Kerupuk rame' rumput laut merupakan salah satu produk skala masyarakat ...
adonan tepung tapioka dan tepung terigu yang diramu dengan bahan tambahan
...
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Umur simpan merupakan rentang waktu antara saat produk mulai dikemas dengan mutu produk yang masih memenuhi syarat dikonsumsi. Dimana mutu sangat berpengaruh pada suatu produk, semakin baik mutu suatu produk maka semakin memuaskan konsumen. Pencantuman informasi umur simpan menjadi sangat penting karena terkait dengan keamanan produk pangan dan untuk memberikan jaminan mutu pada saat produk sampai ke tangan konsumen. Informasi umur simpan produk sangat penting bagi banyak pihak, baik produsen, konsumen, penjual, dan distributor. Konsumen tidak hanya dapat mengetahui tingkat keamanan dan kelayakan produk untuk dikonsumsi, tetapi juga dapat memberikan petunjuk terjadinya perubahan citarasa, penampakan dan kandungan gizi produk tersebut. Perubahan-perubahan tersebut secara langsung akan mempengaruhi mutu dari suatu produk. Untuk itu, perlu diketahui umur simpan dari setiap produk. Kerupuk rame’ rumput laut merupakan salah satu produk skala masyarakat kecil dan menengah yang belum memiliki umur simpan produk yang ilmiah pada kemasannya, padahal dengan adanya umur simpan maka dapat memberikan jaminan pada suatu produk terhadap konsumen dalam memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu perlunya dilakukan penelitian ini sehingga diketahui umur simpan dari produk kerupuk rame’ rumput laut dengan menggunakan metode akselerasi.
2
B. Rumusan Masalah Mengacu dari latar belakang yang ada, masalah dalam penelitian ini adalah belum adanya umur simpan pada produk kerupuk rame’ rumput laut, padahal pencantuman umur simpan pada suatu produk sangatlah penting dan dengan adanya penelitian ini, diupayakan dapat memperbaiki mutu dari produk tersebut. C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ini bertujuan sebagai berikut: 1. Untuk
menduga
umur
simpan
kerupuk
rumput
laut
dengan
menggunakan metode Accelerated Shelf Life Testing. 2. Untuk memberikan jaminan mutu mengenai keamanan pada suatu produk. Kegunaan penelitian ini adalah untuk memberikan informasi kepada produsen dan konsumen atau masyarakat luas mengenai masa simpan dari produk kerupuk rame’ rumput laut sehingga lebih yakin dalam mengkonsumsi produk tersebut.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerupuk Rumput Laut Rumput Laut secara ilmiah dikenal dengan istilah alga atau ganggang. Rumput Laut termasuk salah satu anggota alga yang merupakan tumbuhan berklorofil. Disajikan dari ukurannya, rumput laut terdiri dari jenis mikroskopik dan makroskopik. Jenis makroskopik inilah yang sehari-hari kita kenal sebagai Rumput laut. Namun istilah Rumput laut sebenarnya tidak tepat. Karena secara botani tidak termasuk golongan rumput-rumputan (Graminae) (Poncomulyo dkk, 2006). Kerupuk adalah jenis pangan yang digemari di Indonesia. Berbagai kalangan menyukai jenis pangan ini baik golongan rendah maupun golongan yang tinggi. Kerupuk sangat beragam dalam bentuk ukuran, warna, rasa, bau, kerenyahan, ketebalan dan nilai gizinya. Perbedaan ini bisa disebabkan pengaruh budaya daerah penghasil kerupuk, bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan serta cara pengolahannya (Anonim, 2009). Kerupuk Rumput Laut adalah makanan ringan yang terbuat dari adonan tepung tapioka dan tepung terigu yang diramu dengan bahan tambahan berupa rumput laut dan penambahan bumbu-bumbu sebgai perasa. Kelebihan dari kerupuk rumput laut yaitu memiliki rasa gurih yang khas, renyah dan juga mempunyai manfaat bagi kesehatan tubuh manusia.
