conception on force. From the collected data, it was found that most of students and teachers at different levels lack conceptual understanding of force and have several misconceptions. Various misconception of the force concept that similar to those mentioned in the related literature was determined. The important result was student‟s written responses showed inconsistent with the selected answer. Keywords: Indonesian version of FCI, Misconception, Conceptual Understanding

1. PENDAHULUAN Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, penelitian di bidang pendidikan Fisika menunjukkan bahwa, sebelum mengikuti perkuliahan, mahasiswa telah mempunyai pemahaman atau ide-ide tentang fenomena alam yang mereka amati di alam sekitarnya (Palmer, 2001). Ide-ide tersebut dinamai prakonsepsi. Prakonsepsi yang cenderung salah diketahui ketika seseorang memberikan penjelasan tentang sifat-sifat fisis gejala alam. Disamping itu, (maha)siswa sering menggunakan “Common sense (CS) beliefs” (Halloun & Hestenes, 1985) yang cenderung salah untuk menjelaskan fenoma alam yang ditemui dalam kehidupan sehari karena kebenarannya bersifat logis dan dapat diterima kebenarannya secara umum. Hal yang sama juga dapat terjadi pada guru-guru, khususnya guru-guru pemula (Yusof, dkk., 2013). Salah satu tantangan utama yang dihadapi pada saat mempelajari Mekanika adalah bagaimana memperoleh pemahaman yang benar tentang hukum I, II dan III Newton. Sebagai contoh, mayoritas siswa bahkan mahasiswa berpendapat jika benda tidak bergerak, maka tidak ada gaya yang bekerja pada benda. Oleh sebab itu, perlu untuk mengidentifikasi “CS beliefs” yang salah tentang fenomena alam, seperti gaya sebagai penyebab benda bergerak, yang dapat diamati dan ditemui dalam kehidupan sehari-hari (Hestenes, dkk., 1992). Interaksi seseorang dengan fenomena alam mendorong yang bersangkutan untuk menginterpretasikan

fenoma tersebut sesuai dengan konsepsi (notion) yang dimilikinya. Berdasarkan uraian diatas, studi ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi dan menganalisis pemahaman konseptual mahasiswa fisika dan guru fisika tentang gaya dan (2) mengetahui konsistensi antara alasan dengan pilihan jawaban yang diberikan oleh mahasiswa Fisika.

2. KAJIAN LITERATUR Dalam literatur, pemahaman (konsepsi) yang salah yang diyakini kebenenaran oleh seseorang untuk menjelaskan fenomena alam disebut salah konsep (misconception). Salah konsep (miskonsepsi) diklasifikasi sebagai preconceived notions, nonscientific beliefs, conceptual misunderstandings, vernacular misconceptions, dan factual misconceptions (Committee on Undergraduate Science Education, 1997). Meskipun terdapat berbagai variasi miskonsepsi, para peneliti sebelumnya seperti McDermott dan Redish (1999), telah mempublikasikan hasil yang sama baik ditinjau dari berbagai kelompok populasi mulai dari jenjang pendidikan SMA sampai PT. Miskonsepsi tentang gerak dan penyebabnya dikategorikan sebagai kesalahan pemahaman konseptual (conceptual misunderstanding) sistematis (Martin-Blas, dkk., 2010). Hasil penelitian yang dipublikasikan oleh Watt dan Zylbersztajn (1981) mengungkapkan bahwa mayoritas siswa SMA kelas 11 dan 12 menyakini bahwa (i) benda akan bergerak dengan laju konstan bila gaya yang bekerja 205

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

pada benda konstan dan (ii) benda akan mengalami percepatan bila gaya yang bekerja pada benda bertambah besar. Konsepsikonsepsi ini bertentangan dengan pandangan Newtonian, tetapi pendapat tersebut sesuai dengan pengamatan sehari-hari pada bendabenda yang bergerak dimana fungsi gesekan memperlambat gerak benda; namun siswasiswa tidak mengakui peranan gesekan dalam gerak benda. Lebih lanjut, Trumper and Gorsky (1996) mengungkapkan bahwa konsepsi pengaruh gaya pada gerak benda yang dianut mayoritas mahasiswa, misalnya pada bola yang dilemparkan vertikal keatas, adalah (i) arah gaya keatas selama bola bergerak, dan (ii) besar gaya menjadi nol sesaat bola berada pada ketinggian maksimum. Secara ringkas, Tabel 1 menyajikan konsepsi saintifik dan konsepsi alternatif yang terkait dengan konsep gaya yang dirangkum oleh Tao (1996). Tabel 1. Konsepsi Saintifik dan Alternatif Konsepsi Saintifik Konsepsi Alternatif Gaya bukanlah sesuatu Benda yang bergerak yang terdapat dalam terdapat gaya yang benda; Gaya diberikan bekerja pada benda pada sebuah benda. selama bergerak Benda bergerak lambat Benda bergerak bila resultan gaya yang lambat dan berhenti bekerja berlawanan ketika gaya yang arah dengan kecepatan bekerja pada benda benda. habis digunakan. Jika benda diam atau Jika benda tidak bergerak dengan laju bergerak, tidak ada konstan pada lintasan resultan gaya yang lurus, resultan gaya bekerja pada benda. pada benda nol Jika benda mengalami Jika benda sedang percepatan, resultan bergerak, terdapat gaya searah gerak resultan gaya yang benda. Jika benda bekerja pada benda mengalami yang selalu searah perlambatan, resultan dengan gerak benda. gaya berlawanan arah dengan arah gerak benda. Resultan gaya yang Gaya bekerja konstan bekerja pada benda menimbulkan laju konstan menghasilkan konstan; gaya percepatan konstan bertambah besar menyebabkan percepatan. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengekplorasi pemahaman konseptual gaya adalah Force Concept Inventory (FCI) yang dikembangkan

oleh Hestenes, dkk., (1992), dan direvisi oleh Halloun, dkk., (1995). FCI asli berbentuk angket (inventory) yang terdiri dari 30 pertanyaan dengan lima alternatif pilihan jawaban yang mencakup konsep-konsep penting mekanika Newton. Empat pilihan jawaban merupakan jawaban pengecoh (distractor) yang dikembangkan berdasarkan “common sense (CS) beliefs” tentang fenomena gerak yang dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari (Halloun & Hestenes, 1985). Pada dasarnya, FCI dirancang untuk menyelidiki “CS beliefs” yang diyakini kebenarananya oleh maha(siswa). Sejalan dengan pernyataan Holloun dan Hestenes (1985:1): “CS beliefs which are incompatible with established scientific theory are labeled as misconception …”. Oleh sebab itu, FCI dapat digunakan oleh para pendidik untuk mengeksplorasi pemahaman (maha)siswa pada konsep gaya dan untuk mengekplorasi miskonsepsi yang dianut setiap individu (maha)siswa. FCI adalah salah satu instrumen penelitian yang dikembangkan dengan hati-hati dan telah diterapkan oleh para guru dan dosen di berbagai negara (Hestenes, 2006) untuk menginvestigasi pemahaman konseptual maha(siswa) dalam ruang lingkup mekanika Newton (Yusuda, dkk., 2011). Disebabkan FCI dalam bahasa Inggris (orinal version), maka FCI asli diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kemudian diuji cobakan serta divalidasi. Proses alih bahasa dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia menggunakan fase-fase yang disarankan oleh Ercikan (1998). Hasil uji coba FCI versi bahasa Indonesia divalidasi dengan teknik Exploratory Factor Analysis dengan program SPSS (Koto, 2013). Meskipun FCI versi bahasa Indonesia terdiri dari 23 pertanyaan karena tujuh pertanyaan pada FCI asli tidak memenuhi persyaratan faktor analisis, namun ke 23 pertanyaan masih memenuhi enam faktor (scale) yang tercakup dalam FCI versi asli.

3.

METODE Total responden yang dilibatkan dalam penelitian sebanyak 59 responden yang terdiri dari 31 mahasiswa fisika yang mengikuti perkuliahan Fisika Dasar I serta 28 guru fisika peserta PLPG (Pendidikan Latihan Profesi Guru) yang mayoritas (95%) berlatar belakang pendidikan S-1 Pendidikan Fisika dengan pengalaman mengajar diatas 5 tahun. Pemahaman konseptual dari kedua kelompok responden diekplorasi dengan FCI 206

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

versi bahasa Indonesia. Disamping memilih satu jawaban yang paling benar diantara lima alternatif jawaban, responden dari kelompok mahasiswa diminta untuk memberikan alasan terhadap pilihan jawaban. Sedangkan kelompok guru tidak memberikan alasan dengan pertimbangan faktor psikososial guru (kesediaan) dan pertimbangan pragmatis penelitian. Pendistribusian FCI versi bahasa Indonesia kepada mahasiswa dilakukan satu minggu sebelum ujian akhir semester 2013/2014. Cara ini ditempuh untuk mengatasi jawaban yang bersifat pura-pura (pseudorandom response) dari responden (Redish, 2003). Selanjutnya, mahasiswa diminta serius untuk memberikan jawaban karena jawaban mereka mempengaruhi nilai akhir mata kuliah Fisika Dasar I. Hal yang sama juga berlaku pada kelompok guru. Sebelum memberikan jawaban, mereka diminta untuk menjawab ke-23 pertanyaan FCI secara sungguh-sungguh karena jawaban tersebut digunakan untuk menentukan nilai pendalaman materi fisika sebagai bagian materi pokok PLPG. Sebagaimana dinyatakan oleh Briggs, dkk., (2006), asal jawab (guessing) dan ketidak seriusan ketika memberikan jawaban pada jenis tes pilihan ganda, seperti FCI, dapat menyebabkan jawaban responden tidak merefleksikan kemampuan seutuhnya. Dalam penelitian ini, metodologi studi kasus (case study) diterapkan untuk mengeksplorasi pemahaman konsep gaya yang dimiliki para responden. Dengan metodologi penelitian ini, kombinasi teknik pengumpulan data melalui angket dan interviu digunakan (Creswell, 2008). Selanjutnya, triangulasi sumber data yang terdiri dari jawaban responden, alasan jawaban, dan interview dilakukan untuk memperoleh kesimpulan yang reliabel yang terkait dengan pemahaman konseptual mahasiswa dan guru fisika pada konsep gaya (Cohen, dkk., 2011). Data kuantitatif dari angket diolah dengan menggunakan statistik deskriptif (persentase, rata-rata), dan data interview (kuantitatif) diinterpretasi dengan metode induktif untuk menjawab tujuan penelitian.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN FCI versi bahasa Indonesia didistribusikan kepada seluruh responden. Waktu untuk menjawab 23 butir soal selama 25 menit untuk kelompok guru. Sebaliknya kelompok mahasiswa membutuhkan waktu

relatif lama (55 menit) karena mereka diharuskan untuk memberikan alasan pilihan jawaban . Hasil penelitian dan pembahasannya dilakukan dengan tiga tahap: (1) jawaban kedua kelompok responden dibandingkan untuk menentukan tingkat pemahaman konsep gaya oleh kedua kelompok, (2) menganalisis jawaban yang salah (distraktor) untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang dimiliki oleh kedua kelompok, dan (3) menganalisis konsistensi antara pilihan jawaban dengan alasan untuk mengidentifikasi pemahaman konseptual konsep gaya dari kelompok mahasiswa. Tingkat pemahaman konseptual responden diklasifikasikan dengan berdasarkan kriteria yang dijelaskan pada Tabel 2. Tabel 2. Level Pemahaman Konseptual Interval Level Indikator Level Prosentase Pemahaman Pemahaman Konseptual x < 25% Tidak Tidak memahami konsep memahami gaya dan mempunyai miskonsepsi 25 x< 60% Memahami Konsep gaya dipahami sebagian tidak utuh dan mempunyai beberapa miskonsepsi 60% x Memahami Memahami konsep gaya Sumber: diadaptasi dari Yusof, dkk., (2013), pp., 1085. 4.1. Perbandingan Pilihan Jawaban Kelompok Mahasiswa vs Guru Perbandingan pilihan jawaban benar pada kedua kelompok ditunjukkan pada Gambar 1 (lihat Lampiran). Secara umum, jumlah jawaban yang dipilih benar oleh kelompok guru untuk setiap pertanyaan lebih tinggi dari jawaban yang dipilih benar oleh kelompok mahasiswa. Meskipun perbedaannya tidak signifikan, rata-rata persentase menjawab benar (15%) oleh setiap guru lebih tinggi dari rata-rata menjawab benar (10%) oleh setiap mahasiswa. Berdasarkan Gambar 1, diketahui pada pertanyaan P29, mayoritas (82% dari 28 orang) guru menjawab benar namun pada P10, P23 dan P26 tidak satupun kelompok guru (0%) menjawab benar. Sedangkan kelompok mahasiswa menjawab benar tertinggi (48% dari 31 orang) pada pertanyaan P1, tetapi terendah (0%) pada P23 dan P26. „Suatu data yang tidak diduga‟ ditemukan, yaitu, tidak satu orangpun baik dari kelompok mahasiswa dan guru yang dapat menjawab benar pada P23 dan P26. Data 207

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

penelitian secara lengkap yang terdiri dari frekuensi jawaban benar (kolom 2) dan persentase (%) jawaban untuk setiap alternatif pilihan jawaban (A, B, C, D, E) (kolom 3 s.d kolom 6) dapat dilihat pada Tabel 3 pada Lampiran. 4.2. Identifikasi Miskonsepsi pada Kelompok Mahasiswa dan Guru Menurut, Hestenes, dkk. (1992) pertanyaan P8 dan P10 dirancang untuk mengekplorasi pemahaman seseorang tentang hukum I Newton; jika pada benda tidak ada gaya lain yang bekerja maka benda tersebut akan menempuh lintasan lurus. Pada kelompok mahasiswa, terdapat 7 orang (23%) yang menjawab benar untuk P10 dan hanya 2 orang (7% ) yang menjawab benar pada P8. Sebaliknya pada kelompok guru, tidak satu responden dari kelompok guru (0%) yang menjawab benar pada pertanyaan P10 dan 5 orang (18%) menjawab benar pada P8. Pertanyaan P8 Bola bergerak lurus dengan laju konstan (v0) dari a ke b. Di titik b, bola dipukul searah anak panah sehingga bola bergerak dengan laju vk. Anggap permukaan licin.

Gambar 2a. Lintasan Bola Sebelum Gaya Diberikan Pilihan Jawaban Pertanyaan P8 Jika gaya gesekan diabaikan, maka lintasan bola setelah disodok adalah

M= 68% G 72%

=

M = 7%* G = 18%*

M= 6% G = 0%

M= 3% G = 5%

M= 16% G = 5%

*: Jawaban B. M = mahasiswa; G = guru. Gambar 2b. Lintasan Bola Setelah Gaya Diberi Untuk menjawab pertanyaan P8 (Gambar 2a), mahasiswa dan guru harus menentukan gaya-gaya apa saja yang bekerja pada bola dan

menentukan besar resultan gaya yang bekerja pada bola sama dengan nol ( F 0 ) (Gambar 2b). Oleh sebab itu, untuk menentukan apakah sebuah benda akan bergerak dengan lintasan lurus atau lengkung, seseorang harus dapat menentukan resultan gaya-gaya dan memahami jenis-jenis gaya yang bekerja pada benda, misalnya gaya gravitasi pada gerak parabola. Berdasarkan jawaban benar dari kelompok mahasiswa (7%) dan guru (18%) pada P8, dapat diidentifikasi bahwa kedua kelompok tidak memahami konsep gaya (lihat Tabel 2). Terkait dengan jawaban pengecoh yang dipilih (A), mayoritas kedua kelompok belum memahami sifat gaya sebagai besaran vektor dan keduanya telah mengalami miskonsepsi tentang konsep gaya, khususnya hukum I Newton. Pertanyaan P10 Sepanjang lintasan pada pilih jawaban pertanyaan P8, laju bola setelah memperoleh gaya adalah (A)* Tetap (konstan) (M = 23%); G = 0%) (B) Bertambah besar (M = 0%; G = 7%) (C) Berkurang (M = 19%; G = 11%) (D) Bertambah besar, (M = 42%; G = 61%) dan berkurang (E) Tetap (konstan) (M = 16%; G = 21%). dan berkurang (*): Jawaban A Gambar 3. Pertanyaan P10 dan Pilihan Jawaban Kelompok Mahasiswa (M) dan Guru (G) Pertanyaan P10 mengekplorasi pemahaman terkait hubungan konsep gaya dengan lintasan benda. Pada pertanyaan P8, benda memperoleh gaya dorong akibat bola dipukul (impetus supplied by hit). Semua (100%) guru berpendapat bahwa jika benda mempunyai gaya, maka kecepatan benda bertambah dan secara bertahap kecepatan benda berkurang akibat gaya pendorong mulai habis (impetus dissipation) digunakan benda. Berdasarkan analisis pilihan jawaban pengecoh, kedua kelompok (mahasiswa dan guru) menganut “CS beliefs” yang diyakini kebenarannya bahwa setiap benda yang bergerak mempunyai gaya intrinsik dan gaya ini menyebabkan benda bergerak dengan kecepatannya tidak konstan. Berdasarkan jawaban yang diberikan, kedua kelompok tidak memahami konsep gaya yang disebutkan dalam hukum I Newton dan keduanya menganut

208

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

miskonsepsi tentang gaya dan pengaruhnya pada gerak benda. 4.3. Konsistensi Pilihan Jawaban dengan Alasan Uraian berikut ini membahas alasan yang diberikan oleh kelompok mahasiswa untuk pilihan jawaban pada pertanyaan yang diekplorasi pada Sub judul 4.1 dan 4.2. Berdasarkan Tabel 3 (Lampiran), ada dua responden (7%) yang memilih jawaban B untuk pertanyaan P8. Alasan yang diberikan untuk jawaban tersebut adalah “adanya dorongan udara”. Anggapan bahwa gaya dorongan udara berperan sebagai suatu active agent yang lebih dominan sehingga memberikan impetus yang lebih besar pada bola. Akibatnya, bola bergerak tidak mengikuti arah gerak sodokan. Namun CS beliefs yang dianut tidak memberikan penjelasan tentang pemahaman konsep gaya yang benar. Oleh karena itu, argumen tersebut tidak konsisten dengan pilihan jawaban. Kaitannya dengan pertanyaan P10, responden beranggapan bahwa “Gaya luar atau sodokan yang diberikan pada bola sama dengan lajunya”. Anggapan gaya berkorelasi linier dengan laju benda merupakan suatu persepsi yang umum dianut sebagian besar orang awam, termasuk maha(siswa). Hubungan yang terbentuk adalah hubungan sebab-akibat. Dengan kata lain, jika ada gaya ada, maka ada kecepatan (korelasi If – then), atau kecepatan menghasilkan gaya. Jelas argumen ini tidak konsisten dengan pilihan jawaban. Argumen-argumen tertulis tersebut dikonfirmasi melalui interviu dengan 6 mahasiswa masing-masing dua orang dari kelompok kemampuan tinggi, sedang, rendah). Dari hasil interviu diketahui bahwa (1) penjelasan yang diberikan konsisten dengan alasan tertulis, (2) timbul keragu-raguan memberikan jawaban pertanyaan penanya, dan (3) balik bertanya kepada penanya apa jawaban yang semestinya.

5. PENUTUP Sesuai dengan tujan penelitian, terdapat dua simpulan penting yang diperoleh dari studi ini. Pertama, telah diidentifikasi miskonsepsi yang dianut mahasiswa dan guru fisika: (a) gaya yang terbesar menentukan gerak benda, (b) gaya yang terakhir bekerja menentukan gerak benda, dan (c) adanya impetus pada benda yang bergerak. Kedua, adanya ketidak konstensian antara pilihan jawaban dengan alasan (argumen) yang diberikan terhadap

jawaban. Dengan kata lain pilihan jawaban benar, tetapi alasan salah atau kurang tepat/lengkap. Common sense beliefs yang salah lebih dominan berpengaruh pada ke-2 kelompok sehingga baik mahasiswa dan guru fisika tidak menguasai konsep-konsep dasar dalam mekanika Newton seutuhnya, terutama tentang konsep gaya. Informasi ini menjadi kajian yang serius bagi dosen-dosen fisika di LPTK (FKIP) di Universitas yang diberi mandat untuk mencetak calon guru fisika. Khusus bagi penulis sebagai anggota tim pengajar mata kuliah Fisika Dasar I dan Mekanika, refleksi diri perlu dilakukan terhadap metode dan teknik penyajian materi perkuliahan. Perhatian dan penanganan secara khusus perlu diberikan kepada guru-guru fisika pemula yang mengajar di SMP atau SMA, terutama tentang. penguasaan prinsip-prinsip dasar dalam mekanika Newton.

6. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada mahasiswa S-1 (kelas B) Prodi Pendidikan Fisika dan guru-guru fisika peserta PLPG tahun 2013 yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada sdr. Andik Purwanto, M.Si atas bantuannya dalam pengumpulan data.

7. DAFTAR PUSTAKA Briggs, D. C., Alonzo, A. C., Schwab, C., and Wilson, M., (2006), Diagnostic assessment with ordered multiple-choice items, Educational Assessment, Volume 11, Number 1, pp. 33-63. Cohen, L., Manion, L., and Morrison, K. (2011), Research methods in education (7th edition), London & Newyork, Routledge, Taylor & Francis Group. Committee on Undergraduate Science Education. (1997), Misconceptions as barriers on understanding science, National Academy Press. Creswell, J.W., (2008), Educational Research: Planning, conducting, and evaluating quantitative and qualitative research, Pearson Prentice Hall, New Jersey 07458. Ercikan, K. (1998), Translation effects in international assessment, International Journal of Educational Research, Volume 29, pp. 543-553. 209

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Halloun, I. A., and Hestenes, D. (1985). Common sense concepts about motion, American Journal Physics, Volume 53, Number 11, pp. 1- 18. Hestenes, D., Well, M., and Swackhamer, G. (1992), Force concept inventory, The Physics Teacher, Volume 30, pp. 141151. Hestenes, Wells, M., and Swackhamer, G., (1995), A modeling method for high school physics instruction, American Journal of Physics, Volume 63, Number 7, pp. 606-619. Hestenes, D. (2006), Notes for a modeling theory of science, cognition and instruction, Proceedings of the 2006 GIREP conference Modeling in physics and physics education, pp. 35-65. Koto, I. (2003), Pengembangan dan validasi Force Concept Inventory (FCI): Suatu angket untuk mengeksplorasi pemahaman maha(siswa) terhadap konsep gaya dan kinematika. Exacta, Number 11, Volume 2, pp. 83-88. Palmer, D. (2001), Students‟ alternative conceptions and scientifically acceptable conceptions about gravity, International Journal of Science Education, Number 23, Volume 7, pp. 691-706 McDermott, L, C., and Redish, E. F., (1999), Resource Letter, PER-1: Physics Education Research. American Journal Physics, Volume 67, pp. 755 – 767.

Redish, E. (2003), Teaching physics with the physics suite. Hoboken, HJ: John Wiley & Sons. Tao, Ping-Kee, (1996). Confronting students‟ alternative conceptions in mechanics with the Force and motion microworld, Computer in Physics, Volume 11, Number 2, pp. 199-207. Trumper, R., and Gorsky, P., (1996), A crosscollege age study about physics students‟ conceptions of force in pre-service training for high school teacher, Physics Education, Volume 31, pp. 227-236. Yusof, M.M., Dalim, S. F., Ibrahim, N., and Ramli, M. F., (2013), The level of understanding of students and teachers in the concept of force and motion, Proceeding of the International Conference on Social Science research, ICSSR 2013. 4-5 June 2013, Penang, Malaysia. Yusuda, J.I., Uematsu, H., and Nitta, H. (2011), Validation Japanese version of the force concept inventory, Lat. Am. J. Phys. Educ, Volume 6. Pp. 89-94. Watt, D. M., and Zylbersztajn, A., (1981), A survey of some children‟s ideas about force, Physics Education, Volume 5, Number 2, pp. 217-230.

210

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

8. LAMPIRAN

Frekuensi Jawaban Benar

Mahasiswa

15

16

15

9 9

23

Guru

14

11

10

8 5

4

6

11

7

7

8

7

4

2

1

0

6

7

4

3

2

9

8

2

3

3

4

4

4

2 0

8

2 2

0

P1 P2 P4 P6 P8 P9 P10 P12 P13 P15 P16 P17 P18 P19 P21 P22 P23 P24 P25 P26 P27 P28 P29

Nomor Pertanyaan FCI versi Bahasa Indonesia

Gambar 1. Jumlah Pilihan Jawaban Kelompok Mahasiswa dan Guru terhadap 23 Butir Angket FCI versi Bahasa Indosia. Tabel 3. Jawaban Mahasiswa (M) dan Guru (G) pada FCI versi Bahasa Indonesia Jumlah (N) Pilihan Jawaban pada Angket FCI versi Bahasa Indonesia A (%) B (%) C (%) D (%) E (%) No. Jawaban Pert M G M G M G M G M G M G Benar (31) (28) Kolom 1 Kolom 2 Kolom 3 Kolom 4 Kolom 5 Kolom 5 Kolom 6 Kolom 7 1(P1) 2(P2) 3(P4) 4(P6) 5(P8) 6(P9) 7(P10) 8(P12) 9(P13) 10(P15) 11(P16) 12(P17) 13(P18) 14(P19) 15(P21) 16(P22) 17(P23) 18(P24) 19(P25) 20(P26) 21(P27) 22(P28) 23(P29)

15 4 9 8 2 6 7 11 1 2 8 3 6 4 3 3 0 2 4 0 4 2 8

15 9 15 10 5 14 0 16 4 7 7 3 7 2 3 4 0 11 8 0 2 9 23

16 13 49 65 68 19 23 0 3 6 26 58 3 23 10 35 26 6 6 45 55 0 16

11 32 29 57 72 0 0 0 0 25 25 53 11 18 11 21 36 39 7 36 29 0 3

16 22 16 26 7 39 0 35 32 10 13 10 20 6 67 10 0 7 42 13 32 29 26

0 22 18 36 18 43 7 57 14 7 7 11 25 10 35 14 0 0 7 29 64 4 82

48 10 0 3 6 13 19 39 62 61 26 13 19 3 3 13 29 61 13 3 13 13 6

211

53 0 0 7 0 7 11 29 68 54 43 4 4 7 32 7 32 43 29 21 7 18 4

20 52 6 3 3 10 42 10 3 19 13 6 32 55 10 32 45 0 13 39 0 52 10

25 46 0 0 5 0 61 3 14 14 14 32 46 57 11 40 32 0 14 14 0 46 7

0 3 29 3 16 19 16 16 0 3 22 13 26 13 10 10 0 26 26 0 0 6 42

11 0 53 0 5 50 21 11 4 0 11 0 14 7 11 18 0 18 43 0 0 32 4

C A E B B E A B D A A B B E E B B A C E C E B

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN RESEARCH BASED LEARNING (RBL) UNTUK MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN KERJA ILMIAH MAHASISWA PADA MATA KULIAH LABORATORIUM FISIKA SEKOLAH Novia Lizelwati 1

Program Studi Tadris Fisika, Jurusan Tarbiyah, STAIN Batusangkar Korespondensi: Jl. Sudirman No. 137, Kubu Rajo, Lima Kaum, Batusangkar Email: [email protected] ABSTRACT Keterampilan kerja ilmiah merupakan keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh setiap mahasiswa calon guru fisika. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan keterampilan kerja ilmiah mahasiswa melalui implementasi model pembelajaran Research Based Learning (RBL) pada mata kuliah laboratorium fisika sekolah di STAIN Batusangkar. Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimen, data penelitian dari pelaksanaan tugas proyek dan presentasi dikumpulkan dengan lembar observasi, sedangkan penilaian produk menggunakan panduan penilaian produk, dan kuesioner untuk tanggapan mahasiswa. Hasil penelitian yaitu skor rata-rata keterampilan kerja ilmiah mahasiswa adalah 83,3 (skor 100), dimana dari 44 orang mahasiswa, memperoleh nilai A sebanyak 7 orang, nilai A- sebanyak 22 orang, B+ sebanyak 11 orang, B sebanyak 3 orang, dan C+ sebayak 1 orang. Research Based Learning (RBL) pada mata kuliah laboratorium fisika sekolah mengkondisikan mahasiswa belajar aktif, mandiri, mampu bekerja sama, dapat berpikir kritis, serta berani mengambil keputusan. Tanggapan mahasiswa terhadap model pembelajaran RBL positif. Kesimpulan penelitian adalah penerapan model pembelajaran Research Based Learning (RBL) pada mata kuliah laboratorium fisika sekolah, efektif untuk mengembangkan keterampilan kerja ilmiah mahasiswa.

Keywords: Keterampilan kerja ilmiah, laboratorium fisika sekolah, Research Based Learning (RBL)

1. PENDAHULUAN Fisika sebagai ilmu dasar dimanfaatkan untuk memahami ilmu lain dan ilmu terapan sebagai landasan pengembangan teknologi. Sebagai komponen dalam kurikulum untuk mendidik siswa dalam mencapai kualitas tertentu, pelajaran fisika bermakna dalam membina segi intelektual, sikap, minat, keterampilan, dan kreatvitas bagi peserta didik. Untuk membina segi intelektual, melalui observasi dan berpikir fisika yang taat asas dapat melatih peserta didik untuk berpikir kritis. Dengan pemahaman alam sekitar, menganalisis dan memecahkan persoalan terkait, serta memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari, merupakan bekal untuk bekerja dan melanjutkan studi (Muslim dan Suparwoto, 2002). Mahasiswa Prodi Pendidikan Fisika STAIN Batusangkar merupakan mahasiswa yang sedang disiapkan untuk menjadi guru fisika. Hal ini menyatakan bahwa akan seperti apa pendidikan fisika di sekolah pada masa mendatang akan banyak ditentukan oleh mereka. Saat ini masih banyak praktek pembelajaran fisika yang kurang bermakna, sehingga fisika menjadi mata pelajaran yang

ditakuti dan tidak diminati oleh para siswa di sekolah UNESCO dalam Soedijarto (2004) menuangkan ada 4 pilar pendidikan, dimana pendidikan bertujuan untuk membelajarkan siswa untuk: “1) learning to know, 2) learning to do, 3) learning to live together dan 4) learning to be”. Pendidikan Indonesia diharapkan menghasilkan insan Indonesia yang cerdas komprehensif meliputi: cerdas spiritual, cerdas emosional dan sosial, cerdas intelektual serta cerdas kinestetis. Menghasilkan insan Indonesia kompetitif dalam artian: berkepribadian unggul, semangat juang tinggi, mandiri, pantang menyerah, inovatif dan menjadi agen perubahan. Untuk mampu bertahan di abad ke-21, manusia Indonesia mutlak harus memiliki daya saing global, memiliki kreativitas, serta mampu berkreasi mencipta hal-hal baru. Akan tetapi, jika sistem pendidikan tidak diubah yaitu pendidikan yang masih mementingkan contain (isi) yang dinyatakan dengan hasil tes tertulis, jika pendekatan pembelajaran masih bersifat teacher centre yaitu pola pengajaran yang masih bersifat transmitif, yang sering kali mengabaikan proses 212

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

dan pengalaman belajar. Maka sistem pendidikan seperti ini bisa menjadikan peserta didik malas, tidak memiliki daya saing dengan bangsa lain, tidak memiliki kreativitas dan tidak mampu menciptakan hal-hal baru sehingga sulit di terima di masyarakat. Dengan kata lain dunia pendidikan seolah hanya mencetak pengangguran terdidik. Jika masalah ini terus dibiarkan akan selamanya bangsa Indonesia menjadi tempat pelemparan produk bagi bangsa lain, dan tidak bisa menjadi tuan di rumah sendiri. Menyikapi hal ini, Dirjen Dikti Djoko Santoso melalui Surat Dirjen DIKTI No 152 /E/T/ 2012 mengeluarkan suatu kebijakan, bahwa terhitung mulai kelulusan setelah Agustus 2012 diberlakukan ketentuan sebagai berikut: Untuk program Sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit di jurnal ilmiah Untuk program Magister harus telah menghasilkan makalah yang terbit di jurnal ilmiah terakreditasi Dikti. Untuk program Doktor harus telah menghasilkan makalah yang terbit di jurnal Internasional. Beliau mengungkapkan alasan dikeluarkan kebijakan tersebut, “Sebagaimana kita ketahui pada saat sekarang ini, jumlah karya ilmiah dari Perguruan Tinggi Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, hanya sekitar sepertujuh”. Berdasarkan data dari Dikti, kontribusi ilmuwan Indonesia dalam pengembangan keilmuan hanya 0,012%. Jumlah ini jauh di bawah negara tetangga seperti Singapura dengan 0,179%, sedangkan Amerika mencapai 25%. Kemudian untuk jumlah jurnal yang dipublikasikan oleh Indonesia pada 2004 hanya 371, padahal Malaysia dengan 700 jurnal, dan Singapura (3.086). Untuk karya yang dipatenkan pada 2006, Indonesia hanya ada 43. Malaysia memiliki 694. Posisi publikasi ilmiah peneliti Indonesia yang terbit secara berkala internasional hanya sepertiga dibandingkan dengan Thailand atau sepersepuluh dibadingkan dengan Korea, seperlima puluh dibadingkan dengan RRC, dan bahkan seperempat jika dibandingkan dengan Nigeria. (Berita Koran Pendidikan / Tanggal: 17-102011 08:47). Menurut Asesor Badan Akreditasi Nasional (BAN) Dikti Prof Dr Khudzaifah Dimyati dalam Koran Pendidikan Tanggal: 17 Oktober 2011. “Jumlah pengajar yang ada di

berbagai perguruan tinggi di Indonesia mencapai 220.000 orang. Namun hanya 15% yang layak menyandang status sebagai dosen”. Jika dosen saja yang meneliti sudah menjadi salah satu tugas pokoknya sudah kesulitan, apalagi mahasiswanya. Kenapa kita lemah dalam menyusun tesis dan disertasi? Jawabnya adalah karena sedari kecil kita terbiasa datang, duduk, dengar, catat, hapal, ulangan kemudian lulus. Kalaulah dari kecil kita diajarkan bagaimana cara meneliti, dibiasakan dengan budaya riset maka meneliti bukanlah hal yang sulit lagi. Lalu bagaimana mengatasi masalah ini? Masalah yang sudah mengakar pada dunia pendidikan Indonesia. Menurut peneliti, inovasi pendidikan dibutuhkan untuk mengatasi masalah tersebut. Ada banyak cara yang sedang diusahakan untuk meningkatkan kualitas pelajaran di sekolah atau Perguruan Tinggi. Salah satunya Research Based Learning (RBL), Research Based Learning (RBL) merupakan suatu model pembelajaran yang memasukkan riset dalam proses pembelajaran. Intinya pelajaran di kelas berbasis project yang menggunakan prinsip-prinsip pelajaran bersangkutan yang bersifat aplikatif. Riset yang dilakukan mahasiswa adalah berupa tugas proyek berkelompok untuk membuat suatu produk. Contohnya membuat peluru magnetik, penyangga beban dari stik eskrim, membuat kapasitor sederhana, membuat benda dengan momen inersia yang besar, membuat roket air, dan alat-alat pratikum sekolah dengan menggunakan alatalat sederhana. Pada prinsipnya RBL yang dikembangkan adalah memberi kesempatan mahasiswa untuk melakukan kegiatan dengan melatih kemampuan yang diperlukan dalam riset seperti studi literatur, melakukan eksperimen, juga termasuk menuliskan laporan yang baik dan mempresentasikan dalam bentuk diseminasi riset. Dosen berperan sebagai fasilitator dan harus siap menjadi tempat bertanya mahasiswa. Karya yang dihasilkan berupa penerapan fisika dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya diberikan apresiasi dalam bentuk pameran hasil riset atau mahasiswa diikutsertakan pada kompetisi nasional. Diharapkan memang RBL bukan hanya meningkatkan kemampuan akademik mahasiswa, tetapi juga meningkatkan motivasi, pembelajaran aktif, dan pengembangan kemampuan, seperti analisa kritis, kerjasama dalam tim. Dengan diterapkannya model 213

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

pembelajaran RBL di STAIN Batusangkar, diharapkan meneliti tidak lagi jadi masalah lagi di STAIN Batusangkar. Sehingga STAIN Batusangkar dapat menghasilkan calon guru yang kreatif sehingga keterbatasan sarana dan prasarana alat labor bukan lagi menjadi alasan tidak dilaksanakannya eksperimen di sekolah. Calon guru masa depan ini mampu menanamkan budaya riset sejak dini di sekolah. Dengan demikian tujuan pendidikan yang telah dirumuskan dapat terwujud.