4
Gambar 1. Kerupuk Rumput Laut Rumput laut sebagian besar terdiri dari karbohidrat yang sulit dicerna, hingga menimbulkan rasa kenyang yang lebih lama. Disamping itu rumput laut jugr mengandung protein, lemak dan mineral. Sedangkan kandungan gizi kerupuk rumput laut disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Rumput Laut Komposisi Air
Nilai (%)
12,90
Protein Abu
5,12 14,21
Lemak
0,13
Karbohidrat
13,38
Serat kasar
1,39
Mineral Ca (ppm)
52,82
Mineral Fe (ppm)
0,11
Riboflavin (mg/100 g)
2,26
Vitamin C (mg/100 g)
4,00
Sumber: Anonim, 2012.
Komposisi bahan sendiri beserta pengolahannya akan sangat mempengaruhi kualitas kerupuk, dimana komposisi bahan ini juga
5
mempengaruhi pengembangan pada kerupuk tersebut. Secara umum bahan baku yang digunakan adalah tepung tapioka, tepung terigu sedangkan bahan tambahannya dapat berupa rumput laut, garam, gula air dan bumbu yang terdiri dari bawang merah, bawang putih, ketumbar dan sebagainya (Anonim, 2009). Kriteria kerupuk yang baik mengacu kepada syarat mutu kerupuk ikan yang terdapat didalam SNI 01-2713-1999, yaitu Tabel 2. Syarat Mutu Kerupuk Jenis Uji Rasa dan Aroma Serangga dalam bentuk stadia dan potonganpotongan serta benda asing Kapang Air Abu dan tanpa garam Protein Lemak Serat Kasar Bahan tambahan makanan
Persyaratan Khas kerupuk Tidak ternyata
Tidak ternyata Maks 11% Maks 1% Min 6% Maks 0,5% Maks 1% Tidak ternyata atau sesuai dengan peraturan yang berlaku Cemaran logam (Pb,Cu,Hg) Tidak ternyata atau sesuai dengan peraturan yang berlaku Cemaran arsen Tidak ternyata atau sesuai dengan peraturan yang berlaku Sumber: Badan Standarisasi Nasional B. Kemasan Menurut Buckle et al. (1987) menyatakan, kemasan yang dapat digunakan sebagai wadah penyimpanan harus memenuhi beberapa persyaratan, yakni dapat mempertahankan mutu produk supaya tetap bersih serta mampu memberi perlindungan terhadap produk dari kotoran,
6
pencemaran, dan kerusakan fisik, serta dapat menahan per-pindahan gas dan uap air. Salah satu jenis kemasan bahan pangan yaitu plastik. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan tersebut, keadan lingkungan dan sifat bahan kemasan. Gangguan yang paling umum terjadi pada bahan pangan adalah kehilangan atau perubahan kadar air, pengaruh gas dan cahaya. Sebagai akibat perubahan kadar air pada produk, akan timbul jamur dan bakteri, pengerasan pada produk bubuk dan pelunakan pada produk kering (Syarief et al., 1989). Bahan pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam kepekaannya terhadap penyerapan atau pengeluaran gas (udara dan uap air). Bahan kering harus dilindungi dari penyerapan air dan oksigen dengan cara menggunkan bahan pengemas yang mempunyai daya tembus rendah terhadap gas tersebut (Purnomo dan Adiono, 1987). Produk kering terutama yang bersifat hidrolik harus dilindungi terhadap masuknya uap air. Umumnya produk-produk ini memiliki ERH yang rendah oleh sebab itu harus dikemas dengan kemasan yang memiliki permeabilitas air yang rendah untuk mencegah produk yang berkadar gula tinggi merekat atau produk-produk tepung menjadi basah sehingga tidak lagi bersifat mawur (Syarief et al., 1989). Plastik merupakan bahan pengemas yang penting dalam industri pengemasan. Kelebihan plastik dari kemasan lain diantaranya adalah harga yang relative rendah dapat dibentuk menjadi berbagai macam
7
bentuk dan mengurangi biaya transportasi. Sebagai bahan pembungkus, plastic dapat digunakan dalam bentuk tunggal, komposit atau berupa lapisan-lapisan dengan bahan lain (kertas, alumunium foil). Kombinasi antara berbagai kemasan plastic yang berbeda atau plastic dengan kemasan non plastik (kertas, alumunium foil dan selulosa) dimana ketebalan setiap lapisan utamanya lebih dari 6 mikron yang diproses baik dengan cara laminasi ekstrusi maupun laminasi adhesive disebut sebagai kemasan laminasi (Robertson, 1993). Telah disebutkan bahwa ada dua macam cara pembuatan kemasan laminasi yaitu dengan cara ekstrusi dan adhesive. Metode laminasi ekstrusi dan adhesive mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing. Laminasi ekstrusi mempunyai kekuatan yang relative rendah dan kadang-kadang timbul bau plastic, tetapi proses ini lebih murah. Sebaliknya proses laminasi adhesive kekuatan kemasannya lebih baik dan tidak menimbulakan bau tetapi proses pembuatannya biasanya lebih mahal (Syarief et al., 1989). Kemasan laminasi digunakan diindustri-industri pangan saat ini tidak hanya kombinasi antara berbagai plastik saja melainkan kombinasi anatara berbagai plastik dengan aluminium. Kemasan ini disebut sebagai metallized plastic. Walaupun lapisan pelogaman ini sangatlah tipis, sekitar 300-1000 Å (0.03-0.1 µm) tetapi dapat meningkatkan perlindungan, menahan bau, memberikan efek kilap dan menahan gas.
8
Metallizing merupakan proses pelapisan salah satu sisi film plastic transparan dengan logam pada kondisi yang sangat vakum. Logam yang biasa digunakan untuk keperluan metalisasi adalah aluminium. Kemurnian aluminium yang digunakan adalah 99.9% dan diameter wire 1,96 mm. proses metalisasi dilakukan dengan menguapkan dan melelehkan aluminium wire pada suhu 1500 0C. Uap aluminium akan melapisi film plastik yang berputar pada sebuah rol pendingin bersuhu ±15 0C. Rol pendingin diset pada suhu tersebut dengan tujuan agar film tidak melelh ketika terkena uap uap aluminium yang panas. Jenis kemasan produk kerupuk rumput laut yang digunakan untuk penentuan umur simpan ini adalah jenis metallized plastic yang disemprot aluminium sehingga terlapisi dan kemudian dilaminasi dengan PE (polietilen) untuk keperluan pelabelan. Menurut Mona (2007), jenis kemasan ini memilki permebailitas 0.0136 g/m2.hari. mmHg. PE banyak digunakan dalam laminasi terutama untuk bagian luar karena dapat meningkatkan daya tahan kemasan terhadap kikisan dan sobekan sehingga banyak digunakan kantung-kantung makanan yang memerlukan perlindungan. Salah satu sifat yang paling penting dari polietilen adalah permeabilitasnya yang rendah terhadap uap air. PE juga bersifat termoplastik sehingga mudah dibuat kantung derajat kerapatan yang baik (Syarief et al., 1989). Kemasan kerupuk rumput laut disajikan pada gambar 2.
9
Gambar 2. Kemasan Kerupuk Rumput Laut
C. Aktivitas Air Menurut Fennemena (1996), memaparkan adanya hubungan antara
kadar
air
dalam
bahan
pangan
dengan
daya
awetnya.
Pengurangan air baik dalam pengeringan atau penambahan bahan penguap air bertujuan untuk mengawetakan bahan pangan sehingga dapat tahan terhadap kerusakan mikrobiologis maupun kerusakan kimiawi. Kriteria ikatan air dalam aspek daya awet bahan pangan ditinjau dari kadar air, konsentrasi larutan, tekanan osmotic, kelembaban relative berimbang dan aktivitas air. Kadar air dan konsentrasi larutan hanya sedikit berhubungan dengan sifat-sifat air yang terdapat dalam bahan pangan dan tidak dapat digunakan sebagai indikator nyata dalam menentukan ketahanan simpan. Karenanya lalu muncul istilah aktivitas air yang digunakan untuk menjabarkan air yang tidak terikat atau bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis atau kimiawi. Air yang terkandung dalam bahan pangan, apabila terikat kuat dengan komponen bukan air lebih sukar digunakan baik untuk aktivitas mikrobiologis maupun aktivitas kimia hidrolik (Syarief dan Halid, 1993).