2. METODE 2.1 Jenis penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimen. Perlakuan yang diberikan adalah dengan menerapkan model pembelajaran Research based Learning (RBL) pada seluruh peserta mata kuliah laboratorium fisika sekolah STAIN Batusangkar semester genap Tahun Akademik 2013/2014. 2.2 Prosedur penelitian Langkah-langkah (sintaks) model pembelajaran RBL oleh para ahli menyatakan perbedaan, tetapi tinjauan secara sederhana dari bentuk atau strategi dalam kegiatan RBL dapat dikelompokkan dalam 8 model yang dikembangkan di Griffith University Green (2008) yaitu: 1) Memperkaya bahan ajar dengan hasil penelitian dosen, 2) Menggunakan temuan penelitian mutakhir, melacak sejarah ditemukannya perkembangan mutakhir tersebut, 3) Memperkaya kegiatan pembelajaran dengan isu penelitian kontemporer, 4) Mengajarkan materi metodologi penelitian di dalam proses pebelajaran, 5) Memperkaya proses pembelajaran dengan kegiatan penelitian dalam skala kecil, 6) Memperkaya proses pembelajaran dengan melibatkan peserta didik dalam kegiatan penelitian institusi, 7) Memperkaya proses pembelajaran dengan mendorong peserta didik agar merasa menjadi bagian dari budaya penelitian di jurusan, 8) Memperkaya proses pembelajaran dengan nilainilai yang harus dimiliki oleh peneliti. Tahap pelaksanaan RBL pada mata kuliah laboratorium fisika sekolah prodi Tadris Fisika STAIN Batusangkar meliputi: 1) penyampaian standar kompetensi dan kompetensi dasar perkuliahan, 2) memberikan perkuliahan untuk memberikan pengetahuan dasar, 3) memilih materi yang akan di RBL kan, 4) memilih bentuk tugas yang paling sesuai diberikan, 5) mendesain bentuk penilaian yang akan diberikan, 6) penugasan dalam kelompok eksperimen membuat suatu proyek, 7)

bimbingan tugas proyek untuk memberikan saran dan masukan, 8) penugasan membuat laporkan hasil riset, 9) mengadakan forum ilmiah untuk mengkomunikasikan hasil riset dalam bentuk diseminasi atau pameran ilmiah. Dalam pelaksanaan RBL, mahasiswa dibagi atas kelompok-kelompok RBL. Dari 44 peserta mata kuliah laboratorium fisika sekolah, dibagi menjadi 15 kelompok RBL 14 kelompok anggotanya 3 orang, dan 1 kelompok terdiri dari 2 orang. Tugas proyek mulai dilakukan pada minggu ke-9 kegiatan perkuliahan, dan tugas proyek tersebut dikerjakan selama 6 minggu. Jadwal pelaksanaan perkuliahan berbasiskan RBL dapat dilihat seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Schedule proses perkuliahan berbasis RBL di dalam kelas.

Proses Pendahuluan Mempelajari inti/pengetahuan dasar mata kuliah sebagai dasar untuk kegiatan RBL Pemberian tugas proyek untuk riset Peninjauan ulang tugas proyek Presentasi hasil riset Pengumpulan laporan akhir tulisan

Jadwal perkuliahan Minggu 1 Minggu ke-2 s/d minggu ke-8

Minggu ke- 9 s/d minggu ke-13 Minggu ke-11 Minggu ke-14 s/d minggu ke-15 Minggu ke-16

Komponen kerja ilmiah yang diamati adalah: 1) menetapkan kompetensi sesuai dengan judul riset, 2) memahami landasan teori, 3) mengidentifikasi bahan dan merancang alat, 4) merumuskan prosedur dan melaksanakannya, 5) menyusun laporan riset, 6) keterampilan presentasi, 7) publikasi ilmiah. 2.3 Instrumen penelitian Penilaian dilakukan dari produk yang dihasilkan dari tugas proyek yaitu berupa alatalat praktikum fisika sekolah yang dirancang, laporan tertulis tugas proyek, dan poster ilmiah atau jurnal ilmiah dari hasil riset mahasiswa. Proses pelaksanaan RBL dipantau melalui logbook yang diisi mahasiswa selama proses pembuatan tugas proyek. Aktifitas mahasiswa diamati dari lembar observasi. Sedangkan kuesioner/ angket respon mahasiswa digunakan

214

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

untuk mendapatkan respon mahasiswa tentang pelaksanaan RBL pada perkuliahan. 2.4 Tekhnik analisis data Produk dari hasil tugas proyek dinilai dengan lembar penilaian produk yaitu berupa laporan hasil riset. Sedangkan lembar abservasi dan kuesioner dianalisis secara deskriptif. logbook digunakan untuk menilai proses kinerja mahasiswa dalam membuat tugas proyek. Menurut Sarwi dan Khanafiyah, perhitungan keberhasilan keterampilan kerja ilmiah penggunakan persamaan:

dengan K menyatakan persentase mahasiswa yang memperoleh skor >70. P menyatakan jumlah mahasiswa yang memperoleh skor >70. N menyatakan jumlah semua mahasiswa. Penelitian ini dikatakan berhasil jika jumlah mahasiswa yang mencapai skor >70 sebesar 85% dari jumlah mahasiswa. Dengan kata lain, penerapan model pembelajaran RBL ini efektif untuk mengembangkan keterampilan kerja ilmiah mahasiswa jika skor nilai kerja ilmiah >70 sebesar 85 %. Skor tersebut didasarkan pada pedoman akademik Prodi Tadris Fisika STAIN Batusangkar yakni >70 (nilai B keatas).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Research Based Learning (RBL) adalah merupakan salah satu metode student centered learning yang mengintegrasikan penelitian dalam proses pembelajaran (Pusat Pengembangan Pendidikan, 2010). RBL adalah model pembelajaran baru yang memperkaya mahasiswa dengan berbagai pengalaman riset. RBL bukan hanya meningkatkan kemampuan akademik mahasiswa, tetapi juga meningkatkan motivasi, pembelajaran aktif, dan pengembangan kemampuan, seperti sikap kritis, kerjasama dalam tim. Untuk memudahkan penilaian kerja ilmiah, komponen kerja ilmiah di atas dikelompokkan pada 4 komponen penilaian yaitu: 1) Perencanaan, meliputi perumusan judul dan tujuan, perencanaan waktu, pemaparan teori, perencanaan desain alat dan bahan. 2) Proses pelaksanaan proyek, dilihat apakah proses sesuai dengan perencanaan, dan diselesai tepat waktu. 3) hasil proyek/produk yang dihasilkan, meliputi: tampilan produk, inovasi ide, keakuratan pengukuran/daya guna. Pelaporan, meliputi: laporan akhir tertulis, presentasi hasil, poster ilmiah atau jurnal ilmiah.

Penilaian kerja ilmiah didapatkan, dari nilai proses (lembar observasi dan logbook mahasiswa). Nilai produk didapatkan dari hasil produk kerja proyek, dan laporan tertulisnya. Penilaian dilakukan oleh 2 orang dosen pengampu mata kuliah laboratorium fisika sekolah. Setelah dirata-ratakan, hasil penilaian kerja Ilmiah mahasiswa, dapat dilihat seperti pada Tabel 2 berikut: Tabel 2. Nilai Kerja ilmiah mahasiswa pada penerapan model pembelajaran RBL. No Perencanaan Pelaporan Proses Produk Klp proyek hasil 1 90 90 83.0 84.2 2 90 90 86.6 83.3 3 80 80 75.0 73.3 4 80 80 85.0 79.2 5 70 80 83.3 85.8 6 80 80 78.3 80.0 7 80 80 76.7 83.3 8 80 90 80.0 85.6 9 90 90 88.3 84.2 90 10 90 81.7 83.3 11 80 80 83.3 80.4 12 80 90 80.0 83.8 13 80 80 85.0 78.8 14 90 90 86.6 84.2 15 90 90 85.0 81.2 Rerata 83.3 85.3 82.5 82.0 Nilai Berdasarkan Tabel 2, didapatkan bahwa: skor rata-rata perencanaan proyek 83.3, proses pelaksanaan tugas proyek 85.5, hasil/produk yang dihasilkan 82.5, pelaporan hasil 82. Sehingga didapatkan skor rata-rata keterampilan kerja ilmiah mahasiswa adalah 83,3 (skor 100). Jika dilihat dari nilai masingmasing mahasiswa, dari 44 orang mahasiswa peserta kuliah, memperoleh nilai A sebanyak 7 orang, nilai A- sebanyak 22 orang, B+ sebanyak 11 orang, B sebanyak 3 orang, dan C+ sebayak 1 orang. Berdasarkan penyataan di atas, keberhasilan keterampilan kerja ilmiah dapat dilihat dari nilai K, dimana K adalah persentase mahasiswa yang memperoleh skor >70 yaitu 97,7%. Berarti nilai K yang didapatkan pada penelitian ini > 85%. Dengan demikian, penerapan model pembelajaran RBL ini efektif untuk mengembangkan keterampilan kerja ilmiah mahasiswa. 215

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Dari angket respon mahasiswa, dapat diperoleh persentase tanggapan mahasiswa terhadap pelaksanaan RBL pada mata kuliah laboratorium fisika sekolah. Angket Respon mahasiswa ini diisi oleh 40 orang mahasiswa dari 44 orang peserta kuliah. Hasil angket tersebut dapat dilihat pada Tabel 3 berikut: Tabel 3. Tanggapan/respon mahasiswa (%) terhadap pelaksanaan RBL pada mata kuliah laboratorium fisika sekolah. Tanggapan mahasiswa No Pernyataan (%) S TP TS 1 Cara belajar ini belum 92.5 0 7.5 pernah diterapkan sebelumnya pada mata kuliah 2 Saya menyukai cara 97.5 0 2.5 pengajaran yang menerapkan RBL 3 Saya menjadi lebih 95 0 5 menyenangi kegiatan perkuliahan 4 Saya merasa lebih mudah 97.5 0 2.5 memahami materi fisika sekolah 5 Saya mampu melakukan 97.5 0 2.5 langkah kegiatan penelitian dengan baik 6 Setelah mengikuti 90 0 10 perkuliahan saya merasa lebih berani bertanya, dan berani mengemukakan pendapat yang berbeda 7 Dalam perkuliahan ini, 87.5 0 12.5 saya mampu bekerja sama dalam kelompok 8 Saya merasa kreatifitas, 97.5 0 2.5 dan ide-ide kreatif saya berkembang dengan penerapan RBL pada kegitan perkuliahan 9 Setelah kuliah dengan 92.5 0 7.5 menerapkan pembelajaran RBL, saya terlatih untuk melakukan riset-riset fisika 10 Setelah kuliah dengan 100 0 0 menerapkan pembelajaran RBL, saya menjadi termotivasi untuk belajar fisika lebih lanjut

No

Pernyataan

11 Setelah mengikuti perkuliahan dengan RBL, saya merasa kegiatan meneliti tidak lagi sangat sulit 12 Saya merasa tidak peduli dengan tugas proyek yang diberikan 13 Saya merasa tidak peduli dengan perkembangan ilmu fisika 14 Setelah mengikuti perkuliahan, saya mampu membuat laporan penelitian dalam bentuk jurnal ilmiah dan poster ilmiah dengan baik 15 Setelah mengikuti perkuliahan, saya lebih mampu melakukan presentasi ilmiah yang baik. Rerata (%) Keterangan: S (Setuju) TP (Tidak ada Pendapat) TS (Tidak Setuju)

Tanggapan mahasiswa (%) S TP TS 85 2.5 12.5

10

0 90

10

0 90

97.5

0 2.5

97.5

0 2.5

83.2 0.2 16.7

Tanggapan mahasiswa tentang aktivitas kerja ilmiah seperti: mampu melakukan langkah kegiatan penelitian dengan baik, terlatih untuk melakukan riset fiiska, mampu melakukan laporan penelitian dalam bentuk jurnal ilmiah dan poster ilmiah, serta mampu melakukan presentasi ilmiah dengan baik mencapai persentase 90% dari jumlah semua mahasiswa. Jumlah persentase mahasiswa yang menjawab setuju lebih banyak dari pada yang menjawab tidak setuju. Tiga belas item pernyataan yang ditanggapi mahasiswa secara positif mencapai persentase > 85% dari semua mahasiswa yang mengisi kuesioner. Respon mahasiswa setelah diterapkan model pembelajaran RBL pada mata kuliah laboratorium fisika sekolah adalah: 92,5% mahasiswa menyatakan bahwa cara belajar ini belum pernah diterapkan sebelumnya pada mata kuliah. Mahasiswa menyukai cara pengajaran yang menerapkan RBL, dan lebih menyenangi kegiatan perkuliahan. Setelah mengikuti 216

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

perkuliahan mahasiswa merasa lebih berani bertanya, berani mengemukakan pendapat yang berbeda, merasa kreatifitas, dan ide-ide kreatifnya berkembang, mencapai persentase lebih dari 90%, bahkan 100% mahasiswa menjadi termotivasi untuk belajar fisika lebih lanjut.

4. PENUTUP Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian, skor rata-rata keterampilan kerja ilmiah mahasiswa adalah 83,3 (skor 100). Nilai K (persentase mahasiswa yang memperoleh skor >70) yaitu 97,7%. Berarti nilai K yang didapatkan pada penelitian ini > 85%. Maka dapat disimpulkan bahwa, penerapan model pembelajaran RBL pada mata kuliah labotaorium fisika sekolah di STAIN Batusangkar efektif untuk mengembangkan keterampilan kerja ilmiah mahasiswa. Respon mahasiswa setelah diterapkan model pembelajaran RBL pada mata kuliah laboratorium fisika sekolah adalah positif. Mahasiswa menyukai cara pengajaran yang menerapkan RBL, setelah mengikuti perkuliahan mahasiswa merasa lebih berani bertanya, berani mengemukakan pendapat yang berbeda, merasa kreatifitas, dan ide-ide kreatifnya berkembang, serta termotivasi untuk belajar fisika lebih lanjut.

5. DAFTAR PUSTAKA Griffith Institute For Higher Institution, 2008, Reserch-Based-Learning: Strategies for Succes Fully Linking Teaching And Research, University Of Griffith. Kasiram, Moh, 2008, Metodologi Penelitian Kualitatif-kuantitatif, Malang: UIN Malang Press

Pusat Pengembangan Pendidikan, 2010, Buku Panduan Pelaksanaan Student Centre Learning ( SCL) dan Student Teacher Aesthethic Role- Sharing ( STAR), Yogyakarta: UGM Sarwi., Khanafiyah, 2010, Pengembangan keterampilan kerja ilmiah mahasiswa calaon guru fisika melalui eksperimen gelombang open-inquiry. Jurnal Pendidika Fisika Indonesia 6(2010) 115122. Soedijarto, 2004, Kurikulum, Sistem Evaluasi, dan Tenaga Pendidikan sebagai Unsur Strategis dalam Penyelenggaraan Sistem Pengajaran Nasional, Jurnal Pendidikan Penabur, No 03/Th.III/Desember. Santoso, D, Surat Dirjen DIKTI No 152 /E/T/ 2012. Berita Koran Pendidikan / Tanggal: 17-10-2011 08:47). http://nasional.vivanews.com/news/read/ 287774-kebijakan-dirjen-dikti-dinilaidadakan Soenarto. (2005) : Metodologi Penelitian Pengembangan untuk Peningkatan Kualitas Pembelajaran (makalah). Disajikan pada Pelatihan Nasional Penelitian Peningkatan Kualitas Pembelajaran dan Penelitian Tindakan Kelas (PPKP dan PTK) bagi dosen LPTK. Denpasar dan Batam.

217

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN PEMBERIAN CONSTRUCTIVE FEEDBACK UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR RASIONAL SISWA SMA Rahmi Zulva1,Dadi Rusdiana2, Ida Kaniawati2 1

Staff Pengajar Prodi Pendidikan Fisika STKIP PGRI Sumatera Barat 2 Staf Pengajar Sekolah Pascasarjana UPI Bandung Email: [email protected] ABSTRACT

This studyaims to describethe increaserational thinkingskillsof high school studentsinthe cityof Padang, precisely inPadang, West SumatraAdabiahschoolinclassXas aresult ofthe application ofcooperative learningby givingconstructivefeedback.The data was collectedusingthe initialtestandthe final testtosee increasedrational thinkingskillsof students, then theobservation sheettosee thefeasibilitystudy.The results showthat thecooperative learningby givingconstructivefeedbackcan improverational thinkingskillsof studentscompared withcooperative learningwithoutgivingconstructivefeedback.Rational thinkingskills ofstudentslies inthe N-Gain score of0.37, was included in themedium category. Rationalthinking skillsthatstudentsare generallytrainedin the medium category. Keyword : Cooperative Learning, constructive feedback, Rational thinking skills 1. PENDAHULUAN Pembelajaran fisika memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan sains dan teknologi yang dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan.Kondisi ini menuntut pembelajaran fisika dengan kualitas yang baik agar dapat mengikuti perkembangan sains dan teknologi di masyarakat.Namun sampai saat ini fisika belum diajarkan dengan tepat.Hal ini terjadi kemungkinan oleh beberapa faktor. Gok dan Silay (2008) menemukan bahwa hasil belajar sains lebih rendah dari bidang lain, karena sains dianggap sebagai mata pelajaran yang sukar dipahami oleh sebagian besar siswa sehingga siswa kurang berminat belajar sains. Sejalan dengan hal tersebut, Liliasari (2009) menyatakan juga bahwa “banyak siswa kurang menyukai belajar IPA karena dianggap sukar dan tidak menarik.” Pembelajaran sains bukan hanya sekedar menguasai sekumpulan pengetahuan yang berupa fakta, konsep, prinsip atau teori saja. Belajar akan lebih bermakna jika peserta didik mengalami apa yang mereka pelajari. Oleh karena itu pendidik telah berjuang dengan segala cara mencoba untuk membuat apa yang dipelajari siswa di sekolah agar dapat dipergunakan dalam kehidupan mereka seharihari. Menurut Trianto (2007) “proses pembelajaran hingga dewasa ini masih didominasi guru dan tidak memberikan akses bagi anak didik untuk berkembang secara

mandiri melalui penemuan dan proses berpikirnya”. Proses pembelajaran dikelas diarahkan pada kemampuan anak untuk menghafal informasi. Otak anak dipaksa untuk mengingat berbagai konsep dan rumus tanpa dituntut untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari, sehingga siswa sulit untuk memahami konsep dan hasil belajar siswa rendah. Faktor lain yang menyebabkan hasil belajar fisika siswa rendah juga disebabkan kurangnya keterampilan berpikir rasional siswa dalam menjawab soal. Keterampilan berpikir rasional perlu dikembangkan dalam proses pembelajaran, agar siswa dapat membuat kesimpulan yang tepat dan rasional. Menurut Suparno (2001), berkembangnya reasoning dan logika siswa terjadi pada tahap pemikiran formal, keterampilan berpikir tersebut digunakan dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi. Secara rasional siswa dapat menganalisis apa-apa yang diamati dan diselesaikan secara benar.Sering ditemukan proses pembelajaran di sekolah yang melibatkan siswa berdiskusi dengan teman kelompoknya. Tetapi strategi ini tidak terlalu efektif karena hanya segelintir siswa saja yang mampu berpartisipasi dengan baik menyalurkan idenya, siswa yang lain hanya menonton saja. Salah satu model pembelajaran yang dapat membantu memfasilitasi dan 218

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

memudahkan siswa berinteraksi dalam kelas dan mengembangkan keterampilan berpikir rasional dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif. Dalam proses pembelajaran kooperatif, guru bukan lagi berperan sebagai narasumber dalam pembelajaran, melainkan dapat juga berperan sebagai moderator, stabilisator dan manejer pembelajaran. Iklim belajar yang berlangsung dalam suasana keterbukaan dan demokratis akan memberikan kesempatan yang optimal bagi siswa untuk memperoleh informasi yang lebih banyak mengenai materi yang dibelajarkan sekaligus melatih sikap dan keterampilan sosialnya sebagai bekal dalam kehidupannya dimasyarakat (Slavin 1995). Keterampilan berpikir rasional siswa dapat lebih dioptimalkan dengan pemberian feedback. Feddback adalah memberitahu siswa mengenai hasil kerja dalam suatu tugas atau tes yang mereka kerjakan.Feedback ini memiliki beberapa fungsi diantaranya untuk membangun (constructive).Constructive feedback membantu meningkatkan motivasi siswa dalam belajar dan memberikan informasi-informasi yang akanmemberikan informasi untuk perbaikan atau kemajuan terhadap siswa.Constructive feedback yang diberikan pada model pembelajaran kooperatif terletak pada fase-fase tertentu. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait dengan model pembelajaran kooperatif dengan pemberian constructive feedback. 2. METODE Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode quasi eksperiment untuk mengetahui perbandingan keterampilan berpikir rasional antara siswa yang mendapatkan pembelajaran kooperatif dengan pemberian constructive feedback dan siswa yang mendapatkan pembelajaran kooperatif tanpa pemberian constructive feedback. Desain penelitian yang digunakan adalah the randomized pretest-posttest control group design. Penentuan kelas kontrol dan eksperimen dilakukan secara acak. Selanjutnya dilakukan tes awal terhadap kedua kelompok, setelah itu kedua kelompok diberi perlakuan yang berbeda dan diakhiri pemberian tes akhir dengan perangkat yang sama. Instrumen yang digunakan yaitu: (1) tes keterampilan berpikir rasional berbentuk soal essay, dan (2) lembar observasi untuk melihat keterlaksanaan proses pembelajaran yang sedang berlangsung.

Untuk melihat tingkat signifikansi perbedaan dua rata-rata antara nilai pretest dan posttest dilihat dari analisis gain kedua kelas. Jika nilai N-gain kedua kelas berbeda kategori, maka tidak dilakukan uji hipotesis. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini dideskripsikan hasil-hasil penelitian pembelajaran kooperatif dengan pemberian constructive feedback terhadap keterampilan berpikir rasional dan keterlaksanaan model pembelajaran kooperatif dengan pemberian constructive feedback. Pengujian efektivitas pembelajaran kooperatif untuk melihat keterampilan berpikir rasional listrik dinamis dilakukan dengan membandingkan nilai rata-rata gain yang dinormalisasi antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hasil tes awal, tes akhir dan keterampilan berpikir rasional kelas eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada Tabel 1. Tabel 1.Skor Tes Awal, Tes Akhir dan N-Gain Keterampilan Berpikir Rasional Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Keterampilan Berpikir Rasional Skor RataRata % Skor RataRata Simpangan Baku

Kelas Eksperimen Kelas Kontrol T.A T.Akhi T.Awa T.Akhi wal r l r 1,16 3,77 0,38 1,25 1,06 -0,05 14,5 47,2

38,0

15,6

13,2

-5

1,32 0,96

0,16

1,44

0,83

0,21

Berdasarkan Tabel 1 skor rata-rata tes awal siswa kelas eksperimen 14,5% dari skor ideal, sedangkan skor rata-rata tes awal siswa kelas kontrol 15,6% dari skor ideal. Hal ini menunjukkan bahwa perolehan skor rata-rata tes awal siswa kedua sampel tidak jauh berbeda. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa secara umum kemampuan awal siswa pada kedua kelas sebelum proses pembelajaran tidak jauh berbeda. Selanjutnya berdasarkan perolehan data skor rata-rata tes akhir untuk kelas eksperimen sebesar 47,2 % dari skor ideal, sementara perolehan skor rata-rata tes akhir kelas kontrol 13,2 % dari skor ideal. Perolehan untuk kelas eksperimen 38 % termasuk kategori sedang dan kelas kontrol -5% termasuk kategori rendah. Dari hasil perhitungan nilai rata-rata gain terdapat perbedaan rata-rata antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kesimpulan 219

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

yang dapat diperoleh dari hasil perhitungan ini adalah penggunaan pembelajaran di kelas eksperimen menggunakan pembelajaran kooperatif dengan pemberian constructive feedback lebih baik dalam meningkatkan keterampilan berpikir rasional dibandingkan pada kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran kooperatif tanpa pemberian constructive feedback. Persentase pencapaian skor rata-rata keterampilan berpikir rasional tes awal, tes akhir, dan N-gain () antara kelas eksperimen dan kelas kontrol diberikan pada gambar 1. 50

%Skor Rata-Rata

40

47.2 Eksperimen

38

kontrol

30 20

14.515.6

13.2

10 0 -5 -10

Pre

Post

N-Gain

% Skor Rata-Rata

Gambar 1. Perbandingan persentasi skor ratarataketerampilan berpikir rasional tes awal, tes akhir dan pada kedua kelas. Aspek berpikir rasional dalam penelitian ini terdiri dari 3 kecakapan yaitu membandingkan, mengeneralisasikan dan menganalisis.Perbandingan untuk setiap kecakapan ditunjukkan oleh diagram batang pada Gambar 2. 80 60 40 20 0 -20

50

53 1.5

-6

57 14 Eksperimen Kontrol

Gambar 2. Grafik perbandingan rata-rata untuk tiapaspek keterampilan berpikir rasional. Berdasarkan Gambar 2, perolehan rata-rata gain yang dinormalisasi untuk setiap aspek keterampilan berpikir rasional pada kelas eksperimen menggunakan pembelajaran kooperatif denganpemberian constructive feedback lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran

kooperatif tanpa pemberian constructive feedback. Perolehan N-gain pada kelas eksperimen tertinggi pada indikator menganalisis sebesar 57%, sedangkan yang terendah terdapat pada indikator membandingkan sebesar 50%. Perbedaan setiap indikator pada keterampilan berpikir rasional tidak terlalu jauh. Hal ini dikarenakan pada proses pembelajaran kooperatif dengan pemberian constructive feedbacksiswa diberi pertanyaan-pertanyaan yang menuntut siswa untuk menjawab secara rasional. Didukung dengan adanya praktikum mengenai konsep tersebut, sehingga siswa benar-benar melihat fenomena yang terjadi dan menghubungkannya dengan teori.Disamping itu sesuai dengan pendapat Hattie & Timperley (2007) bahwa feedback dapat mengurangi kesenjangan pemahaman siswa.Dilihat dari hasil posttest siswa, ternyata constructive feedback sangat cocok untuk melatihkan keterampilan berpikir rasional siswa. Guru memberikan pertanyaan kepada siswa dan mendengarkan respon dari siswa, kemudian guru menggali lagi pemahaman siswa dengan pemberian constructive feedback sehingga aktifitas berpikir siswa dapat berkembang dengan baik. Disamping itu, guru juga memberikan constructive feedback kepada siswa dalam menjawab soal. Sementara pada kelas kontrol nilai Ngain tertinggi diperoleh pada indikator menganalisis sebesar 13,89 %, sedangkan peningkatan terendah terdapat pada indikator membandingkan sebesar -5 %. Rendahnya keterampilan berpikir rasional siswa pada kelas kontrol ini juga disebabkan guru tidak menggali lebih dalam mengenai materi yang diajarkan kepada siswa.Akibatnya kurang terasahnya ketrampilan berpikir rasional siswa.Nilai N-gain pada indikator membandingkan tersebut negatif karena hasil posttes dari siswa sangat rendah. Ini mungkin terjadi kurangnya aktivitas diskusi siswa dalam kelompok dan pada saat praktikum, indikator membandingkan kurang menonjol dibandingkan dengan indikator yang lain. Disamping itu keterampilan berpikir rasional pada kelas kontrol tidak berkembang disebabkan tidak ada latihan-latihan soal yang begitu spesifik seperti yang dilakukan pada kelas eksperimen. Aktivitas siswa pada kelas kontrol ini juga kurang baik, siswa susah untuk menyesuaikan kondisi pembelajaran yang baik, siswa tidak serius dalam belajar. Hal ini disebabkan jam pelajaran fisika terpisah dengan 220

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

jam istirahat, sehingga aktivitas belajar siswa terganggu dan jalannya pembelajaran khususnya pada saat proses praktikum dan diskusi kelompok terganggu. Selain tidak diberi constructive feedback, pada kelas kontrol ini proses pembelajaran kooperatif kurang terlaksana dengan baik. 4. PENUTUP Berdasarkan data dan analisis hasil penelitian yang telah dilakukan tentang penerapan pembelajaran kooperatif dengan pemberian constructive feedback untuk meningkatkan keterampilan berpikir rasional siswa pada materi listrik dinamis dapat disimpulkan bahwa: Peningkatan keterampilan berpikir rasional siswa menggunakan pembelajaran kooperatif dengan pemberian constructive feedback termasuk dalam kategori sedang. Peningkatan keterampilan berpikir rasional siswa pada pembelajaran kooperatif dengan pemberian constructive feedback lebih tinggi dibandingkan dengan pembelajaran kooperatif tanpa pemberian constructive feedback.