10
Kadar air dan aktivitas air sangat berpengaruh dalam menentukan masa simpan dari makanan, karena faktor-faktor ini akan mempengaruhi sifat-sifat fisik (kekerasan dan kekeringan) dan sifat-sifat fisiko-kimia, perubahan-perubahan kimia, kerusakan mikrobiologis dan perubahan enzimatis terutama pada makanan yang tidak diolah (Winarno, 2004). selama penyimpanan akan terjadinya proses penyerapan uap air dari lingkungan yang menyebabkan produk kering mengalami penurunan mutu menjadi lembab/tidak renyah (Robertson, 2010). Menurut Labuza (1982), hubungan antara aktivitas air dan mutu makanan yang dikemas adalah sebagai berikut: 1. Produk dikatakan pada selang aktivitas air sekitar 0.7-0.75 dan di atas selang tersebut mikroorganisme berbahaya dapat mulai tumbuh dan produk menjadi beracun. 2. Pada selang aktivitas air sekitar 0.6-0.7 jamur dapat mulai tumbuh. 3. Aktivitas air sekitar 0.35-0.5 dapat menyebabkan makanan ringan hilang kerenyahannya. 4. Produk pasta yang terlalu kering selama pengeringan atau kehilngan air selama distribusi atau penyimpanan, akan mudah hancur dan rapuh selama dimasak atau karena goncangan mekanis. Hal ini terjadi pada selang aktivitas air 0.4-0.5. Aktivitas air ini juga dapat didefinisikan sebagai kelembaban relative kesetimbangan (equilibrium relative humidity = ERH) dibagi dengan 100 (Labuza, 1980 diacu dalam Arpah, 2001).
11
𝑎𝑤 =
𝐸𝑅𝐻 100
Aktivitas air menunjukkan sifat bahan itu sendiri, sedangkan ERH menggambarkan sifat lingkungan disekitarnya yang berada dalam keadaan
seimbang
dengan
bahan
tersebut.
Bertambah
atau
berkurangnya kandungan air suatu bahan pangan pada suatu keadaan lingkungan sangat tergantung pada ERH lingkungannya. D. Kadar Air Kesetimbangan Kadar air kesetimbangan suatu bahan pangan kadar air bahan pangan ketika uap air bahan tersebut dalam kondisi setimbang dengan lingkungannya dimana produk sudah tidak mengalami penambahan atau pengurangan bobot produk (Fellows, 1990). Kadar air kesetimbangan adalah kadar air dari suatu produk pangan pada kondisi lingkungan tertentu dalam periode waktu yang lama (Brooker et al., 1992). Kadar air kritis kesetimbangan pada produk pangan digunakan untuk menentukan dan menggunakan kurva sorpsi isotermis produk tersebut. Kurva tersebut digunakan untuk mendapatkan informasi tentang perpindahan
air
selama
proses
adsorpsi
atau
desorpsi.
Proses
penyerapan air (adsorpsi) terjadi saat kelembaban relative lingkungan lebih tinggi dibandingkan dengan kelembaban relative bahan pangan. Kelembaban relative lingkungan yang lebih rendah daripada kelembaban bahan menyebabkan terjadinya distribusi uap air dari bahan ke lingkungan melalui proses penguapan (desorpsi) (Brooker et al., 1992). Penambahan
12
atau penurunan bobot sampel selama penyimpanan menunjukkan fenomena hidratasi (deMan, 1979) Uap air akan berpindah dari lingkungan ke produk atau sebaliknya sampai tercapai kondisi kesetimbangan. Perpindahan uap air ini terjadi sebagai akibat perbedaan RH lingkungan dan produk, dimana uap air akan berpindah dari RH tinggi ke RH rendah. Tercapainya kondisi kesetimbangan antara sampel dan lingkungan ditandai oleh bobot sampel yang konstan. Bobot yang konstan ditandai oleh selisih penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 2 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di bawah 90% dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di atas 90% (Adawiyah, 2006). Terdapat dua metode untuk menentukan kadar air kesetimbangan yaitu dengan metode statis dan dinamis. Metode statis dilakukan dengan cara meletakkan bahan pangan pada tempat dengan RH dan suhu yang terkontrol. Dalam metode dinamis, kadar air kesetimbangan ditentukan dengan meletakkan bahan pangan pada kondisi udara bergerak. Metode dinamis sering digunakan untuk pengeringan, dimana pergerakan udara digunakan untuk mempercepat proses pengeringan dan menghindari penjenuhan uap air disekitar bahan (Brooker et al., 1992). E. Sorpsi Isotermis Kurva sorpsi isotermis merupakan kurva yang menggambarkan hubungan