5. DAFTAR PUSTAKA GOK, T dan Silay, I. (2008).Effcts of Problem Solving Strategies Teaching on The Problem Solving Attitudes of Cooperative Learning Group in Physics Education. Journal of Theory and Practice in education. 4 (2):253-266 Hattie J. & Timperley H. (2007).“The Power of Feedback” Review of Educational Research. 77, 81-112 Lie, Anita. (2007). Cooperative Learning (Mempraktikan Cooperatif Learning di Ruang-Ruang Kelas) .Jakarta: Grasindo. Liliasari.(2009). Tantangan Pembelajaran Sains di Abad ke- 21 dan Kiat-Kiat Penanggulangannya.Seminar Nasional Pendidikan IPA Asosiasi Guru Sains Indonesia (AGSI) ke-V, Bandung Nicol, D & Draper, S. (2008). Redesigning Written Feedbackto Student When Class Size are Large. Prepare Presented at The Improving University Teachers Conference, July, Glasgow. Silberman, Mel. (2002). AktifLearning, 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Yappendis: Yogyakarta. Slavin, R.E. (1995). CooperativeLearning. Boston: Allyn and Bacon. Trianto.(2007). Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka

221

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

PENGEMBANGAN LKS FISIKA BERBAHASA INGGRIS BERBASIS KONSTRUKTIVIS PADA MATERI HUKUM NEWTON Silvi Yulia Sari1, Hamdi2, dan Festiyed2 1

2

Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Padang, Padang Program Studi Pendidikan Fisika PPs Universitas Negeri Padang [email protected] ABSTRACT

The background of this research is unavailability of the learning materials which are appropriate with the characteristics of students and can create the effective, interactive, and enjoyable learning process. Moreover, the available learning materials have not been able to motivate students to be more active and to build their own knowledge. The research is aimed to develop the valid and practical student worksheet which is made by using constructivist learning. The type of this research is development research by using 4-D models which consists of 4 steps. There are define, design, develop, and disseminate. The define stage consists of analyzing of curriculum, students, and concept. Then, the learning material as student worksheet was designed at design stage. After that, in the development stage was done validity and practicality test. The data of this research was collected by using validation instruments, questionnaire of students and teacher. The result of validity test shows that the student worksheet is very valid with the average value 97.3%. The result of practicality test is very practical with the average value from the teacher is 95% for student worksheet and 90.1% for average value of students‟ questionnaire. Thereby, the research produces the valid and practical student worksheet by using constructivist learning. Keywords: Constructivist learning, physics learning material, practicality, student worksheet, validity

1. PENDAHULUAN Era globalisasi menuntut tersedianya diperlukan sumber daya manusia yang unggul dan mampu berkompetisi secara sehat. Mereka diharapkan mampu mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya secara profesional, serta mampu berkomunikasi dengan bangsa lain di dunia. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, salah satunya adalah dengan meningkatkan kualitas lulusan pendidikan. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas lulusan pendidikan, seperti medukung ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, serta meningkatkan mutu tenaga pendidik. Tenaga pendidik berperan penting dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran. Untuk mendapatkan suatu kegiatan pembelajaran yang optimal diperlukan perencanaan pembelajaran yang tepat. Oleh karena itu, setiap satuan pendidikan hendaknya dapat mengembangkan perangkat pembelajaran sesuai dengan karakteristik peserta didiknya. Pembelajaran merupakan proses pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan

sikap peserta didik saat mereka berinteraksi dengan informasi dan lingkungan disekitarnya. Guru harus dapat menciptakan suasana pembelajaran yang baik sehingga peserta didik dapat menguasai pelajaran secara optimal dengan hasil yang maksimal. Tugas guru yang paling utama dalam suatu kegiatan pembelajaran adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku peserta didik ke arah yang lebih baik. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, salah satu standar yang harus dikembangkan adalah standar proses. Standar proses berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Permendiknas No. 41 tahun 2007, menyatakan bahwa standar proses meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran agar terlaksana proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Perencanaan proses pembelajaran merupakan kegiatan persiapan pelaksanaan pembelajaran. Kegiatan ini diwujudkan dengan 222

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

merancang perangkat pembelajaran yang akan menjadi panduan pelaksanaan pembelajaran oleh guru. Perencanaan ini meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Penyusunan silabus dilakukan dengan berpedoman kepada beberapa prinsip, seperti prinsip ilmiah, relevan, sistematis, konsisten, memadai, aktual, dan kontekstual, fleksibel, dan menyeluruh. Selanjutnya, RPP dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan belajar peserta didik. Hal ini bertujuan agar pembelajaran dapat berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik (Permendiknas No. 41 tahun 2007). Proses pembelajaran dilaksanakan dengan berpedoman kepada perencanaan yang telah disusun. Peranan guru pada kegiatan ini adalah sebagai fasilitator dan motivator bagi siswa. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran dapat dibantu dengan menggunakan bahan ajar, salah satunya adalah LKS. Pada Permendiknas No. 41 tahun 2007 dijelaskan bahwa LKS adalah lembaranlembaran berisi tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik. LKS biasanya berupa petunjuk atau langkah-langkah untuk menyelesaikan tugas. Struktur LKS secara umum terdiri dari judul, mata pelajaran, semester, tempat, petunjuk belajar, kompetensi yang akan dicapai, indikator, informasi pendukung, tugas-tugas dan langkah kerja, serta penilaian. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di sekolah, ketersediaan sumber belajar fisika cukup banyak, baik buku-buku yang berbahasa Inggris maupun buku-buku berbahasa Indonesia dan LKS yg dibeli sekolah dari penerbit. Akan tetapi, penggunaan buku-buku dan LKS tersebut kurang maksimal karena peserta didik kurang termotivasi untuk memanfaatkannya. LKS yang tersedia disekolah kurang sesuai dengan kegiatan pembelajaran yang dirancang oleh setiap guru dalam RPP. Selain itu, mereka cenderung pasif dalam kegiatan pembelajaran karena merasa bahwa materi yang dipelajari cukup sulit. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan pengembangan bahan ajar yang dapat membantu siswa dalam memahami konsep-konsep Fisika, analisis matematika dan dapat meningkatkan minat siswa terhadap

pembelajaran Fisika. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengembangkan bahan ajar Fisika adalah pendekatankonstruktivis. Pembelajaran konstruktivis merupakan suatu kegiatan pembelajaran dimana peserta didik harus menemukan dan mentransformasikan informasi, memeriksa informasi dengan landasan yang tersedia, dan merevisinya bila perlu (Rusman: 2011). Pembelajaran ini menekankan kepada peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan mereka sendiri dan menuntut pengelolaan kemampuan berpikir mereka untuk menemukan konsep. Kegiatan ini akan membantu peserta didik untuk meningkatkan kreativitas dan keaktifannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Sanjaya (2006: 14-15) bahwa, pendidik sebagai pengelola pendidikan berperan penting dalam menciptakan dan mengoptimalkan pembelajaran dengan metode dan pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan aktivitas, berpikir kritis dan kreativitas peserta didik dalam suasana yang menyenangkan. Menurut Chen (2003), paham konstruktivis memandang belajar sebagai suatu proses pembentukan pengetahuan dengan pengembangan konsep dan pemahaman yang luas sebagai tujuannya. Tujuan pembelajaran konstruktivis ditentukan dari bagaimana belajar, yaitu menciptakan pemahaman yang menuntut aktivitas kreatif produktif yang mendorong siswa untuk berpikir dan mendemonstrasikannya. Driver dalam Fraser dan Wilberg (1999), ada lima fase atau tahapan dalam prosedur pembelajaran konstruktivisme, yaitu orientasi, penggalian ide, restrukturisasi ide, aplikasi ide, dan review perubahan ide (Indrawati: 2007). Orientasi dan penggalian ide merupakan proses untuk memotivasi siswa dalam mengawali proses pembelajaran. Selanjutnya, restrukturisasi ide meliputi beberapa tahap, yaitu klarifikasi terhadap ide, merombak ide dengan melakukan konflik terhadap situasi yang berlawanan, dan mengkonstruksi serta mengevaluasi ide yang baru. Aplikasi ide merupakan kegiatan menerapkan ide yang telah dipelajari. Kemudian, tahapan terakhir adalah review perubahan ide, yaitu mengadakan tinjauan terhadap perubahan ide tersebut. Berdasarkan keutamaan pembelajaran konstruktivis, perlu dikembangkan perencanaan pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivis. Perencanaan yang dilakukan adalah dengan mengembangkan perangkat 223

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

pembelajaran menggunakan pendekatan konstruktivis untuk pembelajaran Fisika. Dalam penelitian ini, dikembangkan bahan ajarberupa LKS fisika berbahasa Inggris dengan berorientasi pembelajaran konstruktivis. Lembar kerja siswa (LKS) adalah salahsatu bentuk bahan ajar cetak. Struktur LKS secara umum terdiri dari judul, mata pelajaran, semester, tempat, petunjuk belajar, kompetensi yang akan dicapai, indikator, informasi pendukung, tugas dan langkah kerja, serta penilaian. Keuntungan adanya LKS bagi guru adalah memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran. Melalui LKS berbasis konstruktivis ini, peserta didik dibantu dalam mengkonstruksi pengetahuannya menuju fakta konsep yang sesuai dengan kebutuhannya. Dengan demikian, siswa dilatih untuk berpikir kritis dan teliti, serta mampu bertanggung jawab dalam aktivitas kelompok. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan LKS fisika berbahasa Inggris berbasis konstruktivis yang valid dan praktis. Dengan demikian, peserta didik diharapkan dapat memiliki pengalaman belajar yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi mereka untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran.

2. METODE Berdasarkan langkah penelitian yang akan dilakukan, jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan. Penelitian pengembangan merupakan suatu jenis penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan dan menghasilkan suatu produk berupa materi, media, alat atau strategi pembelajaran yang digunakan untuk menguji suatu teori (Soenarto: 2005). Model pengembangan LKS Fisika berbahasa Inggris berbasis konstruktivis ini, menggunakan model 4D (four D models) yang dimodifikasi dari Thiagarajan (1974). Proses pengembangan LKS ini terdiri dari 4 tahapan yaitu tahapan pendefenisian (define), perancangan (design), pengembangan (develop), dan penyebaran (disseminate) (Trianto: 2011). Penelitian ini hanya dilakukan sampai tahap ketiga. Sementara itu, tahap diseminasi dilakukan pada penelitian selanjutnya dalam ruang lingkup yang lebih besar. Pada tahap pendefinisian dilakukan analisis terhadap kurikulum, konsep, dan

peserta didik. Analisis kurikulum dilakukan untuk melihat tuntutan kompetensi yang tertuang dalam SK dan KD. Analisis konsep bertujuan untuk menentukan isi dan materi pelajaran yang dibutuhkan dalam pengembangan perangkat pembelajaran. Analisis peserta didik bertujuan untuk melakukan telaah terhadap karakteristik peserta didik. Hasil analisis pada tahap pendefinisian menjadi landasann untuk merancang LKS yang akan dikembangkan. Tahapan berikutnya adalah tahap perancangan dengan melakukan perancangan bahan ajar. Pada tahap ini dilakukan perancangan terhadap LKS berbahasa Inggris. LKS dirancang sesuai dengan format yang dijelaskan dalam Permendiknas Nomor 41 tahun 2007. LKS dirancang dengan berorientasi pada pembelajaran konstruktivis yang terdiri dari fase orientasi, penggalian ide, restrukturisasi ide dan aplikasi ide, serta review perubahan ide. Orientasi dan penggalian ide merupakan proses untuk memotivasi siswa dalam mengawali proses pembelajaran. Selanjutnya, restrukturisasi ide meliputi beberapa tahap, yaitu klarifikasi terhadap ide, merombak ide dengan melakukan konflik terhadap situasi yang berlawanan, dan mengkonstruksi serta mengevaluasi ide yang baru. Aplikasi ide merupakan kegiatan menerapkan ide yang telah dipelajari. Kemudian, tahapan terakhir adalah review perubahan ide, yaitu mengadakan tinjauan terhadap perubahan ide tersebut. Pada tahap pengembangan, LKS yang telah dirancang divalidasi oleh para pakar dan praktisi menggunakan lembar validasi yang telah dirancang. Hasil validasi dianalisis terlebih dahulu untuk mengetahui apakah LKS yang dirancang telah valid atau belum. LKS yang belum valid akan direvisi berdasarkan saran dan hasil penilaian dari pakar dan praktisi. Setelah dinyatakan valid, dilakukan uji coba terhadap LKS untuk mengetahui praktikalitasnya. Instrumen yang digunakan untuk uji coba praktikalitas adalah angket praktikalitas yang diisi oleh guru dan peserta didik. Uji coba produk dilakukan pada siswa kelas X SMAN 10 Padang tahun pelajaran 2011/2012. Hasil uji validitas dan praktikalitas pada penelitian ini diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut:

V

224

X 100% Y

(1)

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

(dimodifikasi dari Riduwan, 2007:23). Kategori validitas dan praktikalitas LKS berdasarkan nilai validitas dan praktikalitas yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kategori Validitas dan Praktikalitas LKS Interval Kategori 0 – 20 Tidak valid/praktis 21 – 40 Kurang valid/praktis 41 – 60 Cukup valid/praktis 61 – 80 Valid/praktis 81 – 100 Sangat valid/praktis (Dimodifikasi dari Riduwan, 2007:23)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil tahap pendefinisian, diperoleh standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator yang akan dikembangkan, serta karakteristik peserta didik. Standar kompetensi yang dituntut terhadap peserta didik adalah menerapkan konsep dan prinsip dasar kinematika dan dinamika benda titik. Selanjutnya, kompetensi dasarnya adalah menerapkan hukum Newton sebagai prinsip dasar dinamika untuk gerak lurus, gerak vertikal, dan gerak melingkar beraturan. Hasil analisis standar kompetensi dan kompetensi dasar dipakai untuk merumuskan indikator pencapaian pembelajaran. Indikator yang dirumuskan terdiri dari sembilan indikator, yaitu: (1) mengidentifikasi jenis-jenis gaya yang berkaitan dengan gerak benda (gaya berat, gaya normal, gaya gesekan, gaya tegangan tali, dan gaya sentripetal), (2) memecahkan persoalan fisika yang berkaitan dengan gaya berat, gaya normal, gaya gesekan, gaya tegangan tali, dan gaya sentripetal, (3) menyelidiki hukum I Newton, (4) menyelidiki hubungan antara gaya, massa, dan percepatan pada hukum II Newton, (5) menyelidiki hubungan antara gaya aksi dan reaksi pada hukum III Newton, (6) mendeskripsikan masing-masing hukum Newton tentang gerak, (7) menerapkan hukum Newton untuk gerak benda pada bidang datar atau bidang miring, (8) menerapkan hukum Newton pada gerak vertikal, dan (9) menerapkan hukum Newton pada gerak melingkar beraturan. Hasil dari analisis kurikulum merupakan dasar untuk menentukan konsep-konsep penting pada materi hukum Newton. Adapun konsep-konsep penting hukum Newton dibagi menjadi tiga bagian, yaitu hukum I Newton, hukum II Newton, dan hukum III Newton.

Selanjutnya, dilakukan analisis peserta didik. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, peserta didik memiliki kemampuan kognitif yang baik dan memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Akan tetapi, dalam kegiatan pembelajaran mereka cenderung menerima informasi yang diberikan guru sehingga keaktifannya di kelas masih kurang dan siswa mudah lupa dengan materi yang telah dipelajari sebelumnya. Berdasarkan analisis yang dilakukan pada tahap pendefinisian, pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pengembangan LKS adalah pembelajaran konstruktivis. Dengan penggunaan LKS yang dikembangkan dengan berorientasi pada pembelajaran konstruktivis, peserta didik dimotivasi untuk membangun pengetahuannya sendiri. Selain itu, peserta didik juga dituntut untuk berpartisipasi aktif dalam segala kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, diharapkan peserta didik dapat memahami materi yang dipelajarinya dengan baik. Setelah analisis kurikulum, konsep dan analisis siswa, maka dilakukan perancangan LKS berbasis konstruktivis untuk materi Hukum Newton. Pada LKS yang dirancang tergambar fase-fase yang terdapat dalam pembelajaran konstruktivis meliputi fase orientasi, penggalian ide, restrukturisasi ide dan aplikasi ide, serta review perubahan ide. Adapun contoh LKS yang dirancang dapat diamati pada Gambar 1.

225

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Gambar 1. Halaman Cover dan Petunjuk Penggunaan LKS

Gambar 2. Isi LKS Berbasis Konstruktivis Berdasarkan Gambar 1 dan Gambar 2 dapat diamati bahwa LKS dilengkapi dengan petunjuk tentang masing-masing fase pembelajaran konstruktivis yang terdapat pada LKS. Dengan demikian, siswa dapat memahami tujuan dari setiap langkah yang terdapat dalam LKS. Selanjutnya dilakukan validasi terhadap LKS yang telah dibuat. Berdasarkan hasil validasi, dilakukan analisis untuk melihat

kekurangan dari LKS yang telah dirancang. Kemudian dilakukan revisi terhadap LKS tersebut berdasarkan saran dari validator. Berdasarkan hasil validasi diperoleh nilai 97,3 % yang menunjukkan bahwa LKS yang dikembangkan telah dinyatakan valid oleh para pakar dan praktisi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa LKS berbasis konstruktivis untuk materi Hukum Newton yang dikembangkan dapat digunakan dalam 226

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

menciptakan kegiatan pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif. Selanjutnya dilakukan uji praktikalitas terhadap LKS. Uji praktikalitas dilakukan dengan menggunakan angket respon guru dan peserta didik. Berdasarkan hasil analisis terhadap angket respon guru diperoleh nilai praktikalitas sebesar 95 % dengan kategori sangat praktis. Sementara untuk hasil analisis angket respon peserta didik terhadap LKS yang dikembangkan disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Hasil Praktikalitas LKS oleh Peserta Didik

Respon Siswa LKS I LKS 2 LKS 3

Nilai Rata-Rata 86,3 % 90,5 % 93,4 %

Hasil uji praktikalitas menunjukkan bahwa LKS yang dikembangkan praktis dan mudah digunakan. Berdasarkan hasil tanggapan guru dan pendapat peserta didik didapatkan bahwa LKS berbahasa Inggris berbasis konstruktivis praktis digunakan dan dapat meningkatkan aktivitas dan motivasi belajar peserta didik. Hal ini sesuai dengan pengertian praktikalitas yang terdapat dalam KBBI, yaitu bersifat praktis dan mudah memakainya. Selain itu, kegiatan pembelajaran yang dilakukan dapat menarik minat peserta didik untuk belajar, sehingga tercipta pembelajaran yang interaktif, menantang, dan menyenangkan (Mulyasa: 2007).

4. PENUTUP Berdasarkan pengembangan dan uji coba yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa hasil validasi dari para validator menunjukkan LKS fisika yang dikembangkan dengan berorientasi pembelajaran konstruktivis pada materi hukum Newton sudah valid. Selanjutnya, hasil analisis terhadap angket respon dari guru dan peserta didik menunjukkan bahwa LKS fisika berbahasa Inggris berbasis konstruktivis pada materi hukum Newton praktis untuk digunakan. LKS ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan ajar dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran, sehingga membuat siswa berpartisipasi aktif dan mampu berpikir kritis.

Berdasarkan hasil penelitian, disarankan pada guru untuk mengembangkan LKS fisika berbahasa Inggris berbasis konstruktivis pada materi dan konsep lainnya karena dapat membantu terciptanya pembelajaran yang interaktif, menantang, menyenangkan dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran.

5. UCAPAN TERIMA KASIH Penulisan dan penyelesaian makalah ini, tidak terlepas dari bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada Bapak Dr. Hamdi, M.Si. dan Ibu Prof. Dr. Festiyed, M.S. yang telah meluangkan waktu dalam membimbing, memberi bantuan, arahan serta motivasi kepada penulis hingga selesainya pelaksanaan penelitian dan penulisan makalah ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. H. Usmeldi, M.Pd., Bapak Dr. Darmansyah, M.Pd., dan Bapak Prof. Dr. H. Mukhaiyar, selaku validator yang telah memberikan masukan, saran, dan arahan dalam pengembangan LKS ini, serta Ibu Dra. Sylvia dan Ibu Nita Andra M.Pd, sebagai validator dan teman sejawat yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan saran dan masukan kepada penulis dalam membuat dalam melaksanakan penelitian. Selanjutnya, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kepala SMAN 10 Padang beserta Bapak dan Ibu Guru SMAN 10 Padang yang telah memberikan dukungan saat penulis melaksanakan penelitian dengan penuh ketulusan.

6. DAFTAR PUSTAKA BSNP. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : Badan Standar Nasional Pendidikan. Chen, C. (2003). A Constructivist Approach to Teaching: Implications in Teaching Computer Networking. Information Technology, Learning, and Performance, (Online), Vol.21, No. 2, (http://www.osra.org, diakses 14 September 2011). Indrawati, S. (2007). Peningkatan Kemampuan Bernalar Siswa Didik Melalui Pembelajaran Konstruktivisme. Jurnal Pembangunan Manusia Edisi 5,

227

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

(http://www.balitbangdasumsel.net, diakses 26 September 2011). Mulyasa. (2007). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Bandung: Remaja Rosda Karya. Riduwan dan Sunarto. (2007). Pengantar Statistika untuk Penelitian : Pendidikan, Sosial, Komunikasi, Ekonomi, dan Bisnis. Bandung: Alfabeta Rusman. (2011). Model-model Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sanjaya, W. (2006). Strategi Pembelajaran. Jakarta : Prenada Media Group. Soenarto. (2005). Metodologi Penelitian Pengembangan untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran (Research Method The Improvement of Instruction Methodology). Makalah 1-4 Agustus di Denpasar. PPTK dan KPT Depdiknas. Trianto. (2011). Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara.

228

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN FISIKA MELALUI MODEL PROBLEM BASED INSTRUCTION (PBI) DISERTAI PENGGUNAAN LKS KONTEKTUAL PADA KELAS XI IPA- 4 SMAN 7 PADANG Sri Indrawati Prihatin Ningsih Guru Fisika SMAN 7 Padang [email protected] ABSTRAK Tujuan penelitian ini secara khusus adalah meningkatkan aktivitas dan hasil belajar fisika siswa kelas XI IPA 4 SMAN. 7 Padang, melalui model Problem Based Instruction. Penelitian yang dilaksanakan menggunakan model siklus, pelaksanaan penelitian terdiri dari dua siklus, yaitu siklus pertama dan siklus kedua. Instrumen pengumpul data yang digunakan selama penelitian adalah lembaran observasi dan tes hasil belajar. Data aktivitas diolah menggunakan teknik persentase dan analisis secara grafik, sedangkan hasil belajar diolah menggunakan statistik deskriptif Berdasarkan hasil analisa data yang diperoleh dari hasil siklus pertama dan siklus kedua diperoleh bahwa penggunaan model Problem Based Instruction telah dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa. Begitu juga untuk hasil belajar siswa dapat dilihat dari hasil tes akhir yang diadakan setiap akhir siklus, pada siklus 1 nilai rata-rata kelas yaitu 71,25 sedangkan pada siklus 2 meningkat menjadi 72.36 sehingga terjadi peningkatan sebesar 1,11. Walaupun secara klasikal ketuntasan belajar (80%) telah tercapai pada siklus 2 dari 77,8 % pada siklus 1 menjadi 80,6 % pada siklus 2. Kata Kunci : Problem Based Instruction, LKS Kontektual 1.

PENDAHULUAN Permasalahan yang mendasar dalam pembelajaran fisika saat ini adalah rendahnya hasil belajar siswa, sehingga apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataannya. Faktor penyebab rendahnya nilai fisika ini, diantaranya rendahnya aktivitas siswa dalam belajar, kurangnya gairah belajar siswa, siswa lebih cenderung menunggu apa yang dijelaskan guru dan kemudian mencatatnya, rendahnya penguasaan matematika yang mendasari dan menunjang siswa dalam pemahaman fisika. Terjadinya kasus diatas disebabkan oleh beberapa hal : Siswa yang pintar belajar sendiri sedangkan siswa yang lemah diam saja bahkan lebih suka mencontoh hasil dari teman jika diberikan tugas, siswa tidak mau bertanya atau mengemukakan pendapat, jika diberikan pertanyaan maka yang mau menjawab hanya beberapa siswa saja. Gejala seperti di atas juga ditemui dalam proses belajar mengajar fisika di kelas XI IPA4 SMAN 7 Padang seperti rendahnya kepercayaan diri siswa, siswa menerima saja apa yang diberikan guru, dll. Hal ini menyebabkan rendahnya penguasaan siswa dalam memahami materi pelajaran sehingga hasil belajarnya menjadi rendah yaitu rata-rata 54,4, sedangkan syarat KKM yang

digunakan 7,0 sehingga ketuntasan belajar fisika di kelas XI IPA 4 secara rata-rata belum tercapai. Agar dapat membuat siswa lebih aktif dalam pembelajarannya sehingga dapat mengerti dan menguasai materi yang diajarkan, bukanlah pekerjaan yang mudah tetapi menuntut keahlian dari seorang guru dalam mengelola proses pembelajarannya baik dalam menggunakan pendekatan strategi maupun metode. Makin baik metode yang digunakan makin efektif pencapaian tujuan yang dinginkan. Suatu alternative yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan model pembelajaran problem Based Instruction dengan membentuk kelompok belajar disertai pemberian LKS Kontektual, karena dengan pembelajaran ini siswa mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta fakta, memberikan interpretasi yang bersifat menyeluruh serta dapat memahaminya dalam kehidupan sehingga ketrampilan-ketrampilan itu dapat digunakan dalam masyarakat dan disamping itu siswa dituntut berpartisipasi secara aktif, belajar dengan inisiatif sendiri akan dapat memberikan motivasi dan arah terhadap tujuan yang ingin dicapai sehingga dapat mendorong untuk belajar seoptimal mungkin. Selanjutnya bekerja dengan tuntunan LKS kontektual merupakan suatu proses belajar 229

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

mengajar yang lebih terarah dan lebih dekat dengan keseharian mereka sehingga siswa terlibat langsung dengan permasalahan mereka dan keaktifan siswa yang diharapkan dapat tercapai. LKS kontektual ini diawali dari suatu masalah yang autentik dengan kehidupan siswa sehari hari dan dari masalah tersebut menuntun siswa untuk menemukan konsep atau materi yang dipelajarinya, sehingga pembelajaran lebih bermakna bagi siswa. Pada kegiatan ini guru dapat melihat dan menilai sejauhmana keaktifan siswa serta bagaimana siswa menanggapi permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan belajar. Kebaikan dari model pembelajaran ini yang dilakukan dalam suatu kelompok diantaranya : dapat meningkatkan kualitas kepribadian anak-anak dalam hal kerja sama, saling menghargai pendapat orang lain, toleransi, berpikir kritis, disiplin, menumbuhkan semangat persaingan yang positif dan konstruktif, menanamkan rasa persatuan dan solidaritas yang tinggi. Berdasarkan uraian di atas peneliti ingin mencoba melakukan penelitian tindakan kelas dengan judul :” Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar Fisika Siswa Dalam Ppembelajaran Fisika Melalui Problem Based Instruction (PBI) Disertai Penggunaan LKS Kontektual Pada Kelas XI IPA-4 SMAN 7 Padang”. Pembelajaran dengan menggunakan model PBI ini menuntut siswa untuk berpikir kritis dan kreatif serta aktif dalam pembelajaran, siswa harus bisa mengamati, mengumpulkan dan berani mempresentasekan hasil dari kegiatan yang dilakukan baik percobaan maupun hasil diskusi kelompok. Selanjutnya menurut Muslimin (2000 : 5) ciri-ciri dari pembelajaran berbasis masalah ialah : 1. Pengajuan pertanyaan atau masalah Ciri-ciri utama PBI meliputi suatu pengajuan pertanyaan atau masalah, suatu pemusatan antar disiplin, penyelidikan autentik, kerja-sama, dan menghasilkan karya dan peragaan. 2. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin Pelajaran PBI diorganisasikan di sekitar situasi kehidupan nyata autentik yang menghindari jawaban sederhana dan mengundang berbagai pemecahan yang bersaing. 3. Penyelidikan autentik Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya 4. Kerja-sama siswa

Kerjasama dalam PBI mendorong berbagai inkuiri dan dialog serta perkembangan keterampilan sosial dan berfikir Berdasarkan ciri-ciri di atas, PBI tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa, dimana PBI membantu siswa mengembangkan keterampilan berfikir dan keterampilan pemecahan masalah, sehingga siswa belajar mandiri. Siswa perlu memahami bahwa tujuan PBI adalah tidak untuk memperoleh informasi baru dalam jumlah besar, tapi untuk melakukan penyelidikan terhadap masalah-masalah yang penting untuk menjadi siswa yang mandiri. Cara yang baik menyajikan masalah dalam pengajaran dengan model PBI adalah dengan menggunakan kejadian yang mencengangkan dan menimbulkan suatu misteri, sehingga muncul rasa keingintahuan siswa untuk memecahkan masalah. Agar tercipta kondisi yang baik dan kompetisi yang sehat antar kelompok, dilakukan evaluasi atau penilaian terhadap kelompok dengan menggunakan kuis. Aktivitas belajar adalah seluruh kegiatan yang dilakukan siswa yang mencakup: memperhatikan, menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, berdiskusi, membuat laporan, memecahkan soal, menganalisa, melihat hubungan, mengambil keputusan, menaruh minat, bersemangat, dll. Sesuai dengan tuntutan kurikulum,peserta didik diharapkan aktif dalam pembelajaran, oleh sebab itu guru hendaknya memberi kesempatan belajar kepada para siswa, dimana setiap siswa memperoleh pengetahuan dan ketrampilan di dalam kondisi yang ada. Dalam pembelajaran guru diharapkan dapat bertindak sebagai pengelola/ manager kegiatan pembelajaran yang mampu mengarahkan, membimbing, dan mendorong siswa kearah tujuan pengajaran yang ditetapkan (Dimyati dan Mudjiono, 2002). Menurut Sardiman (2003:95):” Tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas. Itulah sebabnya aktivitas merupakan prinsip atau azas yang sangat penting di dalam interaksi belajar mengajar”. Adapun yang termasuk aktivitas dalam pembelajaran sesuai pendapat Nasution (1995) adalah : 1. Visual activities, yang termasuk di dalamnya membaca,memperhatikan gambar, memperhatikan demonstrasi, memperhatikan percobaan, memperhatikan pekerjaan orang lain. 2. Oral activities, seperti menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, 230

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

3. 4. 5. 6.

7.

8.

mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, interupsi, dan lain-lainnya. Listening activities, Mendengarkan uraian, percakapan, diskusi, musik, pidato. Writing activities, seperti menulis cerita, karangan, laporan, angket. Drawing activities, seperti menggambar, membuat grafik, pet, diagram. Motor activities, seperti melakukan percobaan, membuat konstruksi, model, mereparasi,bermain, berkebun, beternak. Mental activities, seperti menanggap, mengingat, memecahkan soal, menganalisa, melihat hubungan, mengambil keputusan. Emotional activities, seperti menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, gugup.

Berdasarkan aktivitas yang djelaskan diatas, maka disusun aktivitas yang akan diamati selama proses belajar mengajar, yang meliputi : 1.Kesiapan dalam menghadapi pembelajaran diantaranya : Siswa menyerahkan PR, membawa alat tulis dan buku catatan, membawa buku paket, 2. Aktivitas dalam pembelajaran yaitu : siswa yang membaca LKS, siswa yang berinteraksi dengan buku paket, siswa yang mengerjakan LKS, siswa yang mengerjakan tugas/latihan dalam LKS, siswa yagng berdiskusi dalam kelompok, siswa yang mengemukakan ide/pendapat dalam kelompok, siswa yang bertanya pada guru, siswa yang bertanya pada teman dalam kelompok.. Aktivitas negative: Siswa yang terlambat, siswa yang keluar minta izin, siswa yang mengganggu teman. Hasil Belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajar dan merupakan tolak ukur yang digunakan untuk menentukan tingkat keberhasilan siswa dalam mengetahui dan memahami suatu mata pelajaran. Hasil belajar dapat diperoleh melalui tes hasil belajar. 2. METODE Penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas yang terdiri dari 2 siklus yaitu siklus pertama dan siklus kedua, setiap siklus diadakan pertemuan 4 kali. Setiap pertemuan diadakan pengamatan terhadap aktivitas siswa dan setiap akhir siklus diadakan tes hasil belajar. Secara umum prosedur penelitian dapat dibagi atas 3 bagian yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap penyelesaian.

Sebagai Subjek penelitian tindakan kelas ini adalah siswa kelas XI IPA 4 yang berjumlah 36 orang. Laki-laki berjumlah 13 orang dan perempuan berjumlah 23 orang. Metode pengumpulan data dilakukan secara observasi langsung oleh pengamat. Pengamatan dilakukan oleh observer dan peneliti. Analisis terhadap hasil pengamatan aktivitas siswa selama kegiatan berlangsung dihitung menggunakan persentase. Persentase aktivitas pada setiap aspek yang diamati didapat dengan cara membandingkan aktivitas yang muncul terhadap keseluruhan dikalikan 100%. Untuk mengetahui persentase aktivitas siswa digunakan rumus Menurut Dimyati dan Mujiono (1994:115) : NA PA x100% NT Disini NA dan NT masing-masing menyatakan jumlah siswa yang aktif terhadap suatu indikator aktivitas dan jumlah total siswa. Persentase aktivitas rata-rata di dapat dari jumlah total persentase selama satu siklus dibagi jumlah pengamatan. Menurut Dimyati dan Mujiono (1994:115) kriteria keaktifan dapat dikelompokkan kedalam empat range berikut ini :

a. b. c. d.

1 % - 25 % 26 % - 50 % 51 % - 75 % 76 % - 100 %

Tergolong sedikit sekali Tergolong sedikit Tergolong Banyak Tergolong banyak sekali

Sedangkan untuk aktivitas negative, penilaian dilakukan berdasarkan persentase sebagai berikut:

a. b. c. d. e.

0% 1 % - 10 % 11 % - 25 % 26 % - 49 % 50 % - 100 %

Baik Cukup baik Cukup Kurang Kurang sekali

Analisa grafik digunakan untuk melihat persentase aktivitas setiap macam aktivitas dilukiskan dalam bentuk diagram batang, sedangkan hasil belajar diolah menggunakan statistik deskriptif. 3. HASIL DAN DISKUSI a. Siklus 1 Persentase aktivitas siswa tiap pertemuan dan persentase aktivitas rata-rata pada siklus 1 dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.

231

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

100 90

Pertemuan 1

80

Pertemuan 2

70

Pertemuan 3 Pertemuan 4

60 50 40 30 20 10 0 1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

Gambar 1. Persentase aktivitas siswa pada siklus 1 Pada Gambar 1. Angka 1 sampai 13 pada sumbu horizontal menyatakan aspek aktivitas yang diamati setiap pertemuan pada siklus 1. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

Gambar 2 Persentase aktivitas rata-rata siswa pada siklus 1

232

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Tes akhir siklus 1 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai Parameter Statistik dari hasil tes akhir siklus 1

pendapat, serta memberi bonus pada siswa yang dapat menjelaskan pada teman kelompoknya, lebih memberi waktu pada siswa untuk dapat berpikir dan menyebarkan pertanyaan pada siswa, menata ulang kembali anggota kelompok karena pada siklus 1 ditemukan adanya beberapa anggota yang pasif dalam 1 kelompok, mengadakan pendekatan secara personal sehingga siswa merasa nyaman dan termotivasi untuk mengemukakan pendapatnya b. Siklus 2 Persentase aktivitas pada siklus 2 dan aktivitas rata-rata untuk setiap aspek pada siklus 2 dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4.

No Parameter Nilai Ket. Statistik Parameter 1 Nilai rata-rata 71,25 Nilai rata-rata kelas 2 Minimum 40 Nilai terendah 3 Maksimum 90 Nilai tertinggi Berdasarkan kelemahan–kelemahan yang terdapat pada siklus 1 disusun kembali perencanaan untuk siklus 2 diantaranya :Memotivasi siswa untuk dapat memecahkan permasalahan secara berkelompok sehingga dapat saling membantu dan beragumentasi, Memberikan bonus pada siswa untuk dapat menjawab pertanyaan dan mengemukakan 100

Pertemuan 1

90

Pertemuan 2

80

Pertemuan 3

70

Pertemuan 4

60 50 40 30 20 10 0 1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

Gambar 3. Persentase aktivitas siswa pada siklus 2 Pada Gambar 3 Angka 1 sampai 14 pada sumbu horizontal menyatakan aspek aktivitas yang diamati setiap pertemuan pada siklus 2. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

Gambar 4 Persentase aktivitas rata-rata siswa pada siklus 2 233

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Berdasarkan Gambar 3 , maka 11 aktivitas positif mengalami kenaikan dan 3 aktivitas negative mengalami penurunan. Sedangkan pada hasil belajar terjadi persentase ketuntasan belajar secara klasikal dari 77,8 % pada siklus 1 menjadi 80,6 % pada siklus 2. Hasil belajar tes akhir siklus 2 dapat dilihat pada Tabel.2. Tabel 6. Nilai Parameter Statistik dari hasil tes akhir siklus 2

Dari Tabel 2 di dapatkan nilai rata-rata 72,36 persentase siswa yang tuntas adalah 80,6 %. Sudah mencapai ketuntasan secara klasikal walaupun belum maksimal. Untuk mengetahui apakah tindakan yang dilakukan berhasil atau tidak, peneliti membandingkan persentase ratarata aktivitas pada siklus 1 dengan siklus 2. Peningkatan aktivitas ditandai dengan meningkatkan persentase aktivitas rata-rata dari siklus 1 ke siklus 2. Disisi lain penurunan aktivitas negative ditandai dengan menurunnya persentase aktivitas yang tidak diharapkan dari siklus 1 ke siklus 2. Dari kedua kelompok data persentase aktivitas rata-rata pada siklus 1 dan siklus 2 dapat diplot dalam grafik seperti pada Gambar 5.