antara
aktivitas
air
(aw)
atau
kelembaban
relative
kesetimbangan pada ruang penyimpanan (ERH) dengan kandungan air
13
per gram suatu bahan pangan (Winarno, 2004). Kurva ini menunjukkan aktivitas menyerap air (adsorpsi) dan melepaskan air yang dikandung (desorpsi) pada bahan pangan sehingga banyak digunakan dalam penentuan umur simpan, penyimpanan, pengemasan dan pengeringan. Kurva sorpsi isotermis juga menggambarkan proses hidrasi yang terjadi dalam
hubungannya
dengan
interaksi
kimiawi
air
pada
molekul
permukaan, pelepasan struktur moleku dalam mempercepat perpindahan dan perubahan volume oleh molekul yang terbuka (Ballestore, 2007). Pada umumnya kurva sorpsi isotermis bahan pangan berbentuk sigmoid (menyerupai huruf S). Kurva adsorpsi (penyerapan uap air) dan kurva desorpsi (pelepasan uap air) tidak pernah berhimpit, keadaan seperti ini disebut sebagai fenomena histerisis. Besarnya histeresis dan bentuk kurva sangat beragam tergantung pada beberapa faktor seperti sifat alami bahan pangan, perubahan fisik yang terjadi selama perpindahan air, suhu, kecepatan desorpsi atau adsorpsi dan tingkatan air yang dipindahkan selama desorpsi atau adsorpsi (Fennema, 1996). F. Model Persamaan Sorpsi Isotermis Model matematika untuk persamaan sorpsi isotermis telah banyak dikembangkan oleh para ahli baik secara teoritis, semi teoritis maupun empiris. Model-model matematika tersebut tidak dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dan hanya dapat memprediksi kurva sorpsi isotermis salah satu dari ketiga daerah sorpsi isotermis. Tujuan penggunaan
kurva
sorpsi
isotermis
tersebut
untuk
mendapatkan
14
kemulusan kurva yang tinggi maka model-model persamaan yang sederhana dan lebih sedikit jumlah parameternya akan lebih cocok digunakan (Labuza, 1982). Metode kuadrat terkecil ini dapat memilih suatu regeresi terbaik diantara semua kemungkinan garis lurus yang dapat dibuat pada suatu diagram pencar (Walpole, 1995). Secara empiris, Henderson mengemukakan persamaan yang menggambarkan hubungan antara kadar air kesetimbangan bahan pangan dengan kelembaban relative ruang simpan. Persamaan ini merupakan salah satu persamaan sorpsi isotermis yang paling banyak digunakan pada kebanyakan bahan pangan kering terutama biji-bijian. Berikut model persamaan Henderson: 1 − 𝑎𝑤 = exp (−𝐾𝑀𝑒 𝑛 )
(1)
Keterangan: Me
= kadar air kesetimbangan
K dan n
= konstanta
Caurie dari hasil percobaannya mendapatkan model yang berlaku untuk kebanyakan bahan pangan pada aw 0,0 sampai 0,85. Berikut model persamaan Caurie: ln Me = ln P1 – P2* aw
(2)
Hasley mengembangkan persamaan yang dapat menggambarkan proses kondensasi pada lapisan multilayer. Persamaan ini dapat digunakan untuk bahan makanan dengan aw antara 0,1 sampai 0,81. Berikut model persamaan Hasley:
15
aw= exp [-P1/(Me)P2 ]
(3)
Persamaan Oswin dapat berlaku untuk bahan pangan pada aw 0,0 sampai 0,85 dan cocok untuk kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid. Berikut model persamaan Oswin: Me = P1 [aw/(1-aw)]P2
(4)
Chen Clayton juga telah membuat model matematika yang berlaku untuk semua bahan pangan pada semua nilai aw. Berikut model persamaan Chen Clayton: Aw= exp[-P1/exp(P2*Me)]
(5)
Keterangan: Aw
= aktivitas air
P1 dan P2
= konstanta
Persamaan-persamaan tersebut kemudian di uji ketetapannya dengan menghitung nilai MRD. Jika nilai MRD
< 5 maka model sorpsi
ishotermis tersebut dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya atau sangat tepat. Jika model sorpsi isotermis dengan 5 < MRD < 10 maka model tersebut agak tepat meggambarkan keadaan sebenarnya dan jika MRD > 10 maka model tersebut tidak tepat menggambarkan kondisi sebenarnya.
MRD =
100 𝑛
𝑀𝑖−𝑀𝑝𝑖 𝑛 𝑖=1 𝑀𝑖
Keterangan: Mi = Kadar air percobaan Mpi = Kadar air hasil perhitungan
(6)
16
n
= Jumlah data Semakin kecil nilai MRD yang diperoleh maka semakin tepat
kurva model persamaan tersebut dalam menggambarkan kondisi kadar air kesetimbangan hasil percobaan atau dengan kata lain semakin kecil nilai
MRD
maka
menggambarkan
semakin
tepat
fenomena
sorpsi
pula
model
tersebut
dalam
yang
terjadi
isotermis
(Tarigan et al., 2006). G. Umur Simpan dan Metode Akselerasi Umur simpan secara umum mengandung pengertian rentang waktu antara saat produk mulai dikemas atau diproduksi dengan saat mulai digunakan dengan mutu produk masih memenuhi syarat dikonsumsi (Hine, 1987). Sementara itu, Floros (1993) menyatakan bahwa umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan, dalam suatu kondisi penyimpanan, untuk sampai pada suatu level atau tingkatan degradasi mutu tertentu. Menurut Syarief et al., (1989), beberapa faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah sebagai berikut: 1. Keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan
seperti
kepekaan
terhadap
air
dan
oksigen
serta
kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik. 2. Ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume. 3. Kondisi atmosfer terutama suhu dan kelembaban diman kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan.
17
Menurut Floros (1993), umur simpan produk pangan dapat diduga dan ditetapkan waktu kadaluwarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpangan produk pangan yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage Studies (ASS). Berikut beberapa kriteria kedaluwarsa produk pangan disajikan pada tabel 3. Tabel 3. Kriteria kedaluwarsa produk pangan Produk Teh kering
Mekanisme penurunan mutu Penyerapan uap air
Peningkatan kadar air
Susu bubuk
Penyerapan uap air
Pencoklatan
Susu bubuk
Oksidasi
Laju konsumsi O2
Makanan laut kering beku
Oksidasi dan fotoegradasi
Aktifitas air
Makanan bayi
Penyerapan uap air
Konsentrasi asam askorbat
Makanan kering
Penyerapan uap air
-
Sayuran kering
Penyerapan uap air
Off flavor-perubahan warna
Kol kering
Penyerapan uap air
Pencoklatan
Tepung biji kapas
Penyerapan uap air
Pencoklatan
Tepung tomat
Penyerapan uap air
Konsentrasi asam askorbat
Biji-bijian
Penyerapan uap air
Peningkatan kadar air
Keju
Penyerapan uap air
Tekstur
Bawang kering
Penyerapan uap air
Pencoklatan
Buncis hijau
Penyerapan uap air
Konsentrasi klorofil
Keripik kentang
Oksidasi
Laju konsumsi O2
Udang kering beku
Oksidasi
Konsentrasi karoten dan laju konsentrasi O2
Tepung gandum
Penyerapan uap air dan Konsentrasi asam oksidasi askorbat
Minuman ringan
Pelepasan CO2
Sumber: Herawati (2008)
Kriteria kadaluarsa
Perubahan tekanan
18
ESS sering juga disebut metoda konvensional, adalah penentuan tanggal kadaluwarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya (usable quality) hingga mencapai tingkat mutu kadaluwarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun pada awal-awal penemuan dan penggunaannya, metoda ini dianggap memerlukan waktu panjang dan analisa parameter mutu yang relatif banyak. Dewasa ini metoda ESS sering digunakan untuk produk yang mempunyai waktu kadaluwarsa kurang dari 3 bulan (Floros, 1993). Penentuan umur simpan produk dengan metode akselerasi dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu model Arrhenius dan model kadar air kritis. Model Arrhenius umumnya digunakan untuk menduga umur simpan produk pangan yang sensitive terhadap perubahan suhu, diantaranya
produk
pangan
yang
mudah
mengalami
ketengikan,