No

Parameter Nilai Keterangan Statistik Parameter 1 Nilai rata-rata 72,36 Nilai rata-rata kelas 2 Minimum 55 Nilai terendah 3 Maksimum 85 Nilai tertinggi 100 90

Siklus 1 Siklus 2

80 70 60 50 40 30 20 10 0 1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

Gambar 5. Perbandingan persentase aktivitas rata-rata siklus 1 dan siklus 2 Berdasarkan Gambar 5, secara umum dari siklus 1 dan siklus 2 dapat dikatakan bahwa pembelajaran model Problem Based Instruction yang disertai LKS kontektual telah dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa kelas XI IPA 4 SMAN 7 Padang. 4. KESIMPULAN Dari hasil analisis dan pembahasan yang diperoleh dapat diambil kesimpulan bahwa : a. Pembelajaran dengan pendekatan model Problem Based Instruction (PBI) dapat meningkatkan aktivitas positif dan mengurangi aktivitas negativ siswa b. Model pembelajaran yang digunakan dapat meningkatkan hasil belajar siswa dari nilai rata-rata 71,25 pada siklus 1 naik menjadi 72,36 pada siklus kedua dimana tingkat ketuntasan belajar secara klasikal sudah

tercapai pada siklus 2 yaitu 80,6 % dibandingkan siklus 1 yang persentasenya 77,8 % c. Penerapan pembelajaran model Problem Based Instruction (PBI) dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran fisika di kelas XI IPA – 4 SMAN 7 Padang. Berdasarkan dari refleksi dan pembahasan yang telah dilakukan, terlihat bahwa walaupun pembelajaran melalui penerapan pembelajaran model Problem Based Instruction (PBI) dalam pembelajaran fisika di kelas XI IPA 4 SMAN 7 Padang secara umum telah dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa, namun demikian tindakan tersebut harus tetap dipertahankan dan ditingkatkan agar tercapai tujuan yang optimal. 234

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Sebagai tindak lanjut yang mungkin dapat dilakukan adalah : a. Terus meningkatkan pendekatan pada siswa yang kurang percaya diri melalui penciptaan suasana yang harmonis dan menyenangkan. b. Terus meningkatkan keberanian siswa dalam menjawab pertanyaan dan mengemukakan pendapat dengan cara meminta kepada siswa secara bergantian untuk memberikan tanggapan atau jawaban dari persoalan yang sedang dibahas serta memberi bonus pada siswa tersebut. DAFTAR PUSTAKA Depdiknas (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta Dimyati dan Mudjiono (2002). Belajar dan Belajar. Jakarta. Rineka Cipta. Gulo. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Grasindo Iqbal hasan. 2004. Analisis Data Penelitian Dengan Statistik. Jakarta : Bumi Aksara Mulyasa. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung : Rosdakarya

Muslimin ibrahim. 2000. Pembelajaran kooperatif. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya. Nana, Sudjana. ( 1989 ). CBSA dalam PBM. Jakarta : Rineka Cipta Nurhadi, Burhan Y., Agus G. S. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang : Universitas Negeri Malang. Oemar Hamalik. 2003. Kurikulum Dan Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara Sardiman, AM 92003). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. PT. Raja Grafindo Persada Slameto. 1998. Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara Suharsimi Arikunto.1999. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara Sumadi subrata. 2004. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Wina sanjaya. 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Kencana

235

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

PENGEMBANGAN MEDIA FILM DOKUMENTER UNTUK MATERI PERUBAHAN WUJUD KELAS V SD Sri Maiyena1 1

Pendidikan Fisika, STAIN Batusangkar [email protected] ABSTRACT

This study was aimed to look at the practicality of documentary media that have developed in the object changes. This type of research is the development of research. Practicality of documentary media obtained from trial limited to the fifth grade students in SD N 08 VII Koto Talago. Research instrument was a questionnaire respondents. Rating scale questionnaire based on Likert scale. Questionnaire respondents had obtained, the results are tabulated and then determined the percentage. The results of the study showed the development of documentary media has been very practical according to the student, with the percentage of 80.6%. Keywords:documentary film media, practical, object change

1. ENDAHULUAN Pembelajaran IPA menyangkut penguasaan kumpulan pengalaman berupa fakta, konsep atau prinsip dan proses penemuan dari fakta itu sendiri. Tujuan pembelajaran IPA adalah untuk memahami konsep-konsep IPA dan keterkaitannya ditujukan untuk: a). Meningkatkan kesadaran akan kelestarian lingkungan, kebanggan nasional dan kebesaran serta kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa; b). Mengembangkan daya penalaran untuk memecahkan masalah sehari-hari; c). Mengembangkan keterampilan proses untuk memperoleh konsep-konsep IPA dan menumbuhkan nilai serta sikap ilmiah; dan d). Menerapkan konsep dan prinsip IPA untuk menghasilkan karya teknologi sederhana yang berkaitan dengan kebutuhan manusia (Sauri. 2009). Peserta didik yang berada pada sekolah dasar berada pada rentangan usia dini. Pada usia SD siswa masih berada pada tahap operasional konkret ( 7-11 tahun), pada tahap ini anak mulai berpikir logis dan menerapkan pada masalah-masalah yang konkret atau nyata (Erman. 2008). Pada tahap ini berkaitan dengan pengalaman yang bersifat konkret dan belum berpikir formal. Hal-hal yang abstrak seperti hipotesa atau proposisi verbal belum mampu ditangani. Pada usia ini seluruh aspek perkembangan kecerdasan seperti IQ, EQ dan SQ tumbuh dan berkembang sangat luar biasa. Pada umumnya tingkat perkembangan masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik) dan telah mampu memahami hubungan antara konsep secara sederhana.

Pada rentang usia anak sekolah dasar menunjukkan perilaku belajar sebagai berikut: 1). Mulai memandang dunia secara objektif, bergeser dari satu aspek situasi ke aspek lain secara reflektif dan memandang unsur-unsur secara serentak, 2). Mulai berpikir secara operasional, 3). Mempergunakan cara berpikir operasional untuk mengklasifikasikan bendabenda, 4). Membentuk dan mempergunakan keterhubungan aturan-aturan, prinsip ilmiah sederhana, dan mempergunakan hubungan sebab akibat, dan 5). Memahami konsep substansi (Jatmika, 2005). Peningkatan mutu pendidikan pada sekolah dasar tidak terlepas dari peran guru sebagai tenaga pendidik. Guru merupakan ujung tombak dalam pendidikan dasar. Guru SD merupakan orang yang paling berperan dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Guru SD diharapkan selalu menggunakan pendekatan, strategi, metode dan media pembelajaran yang tepat. Penggunaan metode, strategi dan media yang tepat akan meningkatkan minat dan motivasi siswa terhadap pembelajaran. Peningkatan motivasi belajar siswa akan menciptakan proses belajar mengajar yang baik. Proses belajar mengajar yang baik akan berdampak pada hasil belajar siswa. Pada akhirnya akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan. Namun, pelaksanaan pembelajaran di kelas dalam menggunakan model pembelajaran yang bervariatif masih sangat rendah. Guru cendrung menggunakan model konvensional pada setiap pembelajaran yang dilakukan. Akibatnya, proses pembelajaran kurang 236

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

berkualitas, tidak efisien dan kurang mempunyai daya tarik bagi siswa. Hal ini tentu akan berdampak pada hasil belajar siswa, sehingga dapat menyebabkan rendahnya mutu pendidikan. Dalam penanggulangan masalah tersebut, peran guru sangat dibutuhkan. Hal ini terutama dalam proses pembelajaran yang berlangsung di dalam kelas. Salah satu peran guru tersebut adalah penggunaan media. Guru dituntut mampu memilah media yang tepat sesuai dengan materi yang akan diajarkan. Penggunaan media tersebut diharapkan mampu membangkitkan minat dan motivasi siswa. Salah satu media yang dapat digunakan adalah media film dokumenter. Media film dokumenter merupakan media pembelajaran yang berupa film yang dibuat untuk mendokumentasikan sesuatu sesuai dengan kepentingan pembuat film dan institusinya (Pratista, 2008). Film dokumenter merupakan media yang efektif untuk menyampaikan informasi. Hal ini dikarenakan di dalamnya terdapat unsur audio dan unsur visual sehingga informasi yang disampaikan menjadi mudah diserap oleh siswa (Arsyad, 2008). Penggunaan media film dokumenter ini akan memudahkan siswa dalam mengilustrasikan dan mempraktekkan pembelajaran tersebut sehingga hasil belajar siswa akan dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Penggunaan media visual telah dilakukan oleh Jatmika dalam menunjang pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar. Dari penelitian diperoleh bantuan media visual lebih memudahkan penyampaian materi atau pesan dari guru kepada peserta didik. Media visual yang dipilih atau diciptakan disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, keterbatasan sarana dan prasarana sekolah dan tingkat kesulitan materi. Media visual yang telah dipilih atau diciptakan dapat ditampilkan dalam bentuk yang menarik, sederhana, jelas, ekonomis dan inovatif untuk menghindari kesalahan persepsi oleh peserta didik terhadap materi atau pesan yang disampaikan oleh guru. Kreatifitas guru dalam menciptakan dan menggunakan media visual secara efektif dan efisien menyebabkan peserta didik menjadi antusias mengikuti proses pembelajaran sehingga tujuan dari pendidikan jasmani tercapai. Disamping itu Najibullah juga telah melakukan penelitian tentang visualisasi 3D system tata surya untuk metode pembelajaran

IPA-Fisika Kelas IX berbasis java 3D API dan Netbeans platform. Najibullah melakukan penelitian ini dikarenakan IPA fisika khususnya bab sistem tata surya yang diajarkan pada jenjang pendidikan menengah SMP/MTS, merupakan mata pelajaran yang memiliki kandungan materi yang kurang efektif jika hanya disajikan dalam bentuk teks dan gambar statis melalui buku cetak. Hal ini karena isi materi yang terkandung didalamnya memiliki suatu proses yang dinamis, yang mana buku cetak kurang dapat mewakili proses tersebut. Sehingga siswa yang memiliki imajinasi visual kurang baik, kurang mampu memahami inti dari materi yang disampaikan. Dengan bantuan aplikasi visualisasi 3D ini dapat membanu mewakili isi materi pada bab sistem tata surya. Kemudian rifardo juga telah melakukan penelitian tentang pengembangan bahan ajar multimedia interaktif pada pembelajaran fisika pokok bahasan alat-alat optic kelas X SMA N 3 padang. Dari hasil penelitian diperoleh produk bahan ajar ini memiliki tingkat validitas yang baik sekali untuk tenaga ahli dan praktisi. Disamping itu bahan ajar multimedia interaktif yang dihasilkan sangat praktis digunakan dalam pembelajaran fisika pada siswa kelas X SMA N 3 Padang. Selanjutnya, pengembangan media pembelajaran berbasis multimedia untuk mata pelajaran fisika bahasan kinematika gerak lurus juga telah dilakukan oleh setiabudi, yang dibuat mengacu pada selera konsumen. Kemudian, partiyah telah menguji keefektifan penggunaan media pembelajaran pendidikan agama Islam di SD N krapyak 2 Ngemplak Kabupaten Sleman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan belajar mengajar guru pendidikan agama islam dengan penggunaan media pembelajaran lebih berhasil dibandingkan tidak menggunakan media pembelajaran, dengan indikasi siswa lebih tertarik dalam mengikuti pelajaran, lebih aktif, lebih mudah paham, termotivasi dan tidak merasa jenuh. Bertitik tolak dari permasalahan peningkatan mutu pendidikan sekolah dasar khususnya mata pelajaran IPA. Penelitian ini meneliti tentang kepraktisan media film dokumenter yang telah dibuat. Film dokumenter yang dirancang sudah valid menurut validator.

2. METODE Penelitian menggunakan pengembangan 237

ini dilaksanakan dengan pendekatan penelitian (development research). Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Rancangan penelitian selengkapnya dapat dilihat pada gambar 1. Dalam rancangan penelitian ini dimana media film dokumenter yang sudah valid (Lampiran 1), kemudian dilakukan uji coba terbatas pada siswa kelas V SD yang terdiri atas siswa kelompok tinggi, sedang dan rendah. Uji coba dilakukan untuk melihat kepraktisan atau keterpakaian media film dokumenter oleh siswa. Adapun komponen yang akan diteliti dapat dilihat pada Tabel 1 dan hasil angket respon siswa secara detil terdapat pada Lampiran 2 . Hasil uji coba tersebut dianalisis dan dilihat apakah media

film dokumenter yang sudah valid telah praktis. Jika belum praktis maka dilakukan revisi, sampai akhirnya diperoleh media film dokumenter yang praktis. Lembar validasi angket respon bertujuan untuk mengetahui apakah angket yang dirancang valid atau tidak. Setelah diperoleh angket respon yang valid, kemudian angket tersebut diuji cobakan terbatas kepada siswa kelas V SD. Pengisian angket menggunakan skala likert dengan range A sampai D. Angket terdiri dari 3 indikator yaitu isi, desain dan bahasa.

Media film dokumenter yang sudah valid

Prototipe ke-i i = 1, 2, ..., n

Kepraktisan: Ujicoba terbatas pada siswa kelas V SD analisis

tidak

Prototipe ke-i praktis?

Revisi

ya Prototipe i + j j = 1, 2, ..., n

Gambar 1. Rancangan Penelitian Tabel 1. Angket respon siswa Metode N Aspek Pengumpulan Instrumen o Data 1 Isi Siswa kelas V Angket SD praktikalisasi 2 Desain 3 Bahasa Data hasil tanggapan siswa melalui angket yang terkumpul kemudian ditabulasi.

(1) Berdasarkan hasil presentase, setiap tagihan dikategorikan seperti pada Tabel 2: Tabel 2. Kategori Praktikalitas Media film dokumenter (%) Kategori 0-20 Tidak praktis 21-40 Kurang praktis 238

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

41-60 61-80 81-100

Untuk melihat respon siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan media film dokumenter, peneliti memberikan angket kepada siswa. Sebelum angket diberikan kepada siswa, angket yang telah dirancang terlebih dahulu divalidasikan kepada validator. Hasil validasi angket dapat dilihat pada tabel 3 berikut:

Cukup praktis Praktis Sangat praktis

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Validasi Angket Respon Siswa

Tabel 3. Data hasil validasi angket respon siswa

N Aspek yang divalidasi o 1 Format angket 2 Bahasa yang digunakan 3 Butir pernyataan angket Jumlah

Validator 1 2 3 3 7 6 6 6 15 14

Jml 3 2 5 5 12

Berdasarkan tabel di atas dapat dikatakan bahwa format angket, bahasa yang digunakan dan butir pernyataan angket cukup valid. Sesuai dengan saran validator, dilakukan revisi terhadap angket respon, perubahan yang dilakukan sesuai saran yang diberikan validator adalah bahasa yang digunakan dan butir pernyataan angket.

8 18 17 41

Skor maks 12 24 24 60

%

Ket

66.7 75 70.8 70.8

valid valid valid valid

3.2 Hasil Praktikalitas Media FilmDokumenter Untuk melihat praktikalitas media film dokumenter ini, dilakukan uji coba terbatas pada siswa kelas V SD semester 1 tahun ajaran 2013/2014. Uji coba terbatas media film dokumenter ini dilakukan pada akhir pertemuan. Data tentang praktikalitas media film dokumenter yang telah dirancang diperoleh dari angket respon siswa, secara garis besar hasil respon siswa dapat dilihat pada tabel 4 berikut:

Tabel 4. Data hasil praktikalitas angket repon siswa

No Indikator angket 1 Isi 2 Desain 3 Bahasa Jumlah

Skor siswa 440 110 108 658

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa persentase penilaian siswa kelas V SD semester 1 tahun ajaran 2013/2014 terhadap media film dokumenter berkisar antara 79.4 % sampai 81,5 %. Dengan demikian media film dokumenter menurut siswa sudah sangat praktis. Berdasarkan analisis dari angket respon siswa diketahui bahwa: Siswa mudah mengerti isi tampilan rekaman peristiwa yang ditayangkan pada media film dokumenter Isi film dokumenter dapat memberikan kesempatan untuk belajar Kejelasan materi yang ditampilkan dalam media film dokumenter membuat siswa lebih mudah memahami materi perubahan wujud

Skor maks 544 136 136 816

% 81.5 80.9 79.4 80.6

Ket Sangat praktis Sangat praktis praktis Sangat praktis

Rekaman peristiwa yang terdapat pada media film dokumenter menarik, sehingga dapat meningkatkan minat dan motivasi siswa dalam belajar Melalui film dokumenter, siswa dapat mengetahui perubahan wujud yang dapat kembali ke wujud semula dan perubahan wujud yang tidak dapat kembali ke wujud semula serta dapat membedakan proses perubahan wujud yang dapat kembali dan tidak dapat kembali. Siswa mampu memahami pernyataan dan kalimat-kalimat dan mengerti maksud dari tayangan media film dokumenter Dengan demikian, pertanyaan penelitian “Bagaimanakah Media filmdokumenter untuk 239

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

materi perubahan wujud sudah praktis?” sudah terjawab, yaitu media film dokumenter sangat praktis digunakan dalam kegiatan pembelajaran. Media film dokumenter mudah dipahami dan dapat membangkitkan minat dan motivasi siswa dalam belajar. Media film dokumenter merupakan media audio visual yang disajikan berupa rekaman peristiwa untuk memudahkan siswa memahami materi perubahan wujud. Penggunaan media dalam proses belajar mengajar mempunyai nilai-nilai praktis (Arsyad, 2008) sebagai berikut: Media dapat mengatasi berbagai keterbatasan pengalaman yang dimiliki siswa Media dapat mengatasi ruang kelas Media memungkinkan adanya interaksi langsung antara siswa dengan lingkungan Media menghasilkan keseragaman pengamatan Media dapat menanamkan konsep dasar yang benar, konkrit dan realistik Media dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru Media dapat membangkitkan motivasi dan merangsang siswa untuk belajar Media dapat memberikan pengalaman yang integral dari suatu yang konkrit sampai kepada yang abstrak. Pada media film dokumenter disajikan materi yang sesuai dengan pengalaman siswa, sehingga siswa mampu memahami materi yang dijelaskan sesuai dengan pengalaman masingmasing siswa. Selain itu media film dokumenter menuntut siswa untuk dapat mengikuti lur cerita film sehingga siswa dapat memahami dengan jelas bagaimana proses perubahan wujud suatu benda.

4. PENUTUP Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan terhadap hasil uji coba yang dilakukan terhadap siswa kelas V SD semester 1 tahun ajaran 2012/2013 di SD N 08 VII Koto Talago menunjukkan bahwa media film dokumenter telah memenuhi kriteria praktikalitas yaitu dapat dipakai dan dilaksanakan dalam proses pembelajaran.

5. UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih, terutama kepada Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) STAIN Batusangkar sebagai pemberi dana dan fasilitas sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan lancar.

6. DAFTAR PUSTAKA Arsyad, A. (2008). Media Pembelajaran. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 49-50. Erman. (2008). Intervensi Berkelanjutan Dalam Pembelajaran IPA Untuk Memacu Perkembangan Kemampuan Berpikir Abstrak Siswa. Simposium Tahunan Penelitian Pendidikan, UNES, Surabaya. Jatmika, H.M. (2005). Pemanfaatan Media Visual dalam Menunjang Pembelajaran Pendidikan Jasmani di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, Volume 3, No 1. Najibullah. (2001). Visualisasi 3D Sistem Tata Surya Untuk Metode Pembelajaran IPAFisika Kelas IX Berbasis Java 3D Api dan Netbeans Platform. Skripsi. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Fakultas IPAtek. Partiyah. (2010). Efektifitas Penggunaan Media Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SD N Krapyak 2 Ngemplak Kabupaten Sleman. Skripsi. UII. Pratista, H. (2008). Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka. Rifardo, D. (2010). Pengembangan Bahan Ajar Multimedia Interaktif Pada Pembelajaran Fisika Pokok Bahasan Alat-Alat Optic Kelas X SMA N 3 Padang. Skripsi tidak diterbitkan. Padang: FMIPA UNP. Sauri, S. (2009). Revitalisasi Pendidikan Sains Dalam Pembentukan Karakter Anak Bangsa Untuk Menghadapi Tantangan Global. Seminar Nasional Pendidikan Sains. 8-9. Setiabudi, N.W. (2005). Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis Multimedia Untuk Mata Pelajaran Fisika Bahasan Kinematika Gerak Lurus. Skripsi tidak diterbitkan. Padang: Fakultas Teknik UNNES.

240

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PENDEKATAN INKUIRI TERBIMBING YANG DIIRINGI DENGAN TEKA-TEKI SILANG PADA MATERI ALATALAT OPTIK DI KELAS VIII SMP Suryati SMP N 24 Padang, Padang [email protected] ABSTRACT Device learning is one of the important thing in learning activity. Generally the devices have not been available to increase the learner‟s ability, that teachers should be achieved to develop the learning devices to improve the learners‟ ability to formulate the problems, hypothesis, to collect and analyze the data and to get the conclusion. One of the device of learning to support these activities is to apply Guided-Inquiry Approach. This research purpose to develop learning device of Physics based guided inquiry approach which is accompanied by a valid, practical, effective crossword puzzles for optical tools material. This is a development research by using the model of 4-D that consists of a definition phase, designing, development and dissemination. The definition phase is carried out with front-end analysis, analysis of learners, tasks, materials and the aim of learning. The stage of designing is done by arranging the device of learning such as, syllabus, lesson plan, handouts, students worksheet and assessment. The stage developing can be applied with a validity test by the assesor. The practical test is done with an observation sheet of doing the lesson plan, the questionnaires of the teachers‟ and students‟ response. The effectiveness of the learning device learning consists of cognitive, psychomotor and affective assessment. Based on the definition phase showed the result of front-end in curriculum analysis, the learner analysis can be used with AUM PTSDL, task analysis, the optical tool material and the aim of learning analysis. The designing phase produced the learning device that contains syllabus, lesson plan, handout, students worksheet and assessment. The analysis of validation of developed learning devices, is a very valid category. The result of questionnaires in applying the lesson plan, teachers‟ and students‟ response, belong to a very practical category of learning devices. The result of the analysis of the effectiveness of the means of learning can be showed on the cognitive appraisal, there were 88 percent of learners who got acquired scores, on the psychomotor assessment 97 percent learners got acquired marks, on the affective assessment, 100 percent of learners who showed good and best attitudes. In addition, we can conclude that the research showed the learning devices of physics is a very valid, practical and effective devices in learning. Keywords: Devices Learning, Guided-Inquiry Approach, Optics Tool Material, Crosswod Puzzle

1. PENDAHULUAN Pendidikan dan pembelajaran merupakan suatu hal yang sangat penting untuk diperoleh anak-anak maupun orang dewasa. Pendidikan menjadi salah satu modal bagi seseorang untuk mencapai suatu keberhasilan dan kesuksesan dalam hidupnya. Salah satu tujuan dari pendidikan nasional adalah usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (Mulyasa, 2008 : 4). Tanpa pendidikan yang baik, Bangsa Indonesia akan sulit meraih masa depan yang cerah, damai dan sejahtera, karena pendidikan mengembangkan berbagai aspek kemampuan, salah satunya adalah kecerdasan. Undangundang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa

pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang memiliki peranan yang penting dalam pendidikan karena dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam pembelajaran IPA, peserta didik didorong untuk menemukan sendiri materi yang diajarkan serta dapat 241

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

menyampaikannya secara kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama yang ada dalam pikirannya dan merevisinya apabila ada aturan itu yang tidak sesuai lagi. Peserta didik harus didorong untuk mengkrontuksikan pengetahuan yang mereka peroleh dalam pikirannya, untuk itu perlu diberi motivasi agar dapat memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, dan bersusah payah dengan ide-idenya (Kemendikbud, 2013:2). Sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan pendidikan Sains termasuk didalamnya Fisika, pemerintah mengeluarkan seperangkat peraturan yang mengatur standar kompetensi guru sains. Permendiknas No 16 tahun 2007 menegaskan bahwa kompetensi yang harus dimiliki oleh guru Sains SMP diantaranya memahami konsep dan proses berfikir sains dalam mempelajari proses dan gejala alam. Pada Standar Isi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ditegaskan bahwa Sains merupakan kumpulan pengetahuan dan proses bagaimana pengetahuan itu didapat. Inkuiri adalah suatu metoda yang digunakan dalam pembelajaran IPA fisika dan mengacu pada suatu cara untuk mempertanyakan, mencari pengetahuan atau informasi, atau mempelajari suatu gejala. Inkuiri merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat membuat peserta didik menjadi lebih aktif dan keratif dalam melaksanakan pembelajaran. Pelaksanaan proses pembelajaran, pada umumnya dilaksanakan menggunakan strategi konvensional dimana guru sebagai tokoh sentral. Akibatnya aktifitas peserta didik menjadi berkurang. Peserta didik selalu beranggapan Fisika itu sangat sulit. Selain tentang pemahaman tentang rumus-rumus Fisika peserta didik juga harus paham dengan konsep-konsep Fisika itu sendiri. Untuk itu peserta didik dituntut untuk banyak membaca, hal ini sering menjadi masalah bagi peserta didik karena banyak peserta didik yang malas untuk membaca dan dapat menimbulkan kebosanan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Sitepu (2012 : 7) bahwa penjelasan gagasan dalam bentuk kata, kalimat dan paragraph seringkali memerlukan tempat dan waktu yang panjang sehingga menimbulkan kebosanan serta melelahkan siswa untuk membacanya. Masalah seperti ini sering ditemui dilapangan walaupun sudah diberikan lembar diskusi yang dilengkapi dengan gambar. Dalam menjawab mereka suka melihat jawaban temannya. Mereka malas untuk membaca dan

membuat kesimpulan dari apa yang telah mereka baca dan diskusikan. Selain itu saat dilakukan diskusi kelas biasanya yang mau menjawab ataupun menanggapi pertanyaan hanya beberapa orang peserta didik saja. Karena kurangnya interaksi antara guru dengan peserta didik serta peserta didik dengan peserta didik menyebabkan proses belajar mengajar menjadi kurang hidup dan menarik, sehingga hasil belajar yang diharapkan juga kurang memuaskan. Situasi yang hampir sama juga terlihat di SMPN 24 Padang. Berdasarkan data yang diperoleh dari guru Fisika SMPN 24 Padang, bahwa rata-rata nilai hasil belajar IPA masih rendah, ini dapat terlihat dengan banyaknya nilai peserta didik yang nilainya berada di bawah kriteria ketuntasan minimal (KKM). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Persentase Ketuntasan Belajar Peserta Didik semester 1 tahun 2013

Kelas

% Tuntas

VIII A VIII B VIII C VIII D VIII E VIII F VIII G VIII H

34, 4 % 0% 0% 0% 0% 0% 9,4 % 3,1 %

% Tidak Tuntas 65,6 % 100 % 100 % 100 % 100 % 100 % 90,6 % 96,9 %

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa persentase ketuntasan hasil belajar peserta didik sangat rendah . Persentase ketuntasanya hasil belajar tidak mencapai angka 50 %, bahkan ada beberapa kelas yang persentase ketuntasannya adalah 0 %. Dari data yang ada dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang telah dilakukan guru belum berhasil, karena sangat banyak peserta didik yang belum tuntas dalam belajarnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari guru bimbingan konseling, bahwa pada umumnya peserta didik mengalami masalah pada keterampilan belajar, dan penguasaan materi belajar. Kondisi seperti ini sangat mempengaruhi hasil belajar peserta didik. Dalam belajar peserta didik sering memilihmilih materi yang mereka sukai, jika materinya mudah maka peserta didik akan senang dan semangat untuk belajar. Guru juga merupakan faktor penentu keberhasilan peserta didik dalam belajar. Agar pembelajaran itu dapat berjalan sesuai dengan 242

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

yang diharapkan maka seorang guru harus bisa menciptakan suatu strategi pembelajaran yang menyenangkan. Hal ini bertujuan agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif (Depdiknas: 2008). Setiap guru berkewajiban untuk menyusun perangkat pembelajaran yang lengkap serta sistematis agar pembelajaran dapat berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang serta memotivasi peserta didik berpartisipasi aktif, kreatif dan mandiri sesuai dengan bakat dan minat peserta didik. Pemilihan dan penggunaan perangkat yang tepat dalam proses pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting untuk mengarahkan peserta didik agar mendapatkan pengalaman belajar sendiri. PP Nomor 19 Tahun 2005 yang berkaitan dengan standar proses mengisyaratkan bahwa guru diharapkan dapat mengembangkan perencanaan pembelajaran, yang kemudian dipertegas melalui Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses yang antara lain mengatur tentang perencanaan proses pembelajaran yang mensyaratkan bagi pendidik pada satuan pendidikan untuk mengembangkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Untuk mengatasi hal tersebut maka dikembangkanlah suatu perangkat pembelajaran IPA Fisika. Perangkat pembelajaran yang dirancang mampu membawa peserta didik kepada situasi belajar yang aktif, kreatif dan menyenangkan serta dapat melatih kemandirian peserta didik. Perangkat pembelajaran yang dimaksud adalah menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing. Perangkat pembelajarn yang akan dikembangkan meliputi Silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Handout, Lembar Diskusi Peserta Didik (LKPD) dan penilaian dalam bentuk teka teki silang (TTS). Teka-teki silang merupakan suatu permainan di mana kita harus mengisi ruangruang kosong (berbentuk kotak putih) dengan huruf-huruf yang membentuk sebuah kata berdasarkan petunjuk yang diberikan (wikipedia.org). Alasan penulis memberikan penilaian dalam bentuk TTS agar pembelajaran bisa lebih menyenangkan lagi. Dengan adanya soal dalam bentuk TTS yang diberikan setelah pembelajaran diharapkan peserta didik dapat menguasai materi dengan sempurna.

Berdasarkan uraian di atas kompetensi belajar peserta didik dapat ditingkatkan melalui pendekatan dan metode yang tepat dan tentunya tidak terlepas dari kesiapan seorang guru untuk mempersiapkan perangkat pembelajaran agar tidak berpusat kepada guru saja, tetapi menjadi aktif, kreatif dan menyenangkan. Untuk itu perlu dikembangkan Perangkat Pembelajaran Berbasis Pendekatan Inkuiri Terbimbing yang diiringi dengan TekaTeki Silang. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1) bagaimana mendefinisikan kebutuhan dalam mengembangkan perangkat pembelajaran IPA Fisika berbasis pendekatan inkuiri terbimbing yang diiringi dengan tekateki silang , 2) bagaimana merancang perangkat pembelajaran IPA Fisika berbasis pendekatan inkuiri terbimbing yang diiringi dengan tekateki silang¸ 3) bagaimana mengembangkan perangkat pembelajaran IPA Fisika pendekatan inkuiri terbimbing yang diiringi dengan tekateki silang.

2. METODE 2.5 Jenis Penelitian Jenis penelitian adalah penelitian dan pengembangan menggunakan 4-D Model dengan tahapan sebagai berikut: Define, Design, Develop, dan Disseminate. 2.6 Prosedur Pengembangan Pada tahap defineini mencakup lima langkah pokok, yaitu analisis awal-akhir, analisis peserta didik, analisis tugas, analisis materi dan analisis tujuan pembelajaran. Menurut Munawaroh (2009) komponen kurikulum ada empat yaitu tujuan, komponen isi, komponen metode, dan komponen evaluasi. Analisis kurikulum akan dilakukan pada keempat komponen tersebut. Adapun alat ukur yang digunakan adalah lembar kontrol yang dibuat dalam bentuk check list. Daftar check list yang dibuat dengan cara disesuaikan dengan komponen pada kurikulum. Pada analisis peserta didik, alat analisis yang digunakan adalah AUM PTSDL. AUM PTSDL ini digunakan untuk mengungkapkan permasalahan yang dihadapi siswa. Pada analisis tugas dilakukan dengan menganalisis tugas-tugas apa yang akan dilakukan peserta didik selama pembelajaran. Pada analisis materi bertujuan untuk mengidentifikasi, merinci dan menyusun secara`sistematis materi-materi utama dari materi alat- alat optik yang akan dijadikan isi dari silabus, RPP, handout, LKPD dan penilaian yang akan 243

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

dikembangkan. Pada analisis tujuan pembelajaran diperoleh tujuan yang akan dicapai selama proses pembelajaran. Tahap kedua yaitu tahap Design. Pada tahap ini dilakukan perancangan perangkat pembelajaran IPA Fisika pada materi alat-alat optik berbasis pendekatan inkuiri terbimbing yang diiringi dengan teka teki silang yang terdiri dari silabus, RPP, handout, LKPD, dan penilaian dalam bentuk TTS. Pada tahap perancangan ini juga dilakukan perancangan penyusunan instrumen yang diperlukan dalam penelitian. Tahap selanjutnya yaitu Develop, pada tahap ini akan dilakukan uji validitas, praktikalitas dan efektivitas. Untuk menguji validitas perangkat pembelajaran akan dinilai oleh validator yang terdiri dari 3 orang Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Padang, dan dua orang praktisi yang berasal dari guru SMP N 24 Padang. Uji praktikalitas dilakukan dengan meminta respon guru dan respon peserta didik setelah menggunakan perangkat pembelajaran. Selain itu juga ditentukan dari hasil pengamatan keterlaksanaan RPP selama proses pembelajaran. Efektivitas perangkat pembelajaran dilihat dari peningkatan kompetensi kognitif, psikomotor dan afektif. 2.7 Subjek Penelitian Subjek uji coba adalah perangkat pembelajaran berbasis pendekatan inkuiri terbimbing yang diiringi dengan teka teki silang yang dikembangkan, sedangkan responden dalam penelitian ini adalah guru dan peserta didik SMP N 24 Padang

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Penelitian Tahap pendefinisian bertujuan untuk mendefinisikan kebutuhan dalam pembelajaran. Pada tahap ini telah dianalisis lima aspek yaitu analisis awal-akhir, analisis peserta didik, analisis tugas, analisis materi dan analisis tujuan pembelajaran. Berikut ini akan dibahas masing-masing aspek yang tersebut. Kegiatan analisis awal-akhir ini adalah untuk menganalisis kurikulum. Analisis kurikulum dilakukan terhadap kurikulum KTSP menggunakan lembar kontrol yang dibuat dalam bentuk check list, dimana komponenkomponen yang di check list dapat membantu

peneliti untuk melakukan analisis terhadap kurikulum. Daftar check list yang dibuat disesuaikan dengan komponen pada kurikulum. Pada komponen tujuan, diperoleh SK dan KD tentang materi alat-alat optik. Kemudian, dari analisis kurikulum diperoleh strategi yang sesuai yaitu Pendekatan Inkuiri Terbimbing yang Diiringi dengan Teka Teki Silang. Alat evaluasi untuk melakukan penilaian terdiri atas lembar observasi pengamatan Afektif, dan Psikomotor serta soal tes dalam bentuk TTS. Analisis peserta didik dapat menggunakan AUM (Alat Ungkap Masalah) PTSDL yang telah dilaksanakan oleh guru BK. Berdasarkan analisis ini peserta didik banyak bermasalah pada kemampuan kognitif dan kemampuan psikomotor, ini terjadi karena peserta didik belum terlatih untuk meningkatkan keterampilam memecahkan masalah untuk mendapatkan konsep-konsep penting. Analisis tugas bertujuan untuk mengidentifikasi tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik pada setiap pertemuan. Analisis materi konsep didasarkan pada penjelasan Handayani (2010:54-55) bahwa materi pembelajaran terdiri fakta, konsep, prinsip, dan prosedur. Analisis materi bertujuan untuk mengidentifikasi, merinci dan menyusun secara sistematis materi-materi utama dari materi Alat-alat optik yang akan dijadikan sebagai isi dari Silabus, RPP, handout, LKPD, TTS yang akan dikembangkan. Analisis tujuan pembelajaran diperoleh tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran. Tujuan pembelajaran dikembangkan berdasarkan SK dan KD. Perangkat pembelajaran yang dirancang yaitu perangkat pembelajaran berbasis pendekatan inkuiri terbimbing yang diiringi dengan teka teki silang yang meliputi silabus, RPP, handout, LKPD dan penilaian. Silabus ini dirancang sesuai dengan langkah-langkah pendekatan inkuiri terbimbing. Penilaian pada silabus ini dirancang untuk kompetensi kognitif berupa tes dalam bentuk TTS, kompetensi psikomotor berupa penilaian kinerja dan perilaku afektif berupa lembar penilaian sikap. Silabus yang dirancang dapat dilihat pada Gambar 1.