perubahan warna oleh reaksi pencoklatan. Prinsipnya adalah menyimpan produk pangan pada suhu ekstrim dimana produk pangan menjadi lebih cepat rusak dan umur simpan produk ditentukan berdasarkan ekstrpolasi ke suhu penyimpanan (Kusnandar, 2006). Metode akselerasi yang banyak diterapkan pada produk pangan kering adalah melalui pendekatan kadar air kritis. Produk disimpan pada kondisi RH lingkungan penyimpanan yang ekstrim dan mengalami penurunan mutu akibat penyerapan uap air. Diperlukan persamaan matematika untuk deskripsi kuatitatif dari system yang terdiri dari produk,
19
bahan pengemas dan lingkungan (Arpah, 2001). Model kadar air kritis dapat
dilakukan
melalui
pendekatan
kurva
sorpsi
isotermis
dan
pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Pendekatan kurva sorpsi isotermis digunakan untuk produk pangan yang mempunyai kurva sorpsi isotermis berbentuk sigmoid. Pendekatan kadar air kritis termodifikasi digunakan untuk produk yang memilki kelarutan tinggi seperti produk dengan kadar sukrosa tinggi (Labuza, 1982). Adapun kriteria mutu produk pada kadar air kritis disajikan pada tabel 4 dibawah ini. Tabel 4. Kriteria mutu produk pada kadar air kritis Macam –macam produk
Kriteria
Bijian
Tidak hancur, tidak berjamur keras
Biskuit
Tidak lembek, renyah
Roti tawar
Tidak keras, tidak berjamur
Gula
Keras, tidak lengket
Bumbu-bumbu
Tidak lengket, berbentuk bubuk, tidak berjamur
Sumber: Syarief et al.,(1989)
Metode percepatan dibawah kondisi penyimpanan 38-40 0C dan RH 96% dan diasumsikan umur simpan hanya dipengaruhi kadar air produk. Waktu yang diperlukan untuk memperkirakan umur simpan produk dengan metode akselerasi tergantung pada jenis produk dan jenis kemasan yang digunakan. Perkiraan umur simpan dengan metode akselerasi mempunyai kelebihan yaitu biaya yang dipakai tidak mahal dan parameter yang diamati hanya kadar air sedangkan kelemahannya adalah dibutuhkan pengamatan tekstur bahan yang cermat (dalam hal penentuan kadar air kritis).
20
Model Labuza cocok digunakan untuk menentukan umur simpan produk pangan yang memilki kurva sorpsi isotermis membentuk sigmoid. Model ini disebut model pendekatan kurva sorpsi isotermis:
𝜃=
(𝑀𝑒 −𝑀𝑖 ) (𝑀𝑒 −𝑀𝑐 ) 𝑘 𝐴 𝑃𝑜 𝑥 𝑊𝑠 𝑏
𝑙𝑛
(7)
Keterangan: Θ = Waktu perkiraan umur simpan (hari) Me = Kadar air keseimbangan produk (g H2O/g padatan) Mi = Kadar air awal produk (g H2O/g padatan) Mc = Kadar air kritis (g H2O/g padatan) 𝑘 = Konstatnta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg) 𝑥 A = Luas permukaan kemasan (m2) Ws = Berat kering produk dalam kemasan (g padatan) P0 = tekanan uap jenuh (mmHg) b = Kemiringan kurva sorpsi isotermis
21
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Pendugaan umur simpan kerupuk rame’ rumput laut (Euchema cottoni L) dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan observasi langsung proses pembuatan kerupuk rame’ rumput laut, dilaksanakan pada bulan Januari 2012 di tempat produksi UKM. Sinar Laut, Jalan Hambali No. 162, Tangga-Tangga, Kecamatan Bisappu, Kabupaten Bantaeng. Tahap kedua yaitu tahap perhitungan nilai parameter umur simpan pada Januari hingga Maret 2012 di Laboratorium Analisa Kimia Panga dan Pengawasan Mutu Pangan, Ilmu dan Teknologi Pangan, Jurusan Teknologi Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar. B. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, timbangan analitik, stoples modifikasi, pengepres plastik, oven, desikator, mortar, gelas ukur, pencepit logam. Bahan- bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kerupuk Rumput Laut Produksi UKM. Sinar Laut, Bantaeng, Kemasan Produk Kerupuk Rumput Laut, Garam NaOH (H2O), Garam MgCl2.6H2O, Garam K2CO3, Garam
KI, Aquades,
BaCl2.2H2O, Alluminium foil.
Garam NaCl, Garam
KCl,
Garam
22
C. Prosedur Kerja Penelitian ini menggunakan metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT). Prosedur kerjanya antara lain: 1. Pengukuran Kadar Air Awal (Moisture Initial, Mi) a. Cawan bersih kosong dikeringkan dalam oven bersuhu kurang lebih 105oC selama satu jam. b. Didinginkan dalam desikator selama kurang lebih 15 menit dan ditimbang (W1). c. Sejumlah 2 gram sampel (W2) dalam cawan dimasukkan dalam oven bersuhu 105oC selama enam jam sampai mencapai berat konstan. d. Cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (W3). Kadar air awal dihitung dengan rumus:
KA Mi =
𝑊1 +𝑊2 − 𝑊3 (𝑊3 −𝑊1 )
gH2O/gsolid
(8)
2. Pengukuran Kadar Air Kritis (Moisture Critical, Mc) a. Sampel disimpan pada kondisi RH 76% dengan menggunakan larutan NaCl jenuh. b. Secara periodik (tiap 24 jam) dilakukan uji penerimaan panelis terhadap kenampakan produk. c. Setiap hari dilakukan perhitungan rata-rata skor uji penerimaan, hingga rata-rata mencapai nilai 2 (tidak suka) ditetapkan bahwa produk telah berapa pada kondisi kritis.
23
d. Dilakukan pengukuran kadar air kritis dengan metode oven seperti yang dilakukan pada poin 1 di atas. Kemudian kadar air kritis dihitung dengan rumus:
KA Mc =
𝑊1 +𝑊2 − 𝑊3 (𝑊3 −𝑊1 )
gH2O/gsolid
(9)
3. Penentuan Kurva Sorpsi Isotermis a. Dilakukan preparasi larutan garam jenuh. b. Ditimbang sejumlah garam dan dimasukkan ke dalam humidic chamber. c. Diaduk dan ditambahkan sejumlah air sampai jenuh untuk menjaga kejenuhan larutan sehingga kelembaban relatif yang dihasilkan tetap dan tidak mengganggu proses sorpsi. d. Humidic chambers ditutup dan dibiarkan selama 24 jam pada kondisi suhu 300C. Jumlah garam dan air yang diperlukan disajikan pada tabel 5 di bawah ini. Tabel 5.
Jumlah Garam dan Air untuk Preparasi Larutan Garam Jenuh Jenis Garam RH Kuantitas (%) Garam Air (gram) (mL) NaOH (H2O) 7 150 85 MgCl2.6H2O 32 200 25 K2CO3 43 200 90 KI 69 200 50 NaCl 76 200 60 KCl 84 200 80 BaCl2.2H2O 90 250 70
Sumber: Agus (2004)
e. Diambil 5 gram produk dodol rumput laut yang telah dikemas.
24
f. Dodol rumput laut digantungkan dalam humidic chamber yang berisi larutan garam jenuh. g. Sampel ditimbang bobotnya secara periodik (tiap 24 jam) sampai diperoleh bobot yang konstan, berarti kadar air kesetimbangan terlah tercapai. h. Sampel yang telah mencapai berat konstan diukur kadar airnya dengan menggunakan metode oven dan dinyatakan dalam basis kering sepeprti pada poin 1. i. Dibuat kurva sorpsi isotermis dengan memplotkan kadar air dan aktivitas air keseimbangan. 4. Penentuan model sorpsi isothermis a. Nilai kadar air kesetimbangan (Moisture Equilibrium, Me) bersama dengan aw, dimasukkan dalam model persamaan sorpsi isothermis Chen Clayton, Henderson, Hasley, Caurie, dan Oswin. b. Kelima model persamaan sorpsi isotermis dievaluasi nilai Mean Relative Deviation (MRD). Jika nilai MRD