244

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

LKPD yang dirancang sesuai dengan urutan langkah-langkah pendekatan inkuiri terbimbing. LKPD berisikan tujuan kegiatan, perumusan masalah, perumusan hipotesis, pengumpulan data, pengolahan data dan perumusan kesimpulan. Contoh LKPD dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 1. Contoh Silabus RPP dirancang secara sistematis yang berisi komponen-komponen penulisan RPP yang tertera pada Permen 41 tahun 2007 tentang standar proses. Kegiatan pembelajaran yang dirancang pada RPP ini berbasis pendekatan inkuiri terbimbing. Materi yang dikembangkan pada RPP untuk masing-masing pertemuan secara berurutan adalah mata sebagai alat optik; kamera dan lup; mikroskop, teropong dan periskop. RPP yang dirancang dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 4. Contoh LKPD Penilaianyang dirancang meliputi penilaian kognitif, penilaian psikomotor dan penilaian afektif. Penilaian kognitif yang diberikan dalam bentuk TTS dengan tujuan agar peserta didik menjadi lebih termotivasi dalam membaca soal. Psikomotor yang diamati adalah keterampilan peserta didik selama proses pembelajaran. Sedangkan kemampuan afektif adalah sikap atau tingkah laku peserta didik saat proses pembelajaran.Contoh TTS dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 2. Contoh RPP Handout ini berisikan penjelasan materi pelajaran yang dilengkapi dengan gambar berwarna bertujuan mendukung pemahaman peserta didim terhadap materi pelajaran. Handout yang dirancang terdiri dari pendahuluan, materi, contoh soal, dan soal latihan. Handout yang dirancang dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 5. Contoh TTS

Gambar 3. Contoh Handout

Tujuan tahap pegembangan adalah untuk menghasilkan perangkat pembelajaran yang valid, praktis dan efektif sehingga layak digunakan dalam proses pembelajaran. Hasil penilaian validator terhadap lembar validasi, yang terdiri dari 3 orang pakar/dosen fisika 245

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

pascasarjana UNP Padang, dan 2 orang praktisi/guru IPA fisika SMP. Hasil validasi perangkat pembelajaran dapat dilihat pada Tabel 2.

peserta didik. Hal ini berarti perangkat pembelajaran IPA Fisika berbasis pendekatan inkuiri terbimbing yang diiringi dengan teka teki silang efektif digunakan dalam kegiatan pembelajaran.

Tabel 2. Hasil Validasi Perangkat Pembelajaran

Perangkat Silabus RPP Modul LKS Penilaian Rata-rata

Nilai (%) 84,4 88,6 89,9 89,4 91,3 88,7

Berdasarkan Tabel 2, validasi perangkat dengan nilai rata-rata 88,7% dapat disimpulkan bahwa perangkat berada pada interval 81-100 dengan kategori sangat valid. Data praktikalitas didapatkan dari hasil penilaian observasi keterlaksanaan RPP, angket respon guru IPA fisika SMP dan angket respon peserta didik kelas VIII SMP N 24 Padang terhadap perangkat pembelajaran. Hasil praktikalitas perangkat pembelajaran dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Praktikalitas PerangkatPembelajaran

Data Praktikalitas Nilai (%) Keterlaksanaan RPP 95,4 Angket Respon Guru 97,8 Angket Respon Peserta Didik 88,9 Berdasarkan Tabel 3, diperoleh nilai rata-rata praktikalitas perangkat pembelajaran yang dikembangkan adalah 94,0%. Jadi dapat disimpulkan bahwa praktikalitas perangkat berada pada interval 81- 100 dengan kategori sangat praktis. Data efektivitas perangkat pembelajaran didapatkan berdasarkan hasil belajar siswa yang meliputi kompetensi kognitif, psikomotor dan afektif. Pada kemampuan kognitif diperoleh persentase ketuntasan secara klasikal 88%, Hasil belajar pada kemampuan psikomotor dengan ketuntasan secara klasikal adalah 97%. Peserta didik yang bersikap baik dan sangat baik adalah 100%. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran IPA Fisika berbasis pendekatan inkuiri terbimbing yang diiringi dengan teka teki silang pada materi alat-alat optik dapat meningkatkan hasil belajar siswa baik untuk kompetensi kognitif, psikomotor dan afektif

3.2 Pembahasan Tahap pendefinisian merupakan tahap awal dalam pengembangan perangkat pembelajaran yang bertujuan untuk mendefinisikan syarat-syarat pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pada tahap pendefinisian ini dilakukan analisis awalakhir, analisis peserta didik, analisis tugas, analisis materi dan analisis tujuan pembelajaran. Pada analisis awal-akhir yang berisikan analisis kurikulum, diperoleh kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik dalam belajar.Kompetensi yang ingin dicapai tergambar pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang sesuai untuk materi alat-alat optik. dengan standar kompetensi Memahami konsep dan penerapan getaran gelombang dan optika dalam produk teknologi sehari-hari, dan kompetensi dasar nya adalah Mendeskripsikan alat-alat optik dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, dari analisis kurikulum yang dilakukan diperoleh strategi yang sesuai dengan kurikulum yaitu pendekatan inkuiri terbimbing yang diiringi dengan teka teki silang. Setiap bagian dari perangkat yang dikembangkan memuat empat komponen sebagaimana dinyatakan oleh Munawaroh (2009) yaitu tujuan (kompetensi), isi (materi), metode (Strategi pembelajaran yang digunakan) dan alat evaluasi yang digunakan untuk menilai kompetensi yang ingin dicapai. Analisis peserta didik dilakukan untuk mengetahui permasalahan-permasalahan yang dialami oleh peserta didik dalam proses pembelajaran, baik itu di rumah atau pun di sekolah serta mengidentifikasi karakteristik peserta didik, yang sangat berpengarauh dalam pembelajaran. Hasil analisis peserta didik siswa menggunakan AUM-PTSDL yang diperoleh bahwa peserta didik rata-rata mengalami masalah pada kemampuan kognitif dan kemampuan psikomotor. Hasil analisis peserta didik sangat membantu dalam keberhasilan pengembangan perangkat ini karena hasil analisis inilah yang digunakan oleh penulis untuk menentukan metode dalam mengembangkan perangkat pembelajaran, karena langkah-langkah yang ada pada 246

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

pendekatan inkuiri terbimbing mampu meningkatkan kemampuan psikomotor peserta didik dan pemberian soal dalam bentuk TTS dapat meningkatkan kemampuan kognitif peserta didik. Analisis tugas dilakukan untuk mengetahui tugas-tugas apa yang dilakukan oleh oleh peserta didik selama proses pembelajaran. Analsis materi dilakukan dengan mengidentifikasi standar kompetensi dan kompetensi dasar sesuai dengan panduan pengembangan materi pembelajaran yang dikeluarkan oleh Depdiknas. Dengan adanya analisis materi ini, dapat memudahkan penulis dalam mensinergikan model pembelajaran yang cocok terhadap perangkat yang dikembangkan. Materi yang dikembangkan diuraikan menjadi beberapa materi yang tergolong fakta, konsep, prinsip dan prosedur, yang nantinya akan dikembangkan pada RPP, handout, dan penilaian. Analisis tujuan pembelajaran diperoleh dengan menganakisis SK dan KD yang telah ditetapkan oleh satuan pendidikan. Berdasarkan tujuan pembelajaran dapat diketahui tujuan apa yang akan dicapai oleh peserta didik dalam proses pembelajaran. Perancangan perangkat pembelajaran ini disesuaikan dengan pendekatan yang digunakan, baik pada silabus, RPP, handout, LKPD dan penilaian. Selain itu perancangan handout dan LKPD disesuaikan dengan peserta didik yang akan menggunakannya. Handout dan LKPD dirancang sesuai dengan pendekatan inkuiri terbimbing dan dibuat semenarik mungkin, seperti berwarna, menggunakan huruf yang menarik, sehingga peserta didik tertarik untuk membacanya baik ada guru ataupun tanpa guru. Bahasa yang digunakan juga menggunakan bahasa yang baik dan benar yang mudah dipahami oleh peserta didik yang berusia antara 13-14 tahun. Perangkat disusun secara sistematis, sehingga siapapun dapat menggunakannya. Pengembangan perangkat pembelajaran dilakukan setelah perangkat pembelajaran dirancang. Tahap pengembangan ini bertujuan agar perangkat pembelajaran yang telah dirancang valid, praktis dan efektif. Sesuai dengan pendapat Rochmad (2012:68) untuk menentukan kualitas hasil pengembangan model dan perangkat pembelajaran, umumnya diperlukan tiga kriteria, yaitu: kevalidan, kepraktisan, dan keefektivan.

Pengembangan perangkat pembelajaran merupakan suatu hal yang dapat menunjang keberhasilan suatu proses pembelajaran. Perangkat yang akan digunakan harus valid dan layak digunakan dalam proses pembelajaran. Berdasarkan analisa data validasi dari validator, maka perangkat pembelajaran menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing yang diiringi teka teki silang pada materi alat-alat optik fisika yang dikembangkan memiliki kategori sangat valid. Kepraktisan perangkat dapat diketahui dari keterlaksanaan RPP, angket respon guru dan angket respon peserta didk. Berdasarkan keterlaksanaan RPP nilai yang dipoeroleh dari dua orang observer adalah 95,4 %. Kepraktisan perangkat dari angket respon guru untuk silabus adalah 96,6%, kepraktisan RPP adalah adalah 94,7 %., kepraktisan handout adalah 100 %, kepraktisan LKPD adalah 97,5% dan kepraktisan penilaian adalah 100%. Sementara itu nilai rata-rata kepraktisan dari peserta didik untuk handout adalah 92, 7%, LKPD adalah 83% dan penilaian dalam bentuk TTS adalah 91,0 %. Berdasarkan angket respon guru dan angket respon peserta didik terhadap kepraktisan perangkat pembelajaran berbasis pendekatan inkuiri terbimbing yang diiirngi dengan teka teki silang pada materi alat-alat optik yang dikembangkan praktis digunakan oleh guru dalam menyampaikan materi pembelajaran dan praktis bagi peserta didik dalam melaksanakan pembelajaran. Efektivitas perangkat pembelajaran didasarkan pada kompetensi peserta didik selama proses pembelajaran yang meliputi kompetensi kognitif, psikomotor dan afektif. Berdasarkan hasil analisis ketuntasan klasikal pada aspek kognitif, psikomotor dan afektif dapat dikatakan bahwa perangkat pembelajaran berbasis pendekatan inkuiri terbimbing yang diiringi dengan teka-teki silang efektif untuk meningkatkan kompetensi peserta didik karena dalam proses pembelajarannya peserta didik menemukan sendiri konsep-konsep yang akan dipelajari. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Rahmawati, Aspar dan Rosneti bahwa proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik, juga berdasarkan penelitian Farih bahwa pendekatan teka teki silang dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik.

247

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

4. PENUTUP Hasil tahap pendefinisian pada analisis awal-akhir diperoleh komponen kurikulum yang meliputi empat komponen, yaitu komponen tujuan, isi, metode dan evaluasi. Analisis peserta didik dengan menggunakan AUM PTSDL diperoleh bahwa peserta didik banyak bermasalah pada kemampuan kognitif dan psikomotor. Analisis tugas merinci tugas apa yang akan dilakukan oleh peserta didik selama pembelajaran. Analisis materi dipreoleh uraian materi Alat-alat Optik yang tergolong fakta, konsep, prinsip dan prosedur. Analisis tujuan pembelajaran diperoleh tujuan yang akan dicapai peserta didik dalam proses pembelajaran. . Hasil tahap perancangan diperoleh instrumen validasi dan perangkat pembelajaran. Pearangkat pembelajaran dirancang berbasis pendekatan inkuiri terbimbing yang diiringi dengan teka teki silang, terdiri dari silabus, RPP, handout, LKPD dan penilaian. Hasil dari tahap pengembangan diperoleh dari nilai validitas, praktikalitas dan efektifitas. Hasil validasi pakar dan praktisi diperoleh bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan sangat valid. Hasil parktikalitas perangkat pembelajaran diperoleh dari observasi keterlaksanaan RPP, angket respon guru dan angket respon peserta didik, dengan kategori sangat praktis. Hasil efektivitas perangkat pembelajaran dengan mengamati kemampuan kompetensi peserta didik yang meliputi kemampuan kognitif, psikomotor dan afektif. Hasil penilaian kognitif psikomotor dan afektif menunjukan bahwa perangkat pembelajaran berbasis pendekatan inkuiri terbimbing yang diiringi dengan tek teki silang berada pada kategori sangat efektif.

5. UCAPAN TERIMA KASIH Penyelesaian tulisan ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : Bapak Dr. Yulkifli, S.Pd. M. Si. dan Bapak Dr. Usmeldi, M.Pd., yang telah memberikan bimbingan, arahan motivasi dalam penyelesaian penelitian ini. Terimakasih kepada Bapak Dr. Ahmad Fauzi, M.Si., Ibu Dr. Hj. Djusmaini Djamas, M.Si., dan Bapak Prof. Dr. Mukhaiyar yang telah memberikan saran dan arahan demi kesempurnaan penelitian ini. Selanjutnya terimakasih kepada Bapak Dr. Hamdi, M.Si, Ibu Syafriani, Phd, Bapak Dr. Ngusman Manaf, M.Hum, Ibu Yetriati, S.Pd,

Bapak Hanafi, S.Pd yang telah bersedia memvalidasi perangkat yang dikembangkan.

6. DAFTAR PUSTAKA Anwar, Syafri. 2009. Penilaian Berbasis Kompetensi. Padang: Universitas Negeri Padang Press. Hamalik, Oemar. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Handayani. 2010. Bahan Ajar Perencanaan Pembelajaran. www.file.upi.edu (Diakses pada 2 Juni 2014) Departemen Pendidikan Nasional. 2008a. Paduan Pengembangan bahan Ajar. Jakarta: Departremen Pendididkan Nasional, Direktirat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pembina Sekolah Menengah Atas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta : Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjamin Mutu Pendidikan Mulyasa, E. 2008. Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Munawaroh, Isniatun. 2009. Materi Pengembangan Kurikulum. www.staff.uny.ac.id (Diakses pada 2 Juni 2014) Silberman, Melvin L. 2006. Active Learning 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Bandung: Nusa Media. Rochmad. 2012. Desain Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika. Jurnal diterbitkan oleh jurusan Matematika FMIPA UNNES Sitepu. 2012. Penulisan Buku Teks Pelajaran. Bandung: Rosdakarya Sudjana, Nana. 2006. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Suparno, Paul. 2007. Metodologi Pembelajaran Fisika. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Supriyono Khoes H. 2003. Strategi Pembelajaran Fisika. Malang: Unversitas Negeri Malang.

248

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

PENGARUH INTEGRASI SOLUTION PATH OUTLINE (SPO) DALAM PROBLEM BASED LEARNING (PBL)TERHADAP KETERAMPILAN BERFIKIR KRITIS SISWA Syakbaniah1), Djusmaini Djamas1, Fiddiyahtul Aini2) 1)

Staf Pengajar Jurusan Fisika, FMIPA Universitas Negeri Padang Mahasiswa Pendidikan Fisika, FMIPA Universitas Negeri Padang [email protected]

2)

ABSTRAK Kurangnya keterlibatan siswa dalam memecahkan masalah fisika secara analitis, sistematis dan kreatifdalam pembelajaran menyebabkan hasil belajar siswa selalu dipertanyakan. Agar siswa dapat terlibat secara aktif dan dapat mengembangkan kemampuan berfikir kritismaka diintegrasikan Solution Path Outline (SPO) dalam Problem Based Learning (PBL). Penelitian bertujuan menyelidiki pengaruh integrasi SPO dalam PBL terhadap keterampilan berpikir kritis siswa. Penelitian eksperimen semu menggunakan rancangan Randomized Control Group Pretest- Posttest Designdengan populassi siswa kelas X SMA Negeri 12 Padang tahun ajaran 2013/2014. Sampel diambil menggunakan teknik randomsampling, dengan kelas X3 sebagai kelas eksperimen dan kelas X2 sebagai kelas kontrol. Instrumen penelitian untuk mendapatkan data berpikir kritis siswa digunakan California Critical Thinking Skill Test (CCTST) yang telah diadopsi. Analisis data menggunakan uji-t pada taraf signifikansi 0,05. Hasil penelitian diperoleh rata-rata nilai keterampilan berpikir kritis kelas eksperimen dan kelas kontrol berturut-turut 10,8 dan 9,1. Hasil uji-t untuk keterampilan berpikir kritis menunjukkan thitung(1,697) > ttabel (1,68) pada taraf nyata 0,05. Karena thitung> ttabel berarti terdapat pebedaan yang berarti keterampilan berpikir kritis siswa kedua kelas sampel dan perbedaan ini diyakini akibat pengaruh integrasi SPO dalam PBL yang diberikan pada kelas eksperimen. Maka dapat dikatakan terdapat pengaruh integrasi SPO dalam PBL terhadap keterampilan berpikir kritis siswa kelas X SMAN 12 Padang. Keywords : Critical thinking skill, Solution Path Outline (SPO), Problem Based Learning (PBL), CCTST 1. PENDAHULUAN Perubahan masyarakat dan kebudayaan dewasa ini sangat cepat meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Cepatnya perubahan tersebut disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) terutama teknologi komunikasi dan informasi yang membawa manusia dalam era persaingan global yang semakin cepat. Perkembangan IPTEK ini tidak terlepas dari pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas melalui pendidikan. Salah satu mata pelajaran yang dapat membantu mewujudkan tujuan pendidikan dan sangat berpengaruh terhadap era persaingan global yaitu mata pelajaran fisika. Pembelajaran fisika menekankan pada pemberian pengalaman langsung agar siswa mampu menemukan konsep sendiri. Pentingnya pemahaman konsep dalam proses pembelajaran sangat mempengaruhi sikap dan cara memecahkan masalah secara analitis, sistematis dan kreatif agar siswa dapat mengembangkan kemampuan berfikir kritis.

Kemampuan berfikir kritis terbagi dua yaitu keterampilan dan karakter berfikir kritis. Keterampilan berpikir kritis merupakan salah satu potensi yang dimiliki siswa dari segi kognitif, yaitu ketika mereka mendapatkan dan memproses informasi, kemampuan tersebut hendaknya diproses melalui pola berpikir kritis. Cara ini dapat membantu siswa untuk menerima sesuatu hal secara nalar/rasional (Mahmud, 2013) Keterampilan berfikir kritis berpengaruh terhadap hasil belajar. Bdrpikir kritis dan kreatif adalah kunci siswa dalam mencapai keberhasilan akademis (Djamas, 2012). Keuntunganmengembangkan keterampilan berfikir kritis diantaranya: (1) Belajar lebih ekonomis artinya bahwa apa yang diperoleh dari proses pembelajaran akan bertahan lama dalam benak siswa, (2) Cenderung menambah semangat belajar baik pada guru maupun siswa, (3) Siswa dapat memiliki sikap ilmiah, dan (4) Siswa mempunyai kemampuan memecahkan masalah, baik pada saat pembelajaran di kelas maupun dalam menghadapi permasalahan nyata dalam 249

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

kehidupan sehari-hari (Wiradana, 2012). Memanfaatkan kelebihan yang dimiliki dalam mengembangkan keterampilan berfikir kritis tersebut maka seharusnya dalam pembelajaran fisika lebih menitikberatkan pada pengembangan keterampilan berfikir kritis sebagai bekal menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan masa yang akan datang. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, diantaranya: adanya program sertifikasi guru, adanya program Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), penyempurnaan kurikulum dari kurikulum 1994, KBK sampai pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang menuntut siswa untuk lebih aktif. Pada saat ini disempurnakan lagi menjadi kurikulum 2013. Namun kenyataan yang terjadi dilapangan belum sepenuhnya terwujud. Berdasarkan hasil observasi di SMAN 12 Padang menunjukkan bahwa proses pembelajaran belum sepenuhnya melibatkan siswa secara aktif (student centered), guru lebih sering memberikan konsep secara langsung kepada siswa, dan kurang menggali keterampilan pemecahan masalah yang dimiliki siswa. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa siswa, diperoleh informasi bahwa kebanyakan dari siswa kurang mengetahui analisis matematis untuk menyelesaikan persoalan fisika. Hal ini disebabkan karena kurang berkembangnya ide–ide yang dimiliki siswa. Siswa kurang diberikan kesempatan untuk mengolah fikir yang menuntut siswa untuk mengembangkan kemampuan menganalisis dan mengevaluasi, sehingga potensi berfikir kritis kurang berkembang secara optimal seperti yang terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Skor rata-rata keterampilan berpikir kritis siswa SMA N 12 Padang Skor N Ana- Eva- Infe- DeInIndikator o lisis luasi rensi duktif duktif KBK 1 Skor 10 Ideal (30)

9

5

2

4

2 Skor ratarata SMAN 3,0 12 Padang (9,6)

3,4

1,4

0,8

1

Tabel 1 menunjukkan bahwa keterampilan berfikir kritis siswa sangat jauh dari skor idealnya. Dari kenyataan keterampilan berfikir kritis siswa rendah maka hasil belajar siswa juga rendah seperti yang terlihat pada Tabel 2 (hanya disajikan untuk 3 kelas). Tabel 2. Nilai Rata – Rata Ujian Tengah Semester Kelas X SMA N 12 Padang. NO Kelas Rata – Rata 1 X2 60,77 2 X3 59,03 3 X4 68,00 Sumber : Guru fisika Kelas X SMAN 12 Padang Dibandingkan dengan nilai KKM yang ditetapkan sekolah sebesar 75,00 maka Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai rata-rata fisika masih dibawah KKM. Nilai rata-rata fisika ini mengindikasikan bahwa pencapaian hasil belajar siswa masih perlu ditingkatkan, dengan melatih keterampilan berfikir kritis siswa. Salah satu upaya untuk meningkatkan keterampilan berfikir kritis dan hasil belajar fisika siswa yaitu dengan menerapkan Integrasi Solution Path Outline (SPO) dalam pembelajaran Problem Based Learning (PBL). PBL merupakan strategi pembelajaran yang melatih keterampilan berfikir kritis dengan cara memberikan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berfikir kritis, analitis, sistematis, logis (divergent) dan keterampilan pemecahan masalah berdasarkan langkah–langkah PBL serta memperoleh pengetahuan dan konsep esensial dari materi pelajaran. Strategi PBL menuntut siswa lebih aktif dan mampu memecahkan masalah berdasarkan langkah–langkah PBL. Langkah-langkah PBLyaitu : a. Clarify, in small groups,the studentsread through the problem, then identify and clarify any word, equations or physicals concepts that they do not understand. b. Define, the students work together to define what the problem is. c. Analysis, the students discuss or “brainstorm” the problem. At this stage there is no prioritization or sifting of ideas. d. Review, student now try to arrange their adeas and explanations into tentative solutions. 250

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

e. Identify learning objectives, the group reaches a consensus on learning objectives, if necessary with the guidance of the facilitator. f. Self study, students individually gather information towards the learning objectives and prepare to share their finding with the rest of the group. g. Report and synthesis, the students come together in their groups and share their results. The facilitator checks that the learning objectives[2]. Kutipan di atas menyatakan bahwa, pada tahap awal Clarify, siswa memahami permasalahan dan mengidentifikasi kata-kata, persamaan atau konsep fisika yang belum dimengerti. Pada tahap define,siswa membuat pernyataan permasalahan. Pada tahap Analysis, siswa bebas mengungkapkan seluruh ide pemikirannya. Pada tahap review siswa menyusun ide-ide sebagai solusi sementara dari permasalahan. Tahap Identify learning objectives menentukan informasi apa yang harus dicari. Siswa belajar mandiri (self study) untuk mendapatkan informasi tentang permasalahan dan mempersiapkan diri untuk berbagi informasi dengan teman sekelompok. Kemudian siswa sharing informasi, memadukan (synthesis) dan mendiskusikan seluruh hasil self study guna mendapatkan solusi permasalahan dalam kelompok, setelah itu barulah mempresentasikan didepan kelas. Pencapaian siswa dalam memecahkan masalah agar lebih terstruktur juga dapat ditingkatkan dengan cara mengintegrasikan Solution Path Outline (SPO) dalam PBL. SPO merupakan format yang berisi proses pemecahan masalah sesuai dengan langkah kerja ilmiah yang diharapkan dalam pembelajaran fisika. format SPO yaitu (Djamas, 2012): Solution path outline a. Restate the problem in your own word: 1) What soecific information is given? 2) What do already know about this problem? b. Form the hyphotesis: 1) What am I looking for? 2) How can I get to the answer? c. Identify learnning issues: Exactly what information do I need to learn to obtain an appropriate answer? d. Research learning issues: What new information could I learn concerning

these issues and where would I find this information? e. Test new information: 1) Does this new information bring me closer to a resolution? 2) Is it a correct and accurate resolution? 3) Does the information enable me to refine my original theories? 4) Will the infomation help me find an appropriate answer? f. Proceed the resolution/solution Berdasarkan langkah SPO tersebut siswa membuat pertanyaan permasalahan dari masing-masing skenario permasalahan, menentukan hipotesis, mengidentifikasi informasi/konsep, menyelidiki, menguji informasi/konsep baru dan menentukan solusi/jawaban permasalahan. Proses belajar yang dimulai dengan merumuskan masalah (pertanyaan-pertanyaan), kemudian mencari, menyelidiki dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan, akan memberikan kesempatan belajar yang lebih bermakna pada siswa (Anggareni, 2013) Pelaksanaan proses pembelajaran mengintegrasikan SPO dalam PBL dapat dibantu dengan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang memuat masalah-masalah nyata yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Lembar kerja siswa adalah panduan siswa yang digunakan untuk melakukan kegiatan penyeledikan atau pemecahan masalah. Lembar kerja siswa dapat berupa panduan untuk latihan pengembangan aspek kognitif maupun panduan untuk pengembangan semua aspek pembelajaran dalam bentuk eksperimen atau demonstrasi (Trianto, 2009). LKS dibedakan atas 5 bentuk yaitu: (1) LKS yang membantu peserta didik menemukan suatu konsep, (2) LKS yang membantu peserta didik menerapkan dan mengintegrasikan berbagai konsep yang telah ditemukan, (3) LKS yang berfungsi sebagai penuntun belajar, (4) LKS yang berfungsi sebagai penguatan, (5) LKS yang berfungsi sebagai petunjuk praktikum (Prastowo, 2011). dalam penelitian ini digunakan LKS yang membantu siswa menemukan konsep. Langkah kerja atau prosedur dalam LKS mengikuti langkah langkah SPO dalam PBL. Proses pembelajaran dengan menerapkan integrasi SPO dalam PBL diharapkan siswa mampu mengembangkan keterampilan berfikir kritis. Mulai dari membaca permasalahan sampai mendapatkan suatu kesimpulan. 251

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Membaca secara kritis erat hubungannya dengan kemampuan berpikir kritis. Seorang pelajar harus membaca terlebih dahulu materi pelajaran yang akan diterimanya agar mereka dapat menikmati proses pelajaran dengan berpikir kritis (Hasrudin, 2009). Keterampilan berfikir kritis dapat diukur menggunakan tes keterampilan berpikir kritis yang dalam penelitian ini menggunakan California Critical Thinking Skill Test (CCTST). CCTST merupakan tes keterampilan berfikir kritis yang dikembangkan di California dan telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, salah satunya kedalam bahasa Indonesia. Berdasarkan instrumen dari California Academik Press yang diaptasi oleh Djusmaini (2012), CCTST terdiri dari 5 subskala khusus yaitu: analysis, evaluation, inference, deductive reasoning, and inductive reasoning. Berdasarkan uraian di atas dalam rangka meningkatkan keterampilan berfikir kritis dan hasil belajar fisika khususnya, dilakukan penelitian dengan tujuan untuk menyelidiki pengaruh Integrasi Solution Path Outline (SPO) dalam Problem Based Learning (PBL) terhadap keterampilan berfikir kritis siswa kelas X SMAN 12 Padang dan hipotesisis penelitian “Terdapat pengaruh yang berarti integrasi Solution Path Outline (SPO) dalam Problem Based Learning (PBL) terhadap keterampilan berfikir kritis siswa kelas X SMAN 12 Padang. 2. METODE PENELITIAN Penelitian berupa penelitian eksperimen semu (Quasi experimental research). Sebagai populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas X SMAN 12 Padang yang terdaftar pada semester 2 tahun ajaran 2013/2014. Penarikan sampel menggunakan teknik random sampling. Menggunakan teknik sampel yang dipilih dengan alasan kelas X di SMAN 12 Padang terdiri dari beberapa kelas, dan penempatan siswa dalam setiap kelas mempunyai kemamapuan rata-rata kelas sama. Penelitian ini menggunakan 2 kelas sampel, yaitu kelas kontrol dan kelas eksperimen. Pada kelas eksperimen proses pembelajaran menggunakan integrasi SPO dalam PBL, sedangkan pada kelas kontrol menggunakan pembelajaran berdasarkan kurikulum KTSP dan menggunakan LKS yang biasa dipakai oleh guru yang mengajar sebelumnya. Pada awal dan akhir penelitian kelas kontrol dan kelas eksperimen diberikan tes menggunakan instrumen CCTST untuk mengukur keterampilan berfikir kritis dan pada akhir

penelitian kelas kontrol dan kelas eksperimen diberikan juga tes akhir berupa tes essay untuk melihat hasil belajar siswa setelah diberikan perlakuan. Rancangan penelitiannya yaitu Randomized Control Group Pretest- Posttest Design seperti yang terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rancangan Penelitian Randomized Control Group Pretest- Posttest Design Kelas Pretest Treatment Posttest Eksperimen T1 X T2 Kontrol T1 T2 Dimana T1 merupakan tes awal keterampilan berfikir kritis, X merupakan perlakuan yang diberikan pada kelas eksperimen, yaitu menggunakan integrasi SPO dalam PBL dan T2 merupakan tes akhir keterampilan berfikir kritis. Populasi pada prinsipnya adalah semua anggota kelompok tinggal bersama dalam satu tempat dan secara terencana menjadi target kesimpulan dari hasil akhir suatu penelitian. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh kelas X SMA N 12 Padang yang terdaftar pada semester 2 Tahun ajaran 2013/2014.Sebagian atau wakil populasi yang diteliti disebut sampel. Agar sampel memenuhi syarat representatifmaka pengambilan sampel menggunakan teknik random sampling. Pengambilan sampel secara random dilakukan karena di SMAN 12 Padang siswa kelas X yang berjumlah 7 kelas, dengan pendistribuan siswa pada setiap kelas mempunyai kemampuan rata-rata kelas diangap sama, artinya disana tidak ada kelas unggul. Jadi setiap kelas mempunyai peluang yang sama untuk dijadikan sampel penelitian. Pengambilan sampel secara random ini terpilih kelas X2 dan X3. Variabel merupakan objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Dalam penelitian ini ada 3 variabel yaitu Variabel bebas adalah integrasi SPO dalam PBL, Variabel terikat adalah keterampilan berfikir kritis dan variabel kontrol adalah kurikulum, materi pelajaran, alokasi waktu dan kemampuan awal kedua kelas sama. Untuk mengetahui apakah kedua kelas sampel mempunyai kemampuan awal yang sama, maka dilakukan uji kesamaan dua rata terhadap nilai rata-rata Ujian Tengah Semester untuk kedua kelas sampel menggunakan uji-t (rata-rata nilai kelas X2 = 60,77 dan X3 = 59,03). Dengan menggunakan uji Lilifor untuk 252

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

uji normalitas dan uji F untuk uji homogenitas. Diperoleh bahwa kedua kelas sampel berasal dari populasi terdistri normal dan kedua kelas mempunyai varian yang homogen. Tabel 3. Hasil uji normalitas dan homogenitas kelas sampel Ke Distribu L0 Lt Fh Ft Ket las si X2 0,1253 0,1610 Normal 1,26 1,87 Homogen X3 0,1581 0,1634 Normal Selanjutnya hasil uji-t diperoleh thitung (0,5900) kecilri dari harga ttabel (1,6615) hal ini menunjukkan bahwa kedua kelas sampel mempunyai kemampuan awal yang sama. Secara acak diperroleh kelass X2 sebagai kelas eksperimen dan kelas X3 sebagai kelas kontrol. Kelas eksperimen diberi perlakuan menggunakan LKS berbasis integrasi SPO dalam PBL sebagai panduan untuk menyelesaikan permasalahan fisika dalam pembelajaran. Data pada penelitian ini yaitu data keterampilan berfikir kritis siswa yang diambil diawal dan di akhir penelitian menggunakan instrumen CCTST (California Critical Thinking Skill Test). Instrumen sudah dianggap valid dan rileabel karena telah mendapat hak pakai untuk Djamas (2013) dari California Academik Press. Selanjutnya teknik analisis data yang digunakan dalam pegujian hipotesis adalah uji kesamaan dua rata- rata uji-t pada taraf signifikansi 5% untuk melihat pengaruh perlakuan yang diberikan pada kelas eksperimen. Persamaan yang digunakan (Sudjana, 2002). _

t

_

x1 x 2 1 1 s n1 n2

(1)

Jika diperoleh nilai thitung < ttabel pada taraf nyata 0,05 maka terdapat perrbedaan rata-rata nilai keterampilan berpikir kritis kedua kelas sampel dan perbedaan ini diyakini akibat perlakuan yang diberikan sehingga dapat dikatakan integrasi Solution Path Outline (SPO) dalam Problem Based Learning (PBL) berpengaruh terhadap keterampilan berfikir kritis dan sebaliknya. Analisis keefektifan integrasi SPO dalam PBL pada kelas eksperimen juga menggunakan uji-t,dimana untuk menganalisis hasil keterampilan berpikir kritis digunakan

data hasil Pretest dan Posttest persamaan: t

dengan (2)

Md 2

xd N N 1

dimana d adalah nilai posttest –pretest = YX, Md adalah mean dari perbedaan posttest dan pretest, xd adalah d – Md, Ʃ x²d adalah jumlah kuadrat deviasi N adalah subjek pada sampel Jika diperoleh nilai thitung > ttabel pada taraf nyata 0,05 maka integrasi Solution Path Outline (SPO) dalam Problem Based Learning (PBL) efektif digunakan untuk meningkatkan keterampilan berfikir kritis dan sebaliknya (Arikunto. 2002). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Penelitian. Data keterampilan berfikir kritis diambil dengan menggunakan tes CCTST yang dilaksanakan diawal dan diakhir penelitian. Tes ini dilakukan selama 45 menit dengan 30 butir soal yang meliputi 5 subskala keterampilan berfikir kritis yaitu analysis, evaluation, inference, deductive reasoning, and inductive reasoning. Hasil analisis tes CCTST awal dan akhir kelas sampel dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Skor rata–rata, Varians dan Simpangan Baku Keterampilan Berfikir KritisKelas Sampel Kelas N Tes Max Min x S2 S Eksperi 22 Awal 15 3 8,64 6,72 2,59 men Akhir 19 6 10,8 14,3 3,78 Kon 20 Awal 16 6 9,55 7,52 2,74 trol Akhir 17 5 9,1 7,92 2,82 Tabel 4 menunjukkan bahwa keterampilan berfikir kritis kelas eksperimen meningkat. Sebelum melakukan uji kesamaan dua rata-rata perlu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas kedua kelas sampel tersebut. Uji normalitas menggunakan uji Lillifors dan uji homogenitas menggunakan uji F dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Keterampilan Berfikir Kritis Kelas sampel KeDistriL0 Lt Fh Ft Ket las busi Nor X2 0,1125 0,1798 mal 1,36 2,14 Homogen Nor X3 0,1245 0,1900 mal 253

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai Lo lebih kecil dari Lt artinya data dari kedua kelas sampel berasal dari populasi yang terdistribusi normal. Hasil uji F keterampilan berfikir kritis kedua kelas sampel didapatkan Fhitung = 1,36 lebih kecil dari Ftabel=2,14 untuk derajat kebebasan pembilang dk = 21, derajat kebebasan penyebut dk = 19 pada taraf nyata 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa kedua kelas sampel memiliki varians yang homogen. Data akhir keterampilan berfikir kritis kedua kelas sampel diperoleh thitung = 1,697 dan pada taraf nyata 0,05 diperoleh ttabel = 1,68. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai thitung >ttabelberarti thitung berada diluar daerah penerimaan Ho sehingga terdapat perbedaan nilai rata-rata keterampilan berpikir kritis siswa untuk kedua kelas sampel. Perbedaan ini diyakini akibat perlakuan yang diberikan pada kelas sampel, sehinggga dapat dikatakan terima hipotesis kerja yang mengatakan bahwa terdapat pengaruh yang berarti integrasi SPO dalam PBL terhadap keterampilan berfikir kritis siswa kelas X SMA N 12 Padang. Selanjutnya untuk uji efektifitas dilakukan pada kelas eksperimen untuk mengetahui efektifkah integrasi SPO dalam PBL untuk meningkatkan keterampilan berfikir kritis. Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan menggunakan uji kesamaan dua ratarata (Persamaan 2), diperoleh nilai thitung=2,86 dan nilai ttabel=1,72 untuk dk=21 dengan taraf nyata 0,05, terlihat bahwa thitung > ttabel. Hal ini menunjukkan Integrasi Solution Path Outline (SPO) dalam Problem Based Learning (PBL) efektif digunakan untuk meningkatkan keterampilan berfikir kritis siswa. PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh integrasi Solution Path Outline (SPO) dalam Problem Based Learning (PBL) terhadap keterampilan berfikir kritis siswa. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa integrasi SPO dalam PBL berpengaruh terhadap berfikir kritis siswa dan efektif dalam meningkatkan keterampilan berfikir kritis siswa tersebut. Hal ini terlihat dari nilai rata-rata keterampilan berfikir kritis siswa kelas eksperimen yang diberi perlakuan dengan mengintegrasikan SPO dalam PBL lebih tinggi dibanding kelas kontrol. Proses pembelajarn menggunakan integrasi SPO dalam PBL ini, siswa diberikan masalah melalui LKS dan menemukan solusi permasalahan berdasarkan langkah-langkah

integrasi SPO dalam PBL yang melatih siswa cara berfikir kritis. Masalah yang diberikan berdasarkan masalah yang ditemukan siswa dalam kehidupan sehari-hari yang terkait dengan materi yang dipelajari. Integrasi SPO dalam PBL melatih siswa berfikir lebih terorganisasi dan mampu mengembangkan keterampilan berfikir kritis, melalui tahapan dalam proses pembelajaran. Tahap Clarify, siswa memahami, membaca permasalahan dan mengidentifikasi persamaan atau konsep yang belum dimengerti. Pada tahap Define, siswa merumuskan permasalahan dengan membuat pernyataan permasalahan menggunakan kata-kata sendiri, hal ini dapat melatih siswa untuk mensintesis permalasahan. Tahap Analyse, pada tahap ini siswa menganalisis masalah berdasarkan pengetahuan awal mereka, mengungkap seluruh ide pemikirannya dalam kelompok, siswa mencari informasi spesifik apa yang diberikan skenario dan hal-hal yang diketahui berkaitan dengan permasalahan, hal ini dapat melatih keterampilan menganalisis siswa. Selanjutnya tahap Review, siswa menyusun semua ide yang diungkapkan anggota kelompok untuk solusi atau jawaban sementara yang menuntut pemikiran kritis siswa, maka hal ini dapat melatih keterampilan mengevaluasi siswa. Pada tahap Identify Learning Objektives, siswa menentukan informasi dan sumber apa saja yang harus dipelajari dengan cara membagi tugas kepada seluruh anggota kelompok. Pada tahap ini dapat melatih keterampilan inference siswa. Tahap Self Study, siswa belajar mandiri untuk mendapatkan informasi yang harus dicari, berdasarkan pembagian tugas masing-masing anggota kelompok, hal ini mampu melatih keterampilan deduktif siswa. Tahap Report dan Synthesis, siswa sharing dengan kelompok, memadukan (Synthesis) seluruh informasi yang diperoleh anggota kelompok dan berdiskusi untuk menentukan solusi permasalahan, kemudian siswa mempresentasikan hasil diskusi kelompok didepan kelas. Tahap Report dan Synthesis ini dapat melatih keterampilan induktif siswa, oleh sebab itu integrasi SPO dalam PBL mampu meningkatkan keterampilan berfikir kritis dan melatih siswa berfikir secara sistematis, karena langkah-langkah integrasi SPO dalam PBL terdapat pencapaian indikator keterampilan berfikir kritis. Proses pembelajaran dengan menggunakan integrasi SPO dalam PBL bukan 254

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

hanya memberikan konsep kepada siswa tetapi menjadikan pembelajaran fisika lebih bermakna dan siswa mampu mengaitkan fisika dengan kehidupan sehari-hari. Integrasi SPO dalam PBL dilakukan melalui kegiatan diskusi kelompok, tujuan diskusi kelompok agar siswa mampu bekerja sama dan menuntut siswa untuk lebih aktif. Berdasarkan hasil penelitian keterampilan berfikir kritis kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol, pebedaan ini diyakini akibat perlakuan yang diberikan. Skor rata-rata keterampilan berfikir kritis pada kelas kontrol mengalami penurunan, hal ini terjadi karna kurangnya motivasi siswa dalam belajar. Motivasi sangat diperlukan dalam kegiatan belajar karena hal ini merupakan prinsip utama dalam pembelajaran. Proses pembelajaran pada kelas kontrol menggunakan LKS yang dikerjakan secara berkelompok. LKS tersebut berisi permasalahan-permasalahan yang harus dipecahkan siswa, tetapi proses pemecahan masalahnya tidak memilki langkah-langkah yang menuntun dan kurang melatih keterampilan berfikir kritis siswa. Siswa langsung menjawab pemasalahan yang diberikan tanpa melalui langkah-langkah pemecahan masalah, oleh karena itu siswa kurang termotivasi dalam belajar dan tidak adanya olah fikir siswa. Pada kelas ekpserimen siswa sudah terbiasa menemukan konsep dan memecahkan masalah, sehingga konsep yang ditemukan bertahan lama dalam pemikiran siswa, dalam ujian pun siswa mampu menerapkan dan memecahkan soal-soal yang diberikan. Pada kelas kontrol, siswa tidak terbiasa dalam memecahkan masalah secara terstruktur. Siswa tertarik belajar dengan menggunakan integrasi SPO dalam PBL ini karena permasalah yang diberikan merupakan masalah yang pernah dan bahkan sering dialami siswa. Peristiwa yang diabaikan ternyata ada kaitannya dengan fisika, oleh karena itu siswa menjadi terbiasa dalam memecahkan masalah secara terstruktur. Siswa juga bersemangat untuk berdiskusi, mengeluarkan pendapat atau ide dan pengetahuan yang dimiliki kepada teman kelompok untuk mencari solusi permasalahan. Berdasarkan uraian di atas, jelas terlihat bahwa Integrasi SPO dalam PBL merupakan strategi pembelajaran yang dapat menjadikan siswa lebih aktif dan melatih siswa untuk memecahkan masalah dan menemukan konsep-

konsep fisika dengan menganalisis permasalahan sampai mendapatkan suatu kesimpulan. Langkah-langkah tersebut mampu mengembangkan keterampilan berfikir kritis siswa. Terbukti dengan diperolehnya nilai ratarata keterampilan berfikir kritis siswa lebih tinggi pada kelas eksperimen. Berdasarkan analisis data perlakuan ini juga efektif digunakan dalam pembelajaran, maka dapat disimpulkan bahwa integrasi Solution Path Outline (SPO) dalam Problem Based Learning (PBL) dapat diterapkan untuk meningkatkan keterampilan berfikir kritis dan hasil belajar siswa. KESIMPULAN Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa keterampilan berfikir kritis dan hasil belajar pada ranah kognitif dengan menggunakan integrasi SPO dalam PBL terdapat perbedaan pada kelas eksperimen. Perbedaan ini diyakini akibat perlakuan yang diberikan. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang berarti integrasi Solution Path Outline (SPO) dalam Problem based learning (PBL) terhadap keterampilan berfikir kritis dan hasil belajar fisika siswa SMAN 12 Padang” pada taraf nyata 0,05. DAFTAR PUSTAKA [1] Abdul rahman Mahmud. 2013. Hakikat Berfikir Kritis dan Pentingnya bagi Peserta Didik. [2] Djusmaini Djamas. 2012. Implementasi Problem Based Learning dalam Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Fisika. Disertasi. Universitas Negeri Padang. [3] I Wayan Gde Wiradana. 2012. Pengaruh Strategi Konflik Kognitif Dan Berpikir Kritis terhadap Prestasi Belajar IPA Kelas VII SMP Negeri 1 Nusa Penida. Program Studi Teknologi Pembelajaran Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja. [4] Anggareni. 2013. Implementasi Strategi Pembelajaran Inkuiri Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Pemahaman Konsep IPA Siswa SMP. eJournal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. Volume 3. Hlm. 8. [5] Trianto. 2009. Mendesaian Model Pembelajaran Inovatif-Proresif. Jakarta : Kencana 255

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

[6]

Andi Prastowo.2011.Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif.Yogyakarta: Diva Press. [7] Hasrudin. 2009. Memaksimalkan Kemampuan Befikir Kritis Melalui Pendekatan Kontekstual. Jurnal Tabularasa PPS UNIMED Vol. 6. No.1. Hlm 51 [8] Sumarna Surapranata. 2004. Analisis, Validitas, Reliabilitas, dan Interpretasi Hasil Tes Implementasi Kurikulum 2004 Revisi. Bandung: Remaja Rosda Karya. [9] Zaianal Arifin.2012 Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rosda. [10] Suharsimi Arikunto. 2002. Prosedur penelitian (suatu pendekatan Praktik).Jakarta:Bumi Aksara.

256

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

OPTIMALISASI PERAN DAN FUNGSI PENASEHAT AKADEMIK MAHASISWA BERBASIS NILAI-NILAI KARAKTER MENUJU PEMBIMBINGAN AKADEMIK BERMUTU DAN BERKARAKTER (PAB) Yulkifli* *Staf Pengajar Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Padang E-mail: [email protected] ABSTRAK Permasalahan mahasiswa dalam menjalani proses pendidikan di perguruan tinggi telah menuntut adanya suatu upaya yang tepat dalam mencari solusi terhadap permasalahan itu sendiri. Salah satu upaya tersebut adalah dengan mengoptimalkan peran dan fungsi Penasehat Akademik (PA). Perkembangan zaman dan teknologi seperti pendaftaran sistem online telah mengeser peran dan fungsi dari PA itu sendiri sehingga komunikasi antara PA dengan mahasiswa menjadi kurang, sebagai akibatnya permasalahan-permasalahan serius yang menjadi halangan dan rintangan kurang terpantau. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut akan banyak mahasiswa yang terancam tidak dapat menyelesaikan studi tepat waktu atau bahkan gagal sehingga di drop out dikarenakan menghadapi permasalahan. Mahasiswa bersama-sama PA perlu mencari upaya untuk mengatasi hal ini, salah satunya adalah dengan meningkatkan mutu dan kualitas hubungan diantara keduanya melalui optimalisasi peran dan fungsi PA. Untuk memperbaiki pelayanan terhadap mahasiswa dalam rangka membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi maka mutu pelayanan terhadap mahasiswa perlu ditingkatan. Agar mutu pelayanan dapat berlangsung dengan suasana menyenangkan maka perlu diciptakan hubungan yang harmonis antara PA dengan mahasiswa. Program pendidikan karakter yang telah dicanangkan pemerintah (revolusi mental) dapat menjadi salah satu alternatif untuk menciptakan hubungan harmonis tersebut. Dalam makalah akan dibahas tentang peran dan fungsi PA melalui Pembimbingan akademik Bermutu dan Berkarakter (PABB). A. PENDAHULUAN Akhir-akhir ini dunia pendidikan kita dikejutkan dengan berbagai informasi tentang merosotnya prestasi belajar mahasiswa, salah satu indikasinya adalah mahasiswa memiliki kasus tidak terpenuhinya jumlah SKS minimal atau Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang kurang memadai untuk menyelesaikan studinya, sehingga terancam akan di dikeluarkan dari kampus dengan cara tidak hormat alias dropt out (DO). Informasi ini bukan hanya mengejutkan pihak universitas dan orang tua mahasiswa namun sampai ke lembaga terhormat dan terus berlanjut hearing dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sangat arif dan sangat peduli, begitulah reaksi yang diberikan/dilontarkan publik terhadap sikap, tindakan dan eksekusiDO rektor perguruan tinggi tersebut. Secara umum reaksi yang diberikan adalah membela mahasiswa sebagai generasi penerus estafet bangsa. Pertanyaanya apakah dengan memberikan reaksi peduli, arif dengan alasan kasihan terhadap mahasiswa kita bisa mengerti dan memahami tindakan sang rektor tersebut?. Pertanyaan selanjutnya apakah rektor dengan senang hati/gembira telah bisa men-DO

mahasiswanya sendiri? (Oetama, 2012). Menurut Oetama: „untuk menjawab semua ini kita perlu memahami kronoligis dan penyebab Eksekusi-DO tersebut. Salah satu sinyalemen yang menyebutkan penyebab hal ini terjadi adalah karena dosen „supersibuk‟ susah untuk ditemui dan jarang masuk atau dosen „killer‟ sehingga mahasiswa takut untuk mengutarakan dan mengkonsultasikan permasalahan yang dihadapi. Kecemasan orang tua akan nasib anaknya yang akan/telah di DO tersebut mendorong seluruh komponen dan pihak terkait untuk ikut mencari dan memikirkan penyebabnya sekaligus solusi terhadap permasalahan tersebut. Himpunan mahasiswa Jurusan Fisika FMIPA UNP sebagai bagian dari komponen tersebut ikut cemas akan kejadian yang mengagetkan ini, sehingga bersimpati dalam mencarikan solusinya salah satunya dengan melirik peran dan fungsi PA di mata mahasiswa. Melalui tulisan ini saya ingin mengingatkan kita semua akan pentingnya peran dan fungsinya masing-masing. Mahasiswa harus menyadari dan memahami seorang dosen dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya tentu juga sebaliknya. 257

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Seluruh mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi pasti berharap untuk bisa sukses dan berprestasi tinggi sehingga dapat menyelesaikan studi tepat pada waktunya. Dapat dipastikan tidak seorangpun mahasiswa menghendaki kegagalan atau di DO dari universitasnya, tentunya ini juga berlaku untuk seluruh mahasiswa UNP, khususnya mahasiswa Fisika FMIPA. Untuk menghindari ini diperlukan keseriusan, keuletan, kegigihan dan kesungguhan serta tanggung jawab dari mahasiswa yang bersangkutan. Namun, dalam proses belajar diperguruan tinggi tidak selamanya berjalan mulus. Pada umunya mahasiswa mengalami berbagai permasalahan berupa hambatan dan rintangan. Permasalahanpermasalahan yang muncul antara lain berhubungan dengan akademik/pendidikan, penyesuaian diri, hubungan sosial, masalah pribadi, ekonomi, pemilihan jurusan, jabatan dan masa depan. Hasil angket terbatas yang disebarkan kepada beberapa mahasiswa diperoleh data bahwa 78.43% menjawab jarang menghubungi PA, 54% mahasiswa tidak mendiskusikan mata kuliah yang diambil dan 37% menjawab bahwa mahasiswa menemui dosen untuk minta tanda tangan saja. Pengaruh pendaftaran dengan sistem online menyebabkan 74,51% dari mahasiswa tidak menemui PA. Faktor penghalang mahasiswa menemui PA diperoleh data 45% dengan alasan dosen PA susah untuk ditemui. Sedangkan permasalahan yang sering didiskusikan dengan PA menjawab 96,12 adalah masalah akademik saja. Berdasarkan hasil angket dan penelitian Mulyadi 2002-2003 serta Hendrosaputro, 2010, dapat dikemukakan beberapa permasalahan yang sering di temukan dalam kehidupan mahasiswa yaitu: 1) jurusan yang tidak sesuai dengan bakat dan minat, 2) keadaan lingkungan yang tidak menunjang, 3) sulit kosentrasi dalam belajar, 4) kemampuan yang rendah, 5) tidak tahu cara belajar yang baik dan benar, 6) sulit mengatur waktu belajar, 7) sulit menyesuaikan diri dengan cara mengajar dosen yang tidak menarik, 8) peralatan belajar yang kurang memadai, 9) keadaan keluarga yang kurang harmonis, 10) kesulitan ekonomi, 11) sering sakit-sakitan dan 12) menurunya „atitude‟ dan etika mahasiswa baik dalam berkomunikasi maupun dalam bersikap dengan orang sekitarnya salah satunya dengan dosen. Semua permasalahan di atas berkaitan dengan karakter mahasiswa dalam menjalani masa studinya. Jika hambatan dan

rintangan ini tidak atasi dengan baik tentunya akan menimbulkan masalah dalam diri mahasiswa dan dapat menyebabkan proses belajarnya menjadi terganggu. Alhasil, prestasi mahasiswa akan turun atau bahkan akan gagal dalam studinya. Universitas Negeri Padang (UNP) sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi terus berpacu untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Berbagai langkah telah dilakukan dalam mendukung pencapaian tersebut. Salah satunya adalah melaui peran dosen dalam membimbing mahasiswa dalam mengatasi permasalahan mahasiswa di atas. Bimbingan pada dasarnya adalah berupa motivasi, penjelasan, arahan dan atau nasihat yang diberikan tanpa paksaan atau sikap otoriter atau paternalistik, melainkan dialog dan cara persuasif. Dosen dan mahasiswa sebagai subjek dan objek pendidikan perlu kerjasama, seiring dan sejalan dalam menuju cita-cita yang diidamkan. Bimbingan, motivasi, nasehat dan lain-lain hendaknya terus ditanamkan pada diri mahasiswa tersebut agar memiliki kepribadian yang mantap, disiplin dalam belajar serta tekun dalam menggali ilmu pengetahuan dan berkarakter. Dalam hal ini perguruan tinggi menunjuk tenaga pendidik tertentu untuk memberikan bimbingan, motivasi serta nasehat yang bersifat akademik kepada mahasiswa. Tenaga pendidik yang dimaksud adalah dosen penasehat akademik (PA), pada beberapa universitas sebagian menamakan pembimbing akademik/wali akademik. Agar UNP dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas dan berkarakter tentunya harus diiringi dengan proses yang baik dan benar, salah satunya adalah meningkatkan peran dan fungsi PA yang bermutu dan berkarakter. Makalah ini membahas tentang pengoptimalan fungsi dan peran dosen penasehat akademik oleh mahasiswa menuju pembimbingan akademik bermutu berbasiskan nilai-nilai karakter. Hal ini sesuai dengan program UNP yang ingin melahirkan sarjanasarjana yang cerdas dan berkarakter melalui Pengembangan Penghayatan dan Pengamalan Nilai-nilai Karakter-Cerdas (P3N-KC) dan program revolusi mental yang digaungkan oleh pemerintahan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Profesor Siti Zuhro mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat segera memulai menerapkan langkah-langkah revolusi mental, karena implementasinya tidak membutuhkan 258

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

persetujuan parlemen. “Jokowi bisa segera mengimplementasikan revolusi mental, yang memang bisa dilakukan tanpa endorsement DPR,” jelas Siti Zuhro melalui pesan singkat, di Jakarta, Rabu (22/10/2014). Siti Zuhro yang akrab disapa Wiwieq mengatakan penerapan program atau kebijakan yang tidak membutuhkan pertujuan DPR itu dapat dilakukan dalam konteks adanya kekhawatiran yang timbul di publik, bahwa program pemerintahan Jokowi dapat terganjal parlemen. Menurut dia, secara umum programprogram yang tidak membutuhkan persetujuan DPR bisa diklasifikasikan antara lain yakni program yang pelaksanaannya tidak membutuhkan dana APBN, serta tidak berkaitan dengan pengangkatan pimpinan lembaga negara. Sebelumnya Politikus PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari memandang revolusi mental sebagai salah satu motto Jokowi yang paling membekas di benak publik, penting untuk segera diimplementasikan (Solopos.com. 2014) . B. PENASEHAT AKAEDEMIK (PA): TUGAS, FUNGSI DAN PERANANNYA Menurut Mulyadi, 1990 menyatakan bahwa:Kepenasehatan akademik (PA) adalah usaha-usaha bimbingan yang dilakukan oleh PA bagi mahasiswa yang menjadi tanggung jawab bimbingannya. Dalam buku Pedoman Akademik UNP tahun 2011/2012 menyatakan bahwa Penasehat Akademik (PA) adalah dosen wali yang diberi tugas oleh ketua jurusan/program studi untuk memberikan bimbingan akademik dan bimbingan lainnya untuk kelancaran studi kepada mahasiswa yang ditentukan sebagai mahasiswa asuhannya selama mengikuti program pendidikan di UNP. Lebih rinci dan jelas dalam buku Pedoman Akademik Mahasiswa 2013/2014 Pasal 15 hal 18 menjelaskan tentang pengertian dan peranan PA sebagai berikut: (1) Penasehat Akademik (PA) adalah dosen yang ditugasi oleh ketua jurusan/program studi untuk memberikan bimbingan akademik kepada mahasiswa yang ditentukan sebagai mahasiswa bimbingannya selama mengikuti program pendidikan di UNP (2) Bimbingan akademik bertujuan untuk membantu mahasiswa mencapai prestasi belajar yang optimal (3) Bimbingan akademik diberikan kepada mahasiswa melalui konsultasi, antara lain

dalam menetapkan rencana studi setiap semester serta memecahkan masalah akademik lainnya. (4) Dalam penentuan beban studi mahasiswa, PA mempertimbangkan antara lain, Indeks prestasi semester sebelumnya. Aktivitas-aktivitas bimbingan bersifat membantu mahasiswa dalam merencanakan program studi, pemecahan masalah-masalah khusus masalah pendidikan dan pengembangan potensi dirinya menuju arah tercapainya hasil pengembangan potensi dan hasil belajar yang optimal. Kata membantu dalam kalimat di atas mengandung unsur pengarahan/pengaruh dosen PA kepada mahasiswa bimbingannya. Bimbingan akademik ditujukan untuk membantu mahasiswa tidak hanya merencanakan kegiatan akademiknya selama duduk di bangku kuliah saja, namun juga dimaksudkan untuk mendorong mahasiswa agar mereka sejak dini memiliki perencanaan atas kehidupan karir mereka di masa depan. Secara khusus, pembimbingan akademik ditujukan untuk memastikan bahwa kegiatan akademik dan non-akademik yang mereka lakukan selama mereka duduk di bangku kuliah dapat menyokong pencapaian perencanaan karir yang mereka buat. Seorang mahasiswa yang tidak pernah lepas dari permasalahan-permasalahan maka selayaknyalah mahasiswa bersangkutan mengetahui dan memahami peran dan fungsi PA pada perguruan tinggi bersangkutan, sehingga peranan dan fungsinya tersebut dapat di optimalkan. Suwandi, 1997, lebih rinci menjelaskan peran dan fungsi dosen PA yaitu: 1. Nara sumber, sebagai sumber informasi yang berkaitan dengan proses belajar. 2. Pembimbing, memberikan bimbingan pada mahasiswa dalam perencanaan studinya dan dalam melaksanakan program studi tersebut. 3. Penasehat, memberikan pengarahan dan saran atau nasehat kepada mahasiswa dalam menanggulangi problem belajar dan problem pribadi yang lain. 4. Motivator, memberi dorongan dan semangat dalam mengembangkan potensipribadi mahasiswa, 5. Model, memberikan keteladanan sebagai seorang pendidik profesional danbermoral Pancasila. Berdasarkan pengetahuan akan fungsi dan peran PA di atas mahasiswa dapat memanfatkannya secara optimal. Selain itu mahasiswa diminta untuk mematuhi aturan 259

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

universitas, karena hasilnya kelak bukan untuk dosen, tetapi untuk mahasiswa dan bangsa kita sendiri C. PEMBIMBINGAN AKADEMIS BERMUTU (PAB) Pembimbingan akademis bermutu (PAB) adalah sebagai sistem dan proses pelayanan kependidikan tinggi berupa bimbingan sesuai kebutuhan mahasiswa, khususnya jenjang S1. Bimbingan dengan PAB pada dasarnya adalah berupa motivasi, penjelasan, arahan atau nasihat yang diberikan tanpa paksaan atau sikap otoriter melainkan merupakan dialog dengan cara persuasif (Hendrosaputro, 2010). Menurutnya PAB sangat perlu dikembangkan di setiap perguruan tinggi sehubungan dengan faktor-faktor pokok penyebab keterlambatan penyelesaian studi. Penyebab pokok keterlambatan studi tersebut disebabkan oleh kelemahan mahasiswa dalam berbagai hal antara lain: kelemahan mahasiswa dalam perencanaan studi, kelemahan dalam pelaksanaanya dan kelemahan dalam penyelesaian tugas akhir. Berdasarkan pokok kelemahan inilah diperlukan proses bimbingan dengan pembimbing, tentunya proses bimbingan yang bermutu. Dengan adanya PAB kemandirian dan motivasi mahasiswa akan terus meningkat sehingga terbantu secara obyektif dalam menyelesaikan studi tepat waktu. Universitas Negeri Padang umumnya, Jurusan Fisika khsususnya harus mampu melahirkan mahasiswa yang berkualitas. Untuk itu Jurusan fisika melalui PA harus mampu menghasilkan pelayanan akademik yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa sebagai pelanggannya. Menurut Tampubolon, 2006:3 dalam Hendrosaputro, 2010: Paradigma baru tentang pendidikan terutama pendidikan tinggi, pendidikan dipahamai sebagai pelayanan (jasa) yang berupa sistem dan proses. Paradigma baru di atas didasarkan pada filosofi mutu yang terkandung dalam Manajemen Mutu Terpadu atau Total Quality Management (TQM). Mutu pokok yang ada dalam TQM tersebut adalah: 1) relevansi, 2) efisiensi, 3) efektifitas, 4) akuntabilitas, 5) kreativitas, 6) keperhatian 7) ketanggapan, 8) penampilan, 9) produktivitas dan 9) kemampuan. Nilai-nilai mutu pada TQM di atas dapat dijadikan sebagai standar dalam memberikan bimbingan akademik bermutu. Menurut Hendrosaputro, 2010: berdasarkan pelayanan dasar perguruan tinggi yang dilaksanakan

sesuai kebutuhan mahasiswa, PAB dibagi dalam dua jenis: 1. PAB berhubungan dengan masalah akademis: yaitu permasalahan-permasalahan yang dihadapi mahasiswa dalam mengikuti dan memahami pelayanan-pelayanan pada perguruan tinggi. 2. PAB berhubungan dengan masalah pribadi: yaitu permasalahan pribadi mahasiswa seperti psikologis, sosio-kultural, sehingga berpengaruh negatif pada proses pendidikan yang sedang dialaminnya Sesuai dengan program pemerintah yang tertuang dalam UU Sisdiknas tentang tujuan pendidikan dan pencanangan pendidikan karakter bangsa dalam upaya peningkatan mutu pelayanan terhadap mahasiswa khususnya dalam bimbingan akademik maka selayaknya juga proses pembimbingan terhadap mahasiswa juga terintegrasi dengan nilai-nilai karakter bangsa. Melalui makalah ini saya coba menawarkan solusi melalui sebuah program yaitu Pembimbingan akademik Bermutu dan Berkarakter (PABB). Berdasarkan waktu pelaksanaan bimbingan yang tepat, maka dapat dibagi mejadi tiga bagian: 1) Waktu orientasi mahasiswa baru, 2) Permulaan awal semester 3) masa pelayanan kokurikuler, 3) saat akhir studi (tugas akhir). Sedangkan langkah pertama dalam implementasi PAB adalah melakukan identifikasi terhadap mahasiswa yang akan dibimbing sehingga antara mahasiswa dan PA saling tahu apa yang dinginkan dan dibutuhkan. Agar pembimbingan bermutu dapat dicapai maka mahasiswadan PA selayaknya melengkapi hal-hal sebagai berikut: 1. Data Pribadi Mahasiswa, orang tua dan dosen PA 2. Kartu rencana studi 3. Kartu perubahan rencana studi 4. Kartu rekomendasi 5. Lembaran konsultasi 6. Daftar hadir tatap muka konsultasi 7. Perkembangan IPK mahasiswa)* 8. Laporan perkembangan mahasiswa)* 9. Daftar anggota kelompok mahasiswa yang dibimbing)* )* khusus untuk PA saja D. PEMBIMBINGAN AKADEMIK BERMUTU BERBASIS KARAKTER Karakter adalah watak yang terbentuk dari nilai, moral, dan norma yang mendasari cara pandang, berfikir, sikap, dan cara 260

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

bertindak seseorang serta yang membedakan dirinya dari orang lainnya. Karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan. Selain itu dalam UU Sisdiknas Pasal 3 disebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik/mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Semenjak awal kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 Founding Fathers Negara kita telah mencanangkan perlunya nation and character building. Pembangunan bangsa dan karakter menjadi tujuan dan tugas utama pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat. Bangsa yang bersatu dan berkarakter akan menjamin kemajuan bangsa yang mensejahterakan rakyat dan masyarakat, bangsa dan negara ke tingkat yang lebih bermatabat diantara bangsa-bangsa didunia (Prayitno, 2011). Namun belakangan ini pembangunan karakter (character building) justru tampak menurun tajam bahkan suram. Gejala-gejala ini dapat terlihat dalam semua bidang kehidupan manusia tidak terkecuali dunia pendidikan, tentunya dalam hal ini termasuk para civitas kampus khsususnya dosen dan mahasiswa. Praktik yang menyimpang dari nilai-nilai karakter semakin merajalela. Penyimpangan-penyimpangan nilai-nilai karakter mulai mengelitik nurani pemerintah untuk meluruskan peyimpangan tersebut. Memanfaatkan momentum hari Pendidikan

Nasional tahun 2010 pemerintah melalui Mendiknas mulai mencanagkan program perlunnya pendidikan karakter. Program ini disambut positif dan didukung penuh oleh presisen RI Bapak S.B. Yudhoyono dan sekaligus dikukuhkan sebagai gerakan Pendidikan karakter pada peringatan hari Pendidikan Nasional di Istana Negara pada tanggal 11 Mei 2011. Pemerintah melalui kemendiknas membuat desain tentang pendidikan karakter dengan cara mengali sumber-sumber nilai luhur karakter dari berbagai sumber, seperti nilai-nilai agama, UUD 45, pancasila, tujuan pendidikan nasional, teori pendidikan, psikologi dan pengalaman terbaik dari orang-orang sukses. Tahun 2014 melalui pemerintahan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang dikomandoi oleh presiden terpilih Jokowi-Jusuf Kalla menamakan program implementasi karakter dengan nama revolusi mental. Revolusi mental yang dimaksud adalah perbaikan secara menyuluruh terhadap sikap dan perilaku rakyat Indonesia yang telah jauh menyimpang dari agama dan nilai-nilai pancasila. Nilai-nilai ini dikemas sedemikan rupa untuk diintegrasikan dan diimplementasikan ke dalam satuan pendidikan (sekolah/kampus/lembaga pendidikan), keluarga dan masyarakat. Grand designpendidikan karakter tersebut secara keselurusan dapat terlihat pada Gambar 1. Berdasarkan telaah dari berbagai sumber nilai-nilai luhur di atas, Kemendiknas yang tertuang dalam Puskur 2010 mengemukan 18 butir nilai-nilai karakter, antara laing: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.

261

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Gambar 1. Grand Design Pendidikan Karakter Puskur (2010: 7) mengemukakan tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah: 1) Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warga negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa; 2) Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius; 3) Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai penerus bangsa

4) Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan 5) Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan. Menurut buku Pedoman implementasi pendidikan karakter terdapat 4 buah prinsip dalam penerapannya. Keempat tersebut dapat terlihat pada gambar 2: 2. Semua Mata Pelajaran

1. Berkelanjutan

4 Prinsip Pegembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

3. Tidak diajarkan tapi di kembangkan

4. Dilaksanakan secara aktif dan Menyenangkan

Gambar 2. Empat Prinsip Implementasi Pendidikan Karakter Bangsa (Puskur 2010) Seiring dengan bergulirnya gerakan pendidikan karakter tersebut UNP sebagai salah satu pencetak para sarjana mengambil peran dengan melahirkan program Pengembangan Penghayatan dan Pengamalan Nilai-nilai Karakter-Cerdas (P3N-KC). Program P3N-KC mengembangkan nilai-nilai karakter menjadi 5 bagian yaitu: 1) Beriman dan bertakwa, 2) Jujur, 3) Cerdas, 4) Tangguh dan 5) Peduli, kelima bagian dirinci lagi menjadi 45 butir (Lampiran pada buku butir-butir P3N-KC). PA

sebagai salah satu komponen penentu akan kesuksesan dan keberhasilan mahasiswa dipandang perlu melakukan pembimbingan akademik menggunakan pendekatan berbasis nilai-nilai karakter agar terciptanya hubungan yang “harmonis” antara PA dengan mahasiswa. Pendekatan pembimbingan akademik dengan mengedepankan nilai-nilai karakter akan mampu mengatasi permasalah-permasalahan mahasiswa yang telah diutarakan pada pendahuluan di atas. 262

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

Sesuai dengan 4 prinsip implementasi dan pengintegrasikan di atas maka pelaksaannya harus dilaksanakan dalam suasana aktif dan menyenangkan,tidak diajarkan tetapi dikembangkan melalui contoh-contoh sikap tauladan. Sebagai Contoh: Nilai karakter Peduli: dimana mahasiswa peduli dengan kondisi dan permasalahannanya dan ingin mencari solusinya maka salah satunya adalah dengan memanfaatkan keberadaan PA, Sebaliknya PA juga peduli akan kebutuhan mahasiswanya yang lagi dirundung masalah. Saat sharing atau diskusi PA dilakukan dalam suasana kekeluargaan sehingga diskusi berlangsung dalam suasana menyenangkan,berpikiran positif, mahasiswa menyampaikan dengan sopan dan santun begitu sebaliknya PA mendengarkan dengan baik dan menghargai permasalahan yang disampaikan, selain itu PA juga menjaga kerahasian permasalahan yang disampaikan mahasiswa. Contoh lain adalah nilai karakter Jujur: Ketika Mahasiswa melaporkan kondisinya apakah tentang akademiknya maupun masalah pribadinya disampaikan dengan mengatakan apa adanya, tanpa dibumbui dengan hal yang diluar kondisinya, selayakanya PA membela anak bimibingannya jika dalam laporan tersebut ada hak-hak anak yang tidak terpenuhi. PA bersama-sama mahasiswa bimbingannya harus berani membela atas dasar kebenaran dan bertanggung jawab atas segala konsekuensinya. PA dan mahasiswa bimbingannya harus menepati hak dan kewajibannya terhadap apa saja yang sudah disepakati dan tentunya menepati janji yang sudah di ikrarkan saat bimbingan berlangsung. Mahasiswa sebagai objek yang sering dirundung permasalahan akademik atau pribadi yang sering menganggu studinnya harus terbuka dan berpikiran logis dalam menyampaikan permasalahannya, sehingga PA dapat menganalisis permasalahan yang disampaikan dan dapat menilai secara objektif . Dengan demikian mahasiswa dan PA secara bersama-sama mampu memecahkan permasalahan yang dihadapi dan dapat menemukan solusi yang tepat. Jika semua nila-nilai karakter ini diterapkan dalam pembimbingan akademik dan sudah menjadi pembiasaan (habituation) tentunya hubungan yang “harmonis dan mesra” antara mahasiswa dan PA akan terjalin dengan baik. sehingga proses Pembimbingan Akademik Bermutu dan Berkarakter (PABB) dapat terwujud dengan

baik. sehingga tidak satupun mahasiwa yang akan mengalami kegagalan dalam studinya (drop out). E. KESIMPULAN Mahasiswa perlu memahami peran dan fungsi PA di perguruan tinggi. Pemahaman ini akan dapat mengoptimalkan peran dan fungsi PA itu sendiri dalam mencari akar permasalahan yang dihadapi mahasiswa dalam menjalini proses studinya, sehingga mahasiswa bersama-sama PA dapat mencari jalan keluar atau solusi yang tepat terhadap masalahmasalah tersebut. Hubungan yang hangat dan harmonis antara mahasiswa dan PA akan menciptakan situasi yang aktif dan menyenangkan, hal ini selaras dengan tujuan pendidikan karakter yang sudah dicanangkan oleh pemerintah. Penerapan nilai-nilai karakter dalam setiap pertemuan antara mahasiswa dengan PA akan dapat meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan. Selain itu mahasiswa diminta untuk mematuhi aturan universitas, karena hasilnya kelak bukan untuk dosen, tetapi untuk mahasiswa dan bangsa kita sensdiri DAFTAR RUJUKAN Hendrosaputro, 2010, Tugas dan Fusngsi Pembimbing Akademik di Perguruan Tinggi: Jurnal Akademika, Vol. 2, No. 1, Januari 2010 http://www.solopos.com/2014/10/22/jokowipresiden-jokowi-diminta-segera-laksanakanrevolusi-mental-546348 Mulyadi, 1990, Peranan Dosen Penasehat Akademik dalam Memecahkan Masalah Mahasiswa, Majalah Tarbiyah, 48 Oetama, Nanda, 2012: Eksekusi DO-Rektor Unand: Padang Ekspres, Kamis 16 Februari 2012, hal. 1. Padang Panduan Akademik UNP, 2013/2014, UNP Press Proyitno dan Khaidir, Afriva, 2011: Model Pendidikan Karakter Cerdas: UNP Press. Padang PUSKUR, 2010. Buku Pedoman Pengembangan Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa. Jakarta: Dispendik Suwandi, Ihsan, 1997: Peranan dan Fungsi Penasehat Akademik, Makalah Pelatihan Dosen Penasehat Akademik IKIP Malang. Tim Penyusun Panduan Umum, 2011: Pengembangan Penghayatan dan Pengamalan Nilai-nilai Karakter-Cerdas (P3N-KC):UNP Press, Padang. Undang-Undang SIDIKNAS No. 3 dan No. 20 Tahun, 2003. Pemerintah Repuplik Indonesi

263

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

PENGEMBANGAN SET EKSPERIMEN FISIKA BERBASIS MIKROKONTROLER DAN ANTAR MUKA PERSONAL KOMPUTER

1

Yohandri1, Maisa Fitri2, Yohanna Dasriyani2 Staf Pengajar Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Negeri Padang 2 Mahasiswa Fisika, FMIPA Universitas Negeri Padang Email [email protected]

ABSTRAK Pendekatan saintifik dalam kurikulum 2013 mengharuskan peserta didik untuk terlibat aktif dalam mengobservasi, mengamati, mencoba, mengasosiasi dan mengkomunikasikan materi yang dipelajari. Untuk mendukung tuntutan kurikulum tersebut, dibutuhkan sarana dan media yang memadai seperti set eksperimen atau alat praktikum di laboratorium. Makalah ini menyajikan tentang pengembangan beberapa set eksperimen Fisika berbasis mikrokontroler dan antar muka personal komputer. Berdasarkan data hasil pengujian dan pengukuran dapat diketahui bahwa kualitas set eksperimen hasil pengembangan sangat baik. Kualitas ini dinilai berdasarkan ketepatan dan ketelitian alat yang cukup tinggi. Dengan demikian, set eksperimen yang dikembangkan ini layak dan dapat digunakan dalam eksperimen Fisika di laboratorium. Keyword: Set Eksperimen, Mikrokontroler, Praktikum, Kualitas alat

Pentingnya peranan eksperimen juga tertuang dalam kurikulum pendidikan yang menerapkan pendekatan saintifik. Dalam pendekatan saintifik terdapat beberapa aktivitas yaitu mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan dan mencipta untuk semua mata pelajaran (Sudarwan : 2013). Pendekatan saintifik ini diterapkan dengan langkah-langkah metode ilmiah yaitu melakukan pengamatan, menentukan hipotesis, merancang eksperimen untuk menguji hipotesis, menguji hipotesis, menerima atau menolak hipotesis dan merevisi hipotesis atau membuat kesimpulan (Helmenstine : 2013). Untuk dapat melakukan kegiatan eksperimen yang baik maka dibutuhkan peralatan yang bermutu dan memenuhi kebutuhan eksperimen. Ketersedian alat yang berkualitas dan kemampuan operator dalam menggunakan alat sangat mempengaruhi kualitas dari suatu eksperimen (McKinney, W., :1992). Dalam rangka memenuhi kebutuhan alat eksperimen, dalam makalah ini akan dijabarkan beberapa pengembangan set ekpserimen fisika berbasis mikrokontroler dan antar muka personal komputer. Beberapa pengembangan eksperimen yang telah dilakukan antara lain eksperimen gerak jatuh

6. PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dilepaskan dari peranan suatu eksperimen. Dalam bidang ilmu fisika, eksperimen memiliki persanan yang sangat penting. Melalui eksperimen berbagai fenomena dan hukum-hukum dasar dalam fisika dapat diungkapkan atau dibuktikan. Disamping itu, eksperimen juga sangat penting dalam proses pembelajaran di sekolah. Beberapa keuntungan kegiatan praktikum/eksperimen adalah untuk membangkitkan motivasi belajar, mengembang-kan keterampilan dasar bereksperimen, sebagai wahana belajar pendekatan ilmiah dan menunjang pemahaman materi pelajaran (Woolnough, B. and Allsop, T., : 1985). Secara garis besar peranan kegiatan eksperimen dapat dikategorikan dalam tiga tujuan. Tujuan pertama adalah untuk menguji atau membuktikan semua ilmu pengetahuan (Feynman, Leighton and Sands 1963, p. 1-1). Tujuan ketiga, untuk menemukan penjelasan teori terhadap suatu fenomena baru (Hacking 1983, p. 156). Tujuan ketiga adalah untuk mengkonfirmasi teori atau memberikan penjelasan teori lebih lanjut (Franklin A., 2012). 264

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

bebas, eksperimen GLB/GLBB, eksperimen penentuan kapasitansi dengan metoda waktu paroh dan eksperimen penentuan koefisien gesek statis.

7. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk menentukan kualitas dari alat eksperimen yang telah dikembangkan maka dilakukan karaterisasi dan pengujian alat. Dalam uraian berikut akan dipaparkan kinerja dari tiap alat yang telah dikembangkan. a. Eksperimen Gerak Jatuh Bebas Eksperimen gerak jatuh bebas digunakan untuk menentukan nilai percepatan gravitasi bumi (g). Penentuan besarnya percepatan gravitasi dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut

g

Gambar 1 Desain eksperimen gerak jatuh bebas

2h t2

Dalam persamaan ini, h adalah ketinggian dan t adalah waktu tempuh benda mulai saat tepat jatuh sampai menyentuh landasan. Dalam eksperimen gerak jatuh bebas, pengembangan alat difokuskan pada perancangan timer, pengatur ketinggian dan menampilkannya pada personal komputer. Sistem timer alat dibangun berbasis mikrokontroler yang dikendalikan oleh dua saklar yaitu start dan stop. Ketinggian dapat diatur dari PC dengan beberapa konfigurasi diskrit. Gambar 1 menampikan desain alat eksperimen gerak jatuh bebas. Secara sederhana, cara kerja dari eksperimen gerak jatuh bebas ini digambarkan dalam blok diagram seperti terlihat dalam Gambar 2. Untuk mengetahui ketelitian dari alat eksperimen ini, distribusi hasil pengukuran beberapa kali diamati dan diplot dalam sebuah grafik. Berdasarkan hasil eksperimen diperoleh ketelitian rata-rata 0,991 dengan kesalahan relatif rata-rata 4,248% seperti terlihat pada Gambar 3.

Gambar 2 Blok diagram eksperimen gerak jatuh bebas

Gambar 3 Grafik ketelitian eksperimen gerak jatuh bebas b. Eksperimen GLB/GLBB Eksperimen GLB/GLBB bertujuan untuk menentukan kecepatan dan percepatan rata-rata sebuah benda yang bergerak. Dalam eksperimen ini, waktu tempuh sebuah benda 265

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

yang bergerak dari suatu titik ke titik berikutnya diukur. Berdasarkan waktu tempuh dan jarak antara dua titik pengamatan dapat ditentukan kecepatan dan percepatan rata-rata dari sebuah benda. Untuk mengendalikan pencatatan waktu, set esperimen ini dilengkapi dengan dua sensor sebagai pemicu start dan pemicu stop. Dengan demikian, ketika sebuah benda lewat didepan sensor maka proses perhitungan waktu akan otomatis dimulai atau dihentikan. Desain dari eksperimen GLB/GLBB seperti pada Gambar 4. Gambar 6 Hubungan jarak dengan waktu untuk eksperimen GLB

Gambar 4 Desain eksperimen GLB/GLBB Sistem eksperimen GLB/GLBB ini juga dibangun berbasis mikrokontroler dengan displai sevent-segment. Kendali start dan stop dibangun menggunakan dua pasang rangkaian multivibrator seperti pada Gambar 5.

Gambar 7 Hubungan jarak dengan waktu untuk eksperimen GLBB c. Penentuan Kapasitansi dengan Metoda Waktu Paroh Penentuan kapasitansi kapasitor dapat dilakukan dengan cara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dilakukan melalui pengukuran menggunakan alat ukur kapasitansi meter, sementara secara tidak langsung dapat dilakukan dengan metoda waktu paroh. Metoda waktu paroh adalah suatu metoda dimana nilai kapasitansi kapasitor dihitung berdasarkan waktu yang dibutuhkan untuk mengisi kapasitor sampai tegangan kapasitor setengah dari nilai tegangan pengisi yang diberikan. Besarnya nilai kapasitansi dihitung menggunakan persamaan berikut

Gambar 5 Blok diagram sistem GLB/GLBB Dalam eksperimen data hasil pengukuran yang diambil adalah jarak dan waktu tempuh. Berdasarkan jarak dan waktu tempuh dapat dilihat hubungan kedua variabel tersebut seperti dilukiskan dalam grafik pada Gambar 6 untuk GLB dan Gambar 7 untuk GLBB.

C

t1

2 R ln 2

Disini C adalah nilai kapasitansi kapasitor, t1/2 adalah waktu yang dibutuhkan untuk mengisi kapasitor sampai tegangannya setengah tegangan pengisi dan R adalah nilai 266

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

resistor yang digunakan dalam rangkaian pengisian kapasitor. Sistem eksperimen penentuan kapasitansi ini dibangun menggunakan dua buah mikrokontroler yang masing-masing berfungsi sebagai timer dan sebagai pengukur tegangan kapasitor. Pada saat saklar start ditekan maka timer mikrokontroler mulai bekerja dan setelah tegangan pada kapasitor terukur memiliki nilai setengah dari tegangan pengisisnya maka timer dihentikan. Berdasarkan waktu yang tercatat ini maka dihitung nilai kapasitansi dari kapasitor. Secara sederhana blok diagram dari eksperimen pengisian kapasitor seperti pada Gambar 8.

Gambar 9 Tampilan eksperimen penentuan kapasitor dengan metoda waktu paroh pada PC

C Pengukuran Alaat Standar (uF)

2500 Chit = 1.0439Cas - 17.023 R2 = 0.9995

2000

1500

1000

500

0 0

Gambar 8 Blok diagram sistem penentuan kapasitor dengan metoda waktu paroh

500

1000

1500

2000

2500

C Perhitungan Alat (uF)

Gambar 10 Hubungan nilai kapasitansi perhitungan dengan pengukuran alat standar

Proses perhitungan, penampilan data dan grafik proses pengisian kapasitor dalam eksperimen ditampilkan langsung melalui PC. Gambar 9 menampilkan bentuk tampilan eksperimen penentuan nilai kapasitansi kapasitor pada PC. Berdasarkan hasil eksperimen diperoleh bahwa sistem penentuan yang dirancang menghasilkan penentuan yang akurat. Hal ini terlihat dari hasil perhitungan alat yang nilainya sangat dekat dengan hasil pengukuran langsung menggunakan kapasitansi meter. Grafik perbandingan data eksperimen dengan nilai pengukuran langsung menggunakan alat seperti pada Gambar 10.

d. Penentuan Koefisien Statis Sesuai dengan judul eksperimennya, set eksperimen ini bertujuan untuk menentukan besarnya koefisien statis dari suatu benda. Penentuan ini dilakukan dengan menggunakan apparatus bidang miring seperti terlihat dalam desain dan foto alat pada Gambar 11 dan Gambar 12 berikut ini.

267

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

meluncur dalam eksperimen ini digunakan sebuah sensor phototransistor yang dapat mendeteksi pergerakan sebuah benda. Sementara itu, untuk menghitug besarnya sudut digunakan sensor accelerometer. Saat sensor phototransistor mendeteksi benda mulai bergerak maka sensor accelerometer akan mencatat besarnya sudut bidang miring yang terbentuk dan koefisien gesek statis dihitung menggunakan persamaan. Blok diagram dari eksperimen koefisien gesek statis ini seperti terlihat pada Gambar 13.

Gambar 11 Desain eksperimen penentuan koefisien statis benda pada bidang miring

Gambar 13 Blok diagram sistem penentuan koefisien gesek statis benda pada bidang miring Untuk mengetahui kinerja alat yang dikembangkan maka hasil pengukuran alat dibanding dengan hasil pengukuran menggunakan alat standar. Seperti terlihat dalam persamaan, bahwa koefisien gesek statis ditentukan oleh sudut, maka variabel sudut sangat menentukan terhadap hasil perhitungan nilai koefisien gesek statis. Untuk mengetahui ketepatan pengukuran sudut oleh sensor accelerometer maka diplot hasil perbanding antara pengukuran sensor dengan hasil pembacaan alat standar seperti pada Gambar 14.

Gambar 12 Foto set eksperimen penentuan koefisien gesek statis benda pada bidang miring Penentuan koefisien statis dari suatu benda yang bergerak pada bidang miring dapat dilakukan menggunakan persamaan S

w sin w cos

= tan

Disini s adalah koefisien gesek statis dan adalah sudut yang terbentuk antara bidang miring dengan bidang datar (sumbu – x). Berdasarkan persamaan di atas dapat diamati bahwa, besarnya koefisien gesek statis ditentukan melalui besarnya sudut saat sebuah benda tepat meluncur pada bidang miring. Untuk mengamati kapan sebuah benda tepat 268

Copyright © FMIPA UNP 2014

Sudut Kemiringan Sistem, θs (derajat)

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

8. KESIMPULAH

50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 0

5

Merujuk pada data hasil pengukuran dan kinerja alat secara umum dapat dikemukakan beberapa kesimpulan. Pertama, ketepatan alat hasil pengembangan cukup tinggi dengan nilai rata-rata berada diatas 90%. Kedua, ketelitian alat secara umum juga dapat dinyatakan sangat baik dengan ketelitian lebih besar dari 90%. Berdasarkan data ketepatan dan ketelitian ini dapat dikemukakan bahwa alat-alat hasil eksperimen telah berhasil dikembangkan dan dapat digunakan dalam kegiatan ekseperimen dan praktikum di Laboratorium.

10 15 19 26 30 35 39 45 47

Sudut kemiringan menggunakan busur, θb (derajat)

Gambar 14 Grafik hubungan hasil pengukuran sudut kemiringan oleh sistem dengan pengukuran sudut kemiringan menggunakan busur

9. DAFTAR PUSTAKA Feynman, R.P., R.B. Leighton and M. Sands 1963. The Feynman Lectures on Physics. Reading, MA: Addison-Wesley Publishing Company Franklin, Allan, (2012), Experiment in Physics, The Stanford Encyclopedia of Philosophy, http://plato.stanford.edu/archives/win201 2/entries/physics-experiment/ Hacking, I. 1983. Representing and Intervening. Cambridge: Cambridge University Press. Maisa Fitri, (2014), Pembuatan Sistem Penentuan Koefisien Gesek Statis Benda Pada Bidang Miring Secara Digital Berbasis Mikrokontroler Skripsi, Jurusan Fisika FMIPA UNP. McKinney, W. (1992). Plausibility and Experiment: Investigations in the Context of Pursuit. History and Philosophy of Science. Bloomington, IN, Indiana. Woolnough, B. and Allsop, T., (1985), Practical Work in Science, Cambridge University Press, Cambridge. Yohanna Dasriyani, (2014), Pembuatan Set Eksperimen Gerak Jatuh Bebas Berbasis Mikrokontroler Dengan Tampilan PC, Skripsi, Jurusan Fisika FMIPA UNP.

Tembaga

Tembaga

Karet

Kaca

Kayu kasar

0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0

Kayu halus

Koefisien Gesek Statis

Hasil pengukuran ini menunjukan bahwa pengukuran sudut oleh sensor cukup akurat sehingga dapat digunakan untuk menghitung besarnya koefisien gesek statis. Grafik dalam Gambar 15 menampilkan hasil pengukuran koefisien gesek statis untuk beberapa jenis benda dan bidang luncur dan perbandingannya dengan hasil pengukuran menggunakan alat standar.

Kayu Kayu Kaca Beton Kaca Baja halus kasar

Benda dan Bidang Luncur

Gambar 15 Grafik perbandingan koefisien gesek statis sistem dengan alat standar Berdasarkan data grafik pada Gambar 15 diperoleh, ketepatan relatif rata-rata pengukuran adalah 94,79%. Data ini menunjukan bahwa set eksperimen yang dikembangkan dapat digunakan dalam kegiatan eksperimen atau praktikum laboratorium. 269

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

ANALYSIS OF CHARACTER BUILDING CONTENT ON SCIENCE TEXTBOOK OF THE 2013 CURRICULUM AND IMPLEMENTATION PERFORMANCES ON CLASSROOM LEARNING Bony Irawan1, Suroso Adi Yudianto2, Taufik Rahman2 1

Biology Department, Indonesia University of Education, Bandung, Indonesia Professors at Biology Department, Indonesia University of Education, Bandung, Indonesia [email protected]

2

ABSTRACT Implementation of the 2013 curriculum is an attempt to halt the moral decadency of Indonesian youth and to provide legal and systematic baseline on character building through education. Key factor determining the success of the new curriculum in achieving it’s grand purpose is the support of a textbook as the most visible and most referred component of a curriculum. The study aims to scrutiny the 2013 curriculum’s official science textbook for junior high school and documented the character building indicators contained inside, explicit and implicitly, and observes the learning process to acquire the pattern of it’s implementation in the classroom learning by the teachers. Any texts, activities, tasks, suggestions, and graphics that will lead to character building contained in the selected chapter of the book were tabulated to be compared with curriculum’s objectives. Thus, providing insight to the textbook’s congruity on supporting the curriculum’s objectives. Classroom learning process is observed to obtain the implementation patterns of the character building attempt by the teacher. This is a descriptive qualitative study. Subjects of the study was selected by purposive sampling technique. Data obtained through documentation and observation technique. Results shows the textbook contained very few material that could help build student’s character. The textbook contained only 25% of the character building indicators. The official textbook focused heavily on subject matter and doesn’t run in accordance with curriculum’s purpose on character building. The lack of character building indicators also diminished the textbook’s guidance role to help teacher develops a balanced learning between subject matters and character building, as the new curriculum required. Implementation of character building in learning process by inexperienced student teacher shows a striking resemblence with the textbook at 26%. Proving the textbook unreliable as a guidance in developing a balanced learning between subject matter and character building.

Keywords: Textbook Analysis, Indonesian 2013 Curriculum, Character Building, Teachers performance character building through classroom learning. The new curriculum has shifted the focus of learning objectives toward a balanced proportion of knowledge and attitude building (Muhajir, 2013)

1. Introduction Attitude and character building becomes an emerging aspect of education in Indonesia in the past years. There are at least two main reason that awoken people’s awareness on the importance of attitude and character building. Press release issued by National Committee of Child Protection reveals chronic moral decadency amongst Indonesian youth, proven by various and frequent misconducts ranging from misbehaving to criminal activities carried out by students (vivanews.com, 2014). Pundits even speculated that corrupt mentality displayed by government officials are rooted back to the lack of character building from their school days. In the other hand, tight global competition of the modern world requires skillful future citizen with excellent attitude and sublime character. Indonesian law of national education system stipulated that education system is responsible to build the future citizen in to skillful, knowledgeable generation with outstanding character. The enactment of the 2013 curriculum provides a legal and systematic baseline for attitude and

1.1. Key Role of Textbook New curriculum, especially one which brings drastic changes to the education system is subject to challenges and resistence. Debates and commotions upon the curriculum’s enactment have receded, but one question remains, how effective is the curriculum in achieving the grand purpose. Integrating character building in to classroom learning is a new task for Indonesian teacher, as none of the past curriculum requires them to do so. The key component of the curriculum that will help the teacher to devise and deliver a balanced learning between knowledge and attitude building is the textbook. A textbook is the most visible and most referred part of the curriculum with strategic roles as referral and guidance (UNESCO, 2005). Textbook is an irreplaceable instrument of learning with three main functions, i.e. (1) 270

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

source of information; (2) organization and direction; and (3) learning guidance (Seguin, 1989). In order to be helpful for teacher and student, a textbook should be compatible with the curriculum and contain all of the curriculum objectives (Schader, 2008). The 2013 curriculum comes with an official textbook for science education in 7th grade of junior high school. The study aims to scrutiny the textbook and documented the character building indicators contained inside, explicit and implicitly. Any texts, activities, tasks, suggestions, and graphics that will lead to character building contained in the selected chapters of the book were tabulated to be compared with curriculum’s objectives. Thus, providing insight to the textbook’s congruity on supporting the curriculum’s objectives on character building. Preliminary interviews with the teachers involved in this study concludes that textbook is the main reference and guidance for teachers to develops the learning process. Textbook analysis then continued further with analysis of learning process to documented the attitude and character building implementation in the classroom. Data obtained from both of these analyses will provide a useful information about how well represented the curriculum’s character building objectives were in the textbook, and how was the execution and implementation of those objectives in the learning process.

2. Methodology The textbook analysed in this study is the official 2013 curriculum science education textbook for 7th grade of junior high school. Chapter nine of the book about interaction in ecosystem and environment was selected for analysis due to the topic’s high affinity with attitude and character building. Analysis of character building implementation on learning process were also carried on during the topic’s sessions. Classroom learning analyses were conducted in one of state junior high school (JHS) in Bandung city. Data obtained from two class, one of the class was held by a senior teacher, and the other was held by student teacher. This is a descriptive qualitative stufy. The study employed documentation and observation technique to gathers the data. Beforehand, sets of ideal character building indicators have been developed according to curriculum’s objectives. These indicators will serve as research instrument by comparing the textbook content and learning process to the ideal indicators developed. Textbook analysis was carried on by counting and comparing character building indicators appeared in the textbook with the referral instrument. Analyisis of learning process followed the same pattern. Observers analyses the learning process and checked the suitable item on the instruments should the corresponding indicators showed up. Result will be presented in percentage of actual appearance of character building indicators compared to ideal indicators developed in the instruments.

1.2.

Character Building in the 2013 Curriculum The 2013 curriculum dissects learning objectives in to four core competencies (CCs), in which two of the core competencies deal with attitude and character building, i.e. (CC1) spiritual attitude; and (CC2) social attitude. Spiritual attitude are mostly about reminding the students about the almighty God that rules over everything and how human being must forever be thankful and find God in every detail of science. Social attitude teaches the student about superior attitude and character required for social interaction such as honesty, discipline, responsibility, tolerance, teamwork, sympathy, and confidence. Spiritual and social attitude must be integrated in to every subject in the class, as it were considered basic competencies that should be acquired by the student.

3. Results and Findings Data obtained through documentation study from the textbook and observation of learning process were processed by descriptive statistic. Observation of learning processes were carried on in two different class with different teacher, one was a senior teacher, the other one was a student teacher. Character building were the aspects analysed from the textbook and learning process. Character building which regulated by the curriculum consists of 8 main attitudes, i.e. (1) Respect and Observe of one’s religion; (2) honesty; (3) discipline; (4) responsibility; (5) tolerance; (6) teamwork cooperation; (7) sympathy; and (8) confidence. Eight main attitudes above were represented by 24 indicators in the referral instrument. Data analysis reveals that only 6 out of 24 indicators appeared in the textbook. On the extreme side, 271

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

none of the spiritual attitude’s indicators appeared on the textbook. In general, the representation of character building indicators instructed by the curriculum are very low in science JHS’s textbook. Table 1. Analysis of Curriculum’s Attitudes Appearance on Textbook Indicator Total Curriculum Appearance Indicator No Attitudes Y N 1 Respect and Observe of one’s 0 2 2 religion 2 Honesty 1 3 4 3 Discipline 0 3 3 4 Responsibility 2 1 3 5 Tolerance 1 3 4 6 Teamwork 3 4 1 cooperation 7 Sympathy 8 Confidence 1 3 4 6 18 24 Total

Interesting results recorded from the observation of learning processes on the topic of interaction, ecosystem and environment at 7th grade. Curriculum’s character building attitudes were very well implemented at observation 1, where the lesson held by senior teacher. Generally all of the curriculum’s character building attitude have represented in the learning process. 71% of the curriculum’s attitudes indicators were recorded during observation 1. On the contrary, results recorded from observation 2, where the lesson was held by inexperienced teacher were very low. Curriculum’s character building indicators were implemented at 26% that falls perfectly in to very low category.

Data were collected through observation technique to reveal the implementation of character building in learning processes. The observation was conducted in two classroom of two different teacher, i.e. senior teacher (observation 1) and inexperienced teacher (observation 2). Data analysis of both observations on curriculum’s character building implementation are presented on figure 1. Figure 1 illustrates the discrepancy between observation one an two. Observation 1 stands out on indicators representation count and bested observation 2 in every attitude indicators. Confidence is the most implemented curriculum’s attitude where it’s indicators showed up 52 times. Observation 2 also saw confidence as the highest implemented, but with a lot lower indicators appearance count at 5. Observation 1 score the lowest at honesty attitude where the indicators appeared two times, while the lowest score of observation 2 happened to tolerance attitude with zero indicator appearance. Comparation between textbook documentation and learning processes observation shows a significant differences. In general, 71% of the attitudes mandated by curriculum were represented in the textbook, where 25% of all of the indicators actually found in the textbook. The illustration is as follows.

4. Discussion Official science textbook of the 2013 curriculum scored some disappointing results from the analysis. The textbook is supposed to be a guidance for teacher and student as well as subject matter reference. The ideal textbook should contained all of the learning objectives instructed by curriculum. In the case of the 2013 curriculum, learning objectives comprises of core competencies i.e. attitude, knowledge, and skill core competency. Analysis shows that spiritual attitude of core competency one does not represented at all at the book. There were no content material, graphic, task, activities, or suggestion in the textbook that could help builds spiritual attitude of students. The rest of social attitudes from core competency two were also represented at low percentage while discipline attitude was not represented at all. The official science textbook of the 2013 curriculum does not represented the curriculum’s will in character building. Assumption can be made that the textbook development for the all new curriculum was just following the old pattern of textbook development. The textbook is just a rejuvenation of the textbooks from previous curriculum. The lacks of congruity between the textbook and stated learning objectives will 272

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

result in low learning outcomes from the student (Wardani, 2010). Data analysis suggested that inexperienced teacher tend to rely more on the textbook to develop the learning. Data showed strong correlation between character building represented in the book with it’s implementation in learning process. This finding could lead to a good result if the textbook runs in accordance with curriculum’s objectives. Since the textbook shows poor representation of the curriculum objectives, the learning process delivered by the inexperienced teacher suffers the same fate. In the other hand, observation of experienced teacher comes up with different result. Experienced teacher seems able to implement the character and attitude building learning as the curriculum’s obligated despite the lack of supports from the textbook. This result could caused by a better referrencing performance by experienced teacher to curriculum’s components aside from textbook. Another factor that can be held accountable is the age factor, which in turn influenced the older teacher to becomes a more of parental figure who advise and offer their wisdoms to the student. Further investigation is required to determine the main factor behind the discrepancy between experienced and inexperienced teacher.

[2]

[3]

[4]

[5]

[6]

[7]

Harlen, Wynne. (2001). Teaching, Learning, and Assessing Science. London: SAGE Publication Muhajir, Khatimah, & Yuli, R. (2013). Buku Pedoman Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Schader, Basil. (2008). Quality Standard for Textbook. Zurich: Zurich University Publication Seguin, Roger. (1989). The Elaboration Of School textbooks Methodological. UNESCO: Division of Educational Sciences, Contents and Methods of Education UNESCO. (2005). A comprehensive strategy for textbooks and learning materials Wardani, W. (2010). Analisis Teks Buku Sekolah Elektronik (BSE) IPS Terpadu Kelas VII SMP/MTS Terbitan DEPDIKNAS Pada Kompetensi Dasar Mendeskripsikan Gejala Atmosfer dan Hidrosfer Serta Pengaruhnya Bagi Kehidupan. Skripsi Program Studi Pendidikan Geografi. [Online].

5. Conclusion New paradigm of learning brought by the 2013 curriculum is not adopted by the official textbook issued to support the curriculum. The textbook failed to represent two core competencies stated by the curriculum as learning outcomes out of four total. Spiritual attitude core competency was not represented at all while social attitude was represented in very low percentage. Learning process saw a relitively low percentage of character building with the exception of the learning held by experienced teacher. In general, low representation of curriculum’s objectives in the textbook followed by relatively poor implementation in the classroom jeopardise the character building progress intended by the 2013 curriculum’s enactment.

References [1] Carin, A. & Sund, R. B. (1997). Teaching Science Through Discovery. Ohio: Merryll Publishing. Co. 273

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR BIOLOGI SISWA MELALUI MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE STAD DISERTAI BAHAN AJAR DARI INTERNET DI KELAS X AHP SMK NEGERI 2 LUBUK BASUNG Dewi Anggrekni1, Abdul Razak2, Ulfa Syukur2 1

Guru Biologi SMK Negeri 2 Lubuk Basung Dosen Program Studi Pendidikan Biologi, Program Pascasarjana, UNP

2

ABSTRAK Aktivitas dan hasil belajar biologi siswa di kelas X AHP SMK Negeri 2 Lubuk Basung belum memuaskan.Untuk itu dilakukan usaha peningkatan aktivitas dan hasil belajar biologi siswa dengan menggunakan model Cooperative Learning tipe STAD disertai Intenet sebagai bahan ajar. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar biologi siswa. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus, Data dikumpulkan melalui lembar observasi yang diisi oleh observer dan data tes hasil belajar yang diberikan pada akhir siklus. Hasil analisis data siklus I dan siklus II menunjukan adanya peningkatan aktivitas belajar siswa. Aktivitas belajar siswa meningkat dari 53.16% menjadi 81.10% dengan peningkatan sebesar 27%. Hasil belajar siswa pada siklus I dan siklus II juga mengalami peningkatan. Jumlah siswa yang tuntas meningkat dari 78.79% menjadi 87.88% pada siklus II. Secara umum dapat disimpulkan bahwa penggunaan model Cooperative Learning tipe STAD disertai Internet sebagai sumber bahan ajar dapat meningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa kelas X AHP SMK Negeri 2 Lubuk Basung. Kata Kunci: Aktivitas belajar, Hasil belajar biologi, Model Cooperative Learning tipe STAD, Bahan ajar dari internet pembelajaran ini, kegiatan aktif siswa dengan pengetahuan dibangun oleh siswa melalui diskusi kelompok dan mereka bertanggung jawab atas hasil pembelajarannya. Setiap siswa didalam kelompok diharapkan dapat menjelaskan kembali tentang materi yang mereka pelajari, berdasarkan pemahamannya (Slavin, 1995). Aktivitas siswa terlihat dalam kerja sama melakukan diskusi, mengemukakan ide masingmasing anggota kelompok dan mengujinya secara bersama-sama. Siswa menggali seluruh informasi yang berkaitan dengan topik yang menjadi bahan kajian kelompok dan mendiskusikan dengan kelompok lain (Asma, 2009: 14). Hasil belajar merupakan nilai yang diperoleh berdasarkan kemampuan yang didapat siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar dan sejauh mana guru dan siswa berhasil mencapai tujuan pembelajaran. Hasil belajar terwujud dalam perubahan tingkah laku Hasil penilaian dalam Kurikulum 2013 dapat dilihat dari tiga ranah yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Kenyataan di lpangan pada pembelajaran biologi di kelas X AHP SMK Negeri 2 Lubuk Basung di temukan bahwa : 1. Aktivitas siswa dalam pembelajaran masih rendah.

I. PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat menuntut perkembangan teknologi pendidikan dan pembelajaran, Teknologi pembelajaran dapat menempatkan guru sebagai fasilitator dan pembimbing anak didik kearah pengoptimalan ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Guru bukan lagi sekedar menyebarkan ilmu pengetahuan, melainkan sebagai pembimbing supaya anak didik tahu dan terampil dalam mendapatkan ilmu pengetahuan (learning how to learn). Kurikulum 2013 mengamanatkan esensi pendekatan ilmiah dalam pembelajaran. Pendekatan ilmiah (scientific approach, saintifik) diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik. Pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah itu lebih efektif hasilnya dibandingkan dengan pembelajaran tradisional. Pada Model Cooperative Learning tipe STADsiswa dilatih untuk memiliki keterampilan berfikir (thinking skill) maupun keterampilan sosial (Social skill). Siswa mendapat kesempatan untuk berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan temannya untuk mencapai hasil pembelajaran. Guru bertindak sebagai motivator dan fasilitator. Artinya dalam 274

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

2. Hasil belajar biologi siswa rendah 3. Siswa belum terbiasa belajar secara kelompok 4. Siswa belum memanfaatkan Internet sebagai sumber bahan ajar. 5. Siswa sulit memahami konsep biologi, mengganggap pelajaran biologi bersifat hafalan.

2. Tahap Melakukan Tindakan. Tindakan dilakukan terdiri dari tiga tahap yaitu: kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup. 3. Tahap Pengamatan (Observation) Pengamatan terhadap aktivitas siswa dan aktivitas guru selama pembelajaran dibantu oleh dua orang kolaborator dengan mengisi lembaran observasi dan membuat catatan lapangan. untuk memudahkan pengamatan kegiatan dibantu rekaman shooting video

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti menyajikan makalah hasil penelitian dalam bentuk Penelitian Tindakan Kelas yang berjudul Peningkatan Aktifitas dan Hasil belajar Biologi siswa dalam menerapkan Model Cooperatif Learning tipe Student Team Achievement Division (STAD) disertai bahan ajar dari internet di kelas X AHP SMK Negeri 2 Lubuk Basung.

4. Tahap Refleksi (Reflection) Kegiatan yang dilakukan adalah: a. Menganalisis temuan saat melakukan observasi b. Menganalisis model Cooperative Learning tipe STAD untuk menentukan rencana tindak lanjut kegiatan. c. Melakukan refleksi terhadap model Cooperative Learning tipe STAD d. Melakukan refleksi terhadap aktivitas dan hasil belajar siswa.

II. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) yaitu suatu bentuk penelitian yang dilakukan oleh guru dalam kelas untuk memperbaiki proses pembelajaran sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa (Arikunto, 2008).

D. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari Lembar observasi aktivitas siswa dan aktivitas guru, lembar tes hasil belajar dan catatan lapangan.

B. Setting dan waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kelas X AHP SMKN 2 Lubuk Basung selama 3 bulan sejak Februari s/d April 2012. Mata pelajaran Biologi pada materi Metabolisme dan Enzim.

E. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan data 1. Data aktivitas siswa diperoleh dari lembar observasi aktivitas siswa. 2. Data kemampuan gurudiperoleh dari lembar observasi pengelolaan pembelajaran. 3. Data hasil belajar diperoleh dengan melaksanakan tes hasil belajar siswa.

C. Prosedur Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus. Sesuai model Kurl Levin(2008) tahapan dalam Penelitian Tindakan Kelas terdiri dari: 1) perencanaan (planning), 2) pelaksanaan (action), 3) pengamatan (observation), 4) refleksi (reflection)

F. Teknik Analisa Data 1. Data aktivitas siswa dan guru Dianalisis dengan menggunakan rumus: Persen aktif = Jumlah siswa aktif x 100 % Jumlah siswa P = F x 100 %..............................(1) n Ket : P = Angka persentase F = Frekuensi Aktifitas siswa/guru n = Jumlah siswa/guru keseluruhan (Sudijono, 2010: 43)

1. Tahap Perencanaan (Planning) kegiatan yang dilakukan peneliti adalah: a. Menetapkan materi yaitu metabolisme b. Merancang perangkat pembelajaran c. Merencanakan tugas kelompok yang harus ditemukan siswa di internet. d. Membuat lembar aktivitas siswa e. Membuat lembar aktivitas guru f. Menetapkan kolaborator g. Menentukan skor awal. h. Menyusun kelompok belajar siswa .

2. Data hasil belajar siswa Diperoleh dari: a. Daya serap siswa b. Ketuntasan belajar siswa

275

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Persentase

c. Nilai perkembangan individu dan kelompok Hasil tes secara bersama-sama disampaikan untuk membuktikan Hipotesis Tindakan. G. Validasi Validasi yang dilakukan adalah berupa validasi isi, yaitu dengan mengkonsultasikan kepada pakar dan teman sejawat.

Aktivitas Guru

. Gambar 2. Diagram Peningkatan Aktivitas GuruTiap Pertemuan Siklus I

III. HASIL PENELITIAN A. Hasil Penelitian Siklus I 1. Deskripsi Data Aktivitas Siswa Siklus I Deskripsi dan interpretasi data peningkatan aktivitas siswa siklus I dapat dilihat pada Gambar 1.

Pertemuan I guru sudah melaksanakan model Cooperative Learning Tipe STAD, tetapi guru kurang terperinci dalam memberikan penjelasan kepada siswa, sehingga siswa kurang memahami bagaimana bekerja didalam pembelajaran Cooperative Learning Tipe STAD. Pada pertemuan kedua, aktivitas guru didalam memberikan penjelasan bagaimana siswa bekerja didalam kelompok STAD mengalami peningkatan.Hal ini terlihat pada pertemuan kedua siswa lebih aktif bekerjasama dengan teman dalam kelompoknya. Guru dapat memantau aktivitas siswa dengan berjalan mengelilingi kelompok dan membantu siswa yang mengalami kesulitan untuk memahami materi pelajaran. Pertemuan ketiga, pengelolaan kelas sudah sangat baik sekali, guru sudah melaksanakan langkah-langkah didalam pembelajaran Cooperative Learning Tipe STAD.

Persentase

100 80 60 40 20 0 1

2 Aktivitas 3 4 5Siswa 6 7

90 85 80

8

Gambar 1.Diagram Batang Peningkatan Aktivitas Siswa Siklus I Gambar 1 menunjukan aktivitas siswa pada siklus I tiap pertemuan ke-1, 2, dan 3 adalah: 1) Aktivitas siswa mencatat 15,15%, 81,82% dan 87,88%, 2) Aktivitas siswa mengerjakan LKS adalah 81,82%, 87,88%, 93,94%, 3) Aktivitas siswa bekerjasama dalam kelompok adalah 30,30%, 54,54%, 60,61%. 4) Aktivitas siswa presentasi hasil diskusi adalah 15,15%, 30,30%, 51,52%. 5) Aktivitas siswa mengajukan pertanyaan 12,12%, 33,33% dan 45,45%. 6) Aktivitas siswa menjawab pertanyaan adalah 15,15%, 36,36% dan 57,58%. 7) Aktivitas siswa membuat kesimpulan materi adalah 42,42%, 81,82% dan 93,94%. 8) Aktivitas siswa menemukan bahan ajar dari internet adalah 54.55%, 81.82% dan 93.94%.

3. Deskripsi Data Hasil Belajar Siklus I a. Hasil Belajar Aspek Kognitif 1). Daya Serap Siswa Daya serap siswa dalam mengerjakan LKS mengalami peningkatan tiap pertemuan, sedangkan nilai tes siklus 1 nilai siswa kategori Baik 18 orang (54,55%), nilai siswa kategori Cukup 9 orang (27,27%) dan nilai siswa kategori kurang sebanyak 6 orang (18,18%). 2). Ketuntasan Hasil Belajar Peningkatan hasil belajar siswa siklus I dapat di lihat pada Gambar 3:

2.

Aktivitas Guru Siklus I Aktivitas guru pada pertemuan ke-1, 2 dan 3 adalah: 85,29%, 86,76% 89,17% dengan rata-rata aktivitas guru pada siklus I adalah 86,58% kategori Baik Sekali. Peningkatan aktivitas guru tiap pertemuan siklus I dapat dilihat pada Gambar 2

Persentase

100 50 0 Tuntas Belum Tuntas Ketuntasan Siswa

Gambar 3. Diagram Persentase Ketuntasan Hasil Belajar Siswa Siklus I

276

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2014

Gambar 3menunjukan peningkatan hasil belajar siklus I. Nilai siswa yang sudah mencapai KKM 27 orang (78.79%). Siswa yang belum mencapai KKM 6 orang (18.18%).Ketuntasan belajar siswa yang ditetapkan dalam penelitian ini yaitu 85%.Pada siklus I jumlah siswa tuntas belum tercapai.

a. Aktivitas belajar siswa melalui model Cooperative Learning tipe STAD disertai menemukan bahan dari internet dikategorikan telah mengalami peningkatan.. b. Hasil Belajar siswa berdasarkan nilai tes siklus I belum memenuhi indikator yaitu 75% siswa memperoleh nilai kategori Baik belum tercapai. c. Hasil belajar aspek psikomotorik siswa sudah memperoleh nilai kategori Baik dan Baik Sekali. d. Belum maksimalnya komunikasi yang efektif antar siswa dalam berdiskusi kelompok, Siswa masih belum berani untuk bertanya dan presentasi e. Guru harus lebih cermat lagi dalam pembagian waktu f. Guru harus meningkatkan pengelolaan kelas selama kerja sama dalam kelompok Berdasarkan hasil refleksi diatas, terlihat bahwa tindakan yang dilaksanakan telah mampu meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa, namun masih ditemukan permasalahan.Untuk itu dilakukan beberapa perencanaan untuk mengatasi permasalahan tersebut. 1. Perlu dibentuk kelompok baru berdasarkan nilai tes siklus II agar memudahkan siswa bersosialisasi. 2. Penggunaan waktu sesuai dengan skenario yang telah ditetapkan 3. Pemberiah hadiah berupa piagam penghargaan kepada setiap kelompok di akhir pembelajaran 4. Agar lebih banyak siswa yang beraktivitas pada siklus II, maka guru mendorong siswa untuk berpartisipasi menjawab pertanyaan dalam berdiskusi. 5. Untuk presentasi diskusi siklus II semua anggota kelompok maju kedepan kelas untuk mempresentasikan hasil karyanya. 6. Memotivasi siswa untuk terus belajar menemukan dan memahami bahan dari internet untuk kegiatan berikutnya

3) Nilai Perkembangan Tabel 1 Nilai perkembangan dan penghargaan kelompok siklus I Kelompok Rata-rata Penghargaan perkembangan kelompok kelompok I II III IV V VI VII VIII

20 20 20 20 22.5 22.5 27.5 22.5

Great Team Great Team Great Team Great Team Great Team Great Team Super Team Great Team

Tabel 1 menunjukan penghargaan yang diperoleh kelompok siklus I sebanyak 7 kelompok berhasil mendapat kategori Great Team, dan satu kelompok kategori Super Team.Penghargaan yang diberikan untuk memicu semangat siswa kelas X AHP dalam belajar menggunakan Model Cooperative Learning tipe STAD disertai bahan ajar dari Internet. b. Hasil belajar aspek psikomotor Hasil belajar siswa aspek psikomotor observasi terhadap kinerja siswa pada pelaksanaaan praktikum percobaan Sach dilakukan penilaian individual siswa dalam kelompok dapat dilihat pada Tabel 2 Tabel. 2Hasil Belajar Aspek Psikomotor No Kategori Jumlah Persen siswa 85-100 Baik sekali 13 39,39% 71-84 Baik 20 60,61% 65-70 Cukup 8,5. Kekeruhannya 1,08 NTU sehingga tidak menghalangi cahaya yang masuk ke dalam sungai dan tidak mengganggu kehidupan alga epilitik, sedangkan karbondioksida bebas 4,16 mg/l. Pada stasiun II total kerapatan alga epilitik lebih rendah dibandingkan stasiun I dan stasiun III yaitu 71 individu/cm2. Ini disebabkan karena pada stasiun II berada didaerah pemukiman penduduk dan areal persawahan sehingga kondisi airnya sudah tercemar dan mengakibatkan hidup alga epilitik sudah terganggu, karena disepanjang stasiun II ini limbah rumah tangga dan limbah dari sawah dialirkan ke sungai, keadaan tersebut memungkinkan masuknya bahan-bahan kimia seperti deterjen, pestisida, pupuk dan bahan kimia lainnya, sesuai dengan pendapat Michael (1984), banyaknya pestisida yang beracun menyebabkan kerusakan serius dalam jangka waktu pendek dalam satu daerah, walaupun ada yang kurang beracun mungkin mempunyai pengaruh secara ekologis dalam jangka waktu yang lama dan dapat berpindah pada jarak yang panjang sehingga menyebabkan kerusakan menjadi tetap dalam sistem biologis, walaupun telah terurai ke tingkat yang tidak berbahaya. Pada stasiun II ini juga kurang mendukung untuk kehidupan alga, suhu pada stasiun II adalah 24 oC. Hal ini tidak mendukung untuk pertumbuhan alga sesuai dengan pendapat Methew dalam Yulianti (2007), suhu optimum untuk pertumbuhan alga adalah 26-27 oC. Kekeruhan pada stasiun ini yaitu 2,31 NTU juga mengganggu kehidupan alga epilitik, cahaya yang masuk ke dalam sungai terhalang oleh lumpur-lumpur yang berasal dari sawah, pH 6,9 berarti kondisi airnya bersifat asam dan juga mempengaruhi kehidupan alga epilitik sedangkan karbondioksida bebas 4,24 mg/l. Kecepatan arusnya 0,29 m/dt yang termasuk kategori sedang, jadi tidak begitu berpengaruh terhadap kehidupan alga epilitik. Pada stasiun III total kerapatan alga epilitik paling rendah dibandingkan dengan stasiun yang lain yaitu 70,75 individu/cm2. Karena pada stasiun III ini juga sudah mengalami pencemaran yang berasal dari limbah rumah tangga dan limbah pertanian

dimana air sawah dialirkan ke sungai. Stasiun III ini juga terletak di daerah sekitar penggalian batu dan pasir. Keadaan tersebut akan mempengaruhi kehidupan alga epilitik karena daerah tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan penggalian batu dan pasir sehingga airnya menjadi keruh dimana kekeruhan pada stasiun III adalah 3,37 NTU sehingga menghalangi cahaya untuk masuk ke dalam air dan proses fotosintesis akan terganggu dan mengakibatkan pertumbuhan alga epilitik juga akan terganggu. Suhu pada stasiun III 28 oC , ini menandakan daerah tersebut kurang subur dan kurang mendukung untuk pertumbuhan alga epilitik sesuai dengan pendapat Methew dalam Yulianti (2007), suhu optimum untuk pertumbuhan alga adalah 26-27 o C. Jumlah alga epilitik yang banyak ditemukan pada seluruh stasiun pengamatan adalah kelas Bacillariophyceae dengan total 604 individu, kelas Chlorophyceae dengan total 208 individu, kelas Cyanophyceae dengan total 129 individu. Banyaknya ditemukan individu dari kelas Bacillariophyceae mungkin disebabkan karena kemampuan melekat pada subtratnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas yang lain sesuai dengan pendapat Sachlan (1974) menyatakan bahwa Bacillariophyceae mempunyai lendir sehingga dapat menempel dengan baik sebagai alga perifiton. Sedangkan kelas Cyanophyceae paling sedikit ditemukan dibandingkan dengan kelas yang lain. Hal ini diduga karena sedikitnya genus dari kelas Cyanophyceae yang hidup menempel pada batu sesuai dengan pendapat Sachlan (1974) menyatakan bahwa sebagian genus dari kelas Cyanophyceae hidup sebagai plankton dan hanya beberapa saja yang bersifat menempel. Genus alga epilitik yang paling tinggi kerapatannya adalah genus Navicula dengan kerapatan relatif 16,61%. Tingginya kerapatan Navicula mungkin disebabkan genus ini mampu beradaptasi dengan kondisi perairan, mulai dari air yang bersih sampai air yang tercemar berat sesuai dengan pendapat Sachlan (1974), Navicula merupakan genus yang paling banyak ditemukan di perairan tawar. Beberapa genus Diatom seperti Navicula mempunyai gumpalan lendir sehingga dapat menempel dengan baik pada subtratnya. Kerapatan relatif yang paling rendah adalah genus Desmidium dengan kerapatan relatif 0,70% diduga karena genus ini tidak mampu bertahan dan beradaptasi dengan kondisi perairan yang tercemar. Desmidium

354

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

adalah genus dari kelas Chlorophyceae, kelas ini membutuhkan kondisi lingkungan perairan yang bersih, yang relatif belum mengalami pencemaran. Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan ternyata jumlah alga epilitik yang diperoleh tidak sama pada setiap stasiun penelitian. Hal ini disebabkan oleh faktor lingkungan seperti suhu, pH, kekeruhan yang berbeda pada masing-masing stasiun. Adanya perbedaan ini berkaitan dengan dengan perubahan yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung akibat adanya aktivitas manusia di sepanjang aliran Batang Sumpur yang akhirnya perubahan ini akan membawa dampak terhadap komunitas yang hidup didalamnya sesuai dengan pendapat Odum (1998) menyatakan bahwa kehadiran suatu organisme bergantung kepada faktor lingkungan. Berdasarkan tabel 4 stasiun I, II dan III mempunyai kesimpulan yang sama berdasarkan uji korelasi jenjang spearman diperoleh rhitung (0,855, 0,607, 0,693) > rtabel (0,388) dimana diperoleh kesimpulan korelasi antara stasiun I, II, dan III yaitu berkorelasi nyata. Hal ini menandakan bahwa komposisi alga epilitik sama pada setiap stasiun dan mungkin disebabkan oleh kondisi lingkungan yang hampir sama pada setiap stasiun. Hal ini dapat dilihat pada kondisi stasiun seperti suhu, pH, kecepatan arus, kekeruhan dan karbondioksida bebas yang hasilnya hampir sama pada setiap stasiun pengamatan. Berdasarkan jumlah individu yang ditemukan sebanyak 941 seluruh stasiun, maka dapat dilihat bahwa jumlah individu yang ditemukan di Batang Sumpur sedikit sesuai dengan pendapat Sastrawijaya (1991), bila keanekaragaman fitoplankton suatu ekosistem tinggi menandakan kualitas airnya baik dan bila keanekaragaman sedikit menandakan perairannya tercemar. Hal ini menandakan bahwa perairan Batang Sumpur sudah mengalami pencemaran. Sedangkan menurut pendapat Michael (1995) bahwa perairan yang jumlah individunya kurang dari 50.000 individu menandakan perairan tersebut kurang subur. Berarti jumlah alga epilitik yang ditemukan di Batang Sumpur menunjukkan tingkat perairan dan tingkat kesuburannya kurang.

Sumpur Kudus Kabupaten Sijunjung, maka disimpulkan sebagai berikut: 1. Di Batang Sumpur Kecamatan Sumpur Kudus Kabupaten Sijunjung ditemukan sebanyak 19 genus alga epilitik yang termasuk ke dalam 9 familia, 5 ordo dan 3 classis. 2. Komposisi alga epilitik yang memiliki kerapatan tertinggi yaitu genus Navicula dengan kerapatan relatif 16,61% dan genus yang memiliki kerapatan terendah yaitu genus Desmidium dengan kerapatan relatif 0,70%. 3. Faktor fisika kimia air Batang Sumpur adalah suhu 22-28oC, kecepatan arus 0,340,39 m/dt, kekeruhan 1,08-3,37 NTU, pH 6,8-7,6 dan CO2 bebas 4,16-4,24 mg/L. 5. DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 2000. Modul Bagi Petugas Teknisi Laboratorium Daerah Tingkat II. Depertemen Kesehatan. Jakarta. Micheal, P. 1995. Metoda Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboran. Terjemahan Yanti. P. Koestoer UI. Jakarta. Nybakken, J.W. 1991. Biologi Laut Nusantara Pendidikan Ekologis. Gramedia. Jakarta. Odum, E.P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Prescot, G.W. 1961. Algae Of The Western Great Lakes Area. WCM. Brown Company Publisher. Dubugue, Lowa. Sachlan, M. 1974. Planktonologi. Corespodence Course Centire. Jakarta. Sudjana. 1992. Metoda Statistika. Tarsito. Bandung. Suin, N.M. 2002. Metoda Ekologi. Universitas Andalas. Padang. Waluyo, L. 2004. Mikrobiologi Umum. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang. Welch, E. 1980. Limonology. Mc Graw-Hill Book Company. New York. Yulianti, R. 2007. Komposisi Alga Epilitik di Batang Biduak Nagari Lumpo Kecamatan IV Jurai Kabupaten Pesisir Selatan.

4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Batang Sumpur Kecamatan

355

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

RESPON TANAMAN JAGUNG TERHADAP INOKULASI CENDAWAN PELARUT FOSFAT Dezi Handayani Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Padang e-mail: [email protected] ABSTRAK Kemampuan mikroorganisme tanah khususnya cendawan untuk melarutkan fosfat berperan penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman karena cendawan ini dapat bertindak sebagai penyedia fosfor bebas. Penicillium sp. IPBCC.09.620 diketahui memiliki kemampuan melarutkan fosfat secara in vitro tetapi bagaimana respon tanaman terhadap inokulasi cendawan pelarut fosfat belum diketahui. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana respon tanaman terhadap inokulasi cendawan pelarut fosfat pada sistem perakaran tanaman. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Rancangan percobaan berupa RAL dengan 5 ulangan. Tanaman uji yang digunakan adalah bibit jagung berusia 1 minggu dan kemudian diinokulasi dengan miselium cendawan. Bibit ditumbuhkan dalam media zeolit steril dengan sumber nutrisi berupa Larutan Hoagland dan dipelihara selama delapan minggu. Parameter yang diamati adalah morfologi dan anatomi akar serta parameter tumbuh yang meliputi pertambahan tinggi tajuk tanaman, bobot basah dan kering tanaman serta panjang akar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cendawan dapat mengkolonisasi akar jagung tanpa menimbulkan gejala penyakit, tetapi bagian akar tanaman jagung dengan tingkat kolonisasi cendawan lebih tinggi cenderung membesar dan mengalami percabangan dikotomous pendek. Pengamatan di bawah mikroskop memperlihatkan bahwa sel-sel akar membulat dan ukurannya lebih besar dibandingkan dengan sel normal. Semua parameter tumbuh yang diamati mengalami peningkatan. Parameter yang mengalami peningkatan terbesar adalah bobot kering tanaman, yaitu sebesar 82% diikuti secara berturut-turut bobot basah tanaman (80%), panjang akar (66%) dan pertambahan tinggi tajuk 52%. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa inokulasi Penicillium sp. yang memiliki kemampuan melarutkan fosfat terhadap sistem perakaran tanaman uji dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman uji secara signifikan bila dibandingkan dengan tanaman kontrol. Kata kunci: cendawan pelarut fosfat, Penicillium sp., respon tumbuh tanaman PENDAHULUAN Fosfor (P) merupakan unsur vital bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman dan ditemukan pada semua sel tanaman hidup. Fosfor memegang peranan penting dalam proses metabolisme energi, aktivasi metabolit intermediet, sebagai komponen aliran sinyal transduksi, elemen struktural asam nukleat dan fosfolipid (Bucher 2007). Walaupun kandungan P total dalam tanah tinggi, namun sebagian besar P ada dalam bentuk terikat dan hanya 0.1 sampai 0.5% yang dapat digunakan oleh tanaman (Pradan & Sukla 2005). Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala ini adalah dengan penambahan P ke tanah pertanian dalam bentuk pupuk fosfat. Walaupun demikian, aplikasi pupuk fosfat ke tanah pertanian tetap memiliki kekurangan. Lebih dari 80% pupuk fosfat tersebut dengan cepat berubah bentuk menjadi

P terikat. Proses ini terjadi melalui reaksi presipitasi dengan ion Al3+ dan Fe3+ dalam keadaan tanah asam serta dengan ion Ca2+ pada tanah dengan pH tinggi (Hao et al. 2002; Holford 1997). Hal ini menyebabkan penggunaan pupuk menjadi tidak efisien karena pupuk fosfat harus ditambahkan secara teratur agar ketersediaan P bagi tanaman terpenuhi. Penggunaan pupuk yang terus menerus menimbulkan beberapa dampak negatif, diantaranya adalah peningkatan biaya produksi pertanian dan penurunan kualitas lahan akibat akumulasi pupuk kimiawi dalam tanah pertanian (Saraswati 1999). Alternatif lain untuk mengatasi masalah di atas adalah penggunaan mikroorganisme pelarut fosfat. Selain mampu meningkatkan ketersediaan P dan memicu pertumbuhan tanaman, mikro-organisme pelarut fosfat juga diketahui dapat melindungi tanaman dari

356

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

penyakit dan bertindak sebagai agens biokontrol (Koike et al. 2001; Shivanna et al. 1999), menghasilkan hormon tumbuh (Yadav et al. 2011; Nenwani et al. 2010); melarutkan berbagai hara mikro (Altomare et al. 1999); meningkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman (Pandya & Saraf 2010) dan relatif ramah lingkungan. Cendawan diketahui memiliki kemampuan yang lebih tinggi daripada bakteri dalam proses pelarutan fosfat (Nahas 1996). Aspergillus sp. dan Penicillium sp. secara berurutan dapat melarutkan 480 µg/ml dan 275 µg/ml fosfat dari 0.5% trikalsium fosfat (TCP) setelah 4 hari (Pradhan & Sukla 2005). Richa et al. (2007) melaporkan bahwa A. tubingensis dan A. niger merupakan cendawan pelarut fosfat yang baik diaplikasikan pada tanah alkalin dengan sumber P berupa rock phosphate. Hal senada juga dilaporkan oleh Barrow & Osuna (2002) yang menyatakan bahwa cendawan dark septate endophyte (DSE) dapat meningkatkan efisiensi penyerapan fosfat pada tanaman Atriplex canescens. Penapisan cendawan pelarut fosfat sampai sekarang terus dilakukan untuk mendapatkan isolat potensial. Imaningsih (2010) berhasil mengisolasi beberapa isolat Penicillium dari serasah hutan dipterocarp asal Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Penicillium asal serasah dipterocarp tersebut diketahui mampu menghasilkan IAA, termotoleran dan dapat bertindak sebagai dekomposer. Cendawan ini juga diketahui dapat melarutkan fosfat, tetapi bagaimana respon tanaman bila diinokulasi dengan cendawan ini belum diketahui. METODE PENELITIAN Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2010 sampai Maret 2011 di Laboratorium Mikologi, Departemen Biologi FMIPA IPB dan Laboratorium Zoologi LIPI, Cibinong. Bahan Penicillium sp. IPBCC. 09.620 merupakan kapang koleksi IPBCC yang berasal dari serasah hutan dipterocarp Kalimantan. Tanaman uji yang digunakan adalah jagung varietas Bismo. Biji jagung diperoleh dari Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Cimanggu, Bogor. Media agar Pikovskaya digunakan untuk uji aktivitas

pelarut fosfat. Larutan Hoagland dengan Trikalsium fosfat (TCP) digunakan sebagai sumber P terikat. Pewarna biru tripan 0.05% digunakan untuk analisis kolonisasi cendawan pada perakaran tanaman uji. Prosedur Penelitian Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Produksi inokulan cendawan Produksi inokulan cendawan dilakukan dengan menumbuhkan tiga potong koloni cendawan (diameter 5 mm) dalam 100 ml media dekstrosa kentang cair. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama 1 minggu dengan agitasi 100 rpm. Miselium dipanen dan kemudian disaring menggunakan kertas saring Whatman steril. Sebanyak kurang lebih 3 gram miselium diinokulasikan pada perakaran masing-masing tanaman uji. 2. Perkecambahan tanaman, inokulasi cendawan dan pemeliharaan Biji jagung yang digunakan untuk pembibitan tanaman uji memiliki ukuran yang relatif seragam, tingkat kematangan yang baik dan tidak cacat. Perkecambahan dilakukan pada media zeolit steril yang telah dicuci dalam wadah plastik. Sterilisasi permukaan biji dilakukan untuk menghilangkan kontaminan yang mungkin terdapat pada biji. Biji dicuci dengan air mengalir selama kurang lebih 10 menit dan direndam dalam alkohol 70% selama 30 detik. Selanjutnya alkohol dihilangkan dengan membilas biji menggunakan air steril sebanyak 3-5 kali. Biji selanjutnya direndam dalam NaOCl 0.05% selama 5 menit dan dicuci kembali dengan air steril sebanyak 3-5 kali. Biji dikeringkan dengan tissue steril dan ditanam dalam zeolit. Untuk merangsang perkecambahan biji, permukaan wadah ditutup dengan aluminium foil selama 1 malam. Kecambah jagung yang telah berumur 1 minggu diinokulasi dengan kurang lebih 3 gram inokulan Penicillium sp. Zeolit steril lembab (200g) dimasukkan ke dalam gelas plastik sebanyak kurang lebih sepertiga wadah. Ke dalam wadah kemudian diletakkan inokulan dan diaduk supaya inokulan tidak menumpuk pada satu daerah saja. Kecambah dimasukkan ke dalam wadah, lalu ditutup dengan sisa media. Larutan Hoagland digunakan sebagai sumber hara tanaman dengan TCP sebagai sumber P. Tanaman dipelihara selama delapan

357

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

minggu dan disiram dengan air steril sekali dua hari atau sesuai kebutuhan. 3. Analisis Kolonisasi Cendawan dan Morfologi Akar Analisis kolonisasi dilakukan dengan cara mewarnai akar tanaman yang telah diinokulasi dengan Penicillium sp. menggunakan biru tripan 0.05%. Analisis dilakukan terhadap lima contoh dari masingmasing tanaman. Metode pewarnaan akar mengikuti prosedur Kormanick & McGraw (1982). Akar tanaman dipisahkan dari media dengan hati-hati agar sistem perakaran tidak rusak. Akar dicuci dengan air mengalir selama 10 menit untuk menghilangkan sisa media tanam dan setelah itu dipotong dengan ukuran 1 cm. Akar direndam dalam larutan KOH 10% pada suhu 90oC selama 10-15 menit untuk menghilangkan isi sel. Apabila selama proses tersebut akar masih gelap, maka perendaman dapat diperpanjang sampai diperoleh akar yang transparan. KOH dibuang dan sisanya dihilangkan dengan membilas akar dengan akuades sebanyak 3-5 kali. Akar direndam dalam larutan HCL 1N selama 1 malam, selanjutnya diwarnai dengan pewarna biru tripan 0.05% selama 20-30 menit. Akar yang telah diwarnai disimpan dalam larutan gliserol 50% dan diamati menggunakan mikroskop cahaya. 4. Analisis Respon Tumbuh Respon tumbuh tanaman terhadap inokulasi Penicillium sp. pelarut fosfat diuji dengan memberi perlakuan berupa sumber P terikat (TCP) dengan dosis setara 60 mg P2O5. Tanaman kontrol diberi perlakuan P yang sama, tetapi tidak diinokulasi dengan Penicillium sp. pelarut fosfat. Parameter respon tumbuh yang diamati yaitu pertambahan tinggi tajuk tanaman, bobot basah dan kering tanaman serta panjang akar. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian

Gambar 1. Miselium menempel di permukaan akar (a) dan rambut akar (b).

Penicillium sp. pelarut fosfat dapat mengkolonisasi akar jagung dengan baik dan tidak menyebabkan gejala sakit pada tanaman uji. Satu minggu setelah inokulasi, miselium cendawan pada umumnya terlihat menempel pada permukaan akar termasuk rambut akar (Gambar 1a, 1b). Penetrasi hifa terjadi melalui rongga intersel epidermis akar dan tidak terlihat adanya struktur khusus untuk penetrasi. Pertumbuhan hifa di dalam akar pada awal kolonisasi terjadi secara interseluler (Gambar 2)

10 µm

Gambar 2. Hifa melakukan penetrasi melalui ruang antar sel epidermis permukaan akar (tanda panah). Hifa selanjutnya terlihat menjalar di sepanjang ruang antar sel epidermis, menembus sel dan membentuk semacam tonjolan di dalam sel sampai akhirnya berbentuk struktur bulat seperti noktah. Struktur ini semakin lama semakin membesar dan bertambah banyak (Gambar 3a). Struktur seperti noktah di dalam sel akar mulai berkecambah membentuk jalinan hifa renik yang memenuhi sel-sel akar (Gambar 3b)

Gambar 3. Struktur seperti noktah (a) dan hifa renik di dalam sel (b). Hifa selanjutnya kembali ke permukaan akar untuk membentuk hifa bercabang, konidiofor dan fialid, seperti halnya struktur penicillium (Gambar 4a). Kolonisasi Penicillium sp. menyebabkan sebagian besar ujung-ujung akar jagung bertambah besar, bercabang 2 atau 3 dan tidak memanjang lagi (Gambar 4b). Pengamatan mikroskopik terhadap ujung akar yang membesar menunjukkan bahwa morfologi sel-sel akar

358

Copyright © FMIPA UNP 2014

Seminar Nasional Pendidikan MIPA

yang semula panjang dan ramping berubah bentuk menjadi membulat dan bertambah besar. Akar-akar lain tidak mengalami perubahan morfologi.

10µm

a

b

Gambar 4. Hifa tumbuh ke luar sel epidermis membentuk struktur penicillium (a) dan akar bercabang dua atau tiga dengan pertumbuhan terbatas (b). Tabel

1. Pengaruh inokulasi cendawan Penicillium sp. terhadap pertumbuhan tanaman uji

Δ tinggi Perlakuan tanaman (cm) Kontrol 10.64a Inokulasi 16.16b Cendawan

Ket:

Bobot Bobot Panjang Basah Kering Akar (cm) Akar (g) Akar (g) 6.57a 0.85a 26.00a 11.81b

1.55b

43.24b

Angka dalam kolom yang sama pada masing-masing kelompok dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan, P

Suggest Documents